Blue Fire Pointer
Selasa, 05 Maret 2013

KANDANG KAMBING PART 5

KANDANG KAMBING PART 5
Oleh : Azzam Arifin

Mumpung anom ngudiya laku utama (falsafah jawa)

Kawan, kalian tahu kan benda penting di rumah ini yang bernama sanyo? Saya menyebutnya penting, karena tanpa ini, kita akan kesulitan. Tak ada sumur di rumah ini, maka saya berpendapat bahwa benda ini termasuk salah satu aset berharga di posko kita tercinta.

Sebelum saya lanjutkan, kalian yang peka dengan tulisan di atas saya beri waktu untuk melabeli saya dengan sebutan wong ndeso (jan ndeso banget lah poko’e). Memang begitu. Bagaimana nggak ndeso, untuk mengucap pompa air saja mulut ini lebih ringan memakai kata sanyo (diambil dari merk paling terkenal dari pompa air). Sejak kecil memang pelajaran keluarga kayak gitu. Coba amati perintah nenek saya waktu beliau memerintahkan untuk beli balsem,
“Le, tak kongkon, tukokno rhemason...”

Untuk perintah seperti itu, saya tak perlu pusing seandainya balsem merk Rhemason habis di toko tetangga, tinggal saya belikan apa yang tersedia, entah cap geliga atau lainnya. Nenek saya akan tetap tersenyum dengan itu.

Untuk kasus lain, gak perlu jauh-jauh sih sebenarnya mencari. Di posko ini saja, saya sempat dibuat kebingungan gara-gara munculnya satu perintah, kalau gak salah dari Mbak Fitri,
“Pak, jaluk tulung yo, tumbas aqua sing merk e Amnudai”

Saya benar-benar dipaksa bingung, antara memilih air mineral merk Aqua atau Amnudai. Maklum, mungkin ia juga terjangkit virus ndeso itu. (Thanks atas koment Anda, Mbak Fitri. Atas permintaan Anda, ini saya masukkan nama Anda ke dalam cerita, meski statusnya sebagai wong katrok, ndak apa-apa).

Benda pemompa air ini kiranya perlu saya ulas untuk meluapkan sedikit rasa heran saya. Selama di posko, saya lihat sanyo mengalami yang namanya disfungsi (begitu orang intelek menyebut). Benda ini kan sebenarnya berfungsi buat nyalurin air dari sumbernya menuju tempat-tempat yang kita inginkan, kayak bak mandi, tempat isah-isah (itu yang di sebelah kamar mandi namanya apa to, saya belum tahu, maklum wong ndeso), atau menuju selang untuk siram-siram halaman. Tapi di sini, ia lebih banyak difungsikan sebagai peredam suara indah yang datang dari kamar mandi. Apakah suara itu indah atau memalukan? Terserah kalian. Tapi ritual apapun di kamar mandi memang sukses dibungkam oleh benda ini.

Biar lengkap, kayaknya perlu diperingkat jenis-jenis suara di kamar mandi, dari yang tingkat memalukannya paling rendah sampai paling tinggi. Menempati peringkat ke 4, ada suara cuci baju. Suara ini begitu biasa, tak perlu membunyikan sanyo. Bahkan siapapun berani membiarkan pintu kamar mandi terbuka. Di peringkat 3, ada suara pas lagi mandi. Ini juga biasa, tapi beberapa teman masih merasa malu dan memilih membunyikan sanyo. Untuk peringkat 2, ada suara buang hajat (saya sebenarnya agak heran dengan istilah ini, siapa juga yang punya hajatan? Masak di dalam perut ini sedang ada acara sunatan, trus harus kita batalin dengan cara membuangnya?). Dan menempati posisi teratas, yang apabila suara ini tidak kalian bungkam dengan sanyo, kalian bisa menanggung malu seumur hidup .. jreng..jreng…jreng.. Ya, suara pas kalian memanfaatkan sabun untuk suatu permainan tertentu (seperti sabun itu kalian lempar-lempar ke tembok, kalian tendang-tendang waktu mandi, pasti teman kalian di luar bisa menuduh kamu itu gila atau sinting. Itu maksud saya, jangan berpikir yang aneh-aneh!).

Kalau saja pabrik pembuat sanyo sadar pada fungsi peredam itu, saya duga harganya akan dinaikkan. Justru, fungsi kedua ini lebih penting. Kalian bayangkan, waktu enak-enak makan di dapur, tiba-tiba muncul suara gemuruh dan petir dari dalam WC, kan ndak lucu. Yang di WC sih santai-santai saja, tapi kesantaian itu telah melukai hati teman kalian yang sedang makan. Sekalipun tak ada pipa penyalur, alam imajinasi telah mengirim kotoran itu ke atas piring kalian. Warna putih nasipun segera berubah kekuning-kuningan.
“Jan ngguilani omongane!” suara imajinasi cewek masuk ke benak saya.

Tapi, biarpun fenomena itu menjalar seisi posko, masih ada satu teman kita yang tidak percaya pada fungsi peredam itu. Siapa lagi kalau bukan mas Alam. Biar aktifitasnya ndak terdengar, ia memilih berteriak-teriak ndak jelas setiap kali mandi, kencang sekali teriakannya. (maaf mas Alam, saya ndak setuju kalau Anda mengaku sedang bernyanyi. Bagi saya, itu lebih mirip teriakan untuk mengahalau burung-burung di sawah).
“Ayooo, ndang cepet Laaaam! Adus po nguras jeding to jane ???..”

Keresahan saya berbalas suara teriakan penghalau burung yang makin keras. Tumben, pagi-pagi gini dia sudah mandi.
Suasana posko agak lengang, sebagian besar masih jalan-jalan keluar. Kata mereka sih, itu olahraga pagi. Biar sehat gitu, katanya. Tapi dimana letak keolahragaannya, ndak jelas juga. Berjalan malas-malasan, diselingi mulut yang terus menguap. Beberapa juga masih pakai sarung. Belum pernah saya temukan anjuran bagi olahragawan untuk pakai sarung sebagai kostumnya. Tidak sehat coy, hanya lelah yang kau dapat. (Biasakanlah menerima kritik dari sudut pandang positif, sekalipun kritik ini muncul dari orang yang tidak pernah ikut olahraga pagi karena bangunnya sering telat).

Daripada memilih olahraga yang gak jelas kayak gitu, lebih baik saya memilih olahraga yang sebenarnya. Yes, it’s the real sport. Sepakbola! Bola plastik di depan mushola itulah yang membuat mata ini jadi biru. Kebetulan, ada Fuadi di situ. Bocah itu kalau saya ajak main, bisa menjadi alibi kalau-kalau ada tetangga yang berprasangka saya ini kurang bahagia di masa kecilnya.

Kawan, fenomena orang dewasa yang bertingkah seperti anak-anak kayaknya lagi merebak dimana-mana. Mungkin, mereka jenuh sama aktifitasnya, jadi ya memilih melakukan kegiatan-kegiatan yang sebetulnya adalah kegiatan anak kecil. Almarhum Gus Dur dulu sampai bilang, “Anggota DPR itu tingkahnya kayak anak TK”. Jelas, siapapun tercengang pada pernyataan ini. Siapa juga yang percaya kalau orang yang berpendidikan tinggi itu tingkahnya kekanak-kanakan. Tapi coba kita lihat sidang pembahasan kasus Bank Century oleh anggota DPR beberapa tahun lalu. Ada yang teriak-teriak di persidangan. Ada yang memukul meja pimpinan sidang. Terlepas dari siapa yang benar dan salah, pemandangan itu sangat memilukan masyarakat yang notabene adalah pemberi gaji bulanan mereka. Justru masyarakat yang tampak lebih dewasa, meski hanya dengan melongo dan diam menonton kericuhan itu. “Biarkan saja, namanya juga anak TK!”

Mahasiswa juga sama. Sudah berapa banyak korban berjatuhan akibat bentrok dengan polisi? Apakah sudah tidak ada cara-cara yang lebih etis untuk melakukan perlawanan? Ingat, sebenar dan sepenting apapun tuntutan kalian, masyarakat terlanjur mencap demontrasi itu biang ketidaknyamanan! Ini harus dijadikan pertimbangan. Sudah saatnya set gerakan dialihkan kepada cara-cara yang lebih akrab di mata masyarakat, semisal melalui tulisan. (Waktu saya berbincang tentang metode aksi apa yang efektif untuk saat sekarang, saya sempat ditertawakan. Waktu itu saya menjawab : melalui tulisan. Bagi orang tersebut, menulis itu aktifitas yang lembek dan tuntutan kita gak akan didengar sama sekali. Saya pilih diam, dan mundur menghadapi orang yang lupa diri kayak gini. Waktu ia mengejek aktifitas menulis, ia sudah lupa bahwa pengetahuannya tentang aksi dan lainnya, ia dapat juga dari tulisan. Kalaupun menulis kurang efektif, itu dikarenakan tidak adanya kesatupaduan dari mahasiswa untuk bersama-sama menyusun pengorganisasian yang baik dalam hal tulis-menulis. Mungkin betul kata orang, mahasiswa sekarang itu banyak bicara, tapi sedikit membaca dan menulis).

Tiba-tiba saya teringat pada sebuah tulisan yang tertera di kaos teman lama saya : Kata adalah Senjata!

Ahh.. kok jadi nglantur kemana-mana (mulai sekarang kalian harus segera mengingatkan saya apabila tiba-tiba omongan saya melenceng gak jelas. Gimana caranya? Bisa lewat sms, ketik REG spasi ….)

Sampai dimana tadi? Oh iya, tentang memanfaatkan anak kecil untuk menutupi keinginan kita bertingkah kekanak-kanakan. Hanya yang terpenting, bagi saya, kegiatan itu cuma sebatas hiburan belaka dan tidak berpeluang menimbulkan efek super buruk ke depannya (tidak kayak anggota DPR di atas). Toh kalau boleh jujur, bermain bersama anak-anak dapat menghilangkan kepenatan yang menjangkiti diri ini. Kepolosan dan keluguan merekalah yang menjadi penyebab semua itu.

Contohlah mas Takim… (maaf coy, sampeyan saya jadikan model percontohan). Boleh-boleh saja ia mengaku cuma menemani anak-anak itu renang di kali Kraton. Tapi saya curiga, itu hanya akal-akalannya untuk menuntaskan kerinduan pada kegiatan semasa kecil : ciblon di sungai! Lagi-lagi anak kecil menjadi korban dari hasrat orang dewasa. (hasrat = keinginan, bukan Pak Hasrat calon mertuamu itu, Kim!)

Sekarang, Fuadi akan saya jadikan tameng untuk menutupi kerinduan saya main bola.
“Ini pak, bu, lagi nemenin Fuadi main bola..” Mantap! Ucapan inilah yang saya siapkan kalau ada tetangga heran orang segede saya masih kayak anak-anak. Maaf ya dik Fuadi!

Entah kenapa, tiap lihat bola, kok seperti ada yang menggerakkan tubuh saya untuk segera mengambil raket (lho?). Saya sangat suka sepakbola, sedari kecil. Dan sebagai lelaki, saya semakin bangga ketika mendengar jargon dari salah satu minuman suplemen terkenal, bermerk Bukak Titik Joss (sengaja saya plesetkan, gak boleh sebut merk), bunyinya : Jiwa laki! Bersatu untuk sepakbola!. Meski kalau dipikir-pikir, ungkapan itu agak keterlaluan, kan gak setiap laki-laki harus suka pada olahraga ini.

Dari hobi ini saja, saya mencatat berbagai prestasi membanggakan. Pertama, pencetak gol terbanyak Liga Gaprukan musim kompetisi 1999 sampai 2003. Liga Gaprukan? Ya, demikianlah teman-teman kecil saya menyebut kompetisi yang diselenggarakan di tempat yang selalu berpindah-pindah ini (tergantung sawah siapa yang nganggur, sedang tidak ditanami). Di tengah badai cedera yang sering menghampiri saya (karena pemainnya lebih suka mengandalkan otot ketimbang skill, sampai pernah seseorang menjegal kaki saya dengan kasar, padahal dia itu rekan satu tim, dikirain saya itu lawannya), saya berhasil bertahan hingga merebut gelar top skorer itu 4 musim berturut-turut. Kedua, pemain terbaik turnamen pra kompetisi (mirip Trofeo Berlusconi di Liga Italia). Sebuah turnamen yang mengharuskan pemainnya memakai sarung setiap kali tampil. Aksi saya yang paling ciamik, hingga mengundang kagum penonton, adalah membungkus bola ke dalam sarung tanpa ada satupun pemain lawan yang bisa merebut. Ketiga, (yang ini lebih mentereng, karena turnamen antar desa), menjadi kacung terfavorit. You know kacung? Ya, pengambil bola setiap kali bola keluar lapangan. Saya memang gesit waktu itu. Saking gesitnya, saya sampai mengganggu jalannya pertandingan di dalam lapangan, karena bola yang masih dimainkan di lapangan itu saya ambil juga.

Semakin saya cerita banyak, kok kayaknya kalian semakin meremehkan saya. “Cuma prestasi memalukan kayak gitu?” Ini gak bisa dibiarkan! Hentikan leluconmu itu, kawan! Tapi gimana lagi ya, saya ndak bisa apa-apa. Faktanya memang begitu. Dan saya merasa lebih hina lagi karena ketiga gelar itu diberikan bukan oleh siapa-siapa, tapi oleh ibu saya sendiri. Ini dimaksudkan untuk menghibur saya yang tidak kunjung-kunjung pandai main bola.

Saya masih asyik main bola sama Fuadi, sembari menunggu datangnya teman-teman yang masih olahraga pagi. Terdengar suara orang membersihkan rumput. Tak tahu kapan datangnya, tiba-tiba ia sudah ada di situ. Ya, Pak Marjani. Ayah Fuadi alias pemilik mushola alias penasehat kelompok kita.
“La konco-kancane sami teng pundi to mas Azam?”
“Tasik mlampah-mlampah pak niki wau…”

Lihatlah betapa bijaksananya Pak Marjani ini, kawan. Selama saya asyik main bola, beliau tidak memberi perintah apapun kepada saya. Beliau masih giat mencangkul rumput itu sedikit demi sedikit. Hanya kemudian saya baru sadar, ada dua cangkul yang dibawa Pak Marjani. Yang satu dipakai bersihin rumput, yang satu nganggur di sampingnya. Ndak logis kan kalau beliau ingin bersihin rumput itu sendiri, harus bawa dua cangkul segala. Dan hanya orang bego dan tolol yang tidak memahami maksud tersembunyi dari Pak Marjani ini. (berarti saya juga termasuk orang bego dan tolol itu, atau paling tidak setengah bego lah, karena terlambat menyadari maksud beliau).

Secara perlahan saya mendekati cangkul itu. Sambil menahan malu tentunya. Sedikit modus penutup rasa malu, saya harus keluarkan sepatah dua patah kata kepada beliau, sekedar basa basi,
 “Loh pak, niki wau mboten nyambut damel gih?”
“Pas libur mas”

Berhasil. Pertanyaan itu sukses menutupi sedikit rasa malu. Saya ikut bantu bersihin rumput. Meskipun seolah-olah saya mendengar suara dalam hati Pak Marjani,
“Iki bocah kok ra paham-paham ket mau, lagek sadar sik tas. Kudune lek enek wong tandang gae, ki mbok yo langsung dibantu. Malah bal-balan terus ae,”
Yah, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. “Hoe caaaahhh, kapan lekmu mbaleeek. Jo panggah dolan aeeeee…ki lo enek penggayaaaaaannn!”.

***
Sudah hampir satu jam mas Awang pergi ke kampus. Menjemput bu dosen yang janji datang siang ini. Belum nongol-nongol juga anak itu. Mungkin masih menunggu bu dosen yang masih ada kesibukan. Apa kabar juga Vario Merah itu? Apakah ia nanti diajak mampir ke tempat idamannya : pom dan tempat cuci motor?
“Field note!” Saya terperanjat.
Ow shit! Saya lupa tadi malam belum mengerjakan tugas field note. Tugas ini gak tersentuh, saking ngantuknya. Gak tahu tadi malam kok bisa ngantuk berat kayak gitu. Laga Milan vs Barca juga kelewatan, ndak jadi nonton. Sempat bangun sih, sekitar jam 2. Tapi saya baru sadar kalau di rumah ini TV nya rusak. Dan teman-teman disini yang punya HP yang ada feature TV-nya cuma anak cewek, salah satunya Rifa. Tidak mungkin juga saya berani membangunkan salah satu diantara mereka,
“Udah zam…urungkan aja niatmu nonton bola itu. Gak usah bangunin anak cewek segala.. Ingat, kamu ini anak baik-baik.” bisikan malaikat baik hati dan rajin menabung.
“Siap, komandan!”
Niat saya tadi malam, field note dikerjakan pagi ini. Tapi mungkin karena tadi terlalu semangat bersihin rumput, jadi gak ingat sama hal penting ini.
Sudah tidak ada waktu lagi buat ngerjakan tugas. Sebentar lagi, hakim merangkap pengacara itu sudah mau sampai. (kayaknya lucu ya kalau dalam satu sidang, ada hakim merangkap pengacara? Tapi itulah bu DPL di mata saya, beliau yang memvonis kita, tapi juga memberi solusi atas masalah-masalah kita.) Saya berpikir keras untuk menyiasatinya. Sempat terpikir untuk menghindar dari beliau. Tapi dimana? Apakah di mushola, pura-pura ngaji dan dzikir? Tapi siapa juga yang percaya orang kayak saya ini dzikir di waktu siang? Ataukah di WC, pura-pura kebelet? Tapi kalau terus-terusan diam di WC selama bu DPL disini, membosankan juga! Yang ada malah pintu kamar mandi itu didobrak, dikirain saya ketiduran sambil buang air besar… Ahh, biar bagaimanapun, sidang nanti harus saya hadapi. Sekalian saya ingin membuktikan satu tesis yang berbunyi, TEMPAT BERSEMBUNYI PALING AMAN ADALAH DI KERAMAIAN.

Pukul 11.30 WIB, bu Nur mendarat di posko, tentunya bersama Awang dan motor bagus miliknya Azam (sekali lagi kalau saya menyertakan motor ini, itu ndak ada maksud apa-apa, di transkip nilai sementara sudah tertulis nilai PKM saya A).



Kesempatan bertemu dengan bu dosen tidak disia-siakan oleh temen-temen. Mereka ungkapkan semuanya, serinci-rincinya, sedetail-detailnya, mulai dari kegiatan yang ringan sampai yang berat. Aktifitas yang ringan itu, contohnya belanja sayur-sayuran. Sedangkan yang berat, contohnya belanja galon air minum. Meski sama-sama belanja, tapi harus dibedakan kategorinya. Belanja galon itu tergolong berat, karena butuh tenaga ekstra untuk membawanya.

Selain itu, saya dengar mereka juga menjelaskan aktifitas-aktifitas kelompok, mulai dari ngajar di MI, ikut jamaah tahlil, ikut kerja bakti bareng warga, sampai rencana mengumpulkan masyarakat di posko. Namun dari semua penyampaian itu, ada satu aktifitas yang sebenarnya sangat tidak perlu disampaikan, tapi dijelaskan juga. Agak risih juga saya mendengarnya. Memang mulut teman-teman ini kayaknya perlu diberi penyaring teh di dapur itu. Biar ada filter dari setiap kalimat yang ingin dikeluarkan.



Ya, gosip munculnya grup band baru yang personilnya anggota kelompok F ini terdengar juga oleh bu Nur Fadhilah. Band baru ini digawangi oleh Alam (pemetik senar gitar), Kang Huda (pembetot senar bass), Awang (peniup senar gitar juga), saya (penabuh drumband), Tokichi (vokalis kamar mandi), dan terakhir, Mbak Fitri (juru rekam). Banyak yang bilang kalau grup band ini punya prospek cerah, dan diprediksi bakal mampu bersaing dengan band-band besar tanah air. Apalagi dengan skill langka yang dimiliki personilnya : mengganti gitar dengan sapu lidi, drum dengan bola sepak, dan sound system dengan kereta pengangkut sampah. (Gak perlu banyak-banyak saya jelaskan soal ini. Kalian pasti juga pernah lihat aksi kami waktu pentas di depan mushola itu, yang berhasil menyedot perhatian ribuan pohon di depan kami. Kalian harus bersyukur dapat file gratis, kalau CD itu sudah meledak di pasaran, kalian gak akan mampu beli).

Suasana obrolan masih terus berlangsung. Teman-teman masih bersemangat konsultasi kegiatan-kegiatan kelompok. Tapi tunggu sebentar, dimana ya saya sekarang? Kok gak ada suaranya sama sekali? Tenang, kawan, saya masih disini, saya bersama kalian. Saya masih memperhatikan kalian berdialog sama bu Nur. Saya sengaja diam. Karena hanya dengan diam saya bisa khusyuk berdoa. Memanjatkan harapan kepada Ilahi Robbi supaya tidak ada cheking tugas. Itulah yang sedari tadi saya lakukan!

Alhamdulillah, doa yang terus saya panjatkan ini akhirnya . . . belum terkabul! Bu Nur tetap mengecek tugas individu satu persatu. Tiba giliran saya, saya tunjukkan apa adanya. Alhamdulillah. Tidak ada kemarahan sama sekali atas kelalaian saya. Beliau maklum, entah kenapa. Mungkin karena sebagian besar sudah mengerjakan, dan yang belum hanya satu dua anak termasuk saya, tidak menjadi masalah bagi beliau. Justru Mas Awang, yang sedari tadi istirahat di dalam kamar, sedikit kena sindiran. Saya tidak tahu tugasnya sudah selesai apa belum. (gayamu Wang, macak kesel mari muleh jemput bu Dosen)
Kawan, ternyata benar juga, tempat bersembunyi yang paling aman itu adalah di tempat keramaian.



Ritual terakhir sebelum bu dosen pulang adalah foto-foto. Tak terhitung, sudah berapa banyak file foto yang tersimppan. Padahal ini masih hari ke sebelas. Kalau terus-terusan begini, bisa-bisa nanti sewaktu pulang, saya kebingungan menyimpan file skripsi dimana. Soalnya memori sudah habis karena foto-foto ini.

Dan begitu kagetnya saya, ketika belum ada yang memberi aba-aba, Mbak Lala langsung bergerak cepat. Ia merangsek masuk menuju kerumunan teman-teman, menabrak teman di sana-sini, demi mendapatkan posisi paling strategis di depan kamera. Ia tak mau ketinggalan. Dan bisa dipastikan, teman saya ini akan menampilkan ekspresi wajah terbaik, dengan senyum khasnya. Saya menduga dia sudah melatih ekspresi wajah sekian tahun, hingga menemukan bentuk terbaiknya seperti ini. Sehingga setiap ada sesi pemotretan, dimanapun tempatnya, entah di rumah, sawah, mushola, atau studio, ia akan tetap istiqomah pada ekspresi ini. (Santai Laaaaa…guyoooonnn.. Ingat, kita teman sekelas..).
“Kuncine mas braa…?” mas Awang meminjam motor, mau berangkat mengantar bu Nur kembali ke kampus. Hanya saja, sepertinya ia terkontaminasi cara panggilnya mas Tokichi.
Saya melangkah menuju kamar, mengambil kunci,
“Piye Wang, sip to?”
“Beres! Pokok aku tekan kene mesti full bensin.”
“Servis pisan po ra kiro-kiro?”
“Gampaang..”
“Gampang piye?”
“Gampang! Tak servise dewe sesuk.”

Ringan betul omongannya yang terakhir. Belum tahu dia kalau penyakit di motor matic ini sudah mencapai stadium 4. Sekalipun ia agak jago utak-atik motor, saya ragu problemnya selesai. Kemarin saja, sudah saya utak-utik kaca spionnya, tapi gak ada perubahan (maklum, kalau terkait motor, saya bisanya cuma pasang dan lepas kaca spion).

Bu Nur berpamitan. Pesannya masih sama kayak seminggu lalu : jaga diri, jaga kesehatan, karena waktu kita disini masih lama. Akhirnya, selang beberapa menit kemudian, kebebasan kembali kami raih, setelah beberapa jam sedikit terbelenggu. Sebuah kebebasan yang dibungkus oleh rasa tanggungjawab yang tinggi. Kebebasan yang dibebani oleh nama baik pribadi, kelompok, dan almamater. Kebebasan yang harus selaras dengan tujuan kami berada di sini. Kebebasan yang pada saat kami sudah tua nanti, akan kami kenang sebagai kebebasan yang membawa dampak positif bagi segenap warga dusun Tamban.


(Cerita di atas hanyalah fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama, tempat, atau kejadian, itu semua adalah suatu kesengajaan. Sekali lagi itu saya sengaja. Karena cerita akan mudah muncul jika terinspirasi dari kejadian-kejadian yang pernah kita lihat dan alami. Dan dengan menimbang banyak hal dan masukan-masukan, saya tegaskan bahwa tidak ada motivasi lain dalam cerita itu selain mek pingin ngejak guyon).

0 komentar:

 
;