Blue Fire Pointer
Senin, 05 Mei 2014

PENGAWAS ITU...

PENGAWAS ITU...
Oleh : Mohammad Khadziqun Nuha (*)



Ujian Sekolah tahun 2014 ini merupakan kali pertama aku mengenakan ID Card bertuliskan “Pengawas”. Sebuah title yang sebenarnya mudah jika didengar. Bayangkan! Kita hanya diharuskan tiba tepat waktu, membagikan lembar jawaban dan soal serta selebihnya duduk manis melihat siswa- siswi yang tengah berjuang memeras otak untuk melahap semua menu soal yang tersedia. Namun, lebih dari itu, secara implisit terdapat beban mental yang berat yang tengah dipikul oleh para pengawas.

Kalau aku mengibaratkan seorang pengawas itu tidak ubahnya seperti malaikat malik yang menjaga suatu tempat dengan setting menegangkan. Setiap gerak-gerik penghuni tempat itu akan diperhatikan yang  bahkan setiap hela nafas dari setiap makhluk ditempat itu akan terdengar (#lebay). Sedikit hiperbola memang, namun itulah realita yang ada. Bola mata akan secara spontan “melirik” setiap kejadian yang ada ditempat itu.

Pernah suatu ketika aku berada disebuah kelas dimana laksana, maaf, praktek perdukunan. Aura mistis menyeruak disemua sudut kelas hingga pagi yang cerah dengan matahari yang bersinar dengan terang berkonversi menjadi bak Malam Jum’at Kliwon disertai lolongan serigala ditempat itu. Betapa tidak? Tiba-tiba dari salah satu bangku tercium aroma semerbak minyak yang mewangi. Yang bahkan apabila kita melewati deretan bangku itu akan tercium bau yang menyengat hidung siapapun orang yang melewatinya. Semula aku tidak mengetahui sumber dari bau tersebut hingga tak sengaja kudapati salah seorang siswa pada baris kedua meminta temannya untuk mencium pensil 2 B berwarna biru miliknya. Hipotesis yang muncul dibenakku tentunya dialah siswa yang bertanggungjawab atas aroma yang hampir memenuhi seluruh kelas tersebut. Selain itu, terdapat pula salah seorang siswa yang membawa beberapa bunga melati. Lengkap sudah, aroma mistis menghiasi tempat tersebut.

Terkesan terdapat sebuah rasa paranoid dari beberapa orangtua jika putra-putrinya nantinya tidak mampu meraih hasil maksimal pada “yaumul hisab” ini. Bahkan, segala cara ditempuh untuk memuluskan hasratnya. Dan aku, sebagai seorang pengawas hanya bisa tersenyum mendapati hal tersebut. Tidak dipungkiri hasil ujian merupakan penentu masa depan para pesertanya, sejauh ini begitulah stigma yang terbangun dimasyarakat. Apabila kita gagal pada ujian tersebut, hampir dapat dipastikan masa depan kita akan suram.

Didorongkan oleh keinginan tersebut, pihak sekolah pun juga akan “memohon bantuan” kepada para pengawas untuk menjalankan tugasnya lebih toleran dan fleksibel yang tentunya dengan bahasa yang santun. Pada saat seperti ini, kalau aku bilang, seorang pengawas akan dihadapkan pada suatu dilema sebagai makhluk idealis atau sosialis. Pengawas akan merasa berada dipersimpangan jalan yang mana tidak mengetahui ending dari jalan tersebut.

Bagi pengawas yang idealis, tidak akan membiarkan setiap ketimpangan yang terjadi diareanya. Kelas akan lebih hening untuk menjalankan ujian. Dialah orang yang memegang teguh prinsip bahwa ujian harus berlangsung sebagaimana mestinya tanpa adanya kecurangan yang terjadi. Segala tindakan kita akan dipertanggungjawabkan kelak. Namun ada sebuah anomali yang muncul dimasyarakat bahwa orang yang demikian cenderung dikucilkan di masyarakat  karena mindset-nya kurang diterima bagi khalayak umum. Jadi diperlukan hati yang bersih dan niat untuk memilih jenis pengawas yang seperti ini.

Berbanding terbalik dengan itu, bagi pengawas yang sosialis, akan cenderung lebih toleran dan fleksibel dalam menjalankan tugasnya. Hal ini didasarkan pada manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bersinergi dengan orang lain. Sistem pendidikan dan efek domino yang menuntut pengawas untuk memilih jenis ini. Kapan lagi kita dapat membantu orang lain ditengah sistem dan stigma masyarakat yang carut marut ini. Manakah pilihan yang benar? Wallahu a’lam.

(*) Ditulis pada saat menjadi pengawas Ujian Sekolah beberapa bulan yang lalu.



0 komentar:

 
;