MENEMUKAN
POWER PADA BUKU YANG BERNAMA THE POWER OF WRITING
Oleh : Mohammad
Khadziqun Nuha
Judul
Buku : The Power of Writing
Pengarang : Ngainun Naim
Penerbit : Lentera Kreasindo
Tahun
Terbit : 2015
Tempat
Terbit : Yogyakarta
Tebal
Buku : 230 halaman
The
Power of Writing, sebuah masterpiece
dalam bentuk buku yang merupakan manifestasi nyata seorang pegiat
literasi yang ingin menyebarkan virus positif semangat untuk menulis bagi semua kalangan. Membaca
judul dari buku ini, akan muncul hipotesa dalam benak kita bahwa ini merupakan
sebuah buku yang menggunakan bahasa dari negara Queen Elizabeth dengan
berjuta-juta vocabulary yang asing ditelinga orang yang mendiami tanah
nusantara ini. Namun, asumsi kita akan langsung terbantahkan manakala kita
membuka lembar tiap lembar awal dari buku ini. Bapak Ngainun Naim ingin
menyibak betapa dahsyat-nya kekuatan yang akan muncul ketika menulis.
Menulis
(dan juga membaca) merupakan ketrampilan mendasar yang wajib dimiliki setiap
individu ketika mengenyam bangku pendidikan. Dengan dua ketrampilan tersebut,
seseorang dapat mengembangkan pengetahuan, kemampuan, dan wawasan untuk
meningkatkan kualitas dan kapasitas diri. Namun menulis disini tidak hanya
sekedar rewriting segala yang ada di buku maupun yang diungkapkan
seseorang. Lebih dari itu, menulis dalam makna yang sama dengan mengarang atau
memproduksi huruf, angka, nama dan suatu tanda kebahasaan apa pun dengan alat
tulis pada suatu halaman tertentu. Menulis merupakan suatu cara untuk
mengorganisasikan gagasan-gagasan dan menjernihkan konsep-konsep. Biar
bagaimanapun juga, menulis itu berbeda dengan berbicara yang lepas dari unsur coherence
dan cohesion serta bebas. Menulis itu tidak sebebas itu, menulis itu
memerlukan kejelasan argumentasi, diksi yang tepat, keruntutan alur, serta
persyaratan lainnnya.
Jika
dihubungkan dengan teori komunikasi, menulis merupakan proses penyampaian message
melalui bahasa tulis. Tulisan sendiri pada dasarnya juga merupakan salah
satu wahana komunikasi massa. Oleh karena itu, agar komunikasi tersebut dapat
berjalan dengan baik, seorang komunikator (dalam hal ini seorang penulis) harus
melakukan perencanaan, perumusan dan penyusunan tulisan sedemikan rupa sehingga
pesan yang ingin disampaikan dapat komunikatif.
Passion
menulis ada kalanya fluktuatif tergantung mood seseorang. Penulis
yang moodie seperti ini akan memiliki semangat yang menggebu-gebu ketika
mengikuti seminar menulis maupun sedang membaca buku semacam ini. Namun, ketika
mood sedang tidak baik maupun dalam kondisi sibuk, spirit menulis itu akan
menurun atau bahkan hilang sama sekali. Menjalankan aplikasi google chrome, mozilla
firefox, winamp, GOM player, game dan
sebagainya lebih menarik daripada membuka Microsoft Word dan menuliskan
segala buah pikiran kita dalam bentuk bahasa tulis. Bapak Naim, menyebutkan
bahwa tidak ada manusia yang memiliki spirit dan emosi yang stabil dalam
menulis. Namun terdapat perbedaan yang fundamental untuk knock chalk from
cheese antara dua klasifikasi penulis dalam menyikapi kondisi tersebut. Penulis
pemula akan cenderung pasif, pasrah pada keadaan serta menanti datangnya
momentum yang tepat untuk menulis. Sedangkan, penulis besar tidak akan
larut dalam kondisi tersebut manakala ghirah menulis sedang menurun. Ia
akan berusaha mencari jalan keluar untuk mengatasi hal tersebut.
Banyak
manfaat yang akan diperoleh dari menulis. Pertama, menulis dapat
meningkatkan ide-ide baru. Semakin banyak menulis, semakin mudah pula kita akan
mendapatkan gagasan-gagasan baru. Kedua, menulis dapat membantu
mengorganisasikan gagasan-gagasan dan mendeskripsikannya dengan baik karena
menulis berbeda dengan berbicara. Ketiga, menulis dapat melatih kita
untuk lebih teliti dalam menyampaikan gagasan. Dalam arti, setelah kita selesai
menulis dapat mengevaluasi ulang tulisan kita yang “layak tayang”. Keempat, menulis
dapat membantu kita menyerap dan mengolah informasi lebih mendalam. Kelima, menulis
dapat membantu menyelesaikan masalah dengan menguraikan elemen-elemen masalah
dalam bentuk tulisan. Keenam, menulis dapat dijadikan bahan refleksi
yang aktif dibandingkan dengan penerima informasi yang pasif.
Banyak
cara yang bisa digunakan untuk meningkatkan writing skill. Bapak Naim
menyebutkan bahwa SMS, twitter, blog, kompasiana, status facebook serta situs
jejaring sosial yang lain dapat berpengaruh apabila kita jeli dalam
memanfaatkannya. Taruhlah status facebook, apabila kita membuat status layaknya
sebuah artikel yang diberi judul dan tidak hanya membuat status pendek yang lebay,
mengeluh atau laporan posisi, kita akan dapat memperoleh manfaat dari kegiatan sepele
itu. Bapak Naim menyebutkan, manfaat yang dapat kita raih adalah pertama,
mempererat tali silaturrahim. Kok bisa? Ya, karena dengan menulis status,
kita akan bertemu banyak orang yang akan menanggapi status kita, secara tidak
langsung hal itu akan memupuk tali persaudaraan. Bayangkan kalau sebulan kita
tidak menulis status, akun facebook kita akan terasa dihinggapi sarang
laba-laba karena tidak ada yang berkunjung dilapak kita. Kedua, merawat
tradisi menulis. Dengan konsisten membuat status yang bermanfaat difacebook,
berarti kita sedang menulis dengan seni yang berbeda. Karena menulis itu tidak melulu
harus dengan suatu hal yang menjenuhkan, hal yang out of the box seperti
ini dapat meningkatkan semangat menulis kita. Ketiga, membuat status juga
bentuk ibadah. Apabila pembaca status kita dapat mengambil hikmah dari apa yang
kita bagikan, itu juga termasuk sedekah implisit kita kepada pembaca. Sejauh
ini, manfaat itu juga reviewer rasakan sebagai aktivis didunia maya.
Selain
facebook, beliau juga menggunakan blog dalam menyebarkan semangat menulis.
Bahkan, beliau termotivasi dari seorang buruh migrant yang bernama Sri Lestari.
Sebagai orang yang merasakan manfaat menulis, beliau ingin “mempermalukan”
teman-teman yang punya banyak potensi dan peluang menulis melebihi Sri Lestari
tetapi belum menulis. Sri Lestari yang (maaf) babu saja bisa, mau dan mampu
menulis masak kaum yang lebih terpelajar tidak bisa? Ini merupakan sentilan
halus kepada kita para mahasiswa yang digadang-gadang sebagai calon penerus
generasi bangsa namun miskin tulisan yang kita produksi. Kesulitan menulis
biasanya dikarenakan “jam terbang” menulis yang belum tinggi. Membuat blog
merupakan sarana untuk meningkatkan “jam terbang”. Semakin sering blog diisi,
semakin terlatih menulis.
Dalam
menulis juga diperlukan konsistensi serta tidak ada kata pensiun untuk menulis. Menurut Prof. Dr. Mulyadhi
Kartanegara, kalau kita tidak menulis satu halaman pun selama bertahun-tahun,
maka tidak perlu heran kalau kita tak pernah maju dalam ilmu. Beliau tidak
hanya berteori, telah banyak karya yang telah beliau hasilkan yang dapat
merawat tradisi menulis. Menulis yang baik membutuhkan proses yang panjang
serta perlu ketekunan dan kesabaran sehingga menghasilkan tulisan yang
berkualitas. Writing is like riding a bicycle. To keep your balance, you
must keep moving.
Orisinalitas
dalam menulis menjadi aspek penting yang harus diperhatikan agar tidak terjebak
pada plagiasi. Banyak kasus di Indonesia yang mencoreng wajah dunia pendidikan.
Jika kita berani untuk jujur, plagiat kian marak bahkan menjadi habitus. Kasus
yang muncul dimedia massa hanya contoh kecil dari realitas yang ada. Untuk
menjadi penulis yang berkualitas diperlukan proses dan waktu yang tidak
sebentar serta komitmen untuk tidak melakukan plagiat.
Pada
bab II dari buku ini disebutkan motivasi menulis. Write or die, sebuah
ungkapan yang memberikan semangat kepada para writer agar terus
berkarya. Saat menulis kita sedang berusaha mempertahankan eksistensi diri.
Pada bab ini juga disebutkan keajaiban dari menulis menurut Omjay, diantaranya
keuntungan financial, undangan sebagai pembicara, memiliki banyak teman, dapat
membeli peralatan penunjang, rekam jejak yang ajaib, serta memberikan inspirasi
orang lain untuk menulis.
Masih
pada bab II, Bapak Naim menyebutkan bahwa penulis itu “makhluk langka”, dalam
arti mereka yang mau menekuni dan mengembangkan ketrampilan menulis dalam
bentuk apapun dan dilakukan secara terus menerus jumlahnya sangat sedikit.
Bahkan dikalangan akademisi kian berkurang padahal sesungguhnya ketrampilan
menulis sangat penting sehingga sebagai “makhluk langka”, penulis harus
diawetkan dengan cara merawat ketrampilan menulis. Menulis harus ditradisikan
secara masiv. Banyak yang ingin bisa menulis namun terhenti sebatas keinginan
belaka sementara bukti tulisan sendiri tidak pernah terwujud. Perlu ditumbuhkan
semangat pantang menyerah atas setiap hambatan dalam menulis. Hambatan tersebut
diantaranya, pertama, ingin menulis tapi tidak tahu bagaimana
memulainya. Kedua, sudah mulai menulis namun baru beberapa kata berhenti
karena pikiran buntu. Ketiga, memiliki kemampuan menghasilkan karya
namun tidak memiliki motivasi untuk menulis. Keempat, putus asa karena
karya tidak dihargai. Menulis itu pada dasarnya tidak mudah, diperlukan
mentalitas tahan banting agar dapat tetap bertahan. Menulis juga memerlukan
komitmen untuk menjaga, mengelola dan mentransformasikan semangat dalam diri.
Selain
itu, seharusnya kita juga harus menghindari untuk menutup diri, namun mulailah
berjejaring. Dengan berjejaring akan meningkatkan mutu seorang penulis. Menurut
Emcho, mengapa kita harus berjejaring karena pertama, penulis memerlukan
pembaca, dan dari sekian banyak pembaca pastilah terdapat penulis lain. Dengan
berkolaborasi jumlah pembaca seseorang dapat berlipat ganda. Kedua, dengan
berjejaring penulis dapat berbagi pengetahuan, pengalaman, strategi penerbitan,
strategi pemasaran serta feedback lainnya. Ketiga, penulis perlu
jejaring yang saling mengangkat. Keempat, mengangkat posisi tawar
penulis. Kelima, dengan jejaring yang kokoh sehingga dapat melakukan
pembelaan secara bersama dan klasikal terhadap individu atau komunitas yang
teraniaya dan terancam posisinya. Keenam, dapat menulis secara
bersama-sama dengan jejaring.
Berbicara
mengenai kelebihan dari buku ini, terdapat beberapa yang ingin reviewer
sampaikan. Pertama, penulis selalu mengelaborasi gagasan dengan bahasa
yang mudah dicerna bagi seluruh kalangan, baik kaum yang berpendidikan maupun
yang tidak tuntas dalam menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu. Melalui
bahasa yang easy listening, lugas dan tegas, penulis yang konsisten
menulis di timeline situs jejaring sosial dengan Mark Zuckerberg sebagai
founding father-nya dengan jargon “Ini catatanku, mana catatanmu?” ini
ingin mengupas tuntas kekuatan pikiran, kekuatan perkataan, kekuatan perasaan
serta kekuatan perbuatan ketika menulis. Paparan ide dengan gaya bahasa yang
santai menjadi ciri khas beliau sehingga kita tak harus mengerutkan dahi dan
memegang dagu untuk memahaminya.
Kedua,
penulis berusaha menyajikan contoh konkret, orang yang berhasil
melalui bahasa tulis. Tak lepas, nama seperti Hamka, Ali Audah, Imam Ghozali,
Pramoedya Ananta Toer, Hernowo, M. Fauzil Adhim, Mulyadhi Kartanegara,
Jalaludin Rakhmat, Andrias Harifa, Anwar Holid, Yudian Wahyudi, N. Mursidi, The
Liang Gie, Wawan Susetya, Zara Zettira ZR, Krishna Mihardja bahkan seorang
buruh migrant yang bernama Sri Lestari yang sukses dalam dunia blog juga tak
luput menjadi bidikan tulisan beliau sebagai tokoh inspiratif yang membuat beliau termotivasi mengembangkan
writing skill. Hal ini penting, manakala kita ingin bergelut dengan
dunia kata, menggerakkan jemari untuk menulis serta memperoleh seni menulis itu
sendiri, kita dapat belajar dari kegigihan tokoh-tokoh tersebut dalam merangkai
kata sehingga calon penulis dapat memupuk mindset bahwa menulis itu
untuk keabadian. Terlebih, endorsement dari beberapa pihak mengenai buku
ini yang dipaparkan diawal menambah prestige atau “nilai jual” dari buku
ini.
Ketiga,
Bapak Naim berusaha memaparkan tiap segmen pembahasan berdasarkan
klasifikasi yang runtut. Dimulai dari pembahasan mengenai spirit menulis pada
bab I, bab II membahas motivasi menulis, kita jumpai alasan menulis pada bab
III, hambatan menulis tercantum dalam bab IV, di bab V dielaborasikan strategi
menulis serta kita dapat belajar menulis dari para tokoh pada bab VI.
Pengklasifikasian tersebut akan mempermudah pembaca dalam menangkap pesan yang
ingin disampaikan. Lebih lanjut, setiap pembahasan merupakan kumpulan tulisan
singkat sehingga pembaca tidak susah dalam menangkap isi tulisan setiap bidang
kajian.
Keempat,
pada akhir setiap pembahasan akan dicantumkan quote yang
terdapat pada pembahasan tersebut sebagai mini konklusi dari apa yang tengah
dikaji. Hal ini menarik, sehingga para pembaca dapat rethinking serta keeping
in their mind apa yang baru saja mereka baca dan tidak menguap begitu saja
point penting yang ingin Bapak Naim sampaikan. Konklusi semacam ini dapat
membantu pembaca ketika ingin retelling kepada calon pembaca lain.
Kelima,
ide yang ingin disampaikan Bapak Naim bersifat afterthought dan
out of the common. Taruhlah strategi menulis seperti mencicil, membaca
itu gizi menulis, 3M (Membaca, Mencatat, dan Menulis), meningkatkan jam terbang
dengan status facebook, membuat blog, membuat diary yang menggetarkan, menulis
dipagi hari, menulis itu tidak banyak tanya namun segera praktik, serta
beberapa jargon yang dapat meningkatkan ghirah menulis kita seperti write
or die!, penulis itu “makhluk langka”, energi kata, produktivitas menulis
dan jebakan plagiasi serta banyak lain yang dapat menghipnotis pembaca agar
kian intens menggeluti dunia literasi yang satu ini. Beliau juga menyebutkan
alasan mengapa kita harus menulis serta apa saja hambatan yang perlu dihadapi
para calon writer. Disini Bapak Naim ingin menyampaikan sisi lain dari
seluk beluk menulis menurut kacamata beliau.
Terlepas
dari kelebihan dari buku ini, menurut reviewer, diperlukan peningkatan
dibeberapa titik guna kesempurnaan dari buku ini. Pertama, pengelompokan
bab I dan bab II sedikit rancu manakala disebutkan spirit dan motivasi menulis
disitu. Dua klasifikasi itu semacam tumpang tindih dan alangkah baiknya jika
dijadikan satu. Sub bab pada kedua bab tersebut dapat saling melengkapi bila
menjadi satu bab. Kedua, penyebutan nama penulis pada bab I yang menurut
pengarang buku ini tips-tipsnya tidak mudah dipraktikkan terkesan kurang etis.
Walau dengan penyebutan buku yang (maaf) berjudul Menulis Itu Gampang
ini dapat memberikan informasi yang akurat mengenai contoh konkret sebuah
tulisan, namun alangkah baiknya dihindari. Ketiga, walau ini bersifat
teknis dan klise yang menjadi tanggungjawab editor, namun apabila dalam
segi penulisan lebih cermat kembali akan membuat buku ini kian sempurna. Hal
sepele seperti tanda baca, konsistensi penulisan, diksi, singkatan, dan
berbagai kaidah penulisan yang akan lebih membuat nyaman pembaca dalam
mendalami buku ini. Keempat, memang kurang etis jikalau terlalu
menyombongkan diri, namun dalam beberapa kalimat reviewer menemui ungkapan yang
terlalu merendah. Meski demikian, buku
ini tetap sangat reviewer rekomendasikan untuk dibaca bagi calon reader.
Selamat membaca dan menemukan power pada buku yang bernama the power of
writing ini.
#mkn
23 Ramadhan 2015