Blue Fire Pointer
Rabu, 06 Maret 2013 0 komentar

KANDANG KAMBING PART 6

KANDANG KAMBING PART 6
Oleh : Azzam Arifin



“Kebanggan kita yang terbesar bukan karena tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali setiap kita jatuh!” (Confusius)

Sore merambat petang. Langit Tamban dipenuhi awan hitam tebal yang merata sejauh mata melihat. Sore ini agak gelap. Sangat berbeda dengan kemarin. Dari arah barat, angin berhembus kencang, menghantam pohon-pohon yang dilewatinya. Pohon-pohon di samping posko ini juga tampak goyah. Daun-daunnya banyak berjatuhan. Dari pintu depan, saya pandangi pohon jati tua di belakang mushola. Pohon itu ikut goyah, tak mampu menahan kerasnya angin. Melihatnya, hati saya berdesir. Perasaan cemas muncul. Melihat pohon besar yang bergerak sedikit saja karena sapuan angin pasti lebih membuat ketar-ketir, ketimbang hanya melihat pohon kecil yang sampai tumbang sekalipun. Hampir pasti, hujan akan segera turun.

Tiba-tiba ingatan saya melayang pada kejadian yang menimpa tetangga di rumah, sekitar sebulan lalu. Seisi rumahnya morat-marit gara-gara angin yang menerobos masuk ke dalam. Gentengnya melayang kemana-mana. Perabot rumah hancur. Kejadian memilukan itu menjadi pertanda adanya sinyal bahaya seandainya ada pusaran angin masuk ke dalam posko. Saya tak ingin musibah itu terjadi di sini. Cepat-cepat saya tutup pintu. Hawa dingin terasa agak berkurang. Meski dari jendela tetap terlihat pohon yang doyong karena tiupan angin. Kilatan cahaya muncul, diikuti suara petir yang sangat keras (yang ini petir beneran, bukan kentutnya teman-teman!).

Dari jendela juga, mulai terlihat rintik-rintik air berjatuhan. Yah, ini akan mengawali pemandangan baru di depan mata penghuni posko. Ladies and gentleman, Tamban’s sky presents ….. the first rain in your eyes! Selama sepuluh hari disini, baru kali ini kami melihat air hujan. Angin mendadak berhenti, diikuti bertambahnya intensitas air. Semakin lama, intensitas air semakin meningkat.
Hujan turun begitu deras.

Di tengah suasana dingin kayak gini, berkumpul di ruang tamu adalah pilihan terbaik. Bukan pilihan sebenarnya, tapi ya cuma ini yang bisa dilakukan. Apalagi coba yang bisa kita lakukan selain hal ini? Ngerjakan tugas? Alah, masih beberapa jam lalu bu DPL pulang dari sini! Siswa serajin apapun dak akan belajar setelah selesai Ujian Nasional! Atau mau nonton tv? Nonton infotainment yang suka nyebarin aib orang itu? Ya ndak apa-apa, asalkan kalian siap menonton semut-semut berkeliaran sebagai artis utama infotainment itu. Untung seribu untung, tv-nya rusak, jadi kita dak bisa nonton acara yang suka merusak hubungan orang lain itu. Kalau kehabisan berita sensasional, ya bikin sensasi. Sebenarnya gak, diberitakan iya.

Akhirnya menjadi iya beneran. Tapi rugi seribu rugi, karena tv-nya rusak, saya ndak bisa nonton bola. (Subjektif sekali ya saya menilai dampak kerusakan tv ini?).
Dari ruang tengah, Mbak Laili berjalan mendekat,
“Jangan lupa yang cowok-cowok, nanti waktunya jam’iyah tahlil!” ucapnya menatap para perjaka kelompok ini, satu persatu.

Tak ada respon. Saya tahu, semua pasti merasakan hal yang sama seperti saya : malas keluar! Apalagi untuk tahlilan! Bukannya apa-apa, hujan di luar itu lo masih lebat. Masak suasana kayak gini harus tahlilan segala. Suasana kayak gini pasnya ya mandi yang bersih, lalu pakai baju terbaik, lalu berhias diri sebaik mungkin, lalu pakai jaket yang tebal, setelah itu gelar tikar, dan terakhir : males-malesan berteman secangkir kopi!
“Tahlilan libur!” Si Alam nyerocos begitu saja,
“Kok bisa?” Mbak Laili menanggapi serius,
“Ya…mungkin aja genteng dapur Pak Jadi bocor, trus kuah sotonya kejatuhan air hujan!”

Saya hanya terbengong mendengar pernyataan aneh bin ajaib ini. Memang kalau dengar anak ini bicara, lalu omongannya itu ditanggapi serius, bisa pusing sendiri kepala ini. Prediksi si Alam ini kurang saya setujui. Saya percaya kalau Pak Jadi tetap bersikukuh menggelar acara ini, sederas apapun hujan yang turun. Beliau pasti sadar betul arti nama yang disandangnya, dimana setiap acara itu ndak boleh batal, harus selalu JADI!

Mendengar serentetan omongan tak masuk akal itu, bukannya luluh, Mbak Laili semakin mengeluarkan suara lebih keras,
“Ayoooo, alasan semua! Ini agenda kelompok, pokoknya harus ada yang berangkat! Harus!”

Saya sebenarnya sadar, bolos tahlilan adalah kesalahan besar. Apa alasannya? Tadi siang, Pak Jadi rela mampir ke posko untuk berbagi rezeki : membagi 3 rantang soto ayam! Sewaktu menerima kehadiran Pak Jadi tadi, saya sempat dibuat heran sama ulah teman-teman. Di depan beliau, mereka tampak malu dan sungkan, dan terkesan ogah-ogahan.  Tercatat, ada beberapa kalimat yang mereka sampaikan, “Gak usah repot-repot segala lo, Pak?, ada lagi : “Loh, ada hajatan apa lo, Pak?” (Padahal semua tahu kalau di rumah Pak Jadi mau ada tahlilan).

Belum sampai 15 menit setelahnya, ketika saya coba ngecek apa isinya, ternyata rantang itu sudah kinclong. Isinya lenyap tanpa bekas! Awalnya saya berpikir positif, sotonya pasti dipindah tempat. Ternyata benar dugaan saya, sotonya itu telah berpindah …. ke perutnya teman-teman. Saking bersihnya, rantang itu bisa saya pakai untuk bercermin! Kalau perlu gak usah dicuci kalau pingin digunakan lagi. Kok tega bener temen-temen ini!! Tapi saya tetap maklum, setelah sekian hari menjadi vegetarian, kehadiran makanan jenis ini pasti cepat laku. (Saya mengelus dada sambil mengucap istighfar beberapa kali).
“Aku saja nanti yang berangkat!” Mas Takim angkat bicara. Ia coba meredakan suasana.

Betul. Perwakilan! Itulah opsi paling bisa diterima untuk kelangsungan agenda dengan kondisi cuaca seperti ini. Tapi, siapa yang harus dikorbankan? Sudah ada satu : Takim. Tinggal mencari siapa yang mau menemani.

Di tengah perdebatan siapa yang berangkat tahlilan, gema shalawat berkumandang dari arah mushola. Memanggil seisi posko dan tetangga sekitar untuk mau menerjang hujan demi memperjuangkan pahala berlipat ganda. Entah malaikat apa yang berbisik di telinga saya, tiba-tiba kaki ini tergerak untuk menerjang hujan, ikut jamaah. Saya hanya berpikir pas kondisi kayak gini, pasti jamaah maghrib mengalami kemajuan. Maksudnya bukan semakin banyak jamaahnya, tapi shaf-nya itu yang semakin maju. Jadi biar gak tambah sepi, saya harus memaksakan diri melewati derasnya air hujan.

Sampai saya hendak takbirotul ihrom, masih belum keliatan batang hidung teman-teman. Yang ada hanya Takim. Ia berada di shaf paling depan.

Sampai selesai jamaahpun, ternyata tidak ada pertambahan jumlah penghuni posko yang ikut jamaah. Saya mulai mencium tanda bahaya, karena jika saya terpantau Pak Marjani, pasti saya yang diajak tahlilan, bersama Takim tentunya. Untuk itu, saya harus cepat kembali ke posko.

Di luar, hujan masih turun begitu deras. Tampak jalan makadam yang dulunya adalah sungai itu tergenang air. Airnya mengalir ke arah timur dengan cepat. Saya pandangi posko tercinta. Saya raba jarak mushola ini dengan bangunan bersih itu. Berapa ya kira-kira kecepatan yang pas, biar gak terlalu basah, sekaligus gak terpeleset memalukan di jalan yang licin itu. Segera saya pakai mantel hujan, dan berjalan agak cepat meninggalkan mushola. Setiba di posko nanti, saya berencana mengajak teman-teman untuk hom pim paa dalam rangka menentukan siapa yang dikorbankan untuk ikut jamaah tahlil.
Belum jauh saya berjalan, terdengar suara Pak Marjani,
“Apa gak langsung berangkat aja, Mas?”
Saya diam agak lama.
“Saya mandi dulu, Pak. Sebentar.”
“Halaah gak usah mandi. Ini juga ada air hujan. Nanti juga basah-basah sendiri!”

Sial! Karena yang terpantau oleh Pak Marjani ini hanya saya dan Takim, akhirnya ya kami berdua yang berangkat. Lebih tepatnya, kami berdualah yang jadi korban. Enak bener temen-temen di posko. Mereka terbebas dari pantauan Pak Marjani ini, dan bisa leyeh-leyeh minum kopi menikmati dinginnya malam. Kalau sudah pulang, akan saya pamerkan bau harum mulut saya sehabis makan nasi rawon hasil jerih payah saya membaca tahlil, pasti kalian iri karena persediaan makanan di posko malam ini tinggal beras dan bayam mentah.
“Iya pak, langsung berangkat saja!”

Untuk sampai ke rumah Pak Jadi, kami bertiga tidak mungkin lewat jalan makadam depan itu. Arus airnya sangat deras. Maklum, jalanan itu dulunya adalah sungai. Masih sekitar 4 bulan lalu, tanah didatangkan untuk menimbun sungai itu. Alhasil ia berubah jadi jalanan umum. Hanya sayang, warga desa lupa memberi info kepada malaikat penyiram hujan kalau sungainya sudah disulap jadi jalan. Jadi pas turun hujan, airnya tetep ngeyel lewat situ. (alasan paling ilmiah bagi mahasiswa yang tidak memfokuskan diri pada bidang pertanahan dan perhujanan).
“Lewat situ saja, Mas. Belakang rumah.” Pak Marjani menunjuk sebuah jalan setapak.

Pak Marjani berjalan paling depan, karena beliau yang hafal sama rute menyeramkan ini. Saya masih sekali lewat sini, sore lusa. Saya tidak menyangka kalau pas malam, jalanan ini sangat gelap. Benar-benar gelap. Dan di saat suasana mengharuskan saya untuk konsen pada jalan di depan, saya masih harus repot sama sandal saya yang berkali-kali tersangkut lumpur. Halah! Kok begitu tepatnya saya pilih sandal yang ini. Tadi waktu di depan posko, saya comot begitu saja sandal yang menurut saya terbaik. Ndak tahu ini punya siapa. Ternyata pinjam gak bilang-bilang itu berakibat buruk. Sandal merk mahal itu tidak akrab dengan lumpur!
“Hoe Kim, pelan-pelan Kim!” tiba-tiba saya agak gugup.
“O iya, tak tunggu, agak cepat!”
Saya heran sama anak ini. Ngomongnya iya, tapi kakinya kok gak di rem sedikitpun!
Semakin lama, jarak saya dengan Takim dan Pak Marjani semakin jauh.

Puncaknya, sesaat setelah mereka melewati belokan, saya seperti berjuang sendirian melewati jalan ini. Sandal sesekali masih sering tersangkut, menghambat langkah kaki saya. Shit! Dalam kondisi gelap setengah seram kayak gini, satu-satunya benda yang bisa saya andalkan sekarang hanyalah mantel yang mengerubuti badan saya. Tahu kan alasannya? Bukan karena menghindarkan saya dari basah akibat hujan ini, tapi mantel ini bisa menipu hantu yang mungkin bersliweran di dekat saya. (Bisa saja kan mereka menganggap makhluk berkerubut mantel ini sebangsa dengan mereka, jadi mereka membatalkan niat untuk menakut-nakuti saya!)

Melalui perjuangan berat dan melelahkan selama perjalanan, sampai juga kami di depan rumah Pak Jadi. Rumahnya tidak terlalu besar, tapi bagus dalam penataan halamannya. Kursi ruang tamu ditata rapi di emperan, memberi tanda kalau rumah ini sedang ada hajatan. Tampak juga tikar yang digelar cukup rapi di ruang tamu, lebih dari cukup untuk menampung 80-an anggota jamaah tahlil.

Saya lantas membuntuti Pak Marjani, bersalaman dengan Pak Jadi yang sudah menunggui di beranda. Begitu saya masuk, masih ada tujuh orang yang sudah datang mendahului kami. Saya ambil tempat di pojokan. (Tempat yang saya perkirakan menjadi yang paling awal saat menerima jatah makanan, nanti)

Menanti acara dimulai, saya lebih banyak diam mendengar obrolan dari mereka yang sudah datang. Sesekali saya ikut ngobrol, secukupnya. Saya malah lebih banyak bertanya, dan tidak berani bicara terlalu banyak, karena obyek pembahasannya menyangkut persoalan kehidupan yang konkret. Jika berani angkat bicara, maka syarat wajibnya adalah punya pengalaman hidup yang matang, seperti bapak-bapak itu. Sementara saya, anak ingusan kemarin sore yang tak tahu menahu kalau diajak bicara soal ini.

Kawan, ini adalah untuk kesekian kali saya mengakui bahwa ada perbedaan mendasar antara bentuk perdiskusian di sini dengan di kampus. Kalau di kampus, saya suka tersenyum geli melihat ada teman yang suka pakai kata-kata super ilmiah saat ngobrol santai. Kata demi kata dibuat seilmiah mungkin, meski kadang-kadang agak dipaksa. Biar kelihatan mahasiswa gitu, katanya. Tapi saya sendiri ragu apakah dia mengerti betul arti dari istilah yang ia pakai itu. Jadi ya karena yang ngomong cuma asal comot istilah, sementara pendengar juga kurang tahu apa maksudnya, seolah tidak ada yang salah dalam forum itu.
Tiba-tiba saya teringat pada sepotong puisi, karya Gus Mus. Kalau gak salah, puisi ini dibuat untuk mengenang masa-masa nyantrinya di Pondok Lirboyo.
………
Lirboyo…
Masihkah perdebatan pendalaman dalam halqoh-halqoh musyawarah menghidupkan malam-malammu penuh semangat dan gairah,
Ataukah seperti dimana-mana, diskusi-diskusi sarat istilah tanpa kelanjutan, dinilai lebih bergengsi dan bergaya,
………
Kawan, sepatutnya kita malu karena mungkin terlalu sering beradu argumen yang tidak ada ujungnya, pakai istilah-istilah keren, sampai pikiran terbang melayang namun berhenti lagi di dunia idea. Perbincangan kita itu ternyata banyak yang hampa, bullshitt, dan tidak ada kelanjutan. Atau jangan-jangan, kita tidak perlu merasa malu ya, kawan! Soalnya memang masa-masa mahasiswa itu ya seperti itu, terus mencari dan mencari apa yang paling hakiki di dunia ini? Apapun itu, PKM ini sedikit menjadi rambu-rambu untuk segera mengakhiri saat-saat romantis ketika jadi mahasiswa, dengan gelimpangan buku-buku sebagai simbol keangkuhan dan kekuasaan pengetahuan. Agenda PKM mungkin juga menjadi gerbang untuk siap-siap beralih kepada kehidupan yang nyata, yang kata orang dipenuhi dengan ketidakpastian itu. Dalam kalimat lebih sederhana, PKM ini mungkin mencolek kita, terutama saya, untuk segera bersiap-siap berpindah haluan dari yang sebelumnya jadi pemegang buku, menjadi pemegang pacul!

Sudah setengah jam kami menunggu. Yang hadir jumlahnya masih sama, sepuluh. Tidak ada yang menyusul setelah kedatangan saya, Takim, dan Pak Marjani tadi. Pak Jadi, yang sedari tadi duduk di luar, mulai beranjak. Ia masuk ke dalam. Terlihat gurat wajah lesu dan langkah yang gontai. Tentu beliau berharap bisa menyalami paling tidak 70-an orang lagi. Tapi hujan deras mengubur harapannya itu. Beliau duduk, menundukkan wajah.

Sesaat kemudian, Pak Marjani membuka acara. Sekaligus beliau juga menyampaikan tausyiah kepada para jamaah. Saya bangga kepada bos saya yang satu ini. Meski jamaah hanya sedikit, tak menurunkan semangatnya untuk berderma ilmu. Sungguh ini sebuah pemandangan hebat. Pak Marjani yang ceramah, jamaahnya khusyuk mendengarkan. Ungkapan rasa khusyuk itu ditunjukkan beberapa jamaah dengan cara memejamkan mata. (Eits, tunggu dulu… saya agak sulit membedakan antara khusyux atau ngantux. Yang jelas, selain mata terpejam, maaf, mulut bapak-bapak itu juga terbuka! hehe)

Saya membayangkan, berapa banyak pahala untuk orang yang mau menggelar acara kayak gini. Pasti banyak. Ada pahala bershadaqah, ada pahala menyediakan tempat silaturrahim, ada pahala kirim doa untuk arwah leluhur.

Trus, yang sering buat saya bingung, kenapa ya masih banyak saudara-saudara kita di luar sana yang memperdebatkan boleh tidaknya tradisi ini. Apa kurang kerjaan ya orang-orang itu? Kalau gak pingin ngeluarin uang buat shadaqah, ya udah, diam saja! Kalau gak pingin kirim pahala buat keluargamu yang sudah meninggal, ya udah, la wong keluarga-keluargamu dewe! Ndak usah nyalah-nyalahin tradisi ini! Selamatan dikata bid’ah, manaqib dikata bid’ah, mauludan dikata bid’ah. La trus yang boleh itu yang gimana? Apa wajahmu itu ndak bid’ah, kan wajahmu ndak ada di jaman Nabi? Trus kalau pesawat terbang itu juga bid’ah dan ndak boleh, apa kamu bersedia pergi haji naik onta, persis dengan apa yang dilakukan Nabi?

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika harus kita jadikan pegangan ketika menyikapi perbedaan. Karena semakin kita menghargai perbedaan, akan semakin kita temukan letak persamaannya. Carut marut bangsa ini sudah saatnya disikapi dengan saling menghargai antara satu dengan lain. Konflik antar suku, ras, agama, hanya akan menghambat kemajuan bangsa. Para pemuda sudah saatnya berdiri paling depan untuk mengawal arah pergerakan bangsa. Demi Indonesia yang jaya. Merdekaaaa!!!! (kehabisan ide coy… dadine nglantur ko ngendi-ngendi).

Bacaan demi bacaan sudah terbaca. Doa demi doa selesai dipanjatkan. Sampai juga pada sesi yang paling saya tunggu tiap kali ikut tahlilan : skors! Atau dalam istilah kerennya : remeh-temeh! Atau dalam bahasa gaulnya : mbadhog! Hampir 90% dapat dipastikan kalau jatah makan akan bertambah, soalnya kan yang 70 orang gak hadir?

Didukung hawa dingin setelah turunnya hujan, seharusnya saya hanya berpikir untuk menikmati makanan lezat yang sekarang tersaji di depan saya. Tapi entah kenapa, ingatan saya melayang menuju saudara-saudara yang ada di posko.
Sudah makan apa belum orang-orang hebat itu?


(Cerita di atas hanyalah fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama, tempat, atau kejadian, itu semua adalah suatu kesengajaan. Sekali lagi itu saya sengaja. Karena cerita akan mudah muncul jika terinspirasi dari kejadian-kejadian yang pernah kita lihat dan alami. Dan dengan menimbang banyak hal dan masukan-masukan, saya tegaskan bahwa tidak ada motivasi lain dalam cerita itu selain mek pingin ngejak guyon).
Selasa, 05 Maret 2013 0 komentar

KANDANG KAMBING PART 5

KANDANG KAMBING PART 5
Oleh : Azzam Arifin

Mumpung anom ngudiya laku utama (falsafah jawa)

Kawan, kalian tahu kan benda penting di rumah ini yang bernama sanyo? Saya menyebutnya penting, karena tanpa ini, kita akan kesulitan. Tak ada sumur di rumah ini, maka saya berpendapat bahwa benda ini termasuk salah satu aset berharga di posko kita tercinta.

Sebelum saya lanjutkan, kalian yang peka dengan tulisan di atas saya beri waktu untuk melabeli saya dengan sebutan wong ndeso (jan ndeso banget lah poko’e). Memang begitu. Bagaimana nggak ndeso, untuk mengucap pompa air saja mulut ini lebih ringan memakai kata sanyo (diambil dari merk paling terkenal dari pompa air). Sejak kecil memang pelajaran keluarga kayak gitu. Coba amati perintah nenek saya waktu beliau memerintahkan untuk beli balsem,
“Le, tak kongkon, tukokno rhemason...”

Untuk perintah seperti itu, saya tak perlu pusing seandainya balsem merk Rhemason habis di toko tetangga, tinggal saya belikan apa yang tersedia, entah cap geliga atau lainnya. Nenek saya akan tetap tersenyum dengan itu.

Untuk kasus lain, gak perlu jauh-jauh sih sebenarnya mencari. Di posko ini saja, saya sempat dibuat kebingungan gara-gara munculnya satu perintah, kalau gak salah dari Mbak Fitri,
“Pak, jaluk tulung yo, tumbas aqua sing merk e Amnudai”

Saya benar-benar dipaksa bingung, antara memilih air mineral merk Aqua atau Amnudai. Maklum, mungkin ia juga terjangkit virus ndeso itu. (Thanks atas koment Anda, Mbak Fitri. Atas permintaan Anda, ini saya masukkan nama Anda ke dalam cerita, meski statusnya sebagai wong katrok, ndak apa-apa).

Benda pemompa air ini kiranya perlu saya ulas untuk meluapkan sedikit rasa heran saya. Selama di posko, saya lihat sanyo mengalami yang namanya disfungsi (begitu orang intelek menyebut). Benda ini kan sebenarnya berfungsi buat nyalurin air dari sumbernya menuju tempat-tempat yang kita inginkan, kayak bak mandi, tempat isah-isah (itu yang di sebelah kamar mandi namanya apa to, saya belum tahu, maklum wong ndeso), atau menuju selang untuk siram-siram halaman. Tapi di sini, ia lebih banyak difungsikan sebagai peredam suara indah yang datang dari kamar mandi. Apakah suara itu indah atau memalukan? Terserah kalian. Tapi ritual apapun di kamar mandi memang sukses dibungkam oleh benda ini.

Biar lengkap, kayaknya perlu diperingkat jenis-jenis suara di kamar mandi, dari yang tingkat memalukannya paling rendah sampai paling tinggi. Menempati peringkat ke 4, ada suara cuci baju. Suara ini begitu biasa, tak perlu membunyikan sanyo. Bahkan siapapun berani membiarkan pintu kamar mandi terbuka. Di peringkat 3, ada suara pas lagi mandi. Ini juga biasa, tapi beberapa teman masih merasa malu dan memilih membunyikan sanyo. Untuk peringkat 2, ada suara buang hajat (saya sebenarnya agak heran dengan istilah ini, siapa juga yang punya hajatan? Masak di dalam perut ini sedang ada acara sunatan, trus harus kita batalin dengan cara membuangnya?). Dan menempati posisi teratas, yang apabila suara ini tidak kalian bungkam dengan sanyo, kalian bisa menanggung malu seumur hidup .. jreng..jreng…jreng.. Ya, suara pas kalian memanfaatkan sabun untuk suatu permainan tertentu (seperti sabun itu kalian lempar-lempar ke tembok, kalian tendang-tendang waktu mandi, pasti teman kalian di luar bisa menuduh kamu itu gila atau sinting. Itu maksud saya, jangan berpikir yang aneh-aneh!).

Kalau saja pabrik pembuat sanyo sadar pada fungsi peredam itu, saya duga harganya akan dinaikkan. Justru, fungsi kedua ini lebih penting. Kalian bayangkan, waktu enak-enak makan di dapur, tiba-tiba muncul suara gemuruh dan petir dari dalam WC, kan ndak lucu. Yang di WC sih santai-santai saja, tapi kesantaian itu telah melukai hati teman kalian yang sedang makan. Sekalipun tak ada pipa penyalur, alam imajinasi telah mengirim kotoran itu ke atas piring kalian. Warna putih nasipun segera berubah kekuning-kuningan.
“Jan ngguilani omongane!” suara imajinasi cewek masuk ke benak saya.

Tapi, biarpun fenomena itu menjalar seisi posko, masih ada satu teman kita yang tidak percaya pada fungsi peredam itu. Siapa lagi kalau bukan mas Alam. Biar aktifitasnya ndak terdengar, ia memilih berteriak-teriak ndak jelas setiap kali mandi, kencang sekali teriakannya. (maaf mas Alam, saya ndak setuju kalau Anda mengaku sedang bernyanyi. Bagi saya, itu lebih mirip teriakan untuk mengahalau burung-burung di sawah).
“Ayooo, ndang cepet Laaaam! Adus po nguras jeding to jane ???..”

Keresahan saya berbalas suara teriakan penghalau burung yang makin keras. Tumben, pagi-pagi gini dia sudah mandi.
Suasana posko agak lengang, sebagian besar masih jalan-jalan keluar. Kata mereka sih, itu olahraga pagi. Biar sehat gitu, katanya. Tapi dimana letak keolahragaannya, ndak jelas juga. Berjalan malas-malasan, diselingi mulut yang terus menguap. Beberapa juga masih pakai sarung. Belum pernah saya temukan anjuran bagi olahragawan untuk pakai sarung sebagai kostumnya. Tidak sehat coy, hanya lelah yang kau dapat. (Biasakanlah menerima kritik dari sudut pandang positif, sekalipun kritik ini muncul dari orang yang tidak pernah ikut olahraga pagi karena bangunnya sering telat).

Daripada memilih olahraga yang gak jelas kayak gitu, lebih baik saya memilih olahraga yang sebenarnya. Yes, it’s the real sport. Sepakbola! Bola plastik di depan mushola itulah yang membuat mata ini jadi biru. Kebetulan, ada Fuadi di situ. Bocah itu kalau saya ajak main, bisa menjadi alibi kalau-kalau ada tetangga yang berprasangka saya ini kurang bahagia di masa kecilnya.

Kawan, fenomena orang dewasa yang bertingkah seperti anak-anak kayaknya lagi merebak dimana-mana. Mungkin, mereka jenuh sama aktifitasnya, jadi ya memilih melakukan kegiatan-kegiatan yang sebetulnya adalah kegiatan anak kecil. Almarhum Gus Dur dulu sampai bilang, “Anggota DPR itu tingkahnya kayak anak TK”. Jelas, siapapun tercengang pada pernyataan ini. Siapa juga yang percaya kalau orang yang berpendidikan tinggi itu tingkahnya kekanak-kanakan. Tapi coba kita lihat sidang pembahasan kasus Bank Century oleh anggota DPR beberapa tahun lalu. Ada yang teriak-teriak di persidangan. Ada yang memukul meja pimpinan sidang. Terlepas dari siapa yang benar dan salah, pemandangan itu sangat memilukan masyarakat yang notabene adalah pemberi gaji bulanan mereka. Justru masyarakat yang tampak lebih dewasa, meski hanya dengan melongo dan diam menonton kericuhan itu. “Biarkan saja, namanya juga anak TK!”

Mahasiswa juga sama. Sudah berapa banyak korban berjatuhan akibat bentrok dengan polisi? Apakah sudah tidak ada cara-cara yang lebih etis untuk melakukan perlawanan? Ingat, sebenar dan sepenting apapun tuntutan kalian, masyarakat terlanjur mencap demontrasi itu biang ketidaknyamanan! Ini harus dijadikan pertimbangan. Sudah saatnya set gerakan dialihkan kepada cara-cara yang lebih akrab di mata masyarakat, semisal melalui tulisan. (Waktu saya berbincang tentang metode aksi apa yang efektif untuk saat sekarang, saya sempat ditertawakan. Waktu itu saya menjawab : melalui tulisan. Bagi orang tersebut, menulis itu aktifitas yang lembek dan tuntutan kita gak akan didengar sama sekali. Saya pilih diam, dan mundur menghadapi orang yang lupa diri kayak gini. Waktu ia mengejek aktifitas menulis, ia sudah lupa bahwa pengetahuannya tentang aksi dan lainnya, ia dapat juga dari tulisan. Kalaupun menulis kurang efektif, itu dikarenakan tidak adanya kesatupaduan dari mahasiswa untuk bersama-sama menyusun pengorganisasian yang baik dalam hal tulis-menulis. Mungkin betul kata orang, mahasiswa sekarang itu banyak bicara, tapi sedikit membaca dan menulis).

Tiba-tiba saya teringat pada sebuah tulisan yang tertera di kaos teman lama saya : Kata adalah Senjata!

Ahh.. kok jadi nglantur kemana-mana (mulai sekarang kalian harus segera mengingatkan saya apabila tiba-tiba omongan saya melenceng gak jelas. Gimana caranya? Bisa lewat sms, ketik REG spasi ….)

Sampai dimana tadi? Oh iya, tentang memanfaatkan anak kecil untuk menutupi keinginan kita bertingkah kekanak-kanakan. Hanya yang terpenting, bagi saya, kegiatan itu cuma sebatas hiburan belaka dan tidak berpeluang menimbulkan efek super buruk ke depannya (tidak kayak anggota DPR di atas). Toh kalau boleh jujur, bermain bersama anak-anak dapat menghilangkan kepenatan yang menjangkiti diri ini. Kepolosan dan keluguan merekalah yang menjadi penyebab semua itu.

Contohlah mas Takim… (maaf coy, sampeyan saya jadikan model percontohan). Boleh-boleh saja ia mengaku cuma menemani anak-anak itu renang di kali Kraton. Tapi saya curiga, itu hanya akal-akalannya untuk menuntaskan kerinduan pada kegiatan semasa kecil : ciblon di sungai! Lagi-lagi anak kecil menjadi korban dari hasrat orang dewasa. (hasrat = keinginan, bukan Pak Hasrat calon mertuamu itu, Kim!)

Sekarang, Fuadi akan saya jadikan tameng untuk menutupi kerinduan saya main bola.
“Ini pak, bu, lagi nemenin Fuadi main bola..” Mantap! Ucapan inilah yang saya siapkan kalau ada tetangga heran orang segede saya masih kayak anak-anak. Maaf ya dik Fuadi!

Entah kenapa, tiap lihat bola, kok seperti ada yang menggerakkan tubuh saya untuk segera mengambil raket (lho?). Saya sangat suka sepakbola, sedari kecil. Dan sebagai lelaki, saya semakin bangga ketika mendengar jargon dari salah satu minuman suplemen terkenal, bermerk Bukak Titik Joss (sengaja saya plesetkan, gak boleh sebut merk), bunyinya : Jiwa laki! Bersatu untuk sepakbola!. Meski kalau dipikir-pikir, ungkapan itu agak keterlaluan, kan gak setiap laki-laki harus suka pada olahraga ini.

Dari hobi ini saja, saya mencatat berbagai prestasi membanggakan. Pertama, pencetak gol terbanyak Liga Gaprukan musim kompetisi 1999 sampai 2003. Liga Gaprukan? Ya, demikianlah teman-teman kecil saya menyebut kompetisi yang diselenggarakan di tempat yang selalu berpindah-pindah ini (tergantung sawah siapa yang nganggur, sedang tidak ditanami). Di tengah badai cedera yang sering menghampiri saya (karena pemainnya lebih suka mengandalkan otot ketimbang skill, sampai pernah seseorang menjegal kaki saya dengan kasar, padahal dia itu rekan satu tim, dikirain saya itu lawannya), saya berhasil bertahan hingga merebut gelar top skorer itu 4 musim berturut-turut. Kedua, pemain terbaik turnamen pra kompetisi (mirip Trofeo Berlusconi di Liga Italia). Sebuah turnamen yang mengharuskan pemainnya memakai sarung setiap kali tampil. Aksi saya yang paling ciamik, hingga mengundang kagum penonton, adalah membungkus bola ke dalam sarung tanpa ada satupun pemain lawan yang bisa merebut. Ketiga, (yang ini lebih mentereng, karena turnamen antar desa), menjadi kacung terfavorit. You know kacung? Ya, pengambil bola setiap kali bola keluar lapangan. Saya memang gesit waktu itu. Saking gesitnya, saya sampai mengganggu jalannya pertandingan di dalam lapangan, karena bola yang masih dimainkan di lapangan itu saya ambil juga.

Semakin saya cerita banyak, kok kayaknya kalian semakin meremehkan saya. “Cuma prestasi memalukan kayak gitu?” Ini gak bisa dibiarkan! Hentikan leluconmu itu, kawan! Tapi gimana lagi ya, saya ndak bisa apa-apa. Faktanya memang begitu. Dan saya merasa lebih hina lagi karena ketiga gelar itu diberikan bukan oleh siapa-siapa, tapi oleh ibu saya sendiri. Ini dimaksudkan untuk menghibur saya yang tidak kunjung-kunjung pandai main bola.

Saya masih asyik main bola sama Fuadi, sembari menunggu datangnya teman-teman yang masih olahraga pagi. Terdengar suara orang membersihkan rumput. Tak tahu kapan datangnya, tiba-tiba ia sudah ada di situ. Ya, Pak Marjani. Ayah Fuadi alias pemilik mushola alias penasehat kelompok kita.
“La konco-kancane sami teng pundi to mas Azam?”
“Tasik mlampah-mlampah pak niki wau…”

Lihatlah betapa bijaksananya Pak Marjani ini, kawan. Selama saya asyik main bola, beliau tidak memberi perintah apapun kepada saya. Beliau masih giat mencangkul rumput itu sedikit demi sedikit. Hanya kemudian saya baru sadar, ada dua cangkul yang dibawa Pak Marjani. Yang satu dipakai bersihin rumput, yang satu nganggur di sampingnya. Ndak logis kan kalau beliau ingin bersihin rumput itu sendiri, harus bawa dua cangkul segala. Dan hanya orang bego dan tolol yang tidak memahami maksud tersembunyi dari Pak Marjani ini. (berarti saya juga termasuk orang bego dan tolol itu, atau paling tidak setengah bego lah, karena terlambat menyadari maksud beliau).

Secara perlahan saya mendekati cangkul itu. Sambil menahan malu tentunya. Sedikit modus penutup rasa malu, saya harus keluarkan sepatah dua patah kata kepada beliau, sekedar basa basi,
 “Loh pak, niki wau mboten nyambut damel gih?”
“Pas libur mas”

Berhasil. Pertanyaan itu sukses menutupi sedikit rasa malu. Saya ikut bantu bersihin rumput. Meskipun seolah-olah saya mendengar suara dalam hati Pak Marjani,
“Iki bocah kok ra paham-paham ket mau, lagek sadar sik tas. Kudune lek enek wong tandang gae, ki mbok yo langsung dibantu. Malah bal-balan terus ae,”
Yah, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. “Hoe caaaahhh, kapan lekmu mbaleeek. Jo panggah dolan aeeeee…ki lo enek penggayaaaaaannn!”.

***
Sudah hampir satu jam mas Awang pergi ke kampus. Menjemput bu dosen yang janji datang siang ini. Belum nongol-nongol juga anak itu. Mungkin masih menunggu bu dosen yang masih ada kesibukan. Apa kabar juga Vario Merah itu? Apakah ia nanti diajak mampir ke tempat idamannya : pom dan tempat cuci motor?
“Field note!” Saya terperanjat.
Ow shit! Saya lupa tadi malam belum mengerjakan tugas field note. Tugas ini gak tersentuh, saking ngantuknya. Gak tahu tadi malam kok bisa ngantuk berat kayak gitu. Laga Milan vs Barca juga kelewatan, ndak jadi nonton. Sempat bangun sih, sekitar jam 2. Tapi saya baru sadar kalau di rumah ini TV nya rusak. Dan teman-teman disini yang punya HP yang ada feature TV-nya cuma anak cewek, salah satunya Rifa. Tidak mungkin juga saya berani membangunkan salah satu diantara mereka,
“Udah zam…urungkan aja niatmu nonton bola itu. Gak usah bangunin anak cewek segala.. Ingat, kamu ini anak baik-baik.” bisikan malaikat baik hati dan rajin menabung.
“Siap, komandan!”
Niat saya tadi malam, field note dikerjakan pagi ini. Tapi mungkin karena tadi terlalu semangat bersihin rumput, jadi gak ingat sama hal penting ini.
Sudah tidak ada waktu lagi buat ngerjakan tugas. Sebentar lagi, hakim merangkap pengacara itu sudah mau sampai. (kayaknya lucu ya kalau dalam satu sidang, ada hakim merangkap pengacara? Tapi itulah bu DPL di mata saya, beliau yang memvonis kita, tapi juga memberi solusi atas masalah-masalah kita.) Saya berpikir keras untuk menyiasatinya. Sempat terpikir untuk menghindar dari beliau. Tapi dimana? Apakah di mushola, pura-pura ngaji dan dzikir? Tapi siapa juga yang percaya orang kayak saya ini dzikir di waktu siang? Ataukah di WC, pura-pura kebelet? Tapi kalau terus-terusan diam di WC selama bu DPL disini, membosankan juga! Yang ada malah pintu kamar mandi itu didobrak, dikirain saya ketiduran sambil buang air besar… Ahh, biar bagaimanapun, sidang nanti harus saya hadapi. Sekalian saya ingin membuktikan satu tesis yang berbunyi, TEMPAT BERSEMBUNYI PALING AMAN ADALAH DI KERAMAIAN.

Pukul 11.30 WIB, bu Nur mendarat di posko, tentunya bersama Awang dan motor bagus miliknya Azam (sekali lagi kalau saya menyertakan motor ini, itu ndak ada maksud apa-apa, di transkip nilai sementara sudah tertulis nilai PKM saya A).



Kesempatan bertemu dengan bu dosen tidak disia-siakan oleh temen-temen. Mereka ungkapkan semuanya, serinci-rincinya, sedetail-detailnya, mulai dari kegiatan yang ringan sampai yang berat. Aktifitas yang ringan itu, contohnya belanja sayur-sayuran. Sedangkan yang berat, contohnya belanja galon air minum. Meski sama-sama belanja, tapi harus dibedakan kategorinya. Belanja galon itu tergolong berat, karena butuh tenaga ekstra untuk membawanya.

Selain itu, saya dengar mereka juga menjelaskan aktifitas-aktifitas kelompok, mulai dari ngajar di MI, ikut jamaah tahlil, ikut kerja bakti bareng warga, sampai rencana mengumpulkan masyarakat di posko. Namun dari semua penyampaian itu, ada satu aktifitas yang sebenarnya sangat tidak perlu disampaikan, tapi dijelaskan juga. Agak risih juga saya mendengarnya. Memang mulut teman-teman ini kayaknya perlu diberi penyaring teh di dapur itu. Biar ada filter dari setiap kalimat yang ingin dikeluarkan.



Ya, gosip munculnya grup band baru yang personilnya anggota kelompok F ini terdengar juga oleh bu Nur Fadhilah. Band baru ini digawangi oleh Alam (pemetik senar gitar), Kang Huda (pembetot senar bass), Awang (peniup senar gitar juga), saya (penabuh drumband), Tokichi (vokalis kamar mandi), dan terakhir, Mbak Fitri (juru rekam). Banyak yang bilang kalau grup band ini punya prospek cerah, dan diprediksi bakal mampu bersaing dengan band-band besar tanah air. Apalagi dengan skill langka yang dimiliki personilnya : mengganti gitar dengan sapu lidi, drum dengan bola sepak, dan sound system dengan kereta pengangkut sampah. (Gak perlu banyak-banyak saya jelaskan soal ini. Kalian pasti juga pernah lihat aksi kami waktu pentas di depan mushola itu, yang berhasil menyedot perhatian ribuan pohon di depan kami. Kalian harus bersyukur dapat file gratis, kalau CD itu sudah meledak di pasaran, kalian gak akan mampu beli).

Suasana obrolan masih terus berlangsung. Teman-teman masih bersemangat konsultasi kegiatan-kegiatan kelompok. Tapi tunggu sebentar, dimana ya saya sekarang? Kok gak ada suaranya sama sekali? Tenang, kawan, saya masih disini, saya bersama kalian. Saya masih memperhatikan kalian berdialog sama bu Nur. Saya sengaja diam. Karena hanya dengan diam saya bisa khusyuk berdoa. Memanjatkan harapan kepada Ilahi Robbi supaya tidak ada cheking tugas. Itulah yang sedari tadi saya lakukan!

Alhamdulillah, doa yang terus saya panjatkan ini akhirnya . . . belum terkabul! Bu Nur tetap mengecek tugas individu satu persatu. Tiba giliran saya, saya tunjukkan apa adanya. Alhamdulillah. Tidak ada kemarahan sama sekali atas kelalaian saya. Beliau maklum, entah kenapa. Mungkin karena sebagian besar sudah mengerjakan, dan yang belum hanya satu dua anak termasuk saya, tidak menjadi masalah bagi beliau. Justru Mas Awang, yang sedari tadi istirahat di dalam kamar, sedikit kena sindiran. Saya tidak tahu tugasnya sudah selesai apa belum. (gayamu Wang, macak kesel mari muleh jemput bu Dosen)
Kawan, ternyata benar juga, tempat bersembunyi yang paling aman itu adalah di tempat keramaian.



Ritual terakhir sebelum bu dosen pulang adalah foto-foto. Tak terhitung, sudah berapa banyak file foto yang tersimppan. Padahal ini masih hari ke sebelas. Kalau terus-terusan begini, bisa-bisa nanti sewaktu pulang, saya kebingungan menyimpan file skripsi dimana. Soalnya memori sudah habis karena foto-foto ini.

Dan begitu kagetnya saya, ketika belum ada yang memberi aba-aba, Mbak Lala langsung bergerak cepat. Ia merangsek masuk menuju kerumunan teman-teman, menabrak teman di sana-sini, demi mendapatkan posisi paling strategis di depan kamera. Ia tak mau ketinggalan. Dan bisa dipastikan, teman saya ini akan menampilkan ekspresi wajah terbaik, dengan senyum khasnya. Saya menduga dia sudah melatih ekspresi wajah sekian tahun, hingga menemukan bentuk terbaiknya seperti ini. Sehingga setiap ada sesi pemotretan, dimanapun tempatnya, entah di rumah, sawah, mushola, atau studio, ia akan tetap istiqomah pada ekspresi ini. (Santai Laaaaa…guyoooonnn.. Ingat, kita teman sekelas..).
“Kuncine mas braa…?” mas Awang meminjam motor, mau berangkat mengantar bu Nur kembali ke kampus. Hanya saja, sepertinya ia terkontaminasi cara panggilnya mas Tokichi.
Saya melangkah menuju kamar, mengambil kunci,
“Piye Wang, sip to?”
“Beres! Pokok aku tekan kene mesti full bensin.”
“Servis pisan po ra kiro-kiro?”
“Gampaang..”
“Gampang piye?”
“Gampang! Tak servise dewe sesuk.”

Ringan betul omongannya yang terakhir. Belum tahu dia kalau penyakit di motor matic ini sudah mencapai stadium 4. Sekalipun ia agak jago utak-atik motor, saya ragu problemnya selesai. Kemarin saja, sudah saya utak-utik kaca spionnya, tapi gak ada perubahan (maklum, kalau terkait motor, saya bisanya cuma pasang dan lepas kaca spion).

Bu Nur berpamitan. Pesannya masih sama kayak seminggu lalu : jaga diri, jaga kesehatan, karena waktu kita disini masih lama. Akhirnya, selang beberapa menit kemudian, kebebasan kembali kami raih, setelah beberapa jam sedikit terbelenggu. Sebuah kebebasan yang dibungkus oleh rasa tanggungjawab yang tinggi. Kebebasan yang dibebani oleh nama baik pribadi, kelompok, dan almamater. Kebebasan yang harus selaras dengan tujuan kami berada di sini. Kebebasan yang pada saat kami sudah tua nanti, akan kami kenang sebagai kebebasan yang membawa dampak positif bagi segenap warga dusun Tamban.


(Cerita di atas hanyalah fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama, tempat, atau kejadian, itu semua adalah suatu kesengajaan. Sekali lagi itu saya sengaja. Karena cerita akan mudah muncul jika terinspirasi dari kejadian-kejadian yang pernah kita lihat dan alami. Dan dengan menimbang banyak hal dan masukan-masukan, saya tegaskan bahwa tidak ada motivasi lain dalam cerita itu selain mek pingin ngejak guyon).
Senin, 04 Maret 2013 0 komentar

KANDANG KAMBING PART 4

KANDANG KAMBING PART 4
Oleh : Azzam Arifin

Aja seneng gawe ala ing liyan, Apa alane gawe seneng ing liyan (falsafah jawa)

Malam ini, hawa dingin tak begitu terasa. Awan hanya berpencar tipis, tak mampu menghalangi cahaya bintang nan gemerlapan. Hanya sayang, bintang-bintang itu berserakan. Coba seandainya mereka mau membentuk sesuatu, entah orion, scorpion, atau apalah, pasti lebih enak dilihat. Karena jika hanya mengandalkan sinar, jutaan bintang itu hanya akan diberi senyuman sinis oleh satu benda langit yang lebih dekat dengan mata, berbentuk bulat itu. Entah ini tanggal berapa, tapi benda itu sedang indah, berbentuk purnama. Meski hanya satu, ia tampak berkuasa, karena cahaya yang ia pantulkan dari matahari lebih mampu menerangi bumi ini. Jangankan berharap hawa dingin, justru yang hampir terasa tiap malamnya adalah hawa panas dan gerah. Saya tidak tahu kenapa hujan belum mau turun. Hujan terakhir kali turun adalah pas pertama kali datang, 10 malam yang lalu. Padahal sebelumnya, hujan terus mengguyur. Cuaca seperti mendadak berubah saat kami berada di sini. Beberapa penghuni posko sering mengeluhkan suasana ini. Diantaranya adalah Kang Huda. Kalau nggak percaya, cobalah sekali-kali kalian mengintip Kang Huda pas lagi tidur di kamar pribadinya. (Gak perlu ngintip sebenarnya, soalnya kamar tidurnya itu di ruang tamu, tepatnya di sofa sebelah barat. Jadi, kalau pingin keluar rumah lewat pintu depan, pasti bisa langsung lihat. Hanya perlu dicatat, istilahnya harus tetap ngintip!). Kalau kita lihat, piyama yang ia gunakan di setiap malam jelas mengisyaratkan bahwa ia merasa gerah pada hawa malam hari. Hanya berbalut sarung cap Gajah Duduk itu, sulit diterima akal seandainya tidak benar-benar merasa gerah. Sampai-sampai, pada momen tertentu (kalau kalian lagi beruntung) akan terpampang pemandangan dimana beliau telah melupakan fashal auratnya laki-laki pada kitab Fathul Qarib-nya Imam Ahmad bin Husain. Gak apa-apa, insya Allah di ma‟fu..kan lagi tidur, jadi ndak sadar.. Suasana malam di Tamban, saya duga, akan sulit terlupakan kalau saya sudah pulang nanti. Penyebabnya yaa anak-anak kecil itu. Tiap habis maghrib, ramai sekali oleh adik-adik yang menginginkan siraman rohani dari kakak-kakaknya. Tanpa perlu mengungkap, raut wajah mereka sudah cukup menunjukkan adanya rasa senang karena kedatangan kami. Agak miris memang, anak-anak itu lebih pilih diajar oleh kami ketimbang ibu atau bapaknya. Padahal setahu saya, pelayanan yang kami berikan itu ala kadarnya, cuma gitu-gitu saja, dan terkadang asal-asalan.



Jika ingin mencari siapa orang yang ngajarnya paling asal-asalan, mungkin tersangkanya adalah saya. Pernah satu malam saya kebagian ngajar anak TK yang belum bisa baca, sulitnya bukan main. Saking jengkelnya, saya sampai menerapkan strategi mengajar alternatif yang tidak pernah diajarkan di kampus manapun, “Ayo dik, ditirukan ya cara bacanya . . . s – a? SA… t - u? TU … dibaca …. SETUNGGAL…. ”. Saya memang agak jengkel melihat anak itu yang sulit sekali bacanya, sekalipun saya sadari mungkin juga saya yang kurang trampil ngajarnya. (Setelah ngajar anak ini, saya terheran kenapa gaji guru TK lebih rendah daripada dosen?). Sekarang, anak-anak itu masih ramai di depan mushola, habis jama’ah Isya’. Mereka masih polos, tak akan kemana-mana, pasti setelah ini mereka pulang. “Sido evaluasi po ra to iki?” suara cewek, mungkin Lala, terdengar dari ruang tengah. “Jadi, besok bu Nur rawuh.” Pak Khadiq menanggapi. Oh iya, saya ingat tadi sore si Awang bilang kalau bu Nur besok jadi datang. Ia dapat sms langsung dari beliau. Tak heran, sebab dialah pemangku amanat untuk menjemput beliau dari kampus. Ahh, jasa si Awang memang besar. Ia selalu siap meluangkan waktu untuk menjemput bu DPL itu. Jasa si Awang telah menenggelamkan saya yang sebenarnya juga berjasa karena ikhlas meminjamkan motor dalam setiap penjemputan (jangan salah menilai, bukan maksud saya nitip nama biar dapat nilai A di KHS nanti). Saya masih bersyukur karena saat si Awang pulang nanti, bensin pasti dalam keadaan full. Inilah yang membuat saya selalu mengajukan diri untuk meminjamkan motor saat penjemputan bu DPL. Meskipun, kalau ngomong kebutuhan mendesak, sebenarnya yang paling mendesak untuk motor matic itu bukanlah bensin. Tapi ganti oli sekalian service, dan kalau perlu cuci salju. Sayang sekali, rintihan Vario Merah kesayangan saya itu tidak terdengar juga oleh Bu Nur Fadhilah. (guyoooonn…) Rapat malam ini adalah untuk memastikan kesiapan teman-teman dalam menyambut kerawuhan bu Nur besok siang, terutama tugas individu. Sama seperti seminggu kemarin, hari Rabu malam Kamis merupakan saat dimana vonis dijatuhkan kepada anggota posko yang belum kelar tugas individunya. Kalau ditanya siapa orangnya, sekali lagi tersangkanya adalah saya. Saya memang belum mengerjakan apa-apa, baik laporan harian maupun field note. Untuk urusan field note, keluhan saya lebih kronis lagi, yakni bukannya tidak ingin mengerjakan, tapi tidak tahu apa yang harus saya kerjakan.

 “Karena besok Bu Nur mau dateng, diharapkan dari temen-temen bisa menyelesaikan tugas-tugas yang ada.” Pak Ketua memberi instruksi terakhir untuk malam ini. Di saat berlangsungnya diskusi yang digelar hampir tiap malam, saya menyimpan rasa kagum pada teman-teman. Mereka selalu aktif, dan antusias. Meskipun, aktif dan antusiasnya itu bermacam-macam. Ada yang antusias tidur, ada yang antusias sms-an, ada yang nyethe, ada yang teruus roko’an kayak knalpot, ada yang kipas-kipas pakai kopyah (itu saya). Kawan, ngomongin soal kopyah, kalian jangan salah. Mungkin yang kalian tahu kopyah saya ini letaknya sering asal-asalan. Karena saya naruhnya memang sembarangan (sampai pernah diinjak teman gara-gara saya taruh di bawah meja, pernah juga saya bingung mencari kemana-mana, bertanya ke sana-sini, padahal kopyah itu berada di kepala saya). Setahu kalian mungkin demikian. Tapi kopyah ini punya sejarah tersendiri bagi saya. Ia sudah akrab dengan kepala ini sejak saya hidup di Melathen dulu, sekitar 6 tahun yang lalu. Ya, Melathen adalah suatu tempat dimana saya pernah numpang tidur di sana selama 3,5 tahun, waktu SMP dulu. Walau hanya numpang tidur, saya sangat mencintai tempat ini. Saya sering merindukannya, karena begitu ikhlas menerima orang berotak bebal seperti saya yang tidak hafal-hafal nadham Imrithi, Maqshud, dan Alfiyah. Dan ihklas juga menampung orang berperilaku ngawur seperti saya, yang dalam berperilaku tidak pernah mendasarkan pada tuntunan fiqh-nya Fathul Qarib, Mu’in, dan Wahhab. Sejuta maaf saya sampaikan, kebaikan Melathen malah saya jawab dengan seringnya tidur, ngopi, PS-an, melompat pagar demi nonton bola, dan bolos ngaji. (Salam ta‟dhim saya pada pembimbing sejati yang tidak pernah mengenal saya: KH. Hadi Muhammad Mahfudz). “Coy, Bu Nur sesuk jam piro rawuhe?” Takim bertanya, menghadap ke arah si Awang. Ia agak mencemaskan tugasnya yang belum rampung. “Pokok sesuk aku jam 10 teko kampus. Palingo jam 11-an..” Mendengar percakapan barusan, saya berniat nunda mengerjakan laporan harian. Kan, esok pagi masih ada waktu. Kalau saya nongkrong di rumahnya Bos Tamri, tanya-tanya soal apalah, entah hasil panen tahun ini, kuburan yang dikeramatkan, atau tentang kelompok taninya, pasti akan tersaji secangkir kopi di depan saya. Daripada berspekulasi ngecamm kopi di dapur yang belum pasti di acc, ide ini bisa dibilang cemerlang. Namun saat kaki ini hendak melangkah, Mas Alam keburu menatap saya, “Opo mapping e ae coy sing didisekne. Mumpung gaene sik tas, ngko selak lali”

Ahh, ajakan Anda benar-benar tepat waktu, sobat! Rencana saya untuk minum kopi jadi berantakan. “Iyo, mapping e ae ndang digarap.. Kelompok liyo saloke wis dadi.” Suara cewek, lagi-lagi saya kurang tahu, mungkin Kak Lutfi. “Kertas manila?” Saya balik tanya. “Wis..enek!” “Yo wis lekno, digarap saiki e..” Tapi sebentar, cobalah lihat siapa yang tiba-tiba muncul dari ruang tengah. Menyibak tirai dengan langkah tegap, meski agak cepat. Ya, itu si Awang. Dan lihatlah pula apa yang ada di tangan kanannya. Satu buah cangkir yang saya yakini berisi kopi ijo siap minum. “Oke braaaaaayyy…” Tokichi tampak kegirangan. Respon Tokichi ini berbarengan dengan suara omelan dari beberapa teman cewek. Sekali lagi, mas Awang unjuk kebolehan soal teknik-teknik konsolidasi yang baik dan benar. Tentang bagaimana mengolah kata, menjaga performa, mencari momen yang tepat, hingga bisa melunakkan hati penjaga dapur agar berkenan menuangkan dua sendok gula dan sesendok kopi ke dalam gelas. Dia memang jago untuk urusan ini. Kalau saya yang minta, ceritanya akan lain, “Opo zam? Kopi? Balenono neh, Kopi?” Kopa kopi kopa kopi!” Tapi biasanya, saya tetap dibuatkan, meski harus diawali dengan mendengar kata-kata pedas kayak gitu.. Mapping kali ini dapat dikatakan mudah-mudah sulit. Mudah, karena saya tinggal memperbesar peta awal yang sudah lebih dulu dibikin malam minggu yang lalu. Sulit, karena pembuatan map ini tidak pakai skala. Jadi ya cuma mengarah-ngarah saja. (tolong di-sms-kan semisal ketemu bahasa Indonesia dari kata “mengarah-ngarah”). Setiap kali membuat peta, bawaannya selalu ingat pada guru geografi waktu SMA dulu. Namanya kalau gak salah Pak Mukosim (jujur saya agak lupa namanya, tapi ingat betul wajah beliau). Ingatan saya pada guru ini bukan hanya karena sering menugaskan untuk membuat peta, tapi juga sering munculnya kejadian-kejadian lucu yang berhubungan dengan beliau. Salah satunya saya bagikan kepada kalian, Ceritane ngene cahh… (semakin lama saya merasa semakin fasih dengan gaya khas si Alam).

Waktu itu, hari Sabtu, kami sekelas sedang diajar mata pelajaran BK. Gurunya perempuan, saya lupa namanya. Materinya adalah bahaya narkotika dan zat aditif lain, termasuk rokok, candu, dan sebagainya. Saya ingat waktu itu ada teman yang dulunya pernah kedapatan ngrokok, disuruh maju, dan di depan kelas dicuci habis oleh beliau, serta dijadikan percontohan siswa yang tidak layak diteladani. Kasihan sekali dia. Meski perempuan, guru saya ini ekspresinya melebihi pria waktu menjelaskan atau memarahi siswa-siswinya. Ia selalu menggebu-gebu setiap bicara. Di saat asyik menyampaikan materi, Pak Mukosim muncul di depan pintu. Beliau bermaksud menyampaikan sesuatu, “Maaf bu…mengganggu sebentar.” “Oh iya pak… silahkan.” Guru BK saya ini ternyata bisa lembut juga, padahal kedatangan Pak Mukosim ini telah memotong penyampaian beliau tentang bahaya merokok yang sedang memuncak. Ternyata Pak Mukosim menyampaikan perihal pengisian mading bulan depan yang jatahnya adalah kelas XII IPA 3, kelas saya. Informasi ini sudah saya ketahui beberapa hari yang lalu. Kawan, mungkin ceritanya akan selesai seandainya Pak Mukosim langsung meninggalkan kelas setelah menyampaikan pengumuman tadi. Tapi tidak. Beliau masih melihat-lihat keadaan kelas. Dan secara perlahan, kami melihat munculnya sebuah benda aneh berada di tangannya. Awalnya kami tidak menyadari adanya benda itu. Yaa, sebuah cerutu terapit manis di jari tangan beliau, mengundang gelak tawa dari seisi kelas. Cerutu itu menjadi wadah praktis untuk rokok mahal Dji Sam Soe-nya. Merasa tidak ada yang salah, beliau dekatkan cerutu itu ke mulut, dihisap dalam-dalam, daaan…. buuuuuullllllll. Kepulan asap rokok Pak Mukosim memenuhi sebagian ruang kelas. Kejadian itu tepat berada di depan kami, dan tentu saja di depan guru BK yang barusan menjelaskan tentang . . . . .(kalian pasti tahu). Akhirnya, cerita demi cerita membuat Pak Mukosim menjadi sosok yang berjasa pada kami, bahkan setelah kami lulus, karena selalu dapat kami jadikan bahan untuk mengenang masa-masa SMA dulu.

(Sampai disini sebenarnya saya malu kepada kalian yang mungkin paham dengan sastra, atau setidaknya yang pernah baca buku linguistik, karena alur dalam cerita ini ndak jelas. Disebut alur maju nggak, alur mundur nggak, maju-mundur juga nggak. Ini memang nulisnya seingat saya. Jadi kalau mau melanjutkan baca, silahkan ... kalau gak, ya ndak usah dipaksa. Atau mungkin kalian ingin menyebut alur cerita ini dengan sebutan alur sungai atau alur listrik, silahkan).

***
Semua masih sibuk dengan tugasnya. Ada yang menarikan jari di laptop, yang lain memindah tinta pulpen ke atas kertas folio. Sesekali tangan tak bergerak, masih memperkosa saraf otak untuk terus menampilkan memori kegiatan-kegiatan hari kemarin. Celoteh sesekali muncul, menghapus keheningan yang hanya sebentar. Dari dekat colokan, bunyi getar hape, yang dengan cepat disambut oleh si empunya. Suara tokek terdengar dari atas, memberi petunjuk kalau dia ada, walau entah dimana ia bersembunyi. Bila sedang tidak malu, tokek ini akan turun sampai bawah mencari makan. Dalam keadaan yang sama, saya terus memandangi tampilan microsoft word, bertuliskan nama-nama kepala keluarga RW 5. Saya ingin cek, biar lengkap. Saya baca satu persatu. Sebagian kecil diantaranya sudah saya kenal, meskipun hanya bertegur sapa. Kalau ada satu nama yang membuat saya berhenti sejenak saat membaca, itu adalah nama Nur. Saya hanya sedikit heran, untuk satu RW saja orang yang punya nama ini jumlahnya 8. Yang bapak ada 6, termasuk Pak Nur Kholis Kamituwo itu, sedangkan yang ibu ada 2. Saya pikir, hanya satu alasan yang membuat orang tua ramai-ramai memilih nama ini, yakni karena maknanya yang begitu dalam (cahaya). Dan jumlah yang 8 ini tentu menjadi bertambah, berkat kedatangan salah satu anggota kelompok yang kini tepat di samping saya. Noor Alam Syah. Dan semakin bertambah juga berkat kedatangan teman yang sekarang lagi ngerjakan tugas di ruang tengah, Nurmalasari. Belum habis. nama Nur akan semakin bertambah seandainya saya mau membuka sebuah file berjudul Sitti Nurbaya : Kasih Tak Sampai, novel fenomenal karya Marah Rusli itu. Disana ada nama Nur yang menjadi tokoh utama. (Tolong jangan paksa saya untuk menyebut nama ini pasaran. Kalau kalian ingin bilang demikian, bilang sendiri saja. Saya tidak ikut-ikut. Tapi kalian harus ingat, besok siang kita kedatangan tamu besar yang namanya juga …...). Biar selesainya ndak terlalu larut, saya harus mulai menggambar. Dan akhirnya, disaksikan sebatang rokok yang setia menemani saya, map dusun Tamban terselesaikan. Ndak terasa, hampir dua jam saya mengerjakan map ini.

Segera saya pungut selembar kertas. Sekali lagi ini harus cepat, biar cepat tidur. Soalnya dini hari nanti, ada Milan lawan Barcelona sudah menunggu. Di kertas itu sudah ada tabel kosong yang menunggui untuk diisi kegiatan apa saja yang saya lakukan 10 hari ini. Kawan, mungkin kalian belum tahu, pas malam minggu kemarin, sebenarnya saya melakukan satu aktifitas besar yang bisa dibilang murni demi kepentingan kelompok. (saya tahu kalian pasti ingin memuji saya sebagai orang yang selalu mementingkan kelompok daripada kepentingan pribadi. Iya kan? Ndak usah begitu, itu biasa bagi saya, saya orangnya memang begitu, santai saja..hahaha). Ini saya lakukan sekitar jam 9, sepulang dari keliling dusun untuk mapping. Saya melakukannya bersama Awang. Tapi entah kenapa, saya ragu menulisnya di laporan harian. Pertanyaan besar bagi saya, boleh apa tidak kegiatan semacam ini ditulis di laporan harian? Jadi, biar jelas, saya sharingkan dulu sama Awang. “Piye Wang, ditulis po ra?” “Ojo! Ra pantes dilaporrne!” dia jawab mantap. “Loh, awake dewe kan study banding?” saya membela. “Study banding gundulmu kui… Marakne rame engko.” “Tulis ae lho!” “Heh, sesuk ki aku sing nyusul beliaune. Lek eruh kegiatanku ngono, ndak lucu clok!” Saya heran, kok kegiatan yang punya manfaat buat kelompok kayak gini ndak boleh dilaporkan? Padahal, setelah melakukan aktifitas ini, saya jadi mengerti respon masyarakat Kediri Raya terhadap hiburan yang diselenggarakan secara live. Bukankah ini sebuah data penting? Respon mereka positif, antusiasme-nya juga besar. Selain itu, saya juga jadi tahu bahwa kecintaan masyarakat Kediri terhadap Monumen Simpang Lima Gumul begitu besar. Terbukti, pas ada hajatan disana, mereka berkumpul penuh sesak. (Kawan, silahkan percaya atau tidak, tapi inilah motif utama saya. Kalaupun ada Noah Band yang memang mampir di Simpang Lima Gumul, anggaplah itu kebetulan saja. Saya ndak berniat menontonnya, saya cuma ingin menggali data disana, hehehe…..) Keputusan akhirnya bulat. Aktifitas itu tidak saya tulis.

Malam semakin larut. Di hape butut kesayangan saya tertulis 23:13. Berarti hari memang sudah malam. Teman-teman sebagian sudah ada yang tidur. Yang bertahan tinggal beberapa. Masing-masing tentu punya alasan sendiri atas pilihannya. Seperti Takim, kayaknya dia memilih tidur sejak tadi biar esok pagi bisa fresh waktu jamaah Subuh. Demikian juga Kang Huda. Sementara Alam, pasti dia akan terus menjaga matanya terbuka sampai nanti pertandingan Liga Champions. Sehari-hari, anak ini memang lebih mempraktekkan jadwal tidurnya kelelawar, betah di waktu malam, tapi merem di waktu siang. Sedangkan Awang, kayaknya dia tidak bisa tidur karena kelaparan. Ini adalah penyakit alami bagi orang yang membiasakan diri tidur terlalu larut, bawaannya pasti muncul irama musik dari dalam perut. Tokichi kayaknya sama, kelaparan juga. Sebentar lagi pasti salah satu dari dua orang ini ngajak saya masak di dapur. Berharap ada belas kasihan dari teman cewek yang mau menyumbangkan satu dua bungkus mie instan. Dan akhirnya bisa menjalankan misi menjadi mafia pawon dini hari, kayak kemarin. Sedangkan Pak Khadiq, ndak jelas apa alasannya belum tidur sampai jam segini. Dia masih diam merenung. Oh ya, besok itu hari Kamis, mungkin dia lagi nunggu waktu sahur buat puasa besok. Tapi kalau pingin sahur, mau makan apa juga dia. Makanan kayaknya sudah habis. Ndak ada lagi persediaan yang bisa disantap. Saya menduga, mungkin dia tidak pernah sahur pas pingin puasa Senin Kamis. Kasihan sekali. Atau jangan-jangan (ini yang saya khawatirkan), dia sedang menunggu saya dan lainnya tidur, agar bisa leluasa melahap bayam mentah yang ada di dapur. Sekalian terong yang juga masih mentah itu dijadikan lauk. Kalau ini yang terjadi, berarti sebutan Kandang Kambing untuk tempat ini bukan lagi bermakna kias, tapi benar adanya. (santai cooy). Apapun itu, saya sangat berterima kasih kepada Pak Ketua yang sudah berpuasa demi keselamatan dan kesehatan saya (Loh, kok ngono, kleru nulis.. . sori!). Maksud saya, apapun itu, saya sangat salut kepada Pak Ketua yang sudah mampu mengaplikasikan pengetahuannya tentang puasa. Ilmu yang ia miliki tentang puasa, tidak hanya berhenti di otak, tapi juga diamalkan. Bahkan kalau dipikir-pikir, dengan sering berpuasa, maka pada saat menjalani puasa puncak di bulan Ramadhan nanti, kita akan semakin khusyuk menjalankannya.

Kalau puasa saya, jangan ditanya, yaa, cuma yang penting ndak makan dan ndak minum. Itu saja sudah bagus (mungkin ini yang disebut Imam Ghozali dalam Riyadhotul Mu’minin-nya sebagai tingkatan puasa paling rendah, yang ia sebut dengan puasa ‘aam/puasanya orang umum). Untuk sampai pada tingkatan puasa khusus, dimana seluruh anggota badan ikut berpuasa, saya rasakan masih terlampau berat. Apalagi untuk sampai pada tingakatan khususul khusus (seluruh jiwa raga hanya didekatkan kepada Tuhan), terlampau jauh untuk orang sekelas saya. Ahh, begitu dalamnya hakikat puasa, sehingga tak terjangkau pemahamannya oleh orang berotak dungu seperti saya. Saya terlambat menyadari, di buku-buku falsafah Jawa, tak pernah ada yang ketinggalan menyertakan sebuah falsafah yang cukup indah, bunyinya, “Mati raga anutupi babahan hawa sanga” (Membunuh hawa nafsu, menutup lubang sembilan). Betul. Puasa itu idealnya gak hanya lubang mulut saja yang diperhatikan, tapi juga lubang hidung, telinga, mata, dan 2 lubang lain yang saya lupa namanya. Inilah salah satu keistimewaan puasa, yang ketika diteliti secara ilmiah, ternyata menyimpan manfaat positif bagi jasad dan jiwa manusia. Laporan harian akhirnya kelar juga, meskipun hasilnya tak sepadan dengan milik teman-teman. Saya lihat, punya mereka itu minimal tiga lembar, tapi punya saya cukup satu lembar. Ah, ndak apa-apa, yang penting gugur kewajiban. Tapi kemudian, muncul bisikan, mungkin dari setan malam, “Tenang zam, pasti yang ditulis teman-temanmu itu kegiatan-kegiatan yang remeh-temeh, kayak cuci baju, pergi ke WC, atau tidur siang. Jadi kegiatannya keliatan banyak”. Bisa juga ya.. Tapi bagaimana saya mau menyetujui pendapat setan ini, lha wong kegiatan yang saya tulis saja gak kalah remeh, seperti nyapu, masak, dan ketiga kegiatan yang dituduhkan setan itu juga saya tulis. Ah, setan tolol! Tapi kenapa ya, kok hasilnya cuma satu lembar?

Deru mesin motor bersahutan, mengarahkan roda-roda menuju garasi yang dipaksakan. Sudah saatnya motor-motor itu masuk ke kandangnya. Kami berlima, mengalahkan rasa kantuk demi satu hal : menghapus kemungkinan terburuk yang menghampiri motor-motor ini. Kalaupun ada tetangga yang bilang kalau daerah ini aman-aman saja, bukan berarti kami harus menaruh barang mahal ini sembarangan. Sedikit kecerobohan bisa berakhir dengan penyesalan. Biarkan Vespa itu saja yang kita paksa duduk di luar, karena bodinya yang besar membuatnya tidak pernah kebagian tempat di dalam. Lampu ruang tamu padam. Semua mencoba mengakrabi keheningan. Merebahkan badan yang sudah lelah karena aktifitas hari ini. Dan menyimpan doa serta harapan, semoga saat membuka mata nanti, Tuhan masih memberi kekuatan semua penghuni posko ini untuk mengucap selamat pagi kepada dunia.


(Cerita di atas hanyalah fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama, tempat, atau kejadian, itu semua adalah suatu kesengajaan. Sekali lagi itu saya sengaja. Karena cerita akan mudah muncul jika terinspirasi dari kejadian-kejadian yang pernah kita lihat dan alami. Dan dengan menimbang banyak hal dan masukan-masukan, saya tegaskan bahwa tidak ada motivasi lain dalam cerita itu selain mek pingin ngejak guyon).
 
;