KAMERA POLAROID, SEBUAH POTRET KORUPSI DI NEGARA ZAMRUD KHATULISTIWA
Oleh : Mohammad
Khadziqun Nuha
Sistem korupsi
yang tumbuh subur seperti jamur dimusim penghujan di negeri ini tak ubahnya
dengan sistem kerja kamera polaroid. Kamera yang juga disebut kamera
langsung jadi yang memiliki kemampuan untuk melakukan proses foto suatu
object mulai pengambilan gambar sampai pencetakan gambar didalam badan kamera ini
berbanding lurus dengan tujuan dari pelaksanaan korupsi yakni memperoleh
kekayaan dengan cara instan berupa penyalahgunaan jabatan resmi pada suatu
instansi untuk keuntungan pribadi. Bahkan apabila telah kronis akan menimbulkan
pemerintahan yang kleptokrasi atau pemerintahan yang dijalankan oleh “para
pencuri” berdasi yang berkamuflase sebagai pemerintahan yang pro-rakyat kecil
namun sebenarnya penuh dengan penyelewengan dimana-mana dengan rantai jaringan
yang terorganisir secara rapi. Korupsi merupakan rantai kejahatan yang panjang
dan terstuktur, oleh sebab itu sangat susah untuk mencari bukti authentic
guna mengusut atau menuntaskan kasus-kasusnya. Terlebih, Locus dilicti
(tempat dan lokasi kejadian) tak hanya antar kampung namun pada era globalisasi
ini telah menembus batas negara dengan ditunjang arus informasi dan teknologi
yang memadai.
Kamera yang
diciptakan oleh ilmuwan bernama Edwin Land ini menggunakan film khusus yang
disebut film polaroid, seperti korupsi yang mayoritas dilakukan oleh
orang-orang yang mempunyai jabatan khusus serta untuk tujuan khusus dengan
berbagai penyebab, antara lain dibidang ekonomi, yaitu karena rendahnya penghasilan
jika dibandingkan dengan kebutuhan hidup dan pola hidup konsumtif yang kian
mencekik, budaya malu yang rendah, budaya memberikan uang pelicin, pendidikan
moral yang kurang, sanksi yang cukup lemah sehingga tidak menimbulkan efek jera
pada pelakunya, aplikasi hukum yang inkonsisten oleh para penegak hukum serta
kurangnya pengawasan hukum. Lebih ironis lagi jika tindakan korupsi itu dilakukan
oleh pemimpin yang memiliki kompetensi maupun legitimasi tinggi dari masyarakat
untuk menjalankan amanat. Terdapat beberapa faktor yang membuat korupsi ini tumbuh subur dibumi pertiwi yang terkenal dengan sebutan gemah
ripah loh jinawi ini. Pertama, para pemimpin menggunakan
kewenangan diskresioner yang yang tak terkontrol dan cenderung semena-mena.
Mereka yang seharusnya sebagai inovator yang menggerakkan motor perubahan pada
suatu instansi justru menjadi koruptor dengan cara-cara yang kotor sehingga
menimbulkan ketimpangan sosial dimasyarakat, yang kaya makin kaya yang
miskin makin miskin. Transparansi memang diperlukan untuk menekan angka
korupsi dinegara ini. Kedua, inkompatibilitas
sistem dimana sistem politik yang
berpihak kepada pemilik modal menimbulkan rentenir politik serta sistem sosial
yang rapuh telah menyebabkan perilaku permisif terhadap tindakan amoral
tersebut dan ditambah buruknya sistem hukum menimbulkan celah bagi pegiat
korupsi untuk menjalankan “hobinya”. Bayangkan saja ketika terdapat pencuri
semangka yang harus mendekam dipenjara hingga bertahun-tahun, namun para
koruptor yang mencuri uang rakyat hingga bermilyar-milyar dapat dengan leluasa
melanglang buana keluar negeri. Hal
ini sungguh kontradiktif bagi negara yang memiliki gedung pengadilan yang berdiri
tegak cukup banyak namun keadilan sungguh sulit untuk ditegakkan. Ketiga, oligarki
dan dinasti kepemimpinan menimbulkan sistem korupsi yang terorganisir secara
rapi dan cenderung untouchable. Konspirasi antara penegak hukum,
birokrasi dan para tikus-tikus itu menambah kejahatan ini semakin
sistematis dan kebal hukum. Keempat, lemahnya kontrol dari masyarakat
dibawahnya membuat “proyek” ini semakin leluasa dijalankan. Seolah tiada filter
yang dapat menekan kegiatan itu disebabkan kurangnya informasi dan pengetahuan
akan hal tersebut. Dalam hal ini, dibutuhkan agent of control untuk
meningkatkan peran serta masyarakat dibawahnya guna menciptakan kepemimpinan
yang lebih baik. Kelima, lemahnya self-awareness dari para
tikus-tikus berdasi akan imbas yang ditimbulkan dari bahaya laten korupsi. Sehingga
terdapat paradoks baru, bahwa para pemimpin yang seharusnya muncul sebagai
inovator yang membuat suatu perubahan ke arah kemajuan justru muncul memang
secara genetis berpotensi sebagai koruptor. Wacana memiskinkan para koruptor
dari para pegiat antikorupsi nampaknya perlu segera diterapkan pada negara yang
pada tahun 2012 lalu, seperti dilansir laman Transparansi Internasional, menduduki peringkat 118 dari daftar peringkat
indeks persepsi korupsi 174 negara dunia, namun jika mengacu poin tiap negara, bertengger
di posisi 56 negara terkorup.
Kamera yang
mulai dipasarkan pada tahun 1947 ini juga memakai film polacolor yang
tidak hanya menghasilkan gambar hitam putih, namun juga mampu menghasilkan
gambar beraneka ragam warna layaknya
kamera digital. Seperti virus kronis nan akut bangsa ini yang tak hanya menghasilkan koruptor kelas atas, namun sudah
menggerogoti semua sendi kehidupan hingga strata masyarakat paling bawah. Berdasarkan lensa kamera, memang
sejak arus reformasi yang digulirkan pada
tahun 1998 lalu, berbagai kasus korupsi di Indonesia yang dilakukan pada
beberapa tahun silam satu persatu mulai terkuak. Dimulai dari tuduhan korupsi
yang dilakukan oleh pucuk pimpinan yang bertahta pada rezim orde baru atas
tindak korupsi di tujuh yayasan, kasus pertamina dalam Technical Assistance
Contract dengan PT Ustaindo Petro Gas, pembobolan di Bank Pembangunan
Indonesia (Bapindo), HPH dan dana reboisasi yang melibatkan sejumlah pejabat
Departemen Kehutanan, penyimpangan penyaluran dana Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI), Korupsi APBD yang membawa nama Abdullah Puteh, Kasus
Hambalang yang menyeret nama mantan Menpora Andi Mallarangeng, kasus Wisma
Atlet, kasus korupsi pengadaan Al Quran dan jangan melupakan kasus fenomenal
pegawai pajak, Gayus Tambunan, serta kasus-kasus korupsi lain yang menambah
bangsa ini kian terpuruk.
Pada potret
ranah politik, Korupsi memang
tantangan serius bagi pemerintahan suatu bangsa dan dapat menghambat
terciptanya good governance. Modus yang digunakan untuk
melaksanakan korupsi memiliki dua main port yakni sebagai modal politik dan kendaraan
politik untuk menaikkan popularitas politisi maupun partai politik yang
bersangkutan. Tidak dapat dipungkiri, menjelang pemilihan umum 2014, partai politik memerlukan dana
yang tidak sedikit serta menghalalkan segala cara guna mengupgrade popularitasnya
dengan sering diliput media. Proses demokrasi akan terhambat karena
akuntabilitas dan responsibilitas politisi telah terusik oleh distorsi politik
yang terjadi. Sehingga para wakil rakyat yang seharusnya membawa aspirasi rakyat
justru terbuai oleh bujuk rayu candu yang bernama korupsi.
Seiring perkembangan jaman, kamera
polaroid kini kian disingkirkan dengan keberadaan kamera digital yang dianggap
lebih praktis dalam penggunaannya. Selain itu, kualitas gambar yang dihasilkan
juga kalah dari kamera digital serta hasil bidikan kamera polaroid juga tidak
dapat diedit yang berbanding terbalik dengan kamera digital. Sejalan dengan
itu, korupsi di Indonesia mencoba direduksi dengan dibentuk Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan lembaga independent yang berisi
militan-militan antikorupsi yang memiliki mental baja, keberanian, adrenaline
rush, ekspektasi untuk menjalankan the dirty works dengan turun
langsung ke jalan menyingkirkan “sampah-sampah masyarakat” dengan
mempertaruhkan harkat, martabat dan nyawa mereka. Suatu lembaga yang diharapkan
mampu melakukan koordinasi dan supervisi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, melakukan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pencegahan tindak pidana korupsi serta melakukan
monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Diharapkan potret hitam
kelam korupsi di Indonesia dapat dihentikan dengan sepak terjang KPK.
Namun, dewasa ini beberapa orang
masih meyakini bahwa hasil kamera polaroid memiliki keunggulan dari jenis
kamera lain karena kita dapat langsung menikmati hasil gambar yang baru saja
diambil dengan proses cetak mandiri didalam badan kamera. Bahkan, seorang Andy
Warhol mampu mengusung seni Pop-Art yang menggunakan warna-warna cerah dan
berani dalam setiap hasil fotonya. Bagitu juga dalam dunia korupsi di negara
Zamrud Khatulistiwa ini, kita seharusnya sebagai generasi penerus bangsa tidak
boleh lengah apalagi tergiur dengan keindahan hasil korupsi serta kita harus berani
memeranginya dengan terus menggalakkan pendidikan usia dini akan bahaya laten
korupsi. Semoga beberapa tahun kedepan tercapai potret masyarakat madani yang
diharapkan pegiat antikorupsi guna masa depan negara Indonesia yang lebih baik.