PENGAWAS ITU...
Oleh : Mohammad Khadziqun Nuha (*)
Ujian Sekolah tahun 2014 ini merupakan kali pertama
aku mengenakan ID Card bertuliskan “Pengawas”. Sebuah title yang sebenarnya
mudah jika didengar. Bayangkan! Kita hanya diharuskan tiba tepat waktu, membagikan
lembar jawaban dan soal serta selebihnya duduk manis melihat siswa- siswi yang
tengah berjuang memeras otak untuk melahap semua menu soal yang tersedia.
Namun, lebih dari itu, secara implisit terdapat beban mental yang berat yang
tengah dipikul oleh para pengawas.
Kalau aku mengibaratkan seorang pengawas itu tidak
ubahnya seperti malaikat malik yang menjaga suatu tempat dengan setting
menegangkan. Setiap gerak-gerik penghuni tempat itu akan diperhatikan yang bahkan setiap hela nafas dari setiap makhluk
ditempat itu akan terdengar (#lebay). Sedikit hiperbola memang, namun itulah
realita yang ada. Bola mata akan secara spontan “melirik” setiap kejadian yang
ada ditempat itu.
Pernah suatu ketika aku berada disebuah kelas dimana
laksana, maaf, praktek perdukunan. Aura mistis menyeruak disemua sudut kelas
hingga pagi yang cerah dengan matahari yang bersinar dengan terang berkonversi
menjadi bak Malam Jum’at Kliwon disertai lolongan serigala ditempat itu. Betapa
tidak? Tiba-tiba dari salah satu bangku tercium aroma semerbak minyak yang
mewangi. Yang bahkan apabila kita melewati deretan bangku itu akan tercium bau
yang menyengat hidung siapapun orang yang melewatinya. Semula aku tidak
mengetahui sumber dari bau tersebut hingga tak sengaja kudapati salah seorang
siswa pada baris kedua meminta temannya untuk mencium pensil 2 B berwarna biru
miliknya. Hipotesis yang muncul dibenakku tentunya dialah siswa yang
bertanggungjawab atas aroma yang hampir memenuhi seluruh kelas tersebut. Selain
itu, terdapat pula salah seorang siswa yang membawa beberapa bunga melati.
Lengkap sudah, aroma mistis menghiasi tempat tersebut.
Terkesan terdapat sebuah rasa paranoid dari beberapa
orangtua jika putra-putrinya nantinya tidak mampu meraih hasil maksimal pada “yaumul
hisab” ini. Bahkan, segala cara ditempuh untuk memuluskan hasratnya. Dan
aku, sebagai seorang pengawas hanya bisa tersenyum mendapati hal tersebut.
Tidak dipungkiri hasil ujian merupakan penentu masa depan para pesertanya,
sejauh ini begitulah stigma yang terbangun dimasyarakat. Apabila kita gagal
pada ujian tersebut, hampir dapat dipastikan masa depan kita akan suram.
Didorongkan oleh keinginan tersebut, pihak sekolah
pun juga akan “memohon bantuan” kepada para pengawas untuk menjalankan tugasnya
lebih toleran dan fleksibel yang tentunya dengan bahasa yang santun. Pada saat
seperti ini, kalau aku bilang, seorang pengawas akan dihadapkan pada suatu
dilema sebagai makhluk idealis atau sosialis. Pengawas akan merasa berada
dipersimpangan jalan yang mana tidak mengetahui ending dari jalan tersebut.
Bagi pengawas yang idealis, tidak akan membiarkan
setiap ketimpangan yang terjadi diareanya. Kelas akan lebih hening untuk
menjalankan ujian. Dialah orang yang memegang teguh prinsip bahwa ujian harus
berlangsung sebagaimana mestinya tanpa adanya kecurangan yang terjadi. Segala
tindakan kita akan dipertanggungjawabkan kelak. Namun ada sebuah anomali yang
muncul dimasyarakat bahwa orang yang demikian cenderung dikucilkan di
masyarakat karena mindset-nya
kurang diterima bagi khalayak umum. Jadi diperlukan hati yang bersih dan niat
untuk memilih jenis pengawas yang seperti ini.
Berbanding terbalik dengan itu, bagi pengawas yang
sosialis, akan cenderung lebih toleran dan fleksibel dalam menjalankan tugasnya.
Hal ini didasarkan pada manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup
sendiri tanpa bersinergi dengan orang lain. Sistem pendidikan dan efek domino
yang menuntut pengawas untuk memilih jenis ini. Kapan lagi kita dapat membantu
orang lain ditengah sistem dan stigma masyarakat yang carut marut ini. Manakah
pilihan yang benar? Wallahu a’lam.
(*) Ditulis pada saat menjadi pengawas Ujian Sekolah
beberapa bulan yang lalu.