Blue Fire Pointer
Jumat, 21 November 2014 0 komentar

Dear diary, 21 November 2014.

Dear diary, 21 November 2014.
Hoaaam... Rasa kantuk masih menghiasiku pagi ini saat kulihat jam handphone-ku telah menunjukkan pukul 04.28 WIB. Wah, ternyata sudah pagi, sepertinya masih sekitar sejaman yang lalu kedua mata ini mencoba untuk terpejam. Tapi tak apalah, masak aku kalah sama sang fajar dan Bapak Tamamun yang sudah bersiap untuk menjalankan ibadah Sholat Subuh di kamar hotel yang mungil ini.

Dengan langkah gontai bin malas-malasan karena masih nguantuk pol dug ngga sampek kedaduk akhirnya kuputuskan untuk melangkah menuju kamar mandi dengan tak lupa membawa peralatan tempur untuk membersihkan badan yang sudah lengket ini. Langsung sebuah shower kuraih dan kuputer tombol pada posisi air hangat. Aku mau jujur yaa, tapi janji yaa, jangan bilang ke siapa-siapa. Rahasia ini cuman aku beritahukan kepada pembaca setia diary-ku ini. Jujur yaa... Seumur-umur aku masih sekali ini mandi pagi dengan air hangat memakai shower. Pagi yang brrrr itu kini menjadi hangat. Badan ini telah merasa segar ketika kulanjutkan dengan ritual seperti biasa kepada Tuhan pagi ini. 



Sementara itu, Bapak Richard setelah dari kamar mandi juga melanjutkan beribadah pagi dengan Al Kitab-nya.  



Sedangkan Aku dan Bapak Tamamun mengerjakan soal mengenai memilih dan memilah kosakata baku dan tidak baku, membuat surat dan paragraf. Haduh, tugas ini membuatku pusing delapan keliling. Tapi beruntung, tugas itu merupakan tugas kelompok yang harus dikerjakan oleh empat orang yang berasal dari Kota yang sama. Jadi aku hanya harus mengerjakan yang memilah kosakata baku sedangkan tugas yang lain dikerjakan Bu Winda, Bu Ratna dan Bu Elizabeth. Tapi meskipun demikian, memilah kata sekian banyak itu sangat menguras pikiran meski dibantu pakde google.


Merasa perut kami telah keroncongan disco, kami memutuskan turun ke lantai dua mengendarai buroq. Eh ngga deng, dengan mengendarai lift. Nah, jujur lagi yaa. Selama 23 tahun 11 bulan 21 hari aku menghirup nafas dibumi ini, masih sekali-kali ini aku makai lift. Semula, ada perasaan takut. Bayangin, siapa tahu kan saat pintu lift terbuka lalu kita masuk. Nah, saat keluar tiba-tiba kita berada dijaman dinosaurus kan tidak ada yang tahu. Tapi makin kesini, aku jadi makin terbiasa mencetin tombol lift itu dan sedikit demi sedikit hilanglah perasaan kagok itu.

Pagi ini, menunya adalah soto  ayam. Yah sudahlah, dimakan saja. Tidak ada yang lain. Meski sebenarnya dalam hati ini juga terdapat perasaan takut kalau-kalau sakit kulit yang belum sembuh benar ini kian menjadi. Satu hal yang aku salut dari Bapak Richard yang duduk didepanku, dia selalu membiasakan diri membaca doa sebelum menyantap makanan dan sesudahnya. Bahkan aku sendiri sering lupa untuk melakukannya. Tuhan mengingatkan umat-Nya dalam berbagai hal.



Workshop pagi itu diisi oleh Ibu Ikmah Muawib, S.Pd., M.M. yang memulai dengan meminta kami bertepuk tangan selama beberapa kali. Nah ketika berhenti, kita lihat posisi ibu jari kita. Ibu jari kananku berada didepan. Menurut penjelasan beliau dari artikel yang beliau baca, bagi orang yang ibu jari kiri berada didepan, itu berarti dia bagus dalam segi kognitif. Sedangkan jika ibu jari kanan berada didepan ini artinya feeling orang tersebut sangat kuat karena sering menggunakan perasaan dalam segala hal. Lalu bagaimana kalau setelah tepuk tangan tapi ternyata posisi ibu jari malah menyatu lurus. Ini berarti orang tersebut seimbang. Benarkah ini? Wallahu a’lam. Beliau menerangkan bahwa paradigma yang harus dimiliki guru adalah growth mindset, action mindset dan objective mindset. Selain itu, beliau menambahkan kalau Bahasa Daerah baik Bahasa Jawa, Bahasa Madura dan Bahasa Osing sesuai dengan Peraturan Gubernur nomor 19 tahun 2014.

Tidak sengaja aku mendapati teman dari salah satu kota tetanggaku, Trenggalek. Namanya adalah Bapak Fuad Hasan, yang ternyata adalah seorang guru disalah satu sekolah di Kabupaten Trenggalek dimana temanku sekelas saat kuliah kini mengajar. Kami semakin akrab hingga kami berdua berangkat bersama menuju Masjid disekitar hotel untuk melaksanakan Sholat Jumat. Masjid terlihat tengah dipugar dengan kondisi seperti baru saja terkena dampak bencana gelombang tsunami. Betapa tidak? Sajadahnya pas-pasan, kondisi masjidnya terbuka, terdapat material bangunan dan sound system seadanya. Namun, pelaksanaan Sholat Jumat itu terlaksana dengan khusuk. Setelah sholat Jumat, makan siang telah tersedia dengan lauk ikan laut. Haduh, membuatku kian paranoid dengan sakit kulit yang akan kian menjadi. Tapi ya sudahlah, daripada perut ini tidak ada isinya, hajar aja terus.



Pukul 13.00 WIB, Ibu Kurnia Tjandrawati, M.Pd sudah siap berada diaula untuk memberikan materi tentang Pemetaan SK dan KD Kurikulum 2006 dan Pemetaan KI dan KD Kurikulum 2013, bimbingan mengarang, pemahaman menulis sastra dalam pembelajaran bahasa Indonesia, membuat puisi dan pantun serta lain sebagainya. Para peserta sangat antusias mengikuti workshop karena beliau menyampaikan dengan sangat energik dengan kontrak forum terlebih dahulu, beberapa game, lagu dan beberapa metode untuk menarik perhatian semua peserta.

Setelah seharian mengikuti workshop, seperti biasa kami bercengkrama didalam kamar. Bapak Tamamun menceritakan kisahnya berdua dengan istrinya yang paling ia cintai. Mereka telah saling berkenalan selama enam tahun hingga akhirnya menikah pada tahun 1996 dan kini telah memiliki seorang anak yang sekolah di salah satu SMK di Malang. Beliau berbagi tips untuk memilih calon istri itu jangan dilihat dari kecantikan, kekayaan, kebaikan, atau bahkan agamanya. Namun, lihatlah wanita yang tulus ikhlas mencintaimu dan sudi menerima akan segala kekuranganmu. Widih, bisa keren juga orang yang kadang suka ngebanyol ala aksen Ngalam ini.

“Ciyeeeh... Kayaknya uis ngebet iki njaluk-njaluk tips barang”, celetuk Bapak Richard.
Dan aku hanya membuat simpul senyum malu menutupi perasaan ini. Yah, dari Bapak Richard, aku mengetahui bahwa di agama Khatolik itu tidak diperkenankan untuk mengucapkan kata “cerai”. Apabila seseorang telah melakukan janji suci pernikahan untuk sehidup semati didepan altar gereja, mereka harus bisa menjaganya hingga maut memisahkan mereka. So sweet. Pada dasarnya semua agama itu sama. Aku banyak belajar dari kedua Bapak yang sudah banyak makan asam garam kehidupan ini terlebih masalah percintaan.
“Eits... Ini kenapa jadi ngomongin percintaan sih?? Ngga tauh apah aku lagi nyesek??,” ungkapku dalam hati karena mau curcol kedua orang itu masih ada rasa sungkan.
Haha, yasudahlah. Cukup sekian untuk diary hari ini. Besok dilanjutkan kembali pemirsa. Nantikan terus diary-diaryku yang lain. Besok adalah hari terakhirku di Kota Pahlawan semoga besok kian berkesan. Bye, nguantuk. Hoam...



Kamis, 20 November 2014 0 komentar

Dear diary, 20 November 2014.

Dear diary, 20 November 2014.

Tiba-tiba aku terperanjat dari tidurku pagi ini. Dan betapa tersentaknya aku ketika mendapati jam dinding yang merupakan doorprize acara kampus dirumahku telah menunjukkan pukul 03.28 WIB. Ini berarti, aku hanya memiliki waktu lebih kurang enam puluh menit untuk mempersiapkan keberangkatanku ke Kota Pahlawan pagi ini. Yah,aku tahu. Ini pasti karena kemarin aku terlalu capek dengan rutinitas di sekolah dan kampus. Terlebih, sebelum mataku semalam dapat terpejam, dengan penuh kebulatan tekad kuucek pakaian-pakaian itu yang sudah laksana gunung yang akan meletus.
Capek, fisik, capek hati, dan capek pikiran menghiasi tidurku malam kemarin yang kurang nyenyak. Dan iya saja, ketika membuka mata, sudah laksana kakek-kakek kebakaran jenggot. Baju belum kering, baju belum disetrika, belum packing, belum nulis tugas untuk siswa disekolah, beluuum... Ah sudahlah persiapan pagi itu sungguh dadakan.

“Kuhantarkan bak di pelataran, hati yang temaram, matamu juga mata mataku, ada hasrat yang mungkin terlarang. Satu kata yang sulit terucap, hingga batinku tersiksa, Tuhan tolong aku jelaskanlah, perasaanku berubah jadi cinta”...
Sebuah ringtone lagunya Zigas tiba-tiba berbunyi. Ini pertanda handphone-ku baru saja mendapat pesan baru. Kudapati nomor ibuku mengirim pesan yang tak lama kemudian beliau yang tengah ziaroh walisongo itu menelpon untuk menanyakan keberangkatanku ke Ibukota Provinsi itu. Yah wajar, karena beberapa saat yang lalu dihubungi tidak aktif karena sedang ku-charge.

“Diq, jarene Bulik Mala, sampeyan arepe ning Suroboyo. Sido?”
“Inggih buk. Niki taksih siap-siap” jawabku sambil mencari celanaku yang ntah dimana.
“Yowes, ndang siap-siap. Sing ati-ati yo le”
“Inggih”. Tut... tut... tut... Dan telpon-nya pun terputus. Sontak aku langsung menaruh handphone dan bergegas packing dengan terburu-buru.

Krekkk... Suara pintu yang ternyata tidak kukunci semalam karena saking capeknya itu terbuka. Dia adalah bulikku yang bertanya,
“Diq, ibumu maeng telpon ra mbog angkat. Jarene arepe ning Suroboyo. Enek sing ngeterne pora? Pak Wid iso pomo renek”
“Yowes iyo”. Aku menjawab sekenanya saja karena masih ribet mencari benda-benda yang harus kubawa untuk kumasukkan ke tas merk “Tracker” yang sudah penuh dengan isi seperti almari jinjing itu.

“Budal jam piro?”
“Anu, jam papat.”
“Heh, iki lho uis jam papat.”, pungkasnya.
“Yowes bar shubuh”, Jawabku singkat.
“Yo”
Dan cling... setelah mengucapkan itu beliau menghilang bak Malaikat Jibril yang baru saja menyampaikan wahyu lalu kembali ke tempatnya. Suara kumandang azdan Shubuh untuk wilayah Mojosari dan sekitarnya membahana memecah kesunyian pagi itu dan aku semakin panik karena merasa masih ada yang belum kumasukkan. Betapa tidak? Kala itu jam handphone-ku telah menunjukkan pukul 03.58 Waktu Indonesia Bagian Mojosari, sedangkan perjanjian penjemputan dari travel adalah pukul 04.30. Ah sudahlah, sholat shubuh dulu.

Disini, tak usahlah aku ceritakan bagaimana aku sholat shubuh. Sholatku biasa saja kok seperti manusia bumi lainnya. Beneran, ngga ada yang “wah”. Hanya saja, saat itu kurang begitu khusyuk karena dikejar deadline (padahal juga ngga pernah khusyuk). Masjid disamping rumah menjadi tempat pelarianku dalam menjalankan kewajibanku kepada Sang Pemberi Kehidupan ini.

“mat pagi dari buana tevel mhon sudah siap sebentar lgi d jemput terimakasih”, kurang lebih seperti itulah bunyi sms yang kubuka pertama kali pada saat setelah mengerjakan sholat. Walhasil, ini membuatku semakin panik. Selang beberapa menit kemudian, pamanku datang. Setelah sedikit berbasa-basi, dengan tampang tidak bersalah, aku memohon izin untuk mandi.
“Tiiiiitttt...” Adegan mandinya kusensor. Nanti aku terkena banned ama KPI kalau kuceritakan semua secara vulgar. Singkat cerita, kami pun berangkat menyusuri jalanan ke terminal, tempat yang sudah ditentukan oleh pihak travel. Pada perjalanan itu pun tidak ada hal yang special. Beneran, hanya perjalanan seorang ponakan yang diantar pamannya. Tidak ada tuh siluman yang menyerang kayak difilmnya Kera Sakti saat mengambil kitab suci bersama Biksu Tong.

Sesampainya di Terminal yang terkenal dengan nama Gayatri itu, beliau langsung meninggalkanku. Sempat beberapa awak bus menanyakan destinasi-ku selanjutnya. Tapi langsung saja kujawab dengan nada yang halus, “maaf, sampun pesen travel”.

Selang beberapa menit kemudian, mini bus travel itu datang bersama Winda, salah satu partnerku yang akan ke Surabaya beserta dua penumpang lain yang ntah siapa namanya kau belum sempat berkenalan. Setelah sedikit berbasa basi dengan Winda, kuputuskan untuk duduk menepi dipojok.
Oh iya, aku baru ingat bahwa siswa di sekolah belum kuberikan tugas. Segera kubuka “almari jinjing”-ku yang penuh itu dan kuambil beberapa buku. Setelah selesai mengetik sms, kukirimkan sms itu ke beberapa guru. Beberapa mendapat balasan, beberapa mendapat PHP.

Dalam perjalanan itu tak ada yang hebat pula. Kecuali, perutku yang tiba-tiba seperti  ada yang bermain drum didalamnya. Lhoh, aku kan belum sarapan. Segera deh, kuambil wafer yang kubawa merk “tiiiitttt” sebagai pengganjal perut. Syukurlah, daripada harus mabuk darat.

Setelah menjemput beberapa orang, tiba-tiba saja sang sopir bertanya kepada kami.
“Mas mbak yang ada dibelakang, sampeyan kenal dengan bu Ratna tujuannya dihotel yang sama dengan sampeyan? Tolong dihubungi, kita sudah terlewat. Beritahu bahwa ditunggu dihalte Ngantru. Winda pun berinisiatif untuk menghubungi Ratna, calon teman kami yang lain yang merupakan guru disalah satu sekolah Kristen di Kota Marmer. Dan benar saja, ketika sampai dihalte Ngantru, si Ratna telah merasa sedikit kesal kepada sang sopir yang menyambutnya karena tadi terlewat.

Perjalanan berlanjut. Pada perbatasan Kediri Tulungagung, Elizabeth telah menunggu dengan tas besarnya. Guru salah satu sekolah Kristen lain di Tulungagung itu telah siap mengarungi jalanan menuju Kota yang terkenal dengan ikon Ikan Suro dan Buaya itu. Beberapa penumpang berguguran pertanda mereka telah mencapai tempat yang dituju. Sedang kami, pada saat menjelang TKP, setelah putar balik karena kebablasan, tiba-tiba “jendul”. Sebuah polisi tidur terlewati dengan sedikit kencang. Sontak kami yang berada didalam terpental keatas.



Pukul 10.00 WIB kami masuk keruang loby hotel yang terkesan asri itu. Disana sudah terdapat beberapa orang yang telah datang sedari tadi. Rona capek terpancar dari wajah mereka setelah melaksanakan perjalanan jauh. Setelah mengisi biodata pribadi, kami mendapatkan sebuah tas dimana didalamnya terdapat buku panduan, block note, CDR, bolpoint, kupon snack serta ID card. Segera kami menuju kamar hotel masing-masing.

Dikamar mungil yang disulap memiliki tiga tempat tidur itu akan kudiami selama tiga hari. Kumasukan card key yang bentuknya seperti kartu perdana handphone untuk membuka kunci pintu kamar. Pertama yang kulakukan adalah menjelajahi ruangan itu. Terdapat LCD TV, AC, shower, wastafel, dua buah almari dan beberapa fasilitas lain dimana peralatan itu semua dalam kondisi off. Kucari-cari cara untuk menyalakannya. Ternyata kita harus memasukkan card key tadi untuk menghidupkan semua fasilitas ditempat itu.

“Tok tok tok”
Suara orang tengah mengetuk pintu. Segera kubuka pintu kamar dan kudapati seorang mengenakan kacamata dan baju lengan pendek.
“Selamat siang, nama saya Richard. Saya dari Kota Madiun dan saya adalah seorang Katholik”
Itulah perkataan yang kuingat saat dia memperkenalkan diri untuk pertama kalinya. Ternyata Bapak Richard adalah guru di salah satu sekolah Katholik di Kota Madiun. Pria yang sopan dengan aksen jawa yang kental ini sangat akrab dengan siapapun yang baru saja dia kenal. Lebih dari itu, kami saling bertukar pengalaman pribadi diruangan yang mulai terasa dingin oleh AC itu.

“Tok tok tok”
Kukira ada tukang bakso yang naik ke atas lantai empat hotel tersebut. Ternyata itu adalah suara salah satu calon teman sekamar kami yang lain sedang mengetuk pintu. Namanya bapak Tamamun. Pria yang berdomisili di Kabupaten Malang ini terlihat capek setelah mengendarai motor seorang diri. Keakraban kian terasa kental pada tiga pasang teman sekamar baru saja jadian ini dengan penuh rasa toleransi. Selebihnya, kami gunakan untuk istirahat untuk menunggu upacara pembukaan.



Dalam draft jadwal acara yang kami terima, upacara pembukaan akan dimulai pada pukul 15.15 WIB. Namun setelah sekitar satu jam berselang atau sekitar 16.28 Waktu Indonesia Bagian Handphoneku, acara tersebut akhirnya dimulai. National Anthem of Indonesia, Indonesia Raya yang dinyanyikan oleh seluruh hadirin membuka acara tersebut. Setelah ketua panitia menyampaikan bahwa acara tersebut dihadiri oleh 152 orang dari 38 Kabupaten Kota se-Jawa Timur, perwakilan Kepala Bidang Pendidikan Jawa Timur memberikan sambutan pada acara tersebut. Beliau terlihat ramah dengan semua hadirin dengan sesekali memberikan joke lucu mengenai kondisi sosial budaya dan politik di Indonesia. Beliau menyampaikan mindset pendidikan yang seharusnya tercipta suasana belajar yang menyenangkan, mengasyikkan, menantang sera mencerdaskan anak bangsa. Posisi kepala sekolah itu selain school leader, juga sebagai school master serta planner. Selain itu, menurut beliau, K-13 tidak akan dihapus namun akan disempurnakan dalam segi konten yang secara tematik integratif dan administrasi sesuai ungkapan Menteri Pendidikan Dasar & Menengah dan Kebudayaan yang baru, Bapak Anies Baswedan. Permohonan maaf juga beliau sampaikan karena Bapak Kepala Bidang Pendidikan Jawa Timur tidak dapat hadir karena terjebak macet akibat terdapat demo kenaikan harga BBM sehingga kendaraan beliau tidak bisa melintas.

Selepas acara tersebut, kami bertiga makan bersama pada tempat yang telah disediakan. Bapak Richard ternyata adalah pemeluk Katholik yang taat. Sebelum makan, beliau tak lupa berdoa kepada Yang Maha Esa. Merasa telah kenyang, kamipun kembali ke kamar. Aku dan Bapak Tamamun menunaikan Sholat Maghrib berjamaah dengan aku bertindak sebagai imam sedangkan Bapak Richard dengan penuh rasa toleransi duduk ditempat tidurnya dengan tenang. Suasana kamar yang heterogen itu kian menimbulkan chemistry antar sesama penghuni kamar.



Sholat Maghrib telah selesai, untuk menunggu acara selanjutnya kami memutuskan berbincang ringan. Bapak Tamamun menceritakan bahwa dia dahulunya aktivis sebuah partai islam terkemuka di Kabupaten Malang. Namun pada pemilu kemarin beliau berpindah haluan menjadi panitia pemilu. Segala intrik dunia politik bangsa ini beliau ceritakan dengan segala problematikanya. Kepada Bapak Richard, aku tertarik untuk menanyakan konsep trinitas, keuskupan gereja, paus di Vatikan, perbedaan Kristen Katholik, Orthodox dan Protestan, perjanjian lama dan perjanjian baru serta masih banyak lagi. Sedangkan aku, hanya menjadi pendengar setia dari dua Bapak yang sudah senior ini dan telah makan banyak asam garam kehidupan.

Pukul 19.24 WIB, setelah aku dan Bapak Tamamun menjalankan ibadah sholat isya, kami turun ke lantai dua untuk mengikuti Konsep Dasar dan Problematika Pengajaran bahasa Indonesia. Pemateri menyampaikan tentang peranan pengembangan pendidikan, bulan bahasa Indonesia, pembuatan porto folio, kesalahan yang kaprah dalam penggunaan bahasa Indonesia, tataran bahasa, Ejaan Yang Disempurnakan serta beberapa cara penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tak lupa beliau menghadiahi kami seabreg tugas yang harus kami kerjakan malam itu. Dan benar saja, sesampainya dikamar kami langsung mengerjakan tugas hingga larut malam. Kedua teman baruku itu akhirnya mengangkat tangan tidak dapat menahan kantuk. Sedangkan aku, yang barusan mendapatkan password WIFI hotel asyik berselancar didunia maya untuk sekedar update status, membalas komentar, berbagi jempol kepada fakir like serta membuka fanpage-ku serta tentunya dilanjutkan dengan mengetik diary ini.

Pukul 02.00 WIB aku merasa sudah tidak tahan lagi menahan mata yang kian lengket ini, dan kuputuskan untuk mematikan laptop dan mencoba untuk merebahkan tubuh karena besok banyak yang harus kuikuti. Selamat tidur, semoga besok mendapatkan pengalaman yang lebih menyenangkan dan bermanfaat. Amin


Minggu, 09 November 2014 0 komentar

SEBUAH PENGAKUAN, SEBUAH HARAPAN.

SEBUAH PENGAKUAN, SEBUAH HARAPAN.

Oleh : Mohammad Khadziqun Nuha



Yah, dan pada akhirnya aku harus melakukan pengakuan ini. Sebuah pengakuan atas sebuah ekspektasi yang mungkin hanya angan belaka. Sebuah ekspektasi yang hanya akan merusak harapanku yang lain. Dalam menulis ini, aku dalam kondisi sadar dan telah mempertimbangkan resiko atau efek dari tulisanku ini dikemudian hari. Aku hanya ingin memperoleh “katarsis” dalam membuat coretan ini.

Baik, langsung saja. Kalau kita berbicara beberapa tahun yang lalu, penikmat status-statusku akan disuguhi sebuah nama yang sangat kujaga kerahasiaannya. Mengapa? Kalau pertanyaannya mengapa, pasti jawabannya sebab atau karena. Yah, karena aku hanya ingin menjaga privasi-nya. Aku tak ingin orang yang usil mengganggunya.

Benar! Aku sedang membicarakan Mbak R***. Dia adalah Mbak RINA. Seorang wanita yang memiliki nama lengkap Arina Abida yang sekarang berdomisili di Bangil, Pasuruan. Seorang wanita yang memiliki akun facebook, Rei Na. Seorang wanita yang memiliki nama dan tanggal lahir sama dengan salah seorang dosenku ketika menempuh S1 dalam program studi Tadris Bahasa Inggris di STAIN Tulungagung. Amit! Aku ngga menyebut nama Ma’am Arina Shofiya, Kaprodi-ku yang dulu itu.
(#Ops #Keceplosan)

Lalu, ada hubungan apa antara aku dan dia? Cerita bermula jauh saat aku menempuh pendidikan di salah satu SMK di Kota Marmer, sebut saja namanya  bunga, 18 tahun, nama samaran (eh bukan deng, namanya adalah SMKN 3 Boyolangu). Kala itu, hasratku ingin menjadi seorang adik mulai memuncak karena secara ya, aku adalah anak pertama, demikian pula dengan abahku, ibuku juga putri sulung dikeluarga, hingga kakekku juga setali tiga uang. Jadi, tak ada selama itu orang yang kupanggil kakak. Orang yang bisa menemaniku curhat dan memanjakanku layaknya seorang adik kandung.

Dan bak gayung bersambut, Allah mendengar ekspektasiku itu. Melalui sebuah telpon salah sambung, Dia mempertemukanku dengan Mbak Rina. Kami semakin akrab hingga aku merasa nyaman bersamanya. Tibalah suatu saat dimana dia sudi menganggapku sebagai adik kandungnya sendiri setelah mengetahui kondisiku. Dalam hati, aku bersyukur kepada Sang Pemberi Kehidupan karena Dia telah mengijabah doaku.

Perkenalanku dengan dunia friendster yang merupakan situs jejaring sosial pertama yang kumiliki, membuatku dapat mengetahui wajah dari “mbak ketemu gede”-ku itu. Terlebih, pada akhirnya aku dapat berjumpa langsung dengannya di terminal Tulungagung pada saat hari raya idul fitri dua tahun yang lalu. Betapa bahagianya hatiku kala itu.

Masalah mulai muncul manakala ada pihak yang kurang setuju dengan hubungan persaudaraan kami hingga akhirnya pada sebuah titik dimana persaudaraan kami tidak dapat dipertahankan lagi sehingga kami menjadi jarang atau bahkan bisa disebut tidak pernah sama sekali berkomunikasi kecuali ada moment-moment tertentu, tapi itupun sangat kurang intensitasnya. Sungguh aku dalam kondisi terjatuh dan terpuruk pada lembah hati terdalam kala itu. Mengapa disaat aku telah menemukan figur  yang kuharapkan selama ini justru Tuhan tidak meridhoi hubungan kami? Padahal hubungan kami hanya sebatas kakak dan adik, tidak lebih. Yang bahkan dia kini telah memiliki suami.

Namun, Tuhan memang Maha Adil, disaat hatiku digoncang kegalauan yang tiada tara, melalui friendster pula aku dipertemukan dengan seorang wanita yang kala itu masih duduk dibangku SMA ternama di Kota pemilik tari reog gendang ini. Semula, aku menganggapnya sebagai teman saja. Namun chemistry ini kian intens terbangun. Beberapa kali kami bertemu dan jangan tanyakan berapa kali kami saling telpon dan berapa banyak sms yang saling kami kirimkan. Semua mengalir begitu saja hingga hubungan kami naik satu level menjadi “kakak dan adik ketemu gede”, tentunya.

Gelora hati yang kian terbangun kokoh, meski sempat mengalami beberapa penolakan darinya, akhirnya kami (lebih tepatnya aku!) dapat menashihkan hubungan kami pada hari Senin, 15 April 2013 melalui proses yang cukup menarik. Selepas itu, banyak cerita yang kami ukir bersama. Bahkan hingga menghadiri pesta pernikahan Mbak Rina di Pasuruan beberapa bulan yang lalu. Aku melihat sinar kesetiaan dari matanya saat dia sudi mengantarkanku hingga kerumah mbakku itu. Namun, ternyata itu merupakan cikal bakal keretakan hubungan kami. Beberapa kali aku ketahuan masih mengingat mbakku yang satu itu.

Siklus kegalauan itu kembali berulang  setiap menjelang kelulusan tiap jenjang pendidikanku. Menjelang lulus SMK, hubunganku dengan mbak Rina mulai kandas. Menjelang mengerjakan skripsi, penolakan dari pujaan hatiku itu membuatku kian galau meski pada akhirnya kami dapat menyatu. Kini? Menjelang mengerjakan thesis ini, fiuh... dengan berat hati aku harus mengatakan, hubunganku dengan orang yang berhasil merebut hatiku untuk kali pertama dalam hidupku itu tidak dapat dipertahankan lagi.

Sama seperti ungkapan Bang Raditya Dika dalam film yang telah kami tonton berdua yang berjudul manusia setengah salmon, perpindahan merupakan bagian kehidupan manusia dan kita akan selalu terjebak diantara perpindahan-perpindahan. Seperti perpindahan dari satu peran ke peran yang lain, pindah kebiasaan untuk menjadi lebih jujur kepada orang lain dan belajar bersama-sama dari situ, pindah dari suatu yang kurang baik bagi kita menjadi terbaik untuk semua, serta tentunya perpindahan hati. Karena dalam hidup kita akan selalu berpindah, yang bisa kita lakukan kita harus mencari kebahagian dari semua perpindahan.

Kalau dianalogikan pindah rumah, hal yang paling ngeselin adalah apabila kita masih harus berurusan dengan barang-barang lama. Biar bagaimanapun juga, hati seorang wanita tak akan rela manakala dia diduakan dengan orang lain meski mbak Rina hanya sebatas kakak bagiku. Aku sangat mengerti itu dan aku mengakui kalau aku salah dalam hal ini. Untuk menebus kesalahanku itu, dengan kebulatan tekad, kuhapuslah semua foto dan sms mbak Rina. Bahkan didepan matanya, ku-block akun facebook milik orang Bangil itu. Kalau aku bilang, ini bukan merupakan emosi sesaat dan ungkapan kemarahanku tapi lebih sebagai ungkapan keseriusanku ingin mempertahankan hubungan yang telah kuat terjalin ini. Namun itu semua telah terlambat, dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari hubungan kami karena sudah tidak tahan lagi menahan perasaannya. Bahkan, ungkapan JANJIKU ATASNAMA TUHAN untuk melupakan semua ingatanku tentang mbak Rina untuk selamanya belum cukup untuk membuat hubungan kami bersatu kembali.

Kuberdoa disetiap sembah sujudku. Tuhan, jika dia memang jodohku, perkenankanlah kami menyatukan hubungan kami kembali. Jika tidak? Apa boleh buat, hati itu bukan untuk dipaksa. Meski beribu cara telah kutempuh agar hubungan ini tetap survive, namun bila memang sudah tidak dapat rujuk kembali, izinkan kami menemukan pengganti yang lebih tepat dan saling menerima kekurangan satu sama lain. Tetapi, jujur dari lubuk hati paling dalam (kalau perlu aku ketik tebal, bergarisbawah, menggunakan huruf kapital serta dikasih stabilo ungkapanku berikut ini), Yaa Allah... Yaa Muqallibal Qulub... AKU SUNGGUH SANGAT INGIN MELANJUTKAN HUBUNGAN INI, BAHKAN HINGGA KEJENJANG YANG LEBIH SERIUS SAMA SEPERTI HARAPAN KAMI BERDUA SAAT MASIH BERSATU DAHULU. Mengapa? Karena aku telah menemukan kenyamanan dalam rumah hatinya. Suatu rasa yang mahal dan susah kutemukan pada diri orang lain (minimal hingga saat ini). Ya, karena dia adalah seseorang yang pantas dan harus kuperjuangkan, setidaknya berkaca pada kegalauanku beberapa hari ini. Jujur, semenjak keputusannya kemarin, aku menjadi alergi mendengar nama orang Bangil itu. Kalau pada orang Bangil itu memiliki 100 alasan mengapa aku harus mempertahankannya, dia memiliki triliyunan alasan mengapa aku harus bertahan pada satu hati ini.

Terakhir, secara jujur aku mengakui bahwa curahan hatiku ini aku ketik sambil memakai kopyah putih pemberiannya setelah kubersimpuh ke hadirat Illahi Robbi memanjatkan doa dalam tahajudku tentang hubungan kami. Tulang rusuk tak akan pernah tertukar. Diawali dengan semoga dan diakhiri dengan amin. Semoga kami dapat bersatu kembali. Aamiin.
Senin, 05 Mei 2014 0 komentar

PENGAWAS ITU...

PENGAWAS ITU...
Oleh : Mohammad Khadziqun Nuha (*)



Ujian Sekolah tahun 2014 ini merupakan kali pertama aku mengenakan ID Card bertuliskan “Pengawas”. Sebuah title yang sebenarnya mudah jika didengar. Bayangkan! Kita hanya diharuskan tiba tepat waktu, membagikan lembar jawaban dan soal serta selebihnya duduk manis melihat siswa- siswi yang tengah berjuang memeras otak untuk melahap semua menu soal yang tersedia. Namun, lebih dari itu, secara implisit terdapat beban mental yang berat yang tengah dipikul oleh para pengawas.

Kalau aku mengibaratkan seorang pengawas itu tidak ubahnya seperti malaikat malik yang menjaga suatu tempat dengan setting menegangkan. Setiap gerak-gerik penghuni tempat itu akan diperhatikan yang  bahkan setiap hela nafas dari setiap makhluk ditempat itu akan terdengar (#lebay). Sedikit hiperbola memang, namun itulah realita yang ada. Bola mata akan secara spontan “melirik” setiap kejadian yang ada ditempat itu.

Pernah suatu ketika aku berada disebuah kelas dimana laksana, maaf, praktek perdukunan. Aura mistis menyeruak disemua sudut kelas hingga pagi yang cerah dengan matahari yang bersinar dengan terang berkonversi menjadi bak Malam Jum’at Kliwon disertai lolongan serigala ditempat itu. Betapa tidak? Tiba-tiba dari salah satu bangku tercium aroma semerbak minyak yang mewangi. Yang bahkan apabila kita melewati deretan bangku itu akan tercium bau yang menyengat hidung siapapun orang yang melewatinya. Semula aku tidak mengetahui sumber dari bau tersebut hingga tak sengaja kudapati salah seorang siswa pada baris kedua meminta temannya untuk mencium pensil 2 B berwarna biru miliknya. Hipotesis yang muncul dibenakku tentunya dialah siswa yang bertanggungjawab atas aroma yang hampir memenuhi seluruh kelas tersebut. Selain itu, terdapat pula salah seorang siswa yang membawa beberapa bunga melati. Lengkap sudah, aroma mistis menghiasi tempat tersebut.

Terkesan terdapat sebuah rasa paranoid dari beberapa orangtua jika putra-putrinya nantinya tidak mampu meraih hasil maksimal pada “yaumul hisab” ini. Bahkan, segala cara ditempuh untuk memuluskan hasratnya. Dan aku, sebagai seorang pengawas hanya bisa tersenyum mendapati hal tersebut. Tidak dipungkiri hasil ujian merupakan penentu masa depan para pesertanya, sejauh ini begitulah stigma yang terbangun dimasyarakat. Apabila kita gagal pada ujian tersebut, hampir dapat dipastikan masa depan kita akan suram.

Didorongkan oleh keinginan tersebut, pihak sekolah pun juga akan “memohon bantuan” kepada para pengawas untuk menjalankan tugasnya lebih toleran dan fleksibel yang tentunya dengan bahasa yang santun. Pada saat seperti ini, kalau aku bilang, seorang pengawas akan dihadapkan pada suatu dilema sebagai makhluk idealis atau sosialis. Pengawas akan merasa berada dipersimpangan jalan yang mana tidak mengetahui ending dari jalan tersebut.

Bagi pengawas yang idealis, tidak akan membiarkan setiap ketimpangan yang terjadi diareanya. Kelas akan lebih hening untuk menjalankan ujian. Dialah orang yang memegang teguh prinsip bahwa ujian harus berlangsung sebagaimana mestinya tanpa adanya kecurangan yang terjadi. Segala tindakan kita akan dipertanggungjawabkan kelak. Namun ada sebuah anomali yang muncul dimasyarakat bahwa orang yang demikian cenderung dikucilkan di masyarakat  karena mindset-nya kurang diterima bagi khalayak umum. Jadi diperlukan hati yang bersih dan niat untuk memilih jenis pengawas yang seperti ini.

Berbanding terbalik dengan itu, bagi pengawas yang sosialis, akan cenderung lebih toleran dan fleksibel dalam menjalankan tugasnya. Hal ini didasarkan pada manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bersinergi dengan orang lain. Sistem pendidikan dan efek domino yang menuntut pengawas untuk memilih jenis ini. Kapan lagi kita dapat membantu orang lain ditengah sistem dan stigma masyarakat yang carut marut ini. Manakah pilihan yang benar? Wallahu a’lam.

(*) Ditulis pada saat menjadi pengawas Ujian Sekolah beberapa bulan yang lalu.



Minggu, 04 Mei 2014 0 komentar

TESTER ATAU MOMOK?

TESTER ATAU MOMOK?

Oleh : Mohammad Khadziqun Nuha (*)



Pagi itu sinar mentari pagi menyapa tiap manusia yang beraktivitas dengan senyum simpul yang menyeringai. Lalu lalang kendaraan bermotor dan kayuhan beberapa orang yang dipenuhi keringat yang mengucur seraya mengawal keberangkatanku menuju sebuah sekolah dijantung kota marmer itu. Sebuah pasar yang kulewati dengan dihiasai pembeli yang tengah menawar dagangan kepada Sang Penjual (tentunya!) membuat pagi itu kian hangat.

Setibanya digerbang sekolah, aku telah disambut oleh beberapa pendidik mengenakan baju dinas rapi lengkap dengan tas dibahu serta rona pucat penuh harap para peserta didik yang bersiap (kalau tidak salah) menghadapi try out Ujian Sekolah tingkat Kabupaten. Rok dan celana pendek merah serta baju putih mereka kenakan dengan penuh rasa bangga. Terlihat beberapa dari mereka tengah serius membuka buku yang mereka bawa namun ada beberapa yang pasrah dengan “makhluk” seperti apa yang harus mereka hadapi beberapa menit lagi. Para pengawas yang sedari tadi menunggu didepan ruangan yang tak ubahnya seperti gudang yang disulap menjadi ruangan yang layak tayang itu tengah berbincang ringan sebelum menjalankan tugasnya sebagai “malaikat malik”.

Bel tiga kali pertanda saatnya eksekusi itu pun berbunyi. Wajah-wajah tegang itu mencari kelas yang nantinya akan mereka tempati selama 120 menit itu. Mereka berlari berhamburan (yang tadinya berkumpul) bak ayam yang berlarian saat memakan padi yang tengah dijemur ketika pemilik padi itu datang. Dari kejauhan, kami para “eksekutor” keluar dari ruangan singgah menuju kelas sesuai amplop soal coklat yang kami bawa. Ketika memasuki kelas yang diisi 20 peserta didik itu, aura mentari pagi yang cerah itu berubah laksana masuk ke dalam area pemakaman pada malam Jum’at Kliwon diiringi suara burung hantu yang bersautan.

Aku meminta salah seorang dari mereka untuk memimpin berdoa yang diikuti lantunan doa dengan khusyuk, berharap mereka mendapat nilai yang maksimal. Lembar jawaban pun dibagikan dan mereka segera mengisi sesuai dengan identitas masing-masing. Bel sekali berbunyi, pertanda mereka telah diperkenankan untuk mengambil soal yang telah ditaruh dimeja mereka masing-masing serta mulailah mereka mengerjakan (sesuai agama dan keyakinan masing-masing).

Hari itu bertepatan mata pelajaran matematika yang tengah diujikan. Mata pelajaran yang menurut beberapa peserta didik dianggap sebagai momok yang menakutkan. Beberapa dari mereka tengah “asyik” memeras otak untuk mengerjakan soal-soal itu, namun beberapa dari mereka nampak “asyik juga” memandangi soal itu. Mungkin mereka tengah menghitung berapa banyak huruf yang ada pada 50 soal yang disajikan karena untuk menghitung jawabannya terlalu membutuhkan tenaga dan ingatan rumus yang ekstra. Mereka yang yakin akan kemampuan mereka sendiri, menggoreskan pensil 2 B mereka pada kertas buram yang telah dibagikan. Beberapa yang lain, memainkan pensil itu pada telinganya. Satu dua anak nampak mencolek dan memberikan isyarat kepada temannya agar mendapatkan jawaban soal itu dengan instan. Gerakan tubuh, suara kursi dan meja yang bergerak dan sedikit diskusi kecil meminta jawaban menghiasi ruangan yang semula hening.

Mengenai bahasa tubuh, aku sempat mendapat bocoran yang “mungkin” biasa digunakan oleh siswa untuk memuluskan “usaha”-nya untuk mendapatkan jawaban atas menu soal yang ada. Untuk menanyakan nomor soal, biasanya mereka menggunakan isyarat jari disertai sedikit gerakan bibir. Untuk jawaban, ini yang seru. Mereka akan memegang alis untuk menunjukkan jawaban “A” karena itu merupakan inisialnya. Untuk jawaban “B”, siswa yang ditanya akan memegang bahu atau bibir mereka atau bahkan dengan cara batuk. Lalu, cara unik menunjukkan huruf “C” adalah dengan memegang telinga karena bentuknya menyerupai huruf “C”. Bagaimana dengan jawaban “D”? Ternyata mereka akan menyentuh dahi atau dagu mereka. Kreatif memang, namun apakah kreatif yang satu itu perlu diacungi jempol keatas atau diacungi jempol kebawah?

“Kalau dalam pelajaran sejarah, kita mengenal apa yang disebut dengan perang gerilya. Pada saat ujian, istilah itu juga bisa dipakai ya ternyata? Terlebih 30 menit terakhir. Silakan dikerjakan sendiri, yakinlah dengan jawaban kalian masing-masing!”, celetukku didepan kelas secara spontan. Beberapa dari mereka yang “merasa”, langsung menundukkan kepala sambil bertingkah sedang mengerjakan soal (lagi!) seolah tidak terjadi apa-apa. Namun ibarat istilah “kapok lombok”, beberapa menit setelah itu “perang gerilya” yang sempat mengalami gencatan senjata itu pun kembali berkobar. Gerilya itu tersamarkan dengan datangnya siswa kelas bawah yang hadir disekolah tidak secara simultan. Memang itu hanya gerakan-gerakan kecil, namun seraya mereka telah tidak menghiraukan terdapat pengawas yang setiap detiknya memantau gerak-gerik mereka. Sebagai pengawas, aku hanya dapat geleng-geleng kepala sambil mengelus dada seraya berkata dalam hati,”Anak Mudaaa... Anak Mudaaa...”.

Try out merupakan step awal sebelum siswa menjejakkan kaki pada “the final countdown perjalanan mereka untuk menggali ilmu pada sekolah tersebut yang seharusnya dapat digunakan sebagai barometer untuk mengukur sejauh mana kesiapan mereka pada ujian yang sesungguhnya. Namun, menurut hemat saya, merupakan suatu “prestige” tersendiri apabila mereka mampu mendapat nilai yang memuaskan meski dengan cara-cara yang kurang “halal” karena siswa menganggap bahwasanya adalah suatu aib apabila mereka mendapat nilai yang buruk, terlebih apabila hasil tersebut dipajang didepan sekolah. Bagi sekolah, konteks serupa juga terjadi manakala nama baik sekolah tersebut dipertaruhkan dihadapan dinas terkait terlebih apabila disejajarkan dengan sekolah yang lain pada jenjang pendidikan yang sama. Jadi, seolah pihak sekolah tutup mata dan cuci tangan atas fenomena yang sudah menjadi rahasia publik tersebut. Inilah lucunya negeriku. Kapan dapat berubah bangsa ini, Tuhan?


(*) Ditulis [masih!] pada saat suasana try out sekolah beberapa bulan yang lalu.
Kamis, 06 Februari 2014 0 komentar

ASBABUN NUZUL nama KAMBING TAMBAN

ASBABUN NUZUL nama KAMBING TAMBAN 
Oleh : Mohammad Khadziqun Nuha

KAMBING TAMBAN, yaaah… begitulah nama yang akrab ditelinga atau dimata para alumni jebolan PKM STAIN Tulungagung tahun 2013 yang tergabung dalam kelompok F saat berselancar didunia maya. Ada apa dengan nama itu hingga disematkan menjadi nama suatu grup disitus jejaring sosial terbesar di Indonesia saat ini? Apa yang unik dari nama KAMBING TAMBAN? Apakah maaf, para personilnya mirip dan berobsesi ingin menjadi kambing? Atau apakah mereka ingin numpang tenar dari kesuksesan buku Kambing Jantan karya agungnya abang Raditya Dika? Itu tuh, penulis super duper gokil yang jago juga kalau diminta untuk stand up comedy, yang belakangan ini juga aji mumpung dengan joget dan nyanyi korea meski dengan lyric yang hanya anyong haseyo… anyong haseyo… anyong haseyo… Eh, tapi ngga penting juga ngomongin abang Radith, toh topiknya juga bukan seputar beliau, terlebih yang ada ntar malah dicatat ama malaikat atit karena ngomongin orang, peace deh bang Radith selaku tokoh sesepuh didunia persilatan Indonesia! (mulai deh ngaco, didunia tulis menulis Indonesia maksudnya deng…)

Kembali ke topik utama (kalau kembali ke laptop, ntar dikira njiplak hak ciptanya om tukul, pria berkumis tipis dan akrab dipanggil rey… rey… reynaldi itu), KAMBING TAMBAN mungkin menjadi nama yang asing ditelinga siapapun penghuni bumi ini, dan bahkan penghuni planet namex-pun ngga bakal ngerti dengan arti filosofis dari nama itu (yang waktu kecil ngga suka nonton Dragon Ball, pasti ngga tahu letak planet namex itu disebelah mana dalam susunan tata surya). Secara epistimologi (opoo… kuwiii…), Kambing adalah hewan berkaki empat (kecuali kalau pincang) yang suka makan rumput dan dedaunan atau bahasa jawanya rambanan yang mahir dan merdu ketika mengutarakan kata “mbeeek” (definisi asal-asalan yang jangan harap bisa ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia). Sedangkan Tamban, merupakan kata serapan dari bahasa Jawa yang berarti obat. Nahlo, jadi apakah makna dari nama KAMBING TAMBAN? Apakah salah satu dari anggota kelompok tersebut memiliki kambing yang bisa mengobati kayak Si Ponari dengan batu celupnya (enakan juga teh celup, pon... pon... ponariii...) itu?

  Marilah kita kupas, setajam.... silet !!!
(sreeet... sreeeet... sreeeet.... dan Fenny Rose pun muncul dengan kata pertama yang keluar pemirrsaaaa....)

Pada jaman dahulu kala (waduuuuh... berasa disuruh mengarang dimata pelajaran Bahasa Indonesia saat SD), ganti aja deh, pada saat hari-hari pertama menginjakkan kaki dirumah singgah ketika PKM berlangsung, beberapa anggota cowok berinisiatif (bahasanya radak intelek dikit ah) untuk membersihkan halaman belakang. Tak disangka, tak dinyana dan tak diduga, walau radak mendramatisir,  didapati sebuah kandang kambing yang sudah tidak terpakai lagi. Beberapa orang itu yakin kalau itu kandang kambing bukan kandang manusia karena tiada kasur dan bantal ditempat itu. Dan apa yang terjadi pemirsa?


Triiiinggg… (ada lampu bohlam yang menyala)
Muncullah ide brilliant dari pria yang dengan getol mempopulerkan kata bajigur itu. Entahlah dapat darimana ia ide konyol tapi jenius itu. Mungkin saat itu ada malaikat jibril yang lagi bertamasya disekitar rumah itu dan tiba-tiba terpleset lalu begitu saja memberikan ilham kepadanya (Tahu kan ilham? Itu tuh, temennya si wahyu, mereka sering maen bola bareng #plakk).

“Pomo… iki pomo lho yoo… (Ini seandainya yaa…), kalau kita memelihara anak kambing dikandang ini gimana? Secara kita disini kan sebulan, kandang ini juga nganggur, rumput disini juga tinggi-tinggi, capek juga kan kalau harus nyabutin tiap hari. Siapa tahu ntar kalau sudah sebulan, anak kambingnya udah radak gede terus kita bisa menyembelihnya dan ngundang tetangga sekitar diupacara penutupan dusun. Itung-itung untuk bersosialisasi dengan warga, bro…” , Ungkap pria yang terobsesi menjadi Jack Separo (semoga ejaan namanya ngga benar) dalam film Pirates of the Caribbean itu dengan logat jawa yang kental namun disini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia guna kebutuhan konsumen.

Gila bener nih orang, ada aja idenya orang yang juga jago untuk mencairkan suasana ini. Merasa seiya sekata dengan mas Alam, beberapa pemuda itu sepakat untuk membawa ide konyol itu dalam rapat pleno dengan penghuni rumah singgah lainnya. Bak presentasi makalah saat kuliah, mas Alam menjelaskan tentang hasrat (bukan hastrat lho mas taqim! Tolong digarisbawahi!) untuk memelihara anak kambing dengan menggunakan bahasa manusia tentunya agar yang lain mengerti (yaeyaalaaaah…).

Sebut saja bunga, 22 tahun (bukan nama samaran, karena penulis lupa dari mulut siapa gerangan muncul kalimat sanggahan itu) yang memberikan argumentasi tentang kekurang setujuannya untuk memelihara hewan yang dapat digunakan untuk berkurban dihari raya idul adha itu. Katanya, memang sih idenya bagus, namun melihat kondisi keuangan kelompok yang hanya mengandalkan iuran dari masing-masing anggotanya, tanpa ada sumbangan dari dermawan atau gelontoran dana dari pihak kampus, nampaknya sulit untuk merealisasikan program tersebut. Intinya, ibarat kata bisa buat makan saja sudah bagus, terus dapat dana dari mana untuk membeli anak kambing, kalau melalui iuran lagi nampaknya sulit karena meninjau kemampuan finansial dari masing-masing anggota kelompok tidak sama, terlebih waktu itu baru saja musimnya selepas PPL, membayar SPP, iuran PKM dan menjelang skripsi (Helooo… kenapa ini penulisnya jadi ikutan curhat colongan yaa?? Namun sayang juga sih dulu ngga ada niatan untuk menggalakkan KOIN UNTUK ANAK KAMBING, yaaaah… siapa tahu, siapa tahu kan bisa sukses kaya KOIN UNTUK PRITA itu lhooo…). Selain itu, dalam jangka waktu sebulan nampaknya tidak akan ada perubahan biologis yang signifikan dari seekor anak kambing (yang ngomong nampaknya pakar perkambingan nasional).

Setelah tarik ulur argumentasi masalah ini seperti orang yang lagi maen layang-layang, akhirnya lahirlah dengan sesar (kalau dalam bahasa inggris tulisan yang bener caesarean, walau radak sotoy juga sih) keputusan untuk mengurungkan niat memelihara anak kambing, yang tentunya dengan berbagai pertimbangan, namun ntah kemarin minjem timbangannya siapa yaa. Akan tetapi, hal itu tidak membuat mas Alam patah arang untuk mengusung tema kambing pada kelompok yang terkenal kekompakannya dan kekocakannya ini (katanya…).

Bermodal komputer dan modem yang dibawa dari rumah, ia mencoba untuk mengotak-atik dunia cyber. Berbicara tentang komputer itu, seperti tidak tega melihatnya, pagi siang sore bahkan malam sekalipun tak henti-hentinya digilir oleh penghuni rumah. Tanpa adanya billing seperti diwarnet membuat kombinasi komputer dan modem itu semakin leluasa untuk dijamah siapapun orangnya (apapun agamanya, apapun warna kulitnya, apapun jenis kelaminnya, hallaaaaah…) dan kapanpun itu. Kalau mempunyai mulut, mungkin komputer itu sudah tereak-tereak sambil ngesot didepan penggunanya minta jam istirahat. Namun sepertinya, komputer itu patut diberi gelar pahlawan tanpa tanda jasa (minjem bentar yaa bapak dan ibu guru) karena dengannya terciptalah grup KAMBING TAMBAN sebagai pelipur lara dan untuk mengenang keinginan memelihara kambing (walau sebenarnya penulis juga sudah mempersiapkan nama grup sendiri sebelumnya untuk kelompok ini, tapi tak apalah, bayangin… daripada doi frustasi dan gantung diri dipohon cabe karena grupnya ngga dipakai kan berabe kan ya?).

Nah, akhirnya tercetuslah nama grup facebook yang menaungi anggota kelompok F PKM STAIN Tulungagung tahun 2013 dengan nama KAMBING TAMBAN sebagai wujud apresiasi akan ekspektasi (lagi, bahasanya sok intelek) untuk memelihara kambing. Mengenai kata TAMBAN, itu merupakan nama dusun lokasi PKM kelompok itu berlangsung. Dusun sejuta kenangan, serta dusun yang didalamnya menyimpan sejuta pesona yang menyibak harmoni kehidupan (sok puitis lu!). Kalau dipikir-pikir easy listening juga nama itu, selain itu juga unik serta makna yang tersirat juga mendalam, daripada untuk mengenangnya harus mengikuti tradisi jaman sejarah dengan membangun prasasti, mending dengan ini aja yang hemat, cermat dan bersahaja (yang ngga pernah ikut pramuka pasti ngga tahu makna kalimat itu). Bayangkan! Untuk membuat sebuah vandel aja harus menggelontorkan dana sebesar tiga belas ribu mata uang Indonesia, apalagi kalau membuat prasasti? Ngga habis pikir berapa habisnya (Naluri ekonomisnya muncul).

“Mbing… mbing… mbing…”
Siapapun Anda, apapun agama Anda, dan apapun suku bangsa Anda, jangan heran, merasa risih atau shock hingga bentur-benturin kepala ketembok jika mendengar anggota kelompok ini memanggil satu sama lain dengan sebutan itu. Sekali lagi, itulah bentuk kekompakan dan solidaritas akan sepenggal ekspektasi yang tidak tercapai. Dan inilah karakteristik yang membedakan kelompok ini dengan kelompok-kelompok lain.


*****************************************************************************


(Cerita ini bukan merupakan fiksi belaka jadi mohon maaf apabila terdapat kemiripan nama, karakter tokoh, tempat atau lokasi kejadian karena itu merupakan suatu kesengajaan yang semata-mata murni untuk menghibur dan pemberian informasi. Sekali lagi, emang disengaja, bray! Dan semoga pembaca tidak mengharapkan cerita ini bersambung, halloooooo… ini bukan sinetron Indonesia yang kejar tayang episode-episodenya, bray! Terimasumbangan, eh terimakasih.)

Jumat, 31 Januari 2014 0 komentar

KAMERA POLAROID, SEBUAH POTRET KORUPSI DI NEGARA ZAMRUD KHATULISTIWA

KAMERA POLAROID, SEBUAH POTRET KORUPSI DI NEGARA ZAMRUD KHATULISTIWA

Oleh : Mohammad Khadziqun Nuha




Sistem korupsi yang tumbuh subur seperti jamur dimusim penghujan di negeri ini tak ubahnya dengan sistem kerja kamera polaroid. Kamera yang juga disebut kamera langsung jadi yang memiliki kemampuan untuk melakukan proses foto suatu object mulai pengambilan gambar sampai pencetakan gambar didalam badan kamera ini berbanding lurus dengan tujuan dari pelaksanaan korupsi yakni memperoleh kekayaan dengan cara instan berupa penyalahgunaan jabatan resmi pada suatu instansi untuk keuntungan pribadi. Bahkan apabila telah kronis akan menimbulkan pemerintahan yang kleptokrasi atau pemerintahan yang dijalankan oleh “para pencuri” berdasi yang berkamuflase sebagai pemerintahan yang pro-rakyat kecil namun sebenarnya penuh dengan penyelewengan dimana-mana dengan rantai jaringan yang terorganisir secara rapi. Korupsi merupakan rantai kejahatan yang panjang dan terstuktur, oleh sebab itu sangat susah untuk mencari bukti authentic guna mengusut atau menuntaskan kasus-kasusnya. Terlebih, Locus dilicti (tempat dan lokasi kejadian) tak hanya antar kampung namun pada era globalisasi ini telah menembus batas negara dengan ditunjang arus informasi dan teknologi yang memadai.

Kamera yang diciptakan oleh ilmuwan bernama Edwin Land ini menggunakan film khusus yang disebut film polaroid, seperti korupsi yang mayoritas dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai jabatan khusus serta untuk tujuan khusus dengan berbagai penyebab, antara lain dibidang ekonomi, yaitu karena rendahnya penghasilan jika dibandingkan dengan kebutuhan hidup dan pola hidup konsumtif yang kian mencekik, budaya malu yang rendah, budaya memberikan uang pelicin, pendidikan moral yang kurang, sanksi yang cukup lemah sehingga tidak menimbulkan efek jera pada pelakunya, aplikasi hukum yang inkonsisten oleh para penegak hukum serta kurangnya pengawasan hukum. Lebih ironis lagi jika tindakan korupsi itu dilakukan oleh pemimpin yang memiliki kompetensi maupun legitimasi tinggi dari masyarakat untuk menjalankan amanat. Terdapat beberapa faktor yang membuat korupsi ini tumbuh subur dibumi pertiwi yang terkenal dengan sebutan gemah ripah loh jinawi ini. Pertama, para pemimpin menggunakan kewenangan diskresioner yang yang tak terkontrol dan cenderung semena-mena. Mereka yang seharusnya sebagai inovator yang menggerakkan motor perubahan pada suatu instansi justru menjadi koruptor dengan cara-cara yang kotor sehingga menimbulkan ketimpangan sosial dimasyarakat, yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Transparansi memang diperlukan untuk menekan angka korupsi dinegara ini. Kedua, inkompatibilitas sistem dimana sistem politik  yang berpihak kepada pemilik modal menimbulkan rentenir politik serta sistem sosial yang rapuh telah menyebabkan perilaku permisif terhadap tindakan amoral tersebut dan ditambah buruknya sistem hukum menimbulkan celah bagi pegiat korupsi untuk menjalankan “hobinya”. Bayangkan saja ketika terdapat pencuri semangka yang harus mendekam dipenjara hingga bertahun-tahun, namun para koruptor yang mencuri uang rakyat hingga bermilyar-milyar dapat dengan leluasa melanglang buana keluar negeri. Hal ini sungguh kontradiktif bagi negara yang memiliki gedung pengadilan yang berdiri tegak cukup banyak namun keadilan sungguh sulit untuk ditegakkan. Ketiga, oligarki dan dinasti kepemimpinan menimbulkan sistem korupsi yang terorganisir secara rapi dan cenderung untouchable. Konspirasi antara penegak hukum, birokrasi dan para tikus-tikus itu menambah kejahatan ini semakin sistematis dan kebal hukum. Keempat, lemahnya kontrol dari masyarakat dibawahnya membuat “proyek” ini semakin leluasa dijalankan. Seolah tiada filter yang dapat menekan kegiatan itu disebabkan kurangnya informasi dan pengetahuan akan hal tersebut. Dalam hal ini, dibutuhkan agent of control untuk meningkatkan peran serta masyarakat dibawahnya guna menciptakan kepemimpinan yang lebih baik. Kelima, lemahnya self-awareness dari para tikus-tikus berdasi akan imbas yang ditimbulkan dari bahaya laten korupsi. Sehingga terdapat paradoks baru, bahwa para pemimpin yang seharusnya muncul sebagai inovator yang membuat suatu perubahan ke arah kemajuan justru muncul memang secara genetis berpotensi sebagai koruptor. Wacana memiskinkan para koruptor dari para pegiat antikorupsi nampaknya perlu segera diterapkan pada negara yang pada tahun 2012 lalu, seperti dilansir laman Transparansi Internasional,  menduduki peringkat 118 dari daftar peringkat indeks persepsi korupsi 174 negara dunia, namun jika mengacu poin tiap negara, bertengger di posisi 56 negara terkorup.

Kamera yang mulai dipasarkan pada tahun 1947 ini juga memakai film polacolor yang tidak hanya menghasilkan gambar hitam putih, namun juga mampu menghasilkan gambar beraneka ragam warna layaknya kamera digital. Seperti virus kronis nan akut bangsa ini yang tak hanya menghasilkan koruptor kelas atas, namun sudah menggerogoti semua sendi kehidupan hingga strata masyarakat paling bawah. Berdasarkan lensa kamera, memang sejak arus reformasi yang digulirkan pada  tahun 1998 lalu, berbagai kasus korupsi di Indonesia yang dilakukan pada beberapa tahun silam satu persatu mulai terkuak. Dimulai dari tuduhan korupsi yang dilakukan oleh pucuk pimpinan yang bertahta pada rezim orde baru atas tindak korupsi di tujuh yayasan, kasus pertamina dalam Technical Assistance Contract dengan PT Ustaindo Petro Gas, pembobolan di Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), HPH dan dana reboisasi yang melibatkan sejumlah pejabat Departemen Kehutanan, penyimpangan penyaluran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Korupsi APBD yang membawa nama Abdullah Puteh, Kasus Hambalang yang menyeret nama mantan Menpora Andi Mallarangeng, kasus Wisma Atlet, kasus korupsi pengadaan Al Quran dan jangan melupakan kasus fenomenal pegawai pajak, Gayus Tambunan, serta kasus-kasus korupsi lain yang menambah bangsa ini kian terpuruk.

Pada potret ranah politik, Korupsi memang tantangan serius bagi pemerintahan suatu bangsa dan dapat menghambat terciptanya good governance. Modus yang digunakan untuk melaksanakan korupsi memiliki dua main port  yakni sebagai modal politik dan kendaraan politik untuk menaikkan popularitas politisi maupun partai politik yang bersangkutan. Tidak dapat dipungkiri, menjelang pemilihan umum 2014, partai politik memerlukan dana yang tidak sedikit serta menghalalkan segala cara guna mengupgrade popularitasnya dengan sering diliput media. Proses demokrasi akan terhambat karena akuntabilitas dan responsibilitas politisi telah terusik oleh distorsi politik yang terjadi. Sehingga para wakil rakyat yang seharusnya membawa aspirasi rakyat justru terbuai oleh bujuk rayu candu yang bernama korupsi.

Seiring perkembangan jaman, kamera polaroid kini kian disingkirkan dengan keberadaan kamera digital yang dianggap lebih praktis dalam penggunaannya. Selain itu, kualitas gambar yang dihasilkan juga kalah dari kamera digital serta hasil bidikan kamera polaroid juga tidak dapat diedit yang berbanding terbalik dengan kamera digital. Sejalan dengan itu, korupsi di Indonesia mencoba direduksi dengan dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan lembaga independent yang berisi militan-militan antikorupsi yang memiliki mental baja, keberanian, adrenaline rush, ekspektasi untuk menjalankan the dirty works dengan turun langsung ke jalan menyingkirkan “sampah-sampah masyarakat” dengan mempertaruhkan harkat, martabat dan nyawa mereka. Suatu lembaga yang diharapkan mampu melakukan koordinasi dan supervisi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pencegahan tindak pidana korupsi serta melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Diharapkan potret hitam kelam korupsi di Indonesia dapat dihentikan dengan sepak terjang KPK.


Namun, dewasa ini beberapa orang masih meyakini bahwa hasil kamera polaroid memiliki keunggulan dari jenis kamera lain karena kita dapat langsung menikmati hasil gambar yang baru saja diambil dengan proses cetak mandiri didalam badan kamera. Bahkan, seorang Andy Warhol mampu mengusung seni Pop-Art yang menggunakan warna-warna cerah dan berani dalam setiap hasil fotonya. Bagitu juga dalam dunia korupsi di negara Zamrud Khatulistiwa ini, kita seharusnya sebagai generasi penerus bangsa tidak boleh lengah apalagi tergiur dengan keindahan hasil korupsi serta kita harus berani memeranginya dengan terus menggalakkan pendidikan usia dini akan bahaya laten korupsi. Semoga beberapa tahun kedepan tercapai potret masyarakat madani yang diharapkan pegiat antikorupsi guna masa depan negara Indonesia yang lebih baik.
Rabu, 15 Januari 2014 6 komentar

SHOLAWAT ASNAWIYAH

SHOLAWAT ASNAWIYAH

Yaa Robbi nawwir qolbana
Bi nuuri qur’aanin jalla
Tsabit bihi iimananaa
Dunia waukhron kamila

Warzuq bifahmil anbiyaa
Lanaa wa ayya mantalaa
Waftah lanaa bidarsin aw
Qiroatin turottalaa

Yaa Allah sinari hati kami
Dengan cahaya Qur’an yang tinggi
Tetapkanlah iman kami
Dunia dan akhirat kami

Beri kami kefahaman nabi
Membacanya setiap hari
Mudahkanlah belajar kami
Serta tartil bacaan kami


 
;