KANDANG KAMBING PART 5
Oleh : Azzam Arifin
Mumpung
anom ngudiya laku utama (falsafah jawa)
Kawan,
kalian tahu kan benda penting di rumah ini yang bernama sanyo? Saya menyebutnya
penting, karena tanpa ini, kita akan kesulitan. Tak ada sumur di rumah ini,
maka saya berpendapat bahwa benda ini termasuk salah satu aset berharga di
posko kita tercinta.
Sebelum
saya lanjutkan, kalian yang peka dengan tulisan di atas saya beri waktu untuk
melabeli saya dengan sebutan wong ndeso (jan ndeso banget lah poko’e). Memang
begitu. Bagaimana nggak ndeso, untuk mengucap pompa air saja mulut ini lebih
ringan memakai kata sanyo (diambil dari merk paling terkenal dari pompa air).
Sejak kecil memang pelajaran keluarga kayak gitu. Coba amati perintah nenek
saya waktu beliau memerintahkan untuk beli balsem,
“Le,
tak kongkon, tukokno rhemason...”
Untuk
perintah seperti itu, saya tak perlu pusing seandainya balsem merk Rhemason
habis di toko tetangga, tinggal saya belikan apa yang tersedia, entah cap
geliga atau lainnya. Nenek saya akan tetap tersenyum dengan itu.
Untuk
kasus lain, gak perlu jauh-jauh sih sebenarnya mencari. Di posko ini saja, saya
sempat dibuat kebingungan gara-gara munculnya satu perintah, kalau gak salah
dari Mbak Fitri,
“Pak,
jaluk tulung yo, tumbas aqua sing merk e Amnudai”
Saya
benar-benar dipaksa bingung, antara memilih air mineral merk Aqua atau Amnudai.
Maklum, mungkin ia juga terjangkit virus ndeso itu. (Thanks atas koment Anda,
Mbak Fitri. Atas permintaan Anda, ini saya masukkan nama Anda ke dalam cerita,
meski statusnya sebagai wong katrok, ndak apa-apa).
Benda
pemompa air ini kiranya perlu saya ulas untuk meluapkan sedikit rasa heran
saya. Selama di posko, saya lihat sanyo mengalami yang namanya disfungsi
(begitu orang intelek menyebut). Benda ini kan sebenarnya berfungsi buat
nyalurin air dari sumbernya menuju tempat-tempat yang kita inginkan, kayak bak
mandi, tempat isah-isah (itu yang di sebelah kamar mandi namanya apa to, saya
belum tahu, maklum wong ndeso), atau menuju selang untuk siram-siram halaman.
Tapi di sini, ia lebih banyak difungsikan sebagai peredam suara indah yang
datang dari kamar mandi. Apakah suara itu indah atau memalukan? Terserah
kalian. Tapi ritual apapun di kamar mandi memang sukses dibungkam oleh benda
ini.
Biar
lengkap, kayaknya perlu diperingkat jenis-jenis suara di kamar mandi, dari yang
tingkat memalukannya paling rendah sampai paling tinggi. Menempati peringkat ke
4, ada suara cuci baju. Suara ini begitu biasa, tak perlu membunyikan sanyo.
Bahkan siapapun berani membiarkan pintu kamar mandi terbuka. Di peringkat 3,
ada suara pas lagi mandi. Ini juga biasa, tapi beberapa teman masih merasa malu
dan memilih membunyikan sanyo. Untuk peringkat 2, ada suara buang hajat (saya
sebenarnya agak heran dengan istilah ini, siapa juga yang punya hajatan? Masak
di dalam perut ini sedang ada acara sunatan, trus harus kita batalin dengan
cara membuangnya?). Dan menempati posisi teratas, yang apabila suara ini tidak
kalian bungkam dengan sanyo, kalian bisa menanggung malu seumur hidup .. jreng..jreng…jreng..
Ya, suara pas kalian memanfaatkan sabun untuk suatu permainan tertentu (seperti
sabun itu kalian lempar-lempar ke tembok, kalian tendang-tendang waktu mandi,
pasti teman kalian di luar bisa menuduh kamu itu gila atau sinting. Itu maksud
saya, jangan berpikir yang aneh-aneh!).
Kalau
saja pabrik pembuat sanyo sadar pada fungsi peredam itu, saya duga harganya
akan dinaikkan. Justru, fungsi kedua ini lebih penting. Kalian bayangkan, waktu
enak-enak makan di dapur, tiba-tiba muncul suara gemuruh dan petir dari dalam
WC, kan ndak lucu. Yang di WC sih santai-santai saja, tapi kesantaian itu telah
melukai hati teman kalian yang sedang makan. Sekalipun tak ada pipa penyalur,
alam imajinasi telah mengirim kotoran itu ke atas piring kalian. Warna putih
nasipun segera berubah kekuning-kuningan.
“Jan
ngguilani omongane!” suara imajinasi cewek masuk ke benak saya.
Tapi,
biarpun fenomena itu menjalar seisi posko, masih ada satu teman kita yang tidak
percaya pada fungsi peredam itu. Siapa lagi kalau bukan mas Alam. Biar
aktifitasnya ndak terdengar, ia memilih berteriak-teriak ndak jelas setiap kali
mandi, kencang sekali teriakannya. (maaf mas Alam, saya ndak setuju kalau Anda
mengaku sedang bernyanyi. Bagi saya, itu lebih mirip teriakan untuk mengahalau burung-burung
di sawah).
“Ayooo,
ndang cepet Laaaam! Adus po nguras jeding to jane ???..”
Keresahan
saya berbalas suara teriakan penghalau burung yang makin keras. Tumben,
pagi-pagi gini dia sudah mandi.
Suasana
posko agak lengang, sebagian besar masih jalan-jalan keluar. Kata mereka sih,
itu olahraga pagi. Biar sehat gitu, katanya. Tapi dimana letak keolahragaannya,
ndak jelas juga. Berjalan malas-malasan, diselingi mulut yang terus menguap.
Beberapa juga masih pakai sarung. Belum pernah saya temukan anjuran bagi
olahragawan untuk pakai sarung sebagai kostumnya. Tidak sehat coy, hanya lelah
yang kau dapat. (Biasakanlah menerima kritik dari sudut pandang positif,
sekalipun kritik ini muncul dari orang yang tidak pernah ikut olahraga pagi
karena bangunnya sering telat).
Daripada
memilih olahraga yang gak jelas kayak gitu, lebih baik saya memilih olahraga
yang sebenarnya. Yes, it’s the real sport. Sepakbola! Bola plastik di depan
mushola itulah yang membuat mata ini jadi biru. Kebetulan, ada Fuadi di situ. Bocah
itu kalau saya ajak main, bisa menjadi alibi kalau-kalau ada tetangga yang
berprasangka saya ini kurang bahagia di masa kecilnya.
Kawan,
fenomena orang dewasa yang bertingkah seperti anak-anak kayaknya lagi merebak
dimana-mana. Mungkin, mereka jenuh sama aktifitasnya, jadi ya memilih melakukan
kegiatan-kegiatan yang sebetulnya adalah kegiatan anak kecil. Almarhum Gus Dur
dulu sampai bilang, “Anggota DPR itu tingkahnya kayak anak TK”. Jelas, siapapun
tercengang pada pernyataan ini. Siapa juga yang percaya kalau orang yang
berpendidikan tinggi itu tingkahnya kekanak-kanakan. Tapi coba kita lihat
sidang pembahasan kasus Bank Century oleh anggota DPR beberapa tahun lalu. Ada
yang teriak-teriak di persidangan. Ada yang memukul meja pimpinan sidang. Terlepas
dari siapa yang benar dan salah, pemandangan itu sangat memilukan masyarakat
yang notabene adalah pemberi gaji bulanan mereka. Justru masyarakat yang tampak
lebih dewasa, meski hanya dengan melongo dan diam menonton kericuhan itu.
“Biarkan saja, namanya juga anak TK!”
Mahasiswa
juga sama. Sudah berapa banyak korban berjatuhan akibat bentrok dengan polisi?
Apakah sudah tidak ada cara-cara yang lebih etis untuk melakukan perlawanan?
Ingat, sebenar dan sepenting apapun tuntutan kalian, masyarakat terlanjur mencap
demontrasi itu biang ketidaknyamanan! Ini harus dijadikan pertimbangan. Sudah
saatnya set gerakan dialihkan kepada cara-cara yang lebih akrab di mata
masyarakat, semisal melalui tulisan. (Waktu saya berbincang tentang metode aksi
apa yang efektif untuk saat sekarang, saya sempat ditertawakan. Waktu itu saya
menjawab : melalui tulisan. Bagi orang tersebut, menulis itu aktifitas yang
lembek dan tuntutan kita gak akan didengar sama sekali. Saya pilih diam, dan
mundur menghadapi orang yang lupa diri kayak gini. Waktu ia mengejek aktifitas
menulis, ia sudah lupa bahwa pengetahuannya tentang aksi dan lainnya, ia dapat
juga dari tulisan. Kalaupun menulis kurang efektif, itu dikarenakan tidak
adanya kesatupaduan dari mahasiswa untuk bersama-sama menyusun pengorganisasian
yang baik dalam hal tulis-menulis. Mungkin betul kata orang, mahasiswa sekarang
itu banyak bicara, tapi sedikit membaca dan menulis).
Tiba-tiba
saya teringat pada sebuah tulisan yang tertera di kaos teman lama saya : Kata
adalah Senjata!
Ahh..
kok jadi nglantur kemana-mana (mulai sekarang kalian harus segera mengingatkan
saya apabila tiba-tiba omongan saya melenceng gak jelas. Gimana caranya? Bisa
lewat sms, ketik REG spasi ….)
Sampai
dimana tadi? Oh iya, tentang memanfaatkan anak kecil untuk menutupi keinginan
kita bertingkah kekanak-kanakan. Hanya yang terpenting, bagi saya, kegiatan itu
cuma sebatas hiburan belaka dan tidak berpeluang menimbulkan efek super buruk
ke depannya (tidak kayak anggota DPR di atas). Toh kalau boleh jujur, bermain
bersama anak-anak dapat menghilangkan kepenatan yang menjangkiti diri ini.
Kepolosan dan keluguan merekalah yang menjadi penyebab semua itu.
Contohlah
mas Takim… (maaf coy, sampeyan saya jadikan model percontohan). Boleh-boleh
saja ia mengaku cuma menemani anak-anak itu renang di kali Kraton. Tapi saya
curiga, itu hanya akal-akalannya untuk menuntaskan kerinduan pada kegiatan
semasa kecil : ciblon di sungai! Lagi-lagi anak kecil menjadi korban dari
hasrat orang dewasa. (hasrat = keinginan, bukan Pak Hasrat calon mertuamu itu,
Kim!)
Sekarang,
Fuadi akan saya jadikan tameng untuk menutupi kerinduan saya main bola.
“Ini
pak, bu, lagi nemenin Fuadi main bola..” Mantap! Ucapan inilah yang saya
siapkan kalau ada tetangga heran orang segede saya masih kayak anak-anak. Maaf
ya dik Fuadi!
Entah
kenapa, tiap lihat bola, kok seperti ada yang menggerakkan tubuh saya untuk
segera mengambil raket (lho?). Saya sangat suka sepakbola, sedari kecil. Dan
sebagai lelaki, saya semakin bangga ketika mendengar jargon dari salah satu
minuman suplemen terkenal, bermerk Bukak Titik Joss (sengaja saya plesetkan,
gak boleh sebut merk), bunyinya : Jiwa laki! Bersatu untuk sepakbola!. Meski
kalau dipikir-pikir, ungkapan itu agak keterlaluan, kan gak setiap laki-laki
harus suka pada olahraga ini.
Dari
hobi ini saja, saya mencatat berbagai prestasi membanggakan. Pertama, pencetak
gol terbanyak Liga Gaprukan musim kompetisi 1999 sampai 2003. Liga Gaprukan?
Ya, demikianlah teman-teman kecil saya menyebut kompetisi yang diselenggarakan
di tempat yang selalu berpindah-pindah ini (tergantung sawah siapa yang
nganggur, sedang tidak ditanami). Di tengah badai cedera yang sering
menghampiri saya (karena pemainnya lebih suka mengandalkan otot ketimbang
skill, sampai pernah seseorang menjegal kaki saya dengan kasar, padahal dia itu
rekan satu tim, dikirain saya itu lawannya), saya berhasil bertahan hingga
merebut gelar top skorer itu 4 musim berturut-turut. Kedua, pemain terbaik
turnamen pra kompetisi (mirip Trofeo Berlusconi di Liga Italia). Sebuah
turnamen yang mengharuskan pemainnya memakai sarung setiap kali tampil. Aksi
saya yang paling ciamik, hingga mengundang kagum penonton, adalah membungkus
bola ke dalam sarung tanpa ada satupun pemain lawan yang bisa merebut. Ketiga,
(yang ini lebih mentereng, karena turnamen antar desa), menjadi kacung
terfavorit. You know kacung? Ya, pengambil bola setiap kali bola keluar
lapangan. Saya memang gesit waktu itu. Saking gesitnya, saya sampai mengganggu
jalannya pertandingan di dalam lapangan, karena bola yang masih dimainkan di
lapangan itu saya ambil juga.
Semakin
saya cerita banyak, kok kayaknya kalian semakin meremehkan saya. “Cuma prestasi
memalukan kayak gitu?” Ini gak bisa dibiarkan! Hentikan leluconmu itu, kawan!
Tapi gimana lagi ya, saya ndak bisa apa-apa. Faktanya memang begitu. Dan saya
merasa lebih hina lagi karena ketiga gelar itu diberikan bukan oleh
siapa-siapa, tapi oleh ibu saya sendiri. Ini dimaksudkan untuk menghibur saya
yang tidak kunjung-kunjung pandai main bola.
Saya
masih asyik main bola sama Fuadi, sembari menunggu datangnya teman-teman yang
masih olahraga pagi. Terdengar suara orang membersihkan rumput. Tak tahu kapan
datangnya, tiba-tiba ia sudah ada di situ. Ya, Pak Marjani. Ayah Fuadi alias
pemilik mushola alias penasehat kelompok kita.
“La
konco-kancane sami teng pundi to mas Azam?”
“Tasik
mlampah-mlampah pak niki wau…”
Lihatlah
betapa bijaksananya Pak Marjani ini, kawan. Selama saya asyik main bola, beliau
tidak memberi perintah apapun kepada saya. Beliau masih giat mencangkul rumput
itu sedikit demi sedikit. Hanya kemudian saya baru sadar, ada dua cangkul yang
dibawa Pak Marjani. Yang satu dipakai bersihin rumput, yang satu nganggur di
sampingnya. Ndak logis kan kalau beliau ingin bersihin rumput itu sendiri,
harus bawa dua cangkul segala. Dan hanya orang bego dan tolol yang tidak
memahami maksud tersembunyi dari Pak Marjani ini. (berarti saya juga termasuk
orang bego dan tolol itu, atau paling tidak setengah bego lah, karena terlambat
menyadari maksud beliau).
Secara
perlahan saya mendekati cangkul itu. Sambil menahan malu tentunya. Sedikit
modus penutup rasa malu, saya harus keluarkan sepatah dua patah kata kepada
beliau, sekedar basa basi,
“Loh pak, niki wau mboten nyambut damel gih?”
“Pas
libur mas”
Berhasil.
Pertanyaan itu sukses menutupi sedikit rasa malu. Saya ikut bantu bersihin
rumput. Meskipun seolah-olah saya mendengar suara dalam hati Pak Marjani,
“Iki
bocah kok ra paham-paham ket mau, lagek sadar sik tas. Kudune lek enek wong
tandang gae, ki mbok yo langsung dibantu. Malah bal-balan terus ae,”
Yah,
lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. “Hoe caaaahhh, kapan lekmu
mbaleeek. Jo panggah dolan aeeeee…ki lo enek penggayaaaaaannn!”.
***
Sudah
hampir satu jam mas Awang pergi ke kampus. Menjemput bu dosen yang janji datang
siang ini. Belum nongol-nongol juga anak itu. Mungkin masih menunggu bu dosen
yang masih ada kesibukan. Apa kabar juga Vario Merah itu? Apakah ia nanti
diajak mampir ke tempat idamannya : pom dan tempat cuci motor?
“Field
note!” Saya terperanjat.
Ow
shit! Saya lupa tadi malam belum
mengerjakan tugas field note. Tugas ini gak tersentuh, saking ngantuknya. Gak
tahu tadi malam kok bisa ngantuk berat kayak gitu. Laga Milan vs Barca juga
kelewatan, ndak jadi nonton. Sempat bangun sih, sekitar jam 2. Tapi saya baru
sadar kalau di rumah ini TV nya rusak. Dan teman-teman disini yang punya HP
yang ada feature TV-nya cuma anak cewek, salah satunya Rifa. Tidak mungkin juga
saya berani membangunkan salah satu diantara mereka,
“Udah
zam…urungkan aja niatmu nonton bola itu. Gak usah bangunin anak cewek segala..
Ingat, kamu ini anak baik-baik.” bisikan malaikat baik hati dan rajin menabung.
“Siap,
komandan!”
Niat
saya tadi malam, field note dikerjakan pagi ini. Tapi mungkin karena tadi
terlalu semangat bersihin rumput, jadi gak ingat sama hal penting ini.
Sudah
tidak ada waktu lagi buat ngerjakan tugas. Sebentar lagi, hakim merangkap
pengacara itu sudah mau sampai. (kayaknya lucu ya kalau dalam satu sidang, ada
hakim merangkap pengacara? Tapi itulah bu DPL di mata saya, beliau yang
memvonis kita, tapi juga memberi solusi atas masalah-masalah kita.) Saya
berpikir keras untuk menyiasatinya. Sempat terpikir untuk menghindar dari
beliau. Tapi dimana? Apakah di mushola, pura-pura ngaji dan dzikir? Tapi siapa
juga yang percaya orang kayak saya ini dzikir di waktu siang? Ataukah di WC,
pura-pura kebelet? Tapi kalau terus-terusan diam di WC selama bu DPL disini,
membosankan juga! Yang ada malah pintu kamar mandi itu didobrak, dikirain saya
ketiduran sambil buang air besar… Ahh, biar bagaimanapun, sidang nanti harus
saya hadapi. Sekalian saya ingin membuktikan satu tesis yang berbunyi, TEMPAT
BERSEMBUNYI PALING AMAN ADALAH DI KERAMAIAN.
Pukul
11.30 WIB, bu Nur mendarat di posko, tentunya bersama Awang dan motor bagus
miliknya Azam (sekali lagi kalau saya menyertakan motor ini, itu ndak ada
maksud apa-apa, di transkip nilai sementara sudah tertulis nilai PKM saya A).
Kesempatan
bertemu dengan bu dosen tidak disia-siakan oleh temen-temen. Mereka ungkapkan
semuanya, serinci-rincinya, sedetail-detailnya, mulai dari kegiatan yang ringan
sampai yang berat. Aktifitas yang ringan itu, contohnya belanja sayur-sayuran.
Sedangkan yang berat, contohnya belanja galon air minum. Meski sama-sama
belanja, tapi harus dibedakan kategorinya. Belanja galon itu tergolong berat,
karena butuh tenaga ekstra untuk membawanya.
Selain
itu, saya dengar mereka juga menjelaskan aktifitas-aktifitas kelompok, mulai
dari ngajar di MI, ikut jamaah tahlil, ikut kerja bakti bareng warga, sampai
rencana mengumpulkan masyarakat di posko. Namun dari semua penyampaian itu, ada
satu aktifitas yang sebenarnya sangat tidak perlu disampaikan, tapi dijelaskan
juga. Agak risih juga saya mendengarnya. Memang mulut teman-teman ini kayaknya
perlu diberi penyaring teh di dapur itu. Biar ada filter dari setiap kalimat
yang ingin dikeluarkan.
Ya,
gosip munculnya grup band baru yang personilnya anggota kelompok F ini
terdengar juga oleh bu Nur Fadhilah. Band baru ini digawangi oleh Alam (pemetik
senar gitar), Kang Huda (pembetot senar bass), Awang (peniup senar gitar juga),
saya (penabuh drumband), Tokichi (vokalis kamar mandi), dan terakhir, Mbak
Fitri (juru rekam). Banyak yang bilang kalau grup band ini punya prospek cerah,
dan diprediksi bakal mampu bersaing dengan band-band besar tanah air. Apalagi
dengan skill langka yang dimiliki personilnya : mengganti gitar dengan sapu
lidi, drum dengan bola sepak, dan sound system dengan kereta pengangkut sampah.
(Gak perlu banyak-banyak saya jelaskan soal ini. Kalian pasti juga pernah lihat
aksi kami waktu pentas di depan mushola itu, yang berhasil menyedot perhatian
ribuan pohon di depan kami. Kalian harus bersyukur dapat file gratis, kalau CD
itu sudah meledak di pasaran, kalian gak akan mampu beli).
Suasana
obrolan masih terus berlangsung. Teman-teman masih bersemangat konsultasi
kegiatan-kegiatan kelompok. Tapi tunggu sebentar, dimana ya saya sekarang? Kok
gak ada suaranya sama sekali? Tenang, kawan, saya masih disini, saya bersama
kalian. Saya masih memperhatikan kalian berdialog sama bu Nur. Saya sengaja
diam. Karena hanya dengan diam saya bisa khusyuk berdoa. Memanjatkan harapan
kepada Ilahi Robbi supaya tidak ada cheking tugas. Itulah yang sedari tadi saya
lakukan!
Alhamdulillah,
doa yang terus saya panjatkan ini akhirnya . . . belum terkabul! Bu Nur tetap
mengecek tugas individu satu persatu. Tiba giliran saya, saya tunjukkan apa
adanya. Alhamdulillah. Tidak ada kemarahan sama sekali atas kelalaian saya.
Beliau maklum, entah kenapa. Mungkin karena sebagian besar sudah mengerjakan,
dan yang belum hanya satu dua anak termasuk saya, tidak menjadi masalah bagi
beliau. Justru Mas Awang, yang sedari tadi istirahat di dalam kamar, sedikit
kena sindiran. Saya tidak tahu tugasnya sudah selesai apa belum. (gayamu Wang,
macak kesel mari muleh jemput bu Dosen)
Kawan,
ternyata benar juga, tempat bersembunyi yang paling aman itu adalah di tempat
keramaian.
Ritual
terakhir sebelum bu dosen pulang adalah foto-foto. Tak terhitung, sudah berapa
banyak file foto yang tersimppan. Padahal ini masih hari ke sebelas. Kalau
terus-terusan begini, bisa-bisa nanti sewaktu pulang, saya kebingungan
menyimpan file skripsi dimana. Soalnya memori sudah habis karena foto-foto ini.
Dan
begitu kagetnya saya, ketika belum ada yang memberi aba-aba, Mbak Lala langsung
bergerak cepat. Ia merangsek masuk menuju kerumunan teman-teman, menabrak teman
di sana-sini, demi mendapatkan posisi paling strategis di depan kamera. Ia tak
mau ketinggalan. Dan bisa dipastikan, teman saya ini akan menampilkan ekspresi
wajah terbaik, dengan senyum khasnya. Saya menduga dia sudah melatih ekspresi
wajah sekian tahun, hingga menemukan bentuk terbaiknya seperti ini. Sehingga
setiap ada sesi pemotretan, dimanapun tempatnya, entah di rumah, sawah,
mushola, atau studio, ia akan tetap istiqomah pada ekspresi ini. (Santai
Laaaaa…guyoooonnn.. Ingat, kita teman sekelas..).
“Kuncine
mas braa…?” mas Awang meminjam motor, mau berangkat mengantar bu Nur kembali ke
kampus. Hanya saja, sepertinya ia terkontaminasi cara panggilnya mas Tokichi.
Saya
melangkah menuju kamar, mengambil kunci,
“Piye
Wang, sip to?”
“Beres!
Pokok aku tekan kene mesti full bensin.”
“Servis
pisan po ra kiro-kiro?”
“Gampaang..”
“Gampang
piye?”
“Gampang!
Tak servise dewe sesuk.”
Ringan
betul omongannya yang terakhir. Belum tahu dia kalau penyakit di motor matic
ini sudah mencapai stadium 4. Sekalipun ia agak jago utak-atik motor, saya ragu
problemnya selesai. Kemarin saja, sudah saya utak-utik kaca spionnya, tapi gak
ada perubahan (maklum, kalau terkait motor, saya bisanya cuma pasang dan lepas
kaca spion).
Bu
Nur berpamitan. Pesannya masih sama kayak seminggu lalu : jaga diri, jaga
kesehatan, karena waktu kita disini masih lama. Akhirnya, selang beberapa menit
kemudian, kebebasan kembali kami raih, setelah beberapa jam sedikit terbelenggu.
Sebuah kebebasan yang dibungkus oleh rasa tanggungjawab yang tinggi. Kebebasan
yang dibebani oleh nama baik pribadi, kelompok, dan almamater. Kebebasan yang
harus selaras dengan tujuan kami berada di sini. Kebebasan yang pada saat kami
sudah tua nanti, akan kami kenang sebagai kebebasan yang membawa dampak positif
bagi segenap warga dusun Tamban.
(Cerita
di atas hanyalah fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama, tempat, atau
kejadian, itu semua adalah suatu kesengajaan. Sekali lagi itu saya sengaja. Karena
cerita akan mudah muncul jika terinspirasi dari kejadian-kejadian yang pernah
kita lihat dan alami. Dan dengan menimbang banyak hal dan masukan-masukan, saya
tegaskan bahwa tidak ada motivasi lain dalam cerita itu selain mek pingin
ngejak guyon).
0 komentar:
Posting Komentar