Blue Fire Pointer
Kamis, 06 Februari 2014 0 komentar

ASBABUN NUZUL nama KAMBING TAMBAN

ASBABUN NUZUL nama KAMBING TAMBAN 
Oleh : Mohammad Khadziqun Nuha

KAMBING TAMBAN, yaaah… begitulah nama yang akrab ditelinga atau dimata para alumni jebolan PKM STAIN Tulungagung tahun 2013 yang tergabung dalam kelompok F saat berselancar didunia maya. Ada apa dengan nama itu hingga disematkan menjadi nama suatu grup disitus jejaring sosial terbesar di Indonesia saat ini? Apa yang unik dari nama KAMBING TAMBAN? Apakah maaf, para personilnya mirip dan berobsesi ingin menjadi kambing? Atau apakah mereka ingin numpang tenar dari kesuksesan buku Kambing Jantan karya agungnya abang Raditya Dika? Itu tuh, penulis super duper gokil yang jago juga kalau diminta untuk stand up comedy, yang belakangan ini juga aji mumpung dengan joget dan nyanyi korea meski dengan lyric yang hanya anyong haseyo… anyong haseyo… anyong haseyo… Eh, tapi ngga penting juga ngomongin abang Radith, toh topiknya juga bukan seputar beliau, terlebih yang ada ntar malah dicatat ama malaikat atit karena ngomongin orang, peace deh bang Radith selaku tokoh sesepuh didunia persilatan Indonesia! (mulai deh ngaco, didunia tulis menulis Indonesia maksudnya deng…)

Kembali ke topik utama (kalau kembali ke laptop, ntar dikira njiplak hak ciptanya om tukul, pria berkumis tipis dan akrab dipanggil rey… rey… reynaldi itu), KAMBING TAMBAN mungkin menjadi nama yang asing ditelinga siapapun penghuni bumi ini, dan bahkan penghuni planet namex-pun ngga bakal ngerti dengan arti filosofis dari nama itu (yang waktu kecil ngga suka nonton Dragon Ball, pasti ngga tahu letak planet namex itu disebelah mana dalam susunan tata surya). Secara epistimologi (opoo… kuwiii…), Kambing adalah hewan berkaki empat (kecuali kalau pincang) yang suka makan rumput dan dedaunan atau bahasa jawanya rambanan yang mahir dan merdu ketika mengutarakan kata “mbeeek” (definisi asal-asalan yang jangan harap bisa ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia). Sedangkan Tamban, merupakan kata serapan dari bahasa Jawa yang berarti obat. Nahlo, jadi apakah makna dari nama KAMBING TAMBAN? Apakah salah satu dari anggota kelompok tersebut memiliki kambing yang bisa mengobati kayak Si Ponari dengan batu celupnya (enakan juga teh celup, pon... pon... ponariii...) itu?

  Marilah kita kupas, setajam.... silet !!!
(sreeet... sreeeet... sreeeet.... dan Fenny Rose pun muncul dengan kata pertama yang keluar pemirrsaaaa....)

Pada jaman dahulu kala (waduuuuh... berasa disuruh mengarang dimata pelajaran Bahasa Indonesia saat SD), ganti aja deh, pada saat hari-hari pertama menginjakkan kaki dirumah singgah ketika PKM berlangsung, beberapa anggota cowok berinisiatif (bahasanya radak intelek dikit ah) untuk membersihkan halaman belakang. Tak disangka, tak dinyana dan tak diduga, walau radak mendramatisir,  didapati sebuah kandang kambing yang sudah tidak terpakai lagi. Beberapa orang itu yakin kalau itu kandang kambing bukan kandang manusia karena tiada kasur dan bantal ditempat itu. Dan apa yang terjadi pemirsa?


Triiiinggg… (ada lampu bohlam yang menyala)
Muncullah ide brilliant dari pria yang dengan getol mempopulerkan kata bajigur itu. Entahlah dapat darimana ia ide konyol tapi jenius itu. Mungkin saat itu ada malaikat jibril yang lagi bertamasya disekitar rumah itu dan tiba-tiba terpleset lalu begitu saja memberikan ilham kepadanya (Tahu kan ilham? Itu tuh, temennya si wahyu, mereka sering maen bola bareng #plakk).

“Pomo… iki pomo lho yoo… (Ini seandainya yaa…), kalau kita memelihara anak kambing dikandang ini gimana? Secara kita disini kan sebulan, kandang ini juga nganggur, rumput disini juga tinggi-tinggi, capek juga kan kalau harus nyabutin tiap hari. Siapa tahu ntar kalau sudah sebulan, anak kambingnya udah radak gede terus kita bisa menyembelihnya dan ngundang tetangga sekitar diupacara penutupan dusun. Itung-itung untuk bersosialisasi dengan warga, bro…” , Ungkap pria yang terobsesi menjadi Jack Separo (semoga ejaan namanya ngga benar) dalam film Pirates of the Caribbean itu dengan logat jawa yang kental namun disini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia guna kebutuhan konsumen.

Gila bener nih orang, ada aja idenya orang yang juga jago untuk mencairkan suasana ini. Merasa seiya sekata dengan mas Alam, beberapa pemuda itu sepakat untuk membawa ide konyol itu dalam rapat pleno dengan penghuni rumah singgah lainnya. Bak presentasi makalah saat kuliah, mas Alam menjelaskan tentang hasrat (bukan hastrat lho mas taqim! Tolong digarisbawahi!) untuk memelihara anak kambing dengan menggunakan bahasa manusia tentunya agar yang lain mengerti (yaeyaalaaaah…).

Sebut saja bunga, 22 tahun (bukan nama samaran, karena penulis lupa dari mulut siapa gerangan muncul kalimat sanggahan itu) yang memberikan argumentasi tentang kekurang setujuannya untuk memelihara hewan yang dapat digunakan untuk berkurban dihari raya idul adha itu. Katanya, memang sih idenya bagus, namun melihat kondisi keuangan kelompok yang hanya mengandalkan iuran dari masing-masing anggotanya, tanpa ada sumbangan dari dermawan atau gelontoran dana dari pihak kampus, nampaknya sulit untuk merealisasikan program tersebut. Intinya, ibarat kata bisa buat makan saja sudah bagus, terus dapat dana dari mana untuk membeli anak kambing, kalau melalui iuran lagi nampaknya sulit karena meninjau kemampuan finansial dari masing-masing anggota kelompok tidak sama, terlebih waktu itu baru saja musimnya selepas PPL, membayar SPP, iuran PKM dan menjelang skripsi (Helooo… kenapa ini penulisnya jadi ikutan curhat colongan yaa?? Namun sayang juga sih dulu ngga ada niatan untuk menggalakkan KOIN UNTUK ANAK KAMBING, yaaaah… siapa tahu, siapa tahu kan bisa sukses kaya KOIN UNTUK PRITA itu lhooo…). Selain itu, dalam jangka waktu sebulan nampaknya tidak akan ada perubahan biologis yang signifikan dari seekor anak kambing (yang ngomong nampaknya pakar perkambingan nasional).

Setelah tarik ulur argumentasi masalah ini seperti orang yang lagi maen layang-layang, akhirnya lahirlah dengan sesar (kalau dalam bahasa inggris tulisan yang bener caesarean, walau radak sotoy juga sih) keputusan untuk mengurungkan niat memelihara anak kambing, yang tentunya dengan berbagai pertimbangan, namun ntah kemarin minjem timbangannya siapa yaa. Akan tetapi, hal itu tidak membuat mas Alam patah arang untuk mengusung tema kambing pada kelompok yang terkenal kekompakannya dan kekocakannya ini (katanya…).

Bermodal komputer dan modem yang dibawa dari rumah, ia mencoba untuk mengotak-atik dunia cyber. Berbicara tentang komputer itu, seperti tidak tega melihatnya, pagi siang sore bahkan malam sekalipun tak henti-hentinya digilir oleh penghuni rumah. Tanpa adanya billing seperti diwarnet membuat kombinasi komputer dan modem itu semakin leluasa untuk dijamah siapapun orangnya (apapun agamanya, apapun warna kulitnya, apapun jenis kelaminnya, hallaaaaah…) dan kapanpun itu. Kalau mempunyai mulut, mungkin komputer itu sudah tereak-tereak sambil ngesot didepan penggunanya minta jam istirahat. Namun sepertinya, komputer itu patut diberi gelar pahlawan tanpa tanda jasa (minjem bentar yaa bapak dan ibu guru) karena dengannya terciptalah grup KAMBING TAMBAN sebagai pelipur lara dan untuk mengenang keinginan memelihara kambing (walau sebenarnya penulis juga sudah mempersiapkan nama grup sendiri sebelumnya untuk kelompok ini, tapi tak apalah, bayangin… daripada doi frustasi dan gantung diri dipohon cabe karena grupnya ngga dipakai kan berabe kan ya?).

Nah, akhirnya tercetuslah nama grup facebook yang menaungi anggota kelompok F PKM STAIN Tulungagung tahun 2013 dengan nama KAMBING TAMBAN sebagai wujud apresiasi akan ekspektasi (lagi, bahasanya sok intelek) untuk memelihara kambing. Mengenai kata TAMBAN, itu merupakan nama dusun lokasi PKM kelompok itu berlangsung. Dusun sejuta kenangan, serta dusun yang didalamnya menyimpan sejuta pesona yang menyibak harmoni kehidupan (sok puitis lu!). Kalau dipikir-pikir easy listening juga nama itu, selain itu juga unik serta makna yang tersirat juga mendalam, daripada untuk mengenangnya harus mengikuti tradisi jaman sejarah dengan membangun prasasti, mending dengan ini aja yang hemat, cermat dan bersahaja (yang ngga pernah ikut pramuka pasti ngga tahu makna kalimat itu). Bayangkan! Untuk membuat sebuah vandel aja harus menggelontorkan dana sebesar tiga belas ribu mata uang Indonesia, apalagi kalau membuat prasasti? Ngga habis pikir berapa habisnya (Naluri ekonomisnya muncul).

“Mbing… mbing… mbing…”
Siapapun Anda, apapun agama Anda, dan apapun suku bangsa Anda, jangan heran, merasa risih atau shock hingga bentur-benturin kepala ketembok jika mendengar anggota kelompok ini memanggil satu sama lain dengan sebutan itu. Sekali lagi, itulah bentuk kekompakan dan solidaritas akan sepenggal ekspektasi yang tidak tercapai. Dan inilah karakteristik yang membedakan kelompok ini dengan kelompok-kelompok lain.


*****************************************************************************


(Cerita ini bukan merupakan fiksi belaka jadi mohon maaf apabila terdapat kemiripan nama, karakter tokoh, tempat atau lokasi kejadian karena itu merupakan suatu kesengajaan yang semata-mata murni untuk menghibur dan pemberian informasi. Sekali lagi, emang disengaja, bray! Dan semoga pembaca tidak mengharapkan cerita ini bersambung, halloooooo… ini bukan sinetron Indonesia yang kejar tayang episode-episodenya, bray! Terimasumbangan, eh terimakasih.)

 
;