Blue Fire Pointer
Minggu, 19 September 2010 0 komentar

Jeritan Hatiku untuk Ibu



“She is the real hero in my life”. Selama 9 bulan, beliau tidak mengenal lelah dan letih menjagaku didalam kandungannya. Tiada keluhan sedikitpun terucap dari bibirnya hingga aku dapat menghirup oksigen dan mengeluarkan rengekan kecil dari mulut mungilku serta merasakan indahnya dunia ini untuk pertama kali. Dikala setiap orang terlelap tidur, beliau selalu terjaga didalam keheningan malam hanya untuk menjagaku agar tidak kedinginan oleh angin malam, serta memberikan kasih sayang disetiap tetes ASI yang kudapatkan. Beliau mendidikku dari kecil hingga kini dengan akhlak mulia dan cinta kasih agar kelak aku menjadi orang yang berdaya guna bagi masyarakat. Itulah ibu, bunda, mama, emak, umi, mother, mami, enyak, mbok, nyokap, atau apalah kita menyebutnya. Dialah orang yang notabene paling berjasa bagi setiap insan karena melalui perantaranya kita mampu eksis didalam dunia yang fana ini. Orang yang menjadi pelita disaat Sang Surya kehidupan kembali keperaduan.

Bagiku, ibu laksana “Pohon di Gurun Sahara”. Dengan akarnya, beliau selalu mencari sumber air untuk mengobati dehidrasiku akan kasih sayang dengan rasa tulus ikhlas. Dengan kekokohannya, beliau menjadi inspirasiku dalam mengarungi samudera kehidupan. Aku juga bisa berteduh dibawah rindangnya nasehat yang beliau berikan dikala aku tengah menghadapi teriknya problematika hidup. Beliau sejukkan suasana hatiku disaat gundah menghinggapi. Dengan berbagai cabang masalah yang begitu pelik, beliau selalu mengajariku untuk menyikapi dengan tegar. Beliau memupuk semangatku guna menyuburkan jiwa yang tangguh untuk menghadapi liku-liku kehidupan. A good character is not lived according to a rule, it is a life lived in balance. The balance among the moral senses is more an aesthetic than a philosophy matter.

Namun ketika aku beranjak remaja kini, hanya karena hasrat hiperbolis yang tidak mungkin tergapai, memunculkan sudut inklinasi diantara kami. Ibarat dua kutub magnet bumi, semua pemikiranku selalu berseberangan dengan beliau. Inikah balasan yang pantas atas setiap tetes peluh yang telah beliau lalui dalam membesarkanku? Aku ini memang lebih hina dari binatang buas sekalipun. Walau harimau, tidak akan mungkin menerkam anaknya sendiri. Begitu juga ibu, beliau tidak mungkin mengarahkanku kedalam lembah kesesatan. Tetapi mengapa kini hati ini selalu ingin berontak dari setiap tutur katanya? Apakah ini merupakan refleksi darah mudaku yang bergelora atau memang egoku yang tidak dapat dikendalikan lagi?

Meminjam teori tabularasa, mungkin memang kertas putih yang dulu kumiliki, kini telah tergores oleh lingkungan disekitarku. Rasa ego sesaatku yang terlalu tinggi telah menghegemoni suasana batinku sehingga mengindikasikan bahwa konasi lebih mendominasi dibandingkan dengan kognisi yang kumiliki. Bahkan untuk mendapatkan katarsis, seraya jurang pemisah antara diriku dan ibu kian melebar. Ibu yang dulu merupakan tempatku berkeluh kesah, kini kusadari bahwa aku semakin jauh meninggalkan beliau. Jiwaku sudah terkontaminasi oleh fatamorgana dunia. Kehidupan ini terasa kosong tanpa belaian kasih sayang ibu. Mana mungkin aku bisa terbang mengarungi angkasa dikala sayap-sayapku telah patah karena ulahku sendiri.

Yaa Allah… Sebelum HCl menjadi basa, sebelum NaCl menjadi manis, tanganku selalu tertengadah bersimbah doa memohon kepadaMu, semoga sebelum hamba menghela nafas terakhir, hamba mampu menorehkan tinta emas prestasi dalam perjalanan hidup ini yang membanggakan ibu sebagai balasan atas setiap tetes keringat yang beliau seka dalam merawat hamba. Berilah kesempatan hamba untuk mendedikasikan setiap perjuangan hidup ini untuk ibu. Serta berilah kesabaran, ketenangan batin, limpahan rohmat, barokah dan nikmatMu kepada ibu hamba. Amin yaa robbal ‘alamin…
 
;