Blue Fire Pointer
Minggu, 03 Februari 2013 0 komentar

KUMPULAN DIARY KETIKA HARI-HARI AWAL PKM



Minggu, 3 Februari 2013
                Kupandangi jam dinding yang telah menunjukkan pukul 13.00 WIB, waktu dimana kami yang tergabung dalam kelompok F PKM (Pengabdian Kepada Masyarakat) STAIN Tulungagung sepakat untuk menuju lokasi PKM. Sang langit terasa tak rela melepas kepergianku ke kota yang akrab dijuluki kota tahu taqwa itu. Betapa tidak, gemuruh guntur yang menyambar disertai rintik air hujan menemani perjalananku menuju suatu perempatan dimana aku menunggu jemputan dari teman-temanku. Sesekali angin kencang menghembus dan menerpa motor yang dikendarai oleh abahku itu. Tak ayal baju yang kukenakan basah kuyub oleh air hujan.
                Satu jam, dua jam, tiga jam berlalu dengan tidak terbendung. Tapi tiada pertanda bahwa mobil pick up yang akan menjemputku datang dan hujan akan segera reda. Sesekali kuperiksa handphoneku dengan harapan ada sms dari temanku yang memberikan kejelasan kapan mereka akan melaju menuju lokasi hingga akhirnya kuputuskan untuk sholat ashar dengan baju basah kuyub di aula suatu balai desa. Tepat pukul 17.10 WIB, akhirnya mobil pick up biru yang dengan berisikan tas barang bawaan teman-teman yang tertutupi oleh terpal menghampiriku.
                Setelah beberapa kilometer perjalanan,  laju mobil pick up kami dihentikan oleh sebuah mobil box yang sedang terparkir didepan sebuah warung yang ternyata merupakan mobil yang membawa teman-teman kami yang lain. Setelah meneguk segelas teh hangat dan semangkuk bakso, kami melanjutkan perjalanan. Rintik air hujan masih setia menemani setiap putaran roda pick up itu beserta terdengar kumandang adzan yang berasa saling bersautan.
                Gelap gulita malam dengan bercahayakan lampu redup menyambut kedatangan kami disebuah rumah yang lebih pantas disebut rumah mewah bagi mahasiswa yang mengadakan PKM. Sebuah mushola berdiri dengan kokohnya didepan rumah yang bergaya klasik ala Malaysia, berlantai keramik, tiga kamar tidur dan ruang tamu serta dapur yang luas itu. Tiba-tiba si handphone mungilku bergerak-gerak seraya ada yang memanggil dan muncullah nama iva yang tengah panik karena tersesat.
“Diq, aku keri neng mburi kilo, entenono neng pinggir ndalan” Suara iva terdengar dari handphoneku dengan menggunakan bahasa jawa yang kebingungan setelah mengitari jalan desa.
Menit demi menit mengikuti rute yang perlu dilalui, akhirnya iva dan seorang temannya datang dengan mengendarai sepeda motor beat biru yang tentunya dengan nada kesal karena telah ditinggalkan dibelakang. Aku hanya bisa tersenyum meledek mereka dan segera kuambil air wudhu yang dilanjutkan dengan menjalankan kewajibanku kepada Sang Kholiq yang entah tinggal beberapa menit lagi alokasi waktunya telah usai. Rumah yang lama tak berpenghuni karena telah lama ditinggal penghuninya merantau ke negara Malaysia itu masih  berantakan dengan barang-barang bawaan yang tidak ada bedanya dengan camp pengungsian korban bencana banjir di Jakarta. Muka-muka kelelahan terpancar dari setiap teman-temanku setelah menempuh perjalanan.
Disaat kami sibuk merapikan barang-barang kami, bapak kepala dusun mengunjungi kami beserta bapak kepala RT. Dialah orang yang mencarikan lokasi tempat singgah kami selama mengadakan PKM.
“Omah iki uis sui ora dinggeni mas, wonge kerjo neng Malaysia, lek saman butuh opo-opo ojo sungkan matur teng nggonku utowo pak RT iki, iku lho omahe pak RT etan omah pas. Omah iki layak dinggoni, kamare cukup, sanyone kenek, enek TVne, lan enek peralatan dapur sing iso digawe tapi tulung ojo mbukak isi lemari. Saman yoo iso melu neng kegiatan sing ono nek dusun iki, ono tahlilan, yasinan, diba’an, berjanjen lan akeh liyane. Pokok saman melu ae”. Kata Pak Kasun memberikan arahan dengan logat jawa yang kental dan sebuah rokok ditangan kanannya serta sesekali meneguk kopi yang kami suguhkan.
Perbincangan semakin hangat dengan asap mengepul memenuhi seluruh ruangan. Bapak-bapak itu menerangkan seluk beluk desa ini dengan sesekali bercanda hingga tak terasa malam kian larut dan mereka memutuskan untuk kembali ke rumah. Aku yang terlalu capek dan kedinginan segera mencari tumpukan kapuk dan rebahan disebuah tikar.
Beberapa pertanyaan menyeruak dibenakku, mengapa kami tidak boleh membuka lemari itu? Apakah kami akan juga diberikan sambutan yang hangat oleh masyarakat sekitar dengan beberapa kegiatan itu? Apakah budaya berbincang hingga larut malam dengan ditemani rokok dan segelas kopi seperti dikotaku juga sering dilaksanakan oleh warga sekitar?



Senin, 4 Februari 2013
                Bergegas aku terbangun mendengar suara anak kecil yang membangunkan tetangga sekitar dengan menggunakan microphone mushola didepan tempat singgahku. Sejenak aku terkagum dibuatnya karena disaat orang lain masih terlelap tidur, anak sekecil itu telah menyusuri jalanan dari rumahnya menuju mushola seorang diri yang bahkan mungkin orangtuanya masih bertemankan selimut dikamarnya. Ia lantunkan beberapa bait dengan suara lantang memenuhi semua ruang kosong udara dipagi yang sunyi itu. Kukenakan baju koko dan sarung lalu menuju mushola yang hanya beberapa jangkah dari rumah yang kudiami dengan penuh rasa penasaran siapa gerangan anak tersebut. Ternyata dia memang seorang anak yang sudah terbiasa melakukan hal tersebut setiap paginya.
                Laporan kepada Sang Pemberi Kehidupan telah ditunaikan dengan aman terkendali tapi nampaknya tubuh ini terasa masih gontai berjalan kembali ke rumah mewah itu, imbas dari perjalanan yang melelahkan dan menjenuhkan kemarin. Mataku langsung tertuju pada sebuah sofa panjang diruang tamu yang terasa melambai untuk mengajak berlayar kealam mimpi kembali. Namun malang tak bisa ditolak, seorang teman mengingatkan untuk melaksanakan  program kelompok pertama kami yakni senam pagi. Dihalaman rumah yang masih dipenuhi rumput liar yang masih masih basah akibat hujan semalam dan beberapa kerikil itu kami melaksanakan pemanasan. Fitri selaku instruktur dadakan itu terkesan masih canggung memberikan gerakan senam sampai kami seperti ogah-ogahan dalam menjalankannya.
                Matahari mulai bangkit dari peraduan, setelah merasa cukup dalam pemanasan kami lanjutkan dengan jalan kecil menuju suatu jalan lurus menanjak dengan beberapa pohon tumbuh disampingnya hingga kami menjumpai perempatan yang apabila kami belok kekanan akan menjumpai sebuah pemakaman keramat yang saking keramatnya dijadikan nama sekolah sepakbola didaerah itu. Girisari, begitulah penduduk sekitar menyebutnya, namun kami memutuskan untuk berjalan lurus saja. Beberapa ibu-ibu tengah bercengkrama dengan putra-putri mereka yang kemudian kami sapa dengan hangat.
                “Mas, mbak, monggo mampir. Mlampah-mlampah wonten daerah mriki nggih, kersane sehat? ”  Kata seorang ibu yang tengah menyapu dihalaman orang.
                “Nggih buk, meniko mahasiswa PKM ingkang wonten kegiatan wonten daerah ngandap celak musholanipun pak marjani mriko” Jawab salah seorang dari kami.
                Jarum jam dinding menunjukkan pukul 06.00 WIB, setelah istirahat sebentar melepas lelah dihalaman depan, beberapa kami bekerja bakti mencabuti rumput, menata rumah dan memasak didapur. Sinar matahari pagi kian panas menyengat kulit dan keringat semakin mengucur dengan deras.
                Dipagi yang hangat itu kami teringat untuk mengikuti upacara pembukaan di aula SD Mojo. Dengan berkendara motor vega R milik mas Huda kususuri jalanan pagi itu dengan seorang teman. Setelah melewati sebuah pasar yang cukup ramai waktu itu kami mendapati beberapa mahasiswa STAIN Tulungagung berdiri diluar aula dengan mengenakan jaz almameter kebanggaan mereka. Terpancar aura semangat dari mereka dengan senyum sapa jika mendapati teman yang mereka kenal akrab.
                Kulihat jam handphoneku yang menunjukkan pukul 09.30 WIB, yang padahal menurut undangan upacara dimulai 30 menit sebelumnya. Bapak dan ibu dosen pembimbing lapangan memasuki ruangan dengan diikuti ketua STAIN Tulungagung dan sekretaris camat beserta stafnya. Pikirku, dimana bapak camat? Usut punya usut, beliau tengah mengikuti rapat koordinasi dengan Bupati Kediri mengenai salah satu jembatan didaerah yang terputus.
                Dengan khidmat upacara berlangsung, serah terima antara kedua belah pihak pun terjadi, dan ditutup dengan perbincangan hangat dengan dosen pembimbing lapangan masing-masing. Tapi kemana dosen pembimbing lapanganku? Ternyata beliau yang asli kota Malang tidak dapat hadir karena beliau mendapat informasi kalau jalan yang ia lalui merupakan jembatan yang terputus itu.
                Jam seraya berputar dengan cepat hari ini, tak terasa sekitar pukul 16.00 WIB pun tiba, waktu dimana perwakilan kelompok yang bernaung didesa Kedawung untuk mempersiapkan upacara pembukaan di kantor desa. Disepakati struktur kesepakatan, sie humas, sie konsumsi, sie acara serta sie dekorasi dan dokumentasi yang kemudian kelompok F mendapat tanggungjawab di sie acara serta sie dekorasi dan dokumentasi. Semua dana ditanggung bersama oleh empat kelompok yang berada didesa itu.
Senja telah menyergap dan tak disangka satu kompi anak-anak menyerbu posko kami, entah muncul dari mana segerombolan anak-anak yang datang tak dijemput dan pulang tak diantar itu. Mereka menodong kami dengan buku-buku mata pelajaran untuk belajar bersama. Malam itu rumah bak dipenuhi lautan anak kecil bersama berbagai pertanyaan ala bocah.
Setelah isya’, beberapa bapak mendatangi mushola untuk mengaji bersama salah seorang ustadz. Beliau adalah utusan divisi hubungan masyarakat dari pondok Ploso. Seorang yang dengan santai menjelaskan tentang arti filosofi suatu kehidupan meski beberapa kami tergoda syaithon dengan hawa kantuk yang kian kuat menghinggapi. Sesi terakhir adalah tanya-jawab yang lebih mengakrabkan kami. Seusai mengaji, kami masih bercengkarama sambil menghabiskan kopi yang disiapkan oleh istri pak Marjani.
Mas, pomo mahasiswa KKN iki ninggali asbak limo ae paling og jan tepak, ngene iki jan butuh banget, mbien tau mahasiswa opo tho kae IKIP opo UNP Kediri sing KKN neng kene ninggali white board iku lho”, Kata salah seorang dari mereka sambil menunjuk pada sebuah white board yang bertuliskan KKN UNP Kediri tahun 2010 dibagian pojok kanan bawah.
                Hari ini luar biasa, namun mengapa anak itu begitu semangat sebelum subuh telah berada dimushola? Dimana rumahnya? Bagaimana latar belakang keluarganya? Seiring bergulirnya waktu, upacara itu menyisakan sebuah pertanyaan, mengapa sebuah jembatan bisa roboh? Apakah mungkin karena terjadi abrasi? Selanjutnya, bagaimana bisa muncul beberapa anak kecil yang meminta diajari oleh kami? Apakah mereka sudah familiar dengan dunia KKN dan program-programnya sebelumnya? Dan yang terakhir, apakah sering bagi setiap mahasiswa KKN untuk meninggalkan kenang-kenangan berupa fisik?



Selasa, 5 Februari 2013
                Pagi kedua dirumah ini masih diawali suara lantunan anak kecil yang setelah kuselidiki ternyata bernama Hisyam, seorang santri yang biasa mengaji di mushola itu. Beberapa ibu-ibu dan bapak-bapak memecah keheningan pagi dengan saling bertegur sapa menuju mushola yang didepannya terpasang sebuah name board yang agak usang bertuliskan “An Nuur” itu. Suara adzan pun bersautan diseluruh penjuru desa dan diikuti iqomah yang menyejukkan qolbu bagi siapapun yang mendengarkannya.
                Walau masih dihinggapi kemalasan ditubuh orang-orang penghuni rumah, senam pagi kami laksanakan dengan aku sebagai instrukstur. Menggerakkan kepala, tangan, kaki dan seluruh tubuh menjadi santapan pagi ini. Anwar dan Fuadi, dua anak tetangga sekitar yang semula malu-malu meong akhirnya nimbrung bersama kami. Pagi itu kian hangat dengan sinar matahari pagi dan kami lanjutkan dengan jogging menuju sebuah persawahan yang terlihat masih asri. Ritual anak muda yang tidak bisa dipungkiri yakni mengambil beberapa foto merupakan agenda kami ditempat itu.
                Dalam perjalanan pulang, kami bertemu pak Katimin, seorang yang kutemui semalam dipengajian. Dia juga terkenal sebagai qori’ apabila terdapat undangan walimahan atau agenda didusun itu.
                “Monggo mas mampir, nggih niki omah kulo, cilik tapi asri. Menawi badhe ningali pembuatan tasbih nggih wonten lho mas. Kata pak Katimin yang akan mengantar putranya sekolah.
                Dusun Tamban memang terkenal sebagai penghasil tasbih, alat yang akrab digunakan ketika berdzikir itu. Namun kini pengrajinnya bisa dihitung dengan jari terkikis oleh laju peralatan modern dalam proses pembuatannya. Pak Katimin merupakan salah satu pengrajin tasbih yang masih tersisa didusun itu selain disibukkan merawat beberapa ekor sapi dikandangnya.
Sore pun tiba, kami menjalankan program kami selanjutnya yakni silaturahim kerumah tetangga sekitar. Rumah demi rumah kami masuki, hingga ingatanku terpusat pada suatu rumah yang didiami oleh sepasang kakek dan nenek renta. Sang kakek bekerja serabutan dan sang nenek  hanya tinggal dirumah. Ironis, beberapa hari yang lalu nenek itu baru saja ditabrak oleh motor hingga beliau harus menerima hadiah beberapa jahitan ditangan dan kepalanya. Fungsi kerja mata yang kian berkurang karena faktor usia, menambah penderitaan si nenek yang mengenakan baju khas jawa itu.
Iki ngunu mripatku ora kethok mas, ditambah dek wingi bar dioprasi bar ketabrak. Neng omah yoo dewean karo bapak’e kui, anak putune uis nduwe omah dewe. ”, Ungkap nenek yang ketika itu duduk disebuah kursi tua berbandinglurus dengan usia nenek itu.
Malam menjelang, serbuan dari anak-anak itu mendatangi kami lagi. Hanya saja, lebih terorganisir den?gan pengklasifikasian berdasarkan jenjang pendidikan masing-masing. Dengan semangat, mereka mengikuti arahan dari kami. Tiga orang adik belajar bersamaku tentang mata pelajaran bahasa inggris. Beberapa vocabulary menjadi santapan kami malam ini dan ditutup dengan evaluasi meski mata ini kian berat untuk dibuka membahas kegiatan, konsumsi, target kedepan, dan alokasi dana.
                Beberapa hal yang masih mengganjal dibenakku adalah mengapa industri tasbih  yang sempat jaya kini kian menghilang oleh arus modernisasi? Mengapa pak Katimin masih kukuh dengan mata pencahariaannya dengan membuat tasbih? Serta mengapa kakek nanek serenta itu tinggal sendiri? Dimanakah putra-putri mereka?



Rabu, 6 Februari 2013
                Setelah melakukan sholat subuh seperti biasa, rencana dadakan muncul untuk mengadakan yasin tahlil dengan anggota kelompok sebagai kulo nuwun terhadap rumah yang telah tiga hari ini kami diami. Dan yang bertindak sebagai imamnya adalah mas Huda dengan diikuti teman-teman semua. Lantunan kalimat toyibah menambah suasana khidmat dirumah itu.
                Rumput-rumput didepan mushola terlihat melambai-lambai ingin disapa, beberapa dari kami untuk memotongnya dan membersihkan halaman mushola. Cangkul, sabit, serta sebuah kereta dorong menjadi sahabat kami dipagi itu dan semakin lengkap dengan teh hangat. Betapa keakraban kembali terjalin dengan agenda ini.
                Setelah sang surya berada diatas kepala, segera kuketik sms untuk dikirimkan keseluruh anggota yang berisi tentang undangan rapat koordinasi kelompok berdasarkan masing-masing  divisi. Divisi sosial ekonomi, divisi sosial budaya, divisi sosial agama, dan divisi sosial pendidikan bersiap memberikan laporan dari hasil observasi selama ini. Divisi sosial ekonomi memberikan laporan mengenai potensi ekonomi dan mata pencaharian yang ada didusun Tamban.  Divisi sosial budaya mengkritisi beberapa ritual dan karakteristik warga sekitar. Divisi agama mengklarifikasi program kerja yang akan diaplikasikan selama pelaksanaan Pengabdian Kepada Masyarakat. Divisi Pendidikan sharing rencana mereka mengajar di Madrasah Ibtidaiyah dan Bimbingan Belajar. Sinergi dan chemistry kian meningkat dengan adanya pertemuan tersebut.
                Suara ashar merebak diseluruh penjuru Tamban dan inbox handphoneku pun mendapat pesan baru. SMS itu dari Alex Yohana Husna, ketua panitia upacara pembukaan di balaidesa Kedawung. Orang itu mengajak perwakilan dari kelompokku untuk membahas persiapan pembukaan. Balaidesa, tempat yang tidak cukup besar dan terletak disebelah pasar jatimalang itu adalah tujuan kami selanjutnya. Diaula yang telah terpasang beberapa baris kursi dan meja yang walau masih acak-acakan itu kami mengkaji ulang laporan dari masing-masing sie. Kelompokku yang bertugas di sie dekorasi dan dokumentasi segera memasang banner di tembok depan. Kuteringat bahwa undangannya belum juga disebarkan dan segera kudatangi rumah pak RT, mas Iyut yang sedang tak pekerjaan menawarkan diri untuk membantu menyebarkan undangan yang kehabisan amplop itu kepada orang yang berhak.
                Menjelang maghrib, silaturahim kepada tetangga sekitar adalah agenda kami berikutnya. Aku yang belum sholat dan bersih diri meminta temanku untuk menghandle kegiatan tersebut. Tetangga bagian barat rumah singgah kami menjadi tujuan utama kami. Meski hanya segelintir rumah, namun diharapkan dengan hal tersebut dapat mempererat kekerabatan antara kami.
                Mengapa rumput-rumput dengan leluasa tumbuh subur dihalaman mushola? Apakah tidak ada orang yang bertanggungjawab akan kebersihan mushola itu? Mengapa mas Iyut dengan besar hati mau membantu kami? Apakah budaya saling menolong dan gotong royong sudah menjadi tradisi di dusun ini?



Kamis, 7 Februari 2013
                Pagi ini berjalan seperti pagi-pagi biasanya, si Hisyam yang sudah siap dengan microphone ditangan menjadi semakin familiar ditelingaku dan berlanjut dengan siraman rohani dari mas Huda seolah tak ada yang spesial hari ini. Namun setelah pukul 07.00 WIB, kesibukan dimulai. Betapa hari ini akan menjadi hari yang melelahkan dengan segudang kegiatan yang siap menanti.
                Diawali dengan persiapan upacara pembukaan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) STAIN Tulungagung di Balaidesa meski pada akhirnya agenda yang dijadwalkan pukul 09.00 WIB itu akhirnya diundur hingga pukul 10.00 WIB karena menunggu beberapa orang sesuai tradisi molor bagi orang-orang Jawa atau bahkan Indonesia.  Upacara itu dihadiri oleh tiga orang pembimbing lapangan PKM, bapak kepala desa, staff pemerintahan desa, tokoh masyarakat yang diwakili oleh beberapa orang dari masing-masing dusun serta mahasiswa STAIN Tulungagung yang mengadakan PKM di desa Kedawung.
                Acara tersebut dimulai dengan lantunan ayat suci Al Qur’an oleh mas Huda, pria yang memiliki perawakan subur itu. Betapa lantunan ayat suci itu dapat menyejukkan qolbu bagi siapapun pendengarnya. Selanjutnya, Bapak Zaini sebagai perwakilan dari Dosen Pembimbing Lapangan memberikan sambutan. Beliau menyampaikan tentang maksud kedatangan mahasiswa STAIN Tulungagung ke daerah itu, pola kerja PKM dan sedikit dibumbui dengan promosi kampus yang disampaikan dengan beberapa humor.
                “Mahasiswa PKM itu bukan malaikat yang dapat membagikan rizqi, jadi mahasiswa itu tidak mampu kalau diminta untuk membangun gedung, jembatan, jalan dan infrakstruktur desa. Terlebih,bapak-bapak dan ibu-ibu jangan terjajah oleh Mahasiswa, yang pantas dan layak berada didepan itu panjenengan-panjenengan semua, sedangkan mahasiswa itu hanya mengawal dari belakang”, Tutur beliau dengan tegas.
                Bapak H.Khoirudin selaku kepala desa menerima mahasiswa PKM STAIN Tulungagung dengan senang hati. Beliau juga memberitahukan bahwa desa Kedawung telah sering digunakan untuk KKN, dimulai dari UNP Kediri, STAIN Kediri, Tribhakti, hingga salah satu universitas asal kota pahlawan yang  terdapat mahasiswa dari Belanda, Korea, dan Jepang. Beliau juga memperkenalkan diri beserta jajarannya yang duduk dideretan kursi paling depan. Upacara itu ditutup oleh doa dari pak modin desa kedawung.
                Menjelang siang, dosen pembimbing lapanganku yang tidak bisa mengikuti upacara pembukaan dibalaidesa karena harus menguji dikampus datang dengan mas Awang, pria jurusan Muamalah itu. Teman-teman menyambut beliau dengan senang hati bak anak ayam yang menemukan induknya. Setelah melepas lelah dengan perbincangan ringan, beliau menanyakan tentang program yang telah dijalankan selama beberapa hari ini. Suasana semakin akrab dengan suguhan yang ada. Sebelum kembali ke kota Malang, beliau menyempatkan diri untuk mengunjungi rumah bapak RT yang tepat berada di sebelah timur rumah itu. Kebetulan disana terdapat bapak kepala dusun dan bapak ketua RW yang sedang bermusyawarah masalah pembagian E-KTP.
               


Senin, 11 Maret 2013
                Hawa dingin merebak keseluruh tubuh ketika mata ini terbuka, seperti biasa anak itu mengawali pagi ini dengan membangunkan warga sekitar melalui alunan suara merdu dari speaker mushola mungil yang dibangun sekitar sepuluh tahun yang lalu itu. Bergegas kudatangi sumber suara itu dan menjalankan kewajibanku kepada Sang Pemberi Kehidupan. Setiap roka’at kujalankan dengan mata yang masih lengket namun apapun itu harus segera kulawan demi agama yang telah lama kupegang teguh.
                Waktu bergulir, bulir-bulir hujan mulai membasahi bumi pertiwi ini. Ini merupakan suatu anomali yang muncul setelah beberapa hari yang lalu ada yang seseorang yang berceloteh,
                “teplok mas-mas lan mbak-mbak KKN neng kene kok ora tau udan yoo…
Udara sejuk pagi hari dan gemericik air hujan menemani kultum pagi ini yang disampaikan oleh Mas Huda,seorang mahasiswa program studi tafsir hadist asli kota yang memiliki slogan “Bersinar Terang” itu. Pagi ini diawali dengan kajian seputar nashab baginda nabi agung Muhammad dan beberapa analogi tentang kehidupan. Dan kultum pagi ini ditutup dengan sesi tanya-jawab yang menyangkut problematika sehari-hari.
It’s time to have gym, namun seperti hari-hari sebelumnya, bantal-bantal itu nampaknya lebih menarik hati dibanding pesona kesehatan yang ditawarkan dari senam dan jalan-jalan pagi. Mas Mustaqim, satu-satunya orang dirumah itu yang merasa tertantang untuk melawan dinginnya pagi karena guyuran air hujan dengan intensitas rendah itu. Kami pun memutuskan untuk menyusuri jalanan sekitar Dusun Tamban dengan penuh semangat membara seperti lagunya Bang Haji yang Darah muda itu.
Langkah demi langkah terlampaui hingga tak terasa batas dusun pun terlewati. Nampak dari kejauhan sebuah posko mungil yang tak lain adalah milik teman kami yang sementara berdomisili di dusun Jatimalang. Riuh rendah suara penghuni posko ketika kami menginjakkan kaki didepan pintu bak saudara jauh yang lama tidak bertemu. Mereka sibuk dengan aktivitasnya masing, beberapa mahasiswi menyibukkan diri didapur, bersenam jari dengan handphone ditangan, menonton setiap gambar yang bergerak dilayar kaca, serta bercengkrama. Mas Arif, menyapa kami berdua dan terciptalah suatu forum kecil didepan rumah yang merupakan tempat tinggal bapak RT itu.
Pie mas PKM’e? uis enek kegiatan opo ae?” Tanyaku penasaran kepada ketua kelompok itu.
Halah… yooo iki mas, sek ubek karo silaturahim lan mbahas transect sementara, bar iki yoo mbahas kegiatan lan masalah-masalah sing muncul. Oh iyo, krungu-krungu kelompok sing bagian kidul kono uis disambangi P3M lho, daerah’e dewe kapan yo?” ungkap pria yang yang fasih mengucapkan huruf “s” itu.
Lek  ngunu paling yoo dalam wektu seminggu iki. Tapi susah’e ki lek pas nyampek posko pas ora enek wong, kan wayah KHS-an tho, dadi iki akeh sing ongak-ongak kampus. Lha pie, lek ngga melu pemrograman studi ora iso melu skripsi lho.”. Sahutku.
“Yowes dilakoni ae mas, tapi pomo ngga bareng-bareng ngene paling og luwih apik”. Tambahnya.

Matahari tak kunjung menampakkan dirinya namun kami merasa sungkan kalau terus berada ditempat itu, takut dipaksa untuk sarapan. Kami melanjutkan langkah untuk kembali menuju posko yang telah selama seminggu ini kami diami. Disuatu perempatan jalan terlihat seorang mahasiswa PKM juga yang tengah istirahat setelah puas berjalan menuruni wilayahnya yang terkenal diujung selatan desa itu. Beberapa menit bercengkrama, teman-teman dari dusun lain datang untuk mengisi galon dan terciptalah kehangatan di pagi itu dengan saling sharing pengalaman dari masing-masing  kelompok.



 
;