TESTER ATAU MOMOK?
Oleh : Mohammad Khadziqun Nuha (*)
Pagi itu sinar mentari pagi menyapa tiap manusia yang
beraktivitas dengan senyum simpul yang menyeringai. Lalu lalang kendaraan
bermotor dan kayuhan beberapa orang yang dipenuhi keringat yang mengucur seraya
mengawal keberangkatanku menuju sebuah sekolah dijantung kota marmer itu.
Sebuah pasar yang kulewati dengan dihiasai pembeli yang tengah menawar dagangan
kepada Sang Penjual (tentunya!) membuat pagi itu kian hangat.
Setibanya digerbang sekolah, aku telah disambut oleh
beberapa pendidik mengenakan baju dinas rapi lengkap dengan tas dibahu serta
rona pucat penuh harap para peserta didik yang bersiap (kalau tidak salah)
menghadapi try out Ujian Sekolah tingkat Kabupaten. Rok dan celana
pendek merah serta baju putih mereka kenakan dengan penuh rasa bangga. Terlihat
beberapa dari mereka tengah serius membuka buku yang mereka bawa namun ada
beberapa yang pasrah dengan “makhluk” seperti apa yang harus mereka hadapi
beberapa menit lagi. Para pengawas yang sedari tadi menunggu didepan ruangan
yang tak ubahnya seperti gudang yang disulap menjadi ruangan yang layak tayang
itu tengah berbincang ringan sebelum menjalankan tugasnya sebagai “malaikat
malik”.
Bel tiga kali pertanda saatnya eksekusi itu pun
berbunyi. Wajah-wajah tegang itu mencari kelas yang nantinya akan mereka
tempati selama 120 menit itu. Mereka berlari berhamburan (yang tadinya
berkumpul) bak ayam yang berlarian saat memakan padi yang tengah dijemur
ketika pemilik padi itu datang. Dari kejauhan, kami para “eksekutor”
keluar dari ruangan singgah menuju kelas sesuai amplop soal coklat yang kami
bawa. Ketika memasuki kelas yang diisi 20 peserta didik itu, aura mentari pagi
yang cerah itu berubah laksana masuk ke dalam area pemakaman pada malam Jum’at
Kliwon diiringi suara burung hantu yang bersautan.
Aku meminta salah seorang dari mereka untuk memimpin
berdoa yang diikuti lantunan doa dengan khusyuk, berharap mereka mendapat nilai
yang maksimal. Lembar jawaban pun dibagikan dan mereka segera mengisi sesuai
dengan identitas masing-masing. Bel sekali berbunyi, pertanda mereka telah
diperkenankan untuk mengambil soal yang telah ditaruh dimeja mereka
masing-masing serta mulailah mereka mengerjakan (sesuai agama dan keyakinan
masing-masing).
Hari itu bertepatan mata pelajaran matematika yang
tengah diujikan. Mata pelajaran yang menurut beberapa peserta didik dianggap
sebagai momok yang menakutkan. Beberapa dari mereka tengah “asyik”
memeras otak untuk mengerjakan soal-soal itu, namun beberapa dari mereka nampak
“asyik juga” memandangi soal itu. Mungkin mereka tengah menghitung berapa
banyak huruf yang ada pada 50 soal yang disajikan karena untuk menghitung
jawabannya terlalu membutuhkan tenaga dan ingatan rumus yang ekstra. Mereka
yang yakin akan kemampuan mereka sendiri, menggoreskan pensil 2 B mereka pada
kertas buram yang telah dibagikan. Beberapa yang lain, memainkan pensil itu
pada telinganya. Satu dua anak nampak mencolek dan memberikan isyarat kepada
temannya agar mendapatkan jawaban soal itu dengan instan. Gerakan tubuh, suara
kursi dan meja yang bergerak dan sedikit diskusi kecil meminta jawaban
menghiasi ruangan yang semula hening.
Mengenai bahasa tubuh, aku sempat mendapat bocoran
yang “mungkin” biasa digunakan oleh siswa untuk memuluskan “usaha”-nya untuk
mendapatkan jawaban atas menu soal yang ada. Untuk menanyakan nomor soal,
biasanya mereka menggunakan isyarat jari disertai sedikit gerakan bibir. Untuk
jawaban, ini yang seru. Mereka akan memegang alis untuk menunjukkan jawaban “A”
karena itu merupakan inisialnya. Untuk jawaban “B”, siswa yang ditanya akan
memegang bahu atau bibir mereka atau bahkan dengan cara batuk. Lalu, cara unik
menunjukkan huruf “C” adalah dengan memegang telinga karena bentuknya
menyerupai huruf “C”. Bagaimana dengan jawaban “D”? Ternyata mereka akan
menyentuh dahi atau dagu mereka. Kreatif memang, namun apakah kreatif yang satu
itu perlu diacungi jempol keatas atau diacungi jempol kebawah?
“Kalau dalam pelajaran sejarah, kita mengenal apa
yang disebut dengan perang gerilya. Pada saat ujian, istilah itu juga bisa
dipakai ya ternyata? Terlebih 30 menit terakhir. Silakan dikerjakan sendiri,
yakinlah dengan jawaban kalian masing-masing!”, celetukku didepan kelas secara
spontan. Beberapa dari mereka yang “merasa”, langsung menundukkan kepala sambil
bertingkah sedang mengerjakan soal (lagi!) seolah tidak terjadi apa-apa.
Namun ibarat istilah “kapok lombok”, beberapa menit setelah itu “perang
gerilya” yang sempat mengalami gencatan senjata itu pun kembali berkobar.
Gerilya itu tersamarkan dengan datangnya siswa kelas bawah yang hadir disekolah
tidak secara simultan. Memang itu hanya gerakan-gerakan kecil, namun seraya
mereka telah tidak menghiraukan terdapat pengawas yang setiap detiknya memantau
gerak-gerik mereka. Sebagai pengawas, aku hanya dapat geleng-geleng kepala
sambil mengelus dada seraya berkata dalam hati,”Anak Mudaaa... Anak Mudaaa...”.
Try out merupakan step awal sebelum
siswa menjejakkan kaki pada “the final countdown” perjalanan
mereka untuk menggali ilmu pada sekolah tersebut yang seharusnya dapat
digunakan sebagai barometer untuk mengukur sejauh mana kesiapan mereka pada
ujian yang sesungguhnya. Namun, menurut hemat saya, merupakan suatu “prestige”
tersendiri apabila mereka mampu mendapat nilai yang memuaskan meski dengan
cara-cara yang kurang “halal” karena siswa menganggap bahwasanya adalah
suatu aib apabila mereka mendapat nilai yang buruk, terlebih apabila hasil
tersebut dipajang didepan sekolah. Bagi sekolah, konteks serupa juga terjadi
manakala nama baik sekolah tersebut dipertaruhkan dihadapan dinas terkait
terlebih apabila disejajarkan dengan sekolah yang lain pada jenjang pendidikan
yang sama. Jadi, seolah pihak sekolah tutup mata dan cuci tangan atas fenomena yang
sudah menjadi rahasia publik tersebut. Inilah lucunya negeriku. Kapan dapat
berubah bangsa ini, Tuhan?
(*) Ditulis [masih!] pada saat suasana try out
sekolah beberapa bulan yang lalu.
0 komentar:
Posting Komentar