KANDANG KAMBING PART 6
Oleh : Azzam Arifin
“Kebanggan
kita yang terbesar bukan karena tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali
setiap kita jatuh!” (Confusius)
Sore
merambat petang. Langit Tamban dipenuhi awan hitam tebal yang merata sejauh
mata melihat. Sore ini agak gelap. Sangat berbeda dengan kemarin. Dari arah
barat, angin berhembus kencang, menghantam pohon-pohon yang dilewatinya.
Pohon-pohon di samping posko ini juga tampak goyah. Daun-daunnya banyak
berjatuhan. Dari pintu depan, saya pandangi pohon jati tua di belakang mushola.
Pohon itu ikut goyah, tak mampu menahan kerasnya angin. Melihatnya, hati saya
berdesir. Perasaan cemas muncul. Melihat pohon besar yang bergerak sedikit saja
karena sapuan angin pasti lebih membuat ketar-ketir, ketimbang hanya melihat
pohon kecil yang sampai tumbang sekalipun. Hampir pasti, hujan akan segera
turun.
Tiba-tiba
ingatan saya melayang pada kejadian yang menimpa tetangga di rumah, sekitar
sebulan lalu. Seisi rumahnya morat-marit gara-gara angin yang menerobos masuk
ke dalam. Gentengnya melayang kemana-mana. Perabot rumah hancur. Kejadian
memilukan itu menjadi pertanda adanya sinyal bahaya seandainya ada pusaran
angin masuk ke dalam posko. Saya tak ingin musibah itu terjadi di sini.
Cepat-cepat saya tutup pintu. Hawa dingin terasa agak berkurang. Meski dari
jendela tetap terlihat pohon yang doyong karena tiupan angin. Kilatan cahaya
muncul, diikuti suara petir yang sangat keras (yang ini petir beneran, bukan
kentutnya teman-teman!).
Dari
jendela juga, mulai terlihat rintik-rintik air berjatuhan. Yah, ini akan
mengawali pemandangan baru di depan mata penghuni posko. Ladies and gentleman,
Tamban’s sky presents ….. the first rain in your eyes! Selama sepuluh hari
disini, baru kali ini kami melihat air hujan. Angin mendadak berhenti, diikuti
bertambahnya intensitas air. Semakin lama, intensitas air semakin meningkat.
Hujan
turun begitu deras.
Di
tengah suasana dingin kayak gini, berkumpul di ruang tamu adalah pilihan
terbaik. Bukan pilihan sebenarnya, tapi ya cuma ini yang bisa dilakukan.
Apalagi coba yang bisa kita lakukan selain hal ini? Ngerjakan tugas? Alah,
masih beberapa jam lalu bu DPL pulang dari sini! Siswa serajin apapun dak akan
belajar setelah selesai Ujian Nasional! Atau mau nonton tv? Nonton infotainment
yang suka nyebarin aib orang itu? Ya ndak apa-apa, asalkan kalian siap menonton
semut-semut berkeliaran sebagai artis utama infotainment itu. Untung seribu
untung, tv-nya rusak, jadi kita dak bisa nonton acara yang suka merusak
hubungan orang lain itu. Kalau kehabisan berita sensasional, ya bikin sensasi.
Sebenarnya gak, diberitakan iya.
Akhirnya
menjadi iya beneran. Tapi rugi seribu rugi, karena tv-nya rusak, saya ndak bisa
nonton bola. (Subjektif sekali ya saya menilai dampak kerusakan tv ini?).
Dari
ruang tengah, Mbak Laili berjalan mendekat,
“Jangan
lupa yang cowok-cowok, nanti waktunya jam’iyah tahlil!” ucapnya menatap para
perjaka kelompok ini, satu persatu.
Tak
ada respon. Saya tahu, semua pasti merasakan hal yang sama seperti saya : malas
keluar! Apalagi untuk tahlilan! Bukannya apa-apa, hujan di luar itu lo masih
lebat. Masak suasana kayak gini harus tahlilan segala. Suasana kayak gini
pasnya ya mandi yang bersih, lalu pakai baju terbaik, lalu berhias diri sebaik
mungkin, lalu pakai jaket yang tebal, setelah itu gelar tikar, dan terakhir :
males-malesan berteman secangkir kopi!
“Tahlilan
libur!” Si Alam nyerocos begitu saja,
“Kok
bisa?” Mbak Laili menanggapi serius,
“Ya…mungkin
aja genteng dapur Pak Jadi bocor, trus kuah sotonya kejatuhan air hujan!”
Saya
hanya terbengong mendengar pernyataan aneh bin ajaib ini. Memang kalau dengar
anak ini bicara, lalu omongannya itu ditanggapi serius, bisa pusing sendiri
kepala ini. Prediksi si Alam ini kurang saya setujui. Saya percaya kalau Pak
Jadi tetap bersikukuh menggelar acara ini, sederas apapun hujan yang turun.
Beliau pasti sadar betul arti nama yang disandangnya, dimana setiap acara itu
ndak boleh batal, harus selalu JADI!
Mendengar
serentetan omongan tak masuk akal itu, bukannya luluh, Mbak Laili semakin
mengeluarkan suara lebih keras,
“Ayoooo,
alasan semua! Ini agenda kelompok, pokoknya harus ada yang berangkat! Harus!”
Saya
sebenarnya sadar, bolos tahlilan adalah kesalahan besar. Apa alasannya? Tadi
siang, Pak Jadi rela mampir ke posko untuk berbagi rezeki : membagi 3 rantang
soto ayam! Sewaktu menerima kehadiran Pak Jadi tadi, saya sempat dibuat heran
sama ulah teman-teman. Di depan beliau, mereka tampak malu dan sungkan, dan
terkesan ogah-ogahan. Tercatat, ada
beberapa kalimat yang mereka sampaikan, “Gak usah repot-repot segala lo, Pak?,
ada lagi : “Loh, ada hajatan apa lo, Pak?” (Padahal semua tahu kalau di rumah
Pak Jadi mau ada tahlilan).
Belum
sampai 15 menit setelahnya, ketika saya coba ngecek apa isinya, ternyata
rantang itu sudah kinclong. Isinya lenyap tanpa bekas! Awalnya saya berpikir
positif, sotonya pasti dipindah tempat. Ternyata benar dugaan saya, sotonya itu
telah berpindah …. ke perutnya teman-teman. Saking bersihnya, rantang itu bisa
saya pakai untuk bercermin! Kalau perlu gak usah dicuci kalau pingin digunakan
lagi. Kok tega bener temen-temen ini!! Tapi saya tetap maklum, setelah sekian
hari menjadi vegetarian, kehadiran makanan jenis ini pasti cepat laku. (Saya
mengelus dada sambil mengucap istighfar beberapa kali).
“Aku
saja nanti yang berangkat!” Mas Takim angkat bicara. Ia coba meredakan suasana.
Betul.
Perwakilan! Itulah opsi paling bisa diterima untuk kelangsungan agenda dengan
kondisi cuaca seperti ini. Tapi, siapa yang harus dikorbankan? Sudah ada satu :
Takim. Tinggal mencari siapa yang mau menemani.
Di
tengah perdebatan siapa yang berangkat tahlilan, gema shalawat berkumandang
dari arah mushola. Memanggil seisi posko dan tetangga sekitar untuk mau
menerjang hujan demi memperjuangkan pahala berlipat ganda. Entah malaikat apa
yang berbisik di telinga saya, tiba-tiba kaki ini tergerak untuk menerjang
hujan, ikut jamaah. Saya hanya berpikir pas kondisi kayak gini, pasti jamaah
maghrib mengalami kemajuan. Maksudnya bukan semakin banyak jamaahnya, tapi
shaf-nya itu yang semakin maju. Jadi biar gak tambah sepi, saya harus
memaksakan diri melewati derasnya air hujan.
Sampai
saya hendak takbirotul ihrom, masih belum keliatan batang hidung teman-teman.
Yang ada hanya Takim. Ia berada di shaf paling depan.
Sampai
selesai jamaahpun, ternyata tidak ada pertambahan jumlah penghuni posko yang
ikut jamaah. Saya mulai mencium tanda bahaya, karena jika saya terpantau Pak
Marjani, pasti saya yang diajak tahlilan, bersama Takim tentunya. Untuk itu,
saya harus cepat kembali ke posko.
Di
luar, hujan masih turun begitu deras. Tampak jalan makadam yang dulunya adalah
sungai itu tergenang air. Airnya mengalir ke arah timur dengan cepat. Saya
pandangi posko tercinta. Saya raba jarak mushola ini dengan bangunan bersih
itu. Berapa ya kira-kira kecepatan yang pas, biar gak terlalu basah, sekaligus
gak terpeleset memalukan di jalan yang licin itu. Segera saya pakai mantel hujan,
dan berjalan agak cepat meninggalkan mushola. Setiba di posko nanti, saya
berencana mengajak teman-teman untuk hom pim paa dalam rangka menentukan siapa
yang dikorbankan untuk ikut jamaah tahlil.
Belum
jauh saya berjalan, terdengar suara Pak Marjani,
“Apa
gak langsung berangkat aja, Mas?”
Saya
diam agak lama.
“Saya
mandi dulu, Pak. Sebentar.”
“Halaah
gak usah mandi. Ini juga ada air hujan. Nanti juga basah-basah sendiri!”
Sial!
Karena yang terpantau oleh Pak Marjani ini hanya saya dan Takim, akhirnya ya
kami berdua yang berangkat. Lebih tepatnya, kami berdualah yang jadi korban.
Enak bener temen-temen di posko. Mereka terbebas dari pantauan Pak Marjani ini,
dan bisa leyeh-leyeh minum kopi menikmati dinginnya malam. Kalau sudah pulang,
akan saya pamerkan bau harum mulut saya sehabis makan nasi rawon hasil jerih
payah saya membaca tahlil, pasti kalian iri karena persediaan makanan di posko
malam ini tinggal beras dan bayam mentah.
“Iya
pak, langsung berangkat saja!”
Untuk
sampai ke rumah Pak Jadi, kami bertiga tidak mungkin lewat jalan makadam depan
itu. Arus airnya sangat deras. Maklum, jalanan itu dulunya adalah sungai. Masih
sekitar 4 bulan lalu, tanah didatangkan untuk menimbun sungai itu. Alhasil ia
berubah jadi jalanan umum. Hanya sayang, warga desa lupa memberi info kepada
malaikat penyiram hujan kalau sungainya sudah disulap jadi jalan. Jadi pas
turun hujan, airnya tetep ngeyel lewat situ. (alasan paling ilmiah bagi
mahasiswa yang tidak memfokuskan diri pada bidang pertanahan dan perhujanan).
“Lewat
situ saja, Mas. Belakang rumah.” Pak Marjani menunjuk sebuah jalan setapak.
Pak
Marjani berjalan paling depan, karena beliau yang hafal sama rute menyeramkan
ini. Saya masih sekali lewat sini, sore lusa. Saya tidak menyangka kalau pas
malam, jalanan ini sangat gelap. Benar-benar gelap. Dan di saat suasana
mengharuskan saya untuk konsen pada jalan di depan, saya masih harus repot sama
sandal saya yang berkali-kali tersangkut lumpur. Halah! Kok begitu tepatnya
saya pilih sandal yang ini. Tadi waktu di depan posko, saya comot begitu saja
sandal yang menurut saya terbaik. Ndak tahu ini punya siapa. Ternyata pinjam
gak bilang-bilang itu berakibat buruk. Sandal merk mahal itu tidak akrab dengan
lumpur!
“Hoe
Kim, pelan-pelan Kim!” tiba-tiba saya agak gugup.
“O iya,
tak tunggu, agak cepat!”
Saya
heran sama anak ini. Ngomongnya iya, tapi kakinya kok gak di rem sedikitpun!
Semakin
lama, jarak saya dengan Takim dan Pak Marjani semakin jauh.
Puncaknya,
sesaat setelah mereka melewati belokan, saya seperti berjuang sendirian
melewati jalan ini. Sandal sesekali masih sering tersangkut, menghambat langkah
kaki saya. Shit! Dalam kondisi gelap setengah seram kayak gini, satu-satunya
benda yang bisa saya andalkan sekarang hanyalah mantel yang mengerubuti badan
saya. Tahu kan alasannya? Bukan karena menghindarkan saya dari basah akibat
hujan ini, tapi mantel ini bisa menipu hantu yang mungkin bersliweran di dekat
saya. (Bisa saja kan mereka menganggap makhluk berkerubut mantel ini sebangsa
dengan mereka, jadi mereka membatalkan niat untuk menakut-nakuti saya!)
Melalui
perjuangan berat dan melelahkan selama perjalanan, sampai juga kami di depan
rumah Pak Jadi. Rumahnya tidak terlalu besar, tapi bagus dalam penataan
halamannya. Kursi ruang tamu ditata rapi di emperan, memberi tanda kalau rumah
ini sedang ada hajatan. Tampak juga tikar yang digelar cukup rapi di ruang
tamu, lebih dari cukup untuk menampung 80-an anggota jamaah tahlil.
Saya
lantas membuntuti Pak Marjani, bersalaman dengan Pak Jadi yang sudah menunggui
di beranda. Begitu saya masuk, masih ada tujuh orang yang sudah datang
mendahului kami. Saya ambil tempat di pojokan. (Tempat yang saya perkirakan
menjadi yang paling awal saat menerima jatah makanan, nanti)
Menanti
acara dimulai, saya lebih banyak diam mendengar obrolan dari mereka yang sudah
datang. Sesekali saya ikut ngobrol, secukupnya. Saya malah lebih banyak
bertanya, dan tidak berani bicara terlalu banyak, karena obyek pembahasannya
menyangkut persoalan kehidupan yang konkret. Jika berani angkat bicara, maka syarat
wajibnya adalah punya pengalaman hidup yang matang, seperti bapak-bapak itu.
Sementara saya, anak ingusan kemarin sore yang tak tahu menahu kalau diajak
bicara soal ini.
Kawan,
ini adalah untuk kesekian kali saya mengakui bahwa ada perbedaan mendasar
antara bentuk perdiskusian di sini dengan di kampus. Kalau di kampus, saya suka
tersenyum geli melihat ada teman yang suka pakai kata-kata super ilmiah saat
ngobrol santai. Kata demi kata dibuat seilmiah mungkin, meski kadang-kadang
agak dipaksa. Biar kelihatan mahasiswa gitu, katanya. Tapi saya sendiri ragu
apakah dia mengerti betul arti dari istilah yang ia pakai itu. Jadi ya karena
yang ngomong cuma asal comot istilah, sementara pendengar juga kurang tahu apa
maksudnya, seolah tidak ada yang salah dalam forum itu.
Tiba-tiba
saya teringat pada sepotong puisi, karya Gus Mus. Kalau gak salah, puisi ini
dibuat untuk mengenang masa-masa nyantrinya di Pondok Lirboyo.
………
Lirboyo…
Masihkah
perdebatan pendalaman dalam halqoh-halqoh musyawarah menghidupkan malam-malammu
penuh semangat dan gairah,
Ataukah
seperti dimana-mana, diskusi-diskusi sarat istilah tanpa kelanjutan, dinilai
lebih bergengsi dan bergaya,
………
Kawan,
sepatutnya kita malu karena mungkin terlalu sering beradu argumen yang tidak
ada ujungnya, pakai istilah-istilah keren, sampai pikiran terbang melayang
namun berhenti lagi di dunia idea. Perbincangan kita itu ternyata banyak yang
hampa, bullshitt, dan tidak ada kelanjutan. Atau jangan-jangan, kita tidak
perlu merasa malu ya, kawan! Soalnya memang masa-masa mahasiswa itu ya seperti
itu, terus mencari dan mencari apa yang paling hakiki di dunia ini? Apapun itu,
PKM ini sedikit menjadi rambu-rambu untuk segera mengakhiri saat-saat romantis
ketika jadi mahasiswa, dengan gelimpangan buku-buku sebagai simbol keangkuhan
dan kekuasaan pengetahuan. Agenda PKM mungkin juga menjadi gerbang untuk
siap-siap beralih kepada kehidupan yang nyata, yang kata orang dipenuhi dengan
ketidakpastian itu. Dalam kalimat lebih sederhana, PKM ini mungkin mencolek
kita, terutama saya, untuk segera bersiap-siap berpindah haluan dari yang
sebelumnya jadi pemegang buku, menjadi pemegang pacul!
Sudah
setengah jam kami menunggu. Yang hadir jumlahnya masih sama, sepuluh. Tidak ada
yang menyusul setelah kedatangan saya, Takim, dan Pak Marjani tadi. Pak Jadi,
yang sedari tadi duduk di luar, mulai beranjak. Ia masuk ke dalam. Terlihat
gurat wajah lesu dan langkah yang gontai. Tentu beliau berharap bisa menyalami
paling tidak 70-an orang lagi. Tapi hujan deras mengubur harapannya itu. Beliau
duduk, menundukkan wajah.
Sesaat
kemudian, Pak Marjani membuka acara. Sekaligus beliau juga menyampaikan
tausyiah kepada para jamaah. Saya bangga kepada bos saya yang satu ini. Meski
jamaah hanya sedikit, tak menurunkan semangatnya untuk berderma ilmu. Sungguh
ini sebuah pemandangan hebat. Pak Marjani yang ceramah, jamaahnya khusyuk
mendengarkan. Ungkapan rasa khusyuk itu ditunjukkan beberapa jamaah dengan cara
memejamkan mata. (Eits, tunggu dulu… saya agak sulit membedakan antara khusyux
atau ngantux. Yang jelas, selain mata terpejam, maaf, mulut bapak-bapak itu
juga terbuka! hehe)
Saya
membayangkan, berapa banyak pahala untuk orang yang mau menggelar acara kayak
gini. Pasti banyak. Ada pahala bershadaqah, ada pahala menyediakan tempat
silaturrahim, ada pahala kirim doa untuk arwah leluhur.
Trus,
yang sering buat saya bingung, kenapa ya masih banyak saudara-saudara kita di
luar sana yang memperdebatkan boleh tidaknya tradisi ini. Apa kurang kerjaan ya
orang-orang itu? Kalau gak pingin ngeluarin uang buat shadaqah, ya udah, diam
saja! Kalau gak pingin kirim pahala buat keluargamu yang sudah meninggal, ya
udah, la wong keluarga-keluargamu dewe! Ndak usah nyalah-nyalahin tradisi ini!
Selamatan dikata bid’ah, manaqib dikata bid’ah, mauludan dikata bid’ah. La trus
yang boleh itu yang gimana? Apa wajahmu itu ndak bid’ah, kan wajahmu ndak ada
di jaman Nabi? Trus kalau pesawat terbang itu juga bid’ah dan ndak boleh, apa
kamu bersedia pergi haji naik onta, persis dengan apa yang dilakukan Nabi?
Semboyan
Bhinneka Tunggal Ika harus kita jadikan pegangan ketika menyikapi perbedaan.
Karena semakin kita menghargai perbedaan, akan semakin kita temukan letak
persamaannya. Carut marut bangsa ini sudah saatnya disikapi dengan saling
menghargai antara satu dengan lain. Konflik antar suku, ras, agama, hanya akan
menghambat kemajuan bangsa. Para pemuda sudah saatnya berdiri paling depan
untuk mengawal arah pergerakan bangsa. Demi Indonesia yang jaya. Merdekaaaa!!!!
(kehabisan ide coy… dadine nglantur ko ngendi-ngendi).
Bacaan
demi bacaan sudah terbaca. Doa demi doa selesai dipanjatkan. Sampai juga pada
sesi yang paling saya tunggu tiap kali ikut tahlilan : skors! Atau dalam
istilah kerennya : remeh-temeh! Atau dalam bahasa gaulnya : mbadhog! Hampir 90%
dapat dipastikan kalau jatah makan akan bertambah, soalnya kan yang 70 orang
gak hadir?
Didukung
hawa dingin setelah turunnya hujan, seharusnya saya hanya berpikir untuk
menikmati makanan lezat yang sekarang tersaji di depan saya. Tapi entah kenapa,
ingatan saya melayang menuju saudara-saudara yang ada di posko.
Sudah
makan apa belum orang-orang hebat itu?
(Cerita
di atas hanyalah fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama, tempat, atau
kejadian, itu semua adalah suatu kesengajaan. Sekali lagi itu saya sengaja.
Karena cerita akan mudah muncul jika terinspirasi dari kejadian-kejadian yang
pernah kita lihat dan alami. Dan dengan menimbang banyak hal dan
masukan-masukan, saya tegaskan bahwa tidak ada motivasi lain dalam cerita itu
selain mek pingin ngejak guyon).