KANDANG KAMBING PART 1
Oleh : Azzam Arifin
Mata saya
masih sulit terbuka saat tiba-tiba suara mirip petir terdengar di rumah ini.
Setengah tak sadar, saya ingin melanjutkan tidur. Tapi selang beberapa detik
kemudian, suara serupa muncul lagi. Yang ini lebih keras.
“Beeeh,,,
cah ikiiii,,, koprooh…” suara anak cewek melengking
“Jan ngguilani!”
celetuk yang lain.
Dengan
menimbang banyak hal dan masukan-masukan, akhirnya saya putuskan suara asing
itu adalah kentutnya si Awang dan Tokichi dari dalam kamar. Saya jadi teringat
sebuah pantun yang pernah saya baca : Ikan cucut dalam cangkir, dimakan
badut tidaklah mangkir. Jangan takut jangan kawatir, ini kentut bukanlah petir.
Agak kesal
memang, karena pagi yang indah ini harus saya mulai dengan mendengarkan suara
mercon itu. Tapi tak apa, mengingat dua orang ini adalah teman baik saya,
termasuk juga Alam, Takim, Kang Huda, dan Pak Khadiq.
Hadirin yang
berbahagia, perlu kalian tahu bahwa kami termasuk orang yang sangat mengerti
bagaimana memaknai “teman baik”. Bagi kami, teman baik itu adalah roko’an
bareng, guyon bareng, masak bareng (terutama waktu malem pas lagi keluwen),
makan bareng, truus…mandi bareng, dan kadang-kadang.
. . kelon bareng (maksudnya kelon bareng gulingnya masing-masing). Rutinitas
apapun sebisa mungkin kami jalankan bersama-sama untuk mempertahankan
kekompokan yang makin mantap tiap harinya.
Dengan masih
menahan kantuk yang sangat, saya berjalan agak sempoyongan menuju kamar mandi. Dan
sudah saya duga sebelumnya, “budayakan antri” adalah slogan utama bagi semua
penghuni posko yang menginginkan fasilitas kamar mandi.
“Sing neng
jeding sopo yooo . . .” teriak seorang anak cewek mengkonfirmasi keberadaan orang
yang ada dalam kamar mandi. Terlalu lama memang. Tanpa jawaban, ia mengulangi
pertanyaan yang sama.
Tampak raut
mukanya gelisah. Ia terus meneriaki. Maklum, hari sudah mulai terang. Jam subuh
sudah mau habis. Maka dengan menimbang banyak hal dan masukan-masukan, dapat
saya pastikan kegelisahannya adalah karena ia sudah tidak tahan lagi untuk
segera menunaikan kewajibannya sebagai umat manusia, yaitu …. buang air besar.
Ternyata tak perlu susah cari tempat untuk melatih kesabaran, karena di posko
ini, terutama yang berkaitan dengan kamar mandi, kami sangat diuji
kesabarannya.
Akhirnya Shalat
Subuh selesai saya laksanakan, meskipun tidak berjamaah. Mungkin esok hari,
saya akan berusaha bangun lebih awal agar bisa berjamaah. Unik memang, harapan
inilah yang setiap pagi saya ucapkan. Tapi, setiap pagi pula saya masih bangun
kesiangan. Tapi tak apa, yang penting masih ada niat.
Suara
tertawa menggelegar di ruang tamu saat saya memanjatkan doa. Saya menduga
sumbernya adalah kultum dari kang Huda yang dong-deng itu. Usut punya usut,
ternyata sumbernya adalah Alam. Katanya, sarung yang dipakainya tidak rata pas
tidur di sofa. Maksudnya apa, saya juga tidak tahu. Yang jelas fenomena itu
disaksikan oleh berjuta pasang mata dan mengundang tawa yang saya dengar tidak
ada habisnya. Seandainya Alam bangun dan melihat keadaan yang terjadi, saya menduga
dia akan mengeluarkan fatwanya, “Hentikan leluconmu itu!”.
“Yoooo,
koplone ndang disumeeet…!” Sebuah teriakan mengagetkan saya. Teriakan Tokichi
semerdu suara Rena KDI, bisa membangunkan penghuni posko yang masih tertidur.
Nggak usah
tanya siapa-siapa, pasti yang di klik adalah “Bukak Titik Joss” nya Monata.
Lagu ini sekarang posisinya hampir menggeser lagu Indonesia Raya. Tak salah
dugaan saya. Alunan suara Nia Vallen benar-benar membangun semangat, bukan
karena liriknya, tapi lebih pada musiknya. Kawan, kalian pasti bisa menebak
bahwa lagu ini akan menjadi awal dari serentetan lagu lain yang mau tidak mau
harus kalian dengar seharian. Selama siang, jarang sekali speaker mini di rumah
ini mati tanpa suara. Selalu saja ada lagu yang diputar silih berganti. Meski
saya juga penikmat musik, saya pernah membayangkan seandainya speaker ini bisa
bicara pasti dia akan memohon sambil meringkuk agar ia diperkenankan
beristirahat barang satu hari saja.
Sambil
menunggu sarapan istimewa dari chef handal Mbak Laili, saya memilih untuk duduk-duduk
memangku gitar, bersama teman-teman yang kebetulan berkumpul di ruang tamu.
Sambil memetik senar, sempat saya memikirkan hidangan apa yang tersaji pagi
ini. Mungkin perut ini sudah tidak mau diajak kompromi.
Hasil dari
perenungan saya, peluang terbesar menu sarapan pagi ini jatuh kepada sayur
terong. Ini mengingat masih banyaknya terong di dapur yang belum dimasak.
Kemungkinan yang kedua jatuh pada sayur bambu. What is sayur bambu? Sayur bambu
(dalam bahasa Inggrisnya disebut Jangan Rebung) merupakan sejenis masakan
berbahan dasar bambu muda, yang mana saking kreatifnya tidak hanya dimanfaatkan
sebagai kerajinan tangan, tapi juga bisa menjadi masakan. Dua masakan ini
adalah favorit saya. Dan dalam hati sebenarnya saya kagum kepada semua teman
yang ada di posko ini, karena mampu memasak dengan kualitas rasa nomor satu
(atau mungkin rasa enak itu hanya perasaan saya saja ya, soalnya apapun
masakannya, kalau makannya bareng-bareng semua jadi terasa enak.)
“Kopi
coooy….”,
Kang Awang
datang membawa harapan baru, berupa secangkir kopi. Saya tidak tahu bagaimana
cara dia melobi teman-teman di dapur, soalnya ngecam kopi untuk kebutuhan
pribadi haram hukumnya. Kemarin saja, saya harus melalui prosedur yang
berbelit-belit untuk sekedar bisa membuat kopi. Inilah kelebihan si Awang. Dia
lebih banyak diam, tapi ya ituu, suka menghabiskan banyak persediaan. Kata-kata
andalannya, “Prayo lemes” (diucapkan dengan nada khas yang saya saja
tidak bisa menirukan). Apapun itu, karena jasa si Awang, lengkap sudah suguhan
di meja ruang tamu ini. Ada rokok (meski lintingan), kopi ijo, biskuit Roma (saya
hitung sudah 5 hari biskuit ini tidak termakan dan masih setia menunggui meja
ini), dan yang terakhir pastinya adalah gitar.
“Gas
brooow…”, kali ini suara Tokichi tidak lagi mirip Rena KDI, tapi kayak Bram
Sakti yang menandakan lagu-lagu siap dimainkan.
Dengan
menimbang banyak hal dan masukan-masukan, “Cinta Terbaik” milik Cassandra menjadi hits pertama konser akbar pagi ini. Tidak
semua ikut nyanyi, karena tidak semua hafal. Tapi saya salut, karena yang tidak
hafal ikut menggerak-gerakkan mulutnya biar terlihat hafal. Suara keras dari
teman-teman menjadi begitu ramai di tengah kondisi perut yang saya yakin masing-masing
sedang menunggu hadirnya sarapan.
Dibalik
keramaian ini, sebenarnya saya menyimpan perasaan tidak enak dan sungkan
melihat kang Huda yang masih memegangi kitabnya. Apakah keramaian ini akan
mengganggunya, saya tidak berani menanyakan. Saya sangat berharap kang Huda
sendiri yang menunjukkan sikap. Karena seandainya mengganggu, kehebohan ini
akan segera kami akhiri.
Selang
beberapa detik, ketakutan saya akan mendapat kejelasan. Saya lihat kang Huda
menutup kitab, lalu meletakkannya di jendela. Saya berharap muncul pernyataan
darinya tentang sikap anak-anak yang baru saja membuat keributan. Tanpa sepatah
katapun, ia langsung berdiri. Dan bagai petir di siang bolong, kang Huda
berjoget ria mengiringi musik koplo yang berasal dari speaker mini. Ini sungguh
di luar dugaan. Saya membayangkan, apa jadinya kalau Pak Katimin tahu
penampilan kang Huda yang seperti ini. Joget ngebornya Inul berkolaborasi
dengan goyang gergajinya Dewi Persik fasih ia tampilkan. Sefasih ia membaca dan
memahami kitab kuning.
“Oalah kang.
.kang. .. podo ae!” sebuah suara yang tak tahu dari mana asalnya spontan
keluar.
Bagi seisi
rumah yang menyaksikan aksi kang Huda ini, tidak ada satupun yang mampu menahan
tawa. Kehebohan akibat aksinya ini melebihi kehebohan dari konser akbar
barusan. Dan label ustadz yang tersemat pada sosok ini agaknya perlu dilengkapi
dengan pegoyang dangdut kelas atas.
Tepat di
depan saya, Pak Khadiq masih setia memegangi sendok dan gelas yang waktu konser
tadi ia pukul-pukuli. Sekalipun memukulnya tidak beraturan, suara gelas yang
dipukuli sendok itu ikut menyumbang suara musik yang merdu. Saya tidak habis
pikir atas kreatifitasnya, memanfaatkan sendok dan gelas segala untuk
melengkapi alat musik yang belum tersedia. Ada-ada saja ide Pak Ketua ini.
Dibanding
teman-teman satu posko, dialah yang paling bijaksana. Kemampuan ini turut
mensukseskannya sebagai pemimpin kelompok. Pandangannya selalu mengarah agar
bagaimana tidak timbul konflik antar anggota kelompok. Hal ini berdampak pada
terciptanya suasana kondusif yang mengisi hari-hari di posko ini. Dampak
lainnya, teman-teman selalu menjaga kekompakan dalam melangsungkan
agenda-agenda.
Ketua saya
yang satu ini konon adalah sesepuh dalam bidang per-FB-an. 24 jam non stop ia
terus online (apa terlalu melebih-lebihkan ya). Konsistensinya dalam ber-online
membuatnya banyak dikenal. Mungkin ia tahu betul kalau Tukul Arwana pernah
bilang bahwa kesuksesan itu datang karena 4 hal : keinginan, potensi, relasi,
dan faktor X. Jalinan relasi di jaman teknologi informasi seperti sekarang ini
memang banyak terbentuk dari media jejaring sosial seperti fesbuk. Atau mungkin
juga Pak Khadiq memahami betul petuah Maudy Ayunda dalam film Malaikat Tanpa
Sayap : “teman yang nyata itu kadang malah gak riil, justru yang maya kadang
malah riil”. Betul. Banyak teman yang hadir nyata di depan kita, kadang
sulit kita percayai. Justru teman kita yang berada di dunia maya selalu
menghibur kita lewat candaan atau guyonan-guyonan.
Gubrakk . .
.
Tanpa ada
yang menduga, Takim menabrak pintu depan. Barusan ia berlari dari arah mushola
depan, seperti habis diteror oleh seekor binatang buas. Gurat wajahnya
menunjukkan keseriusan. Setelah saya dan beberapa teman menyelidiki secara
detail dan seksama (dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya), betul memang
bahwa Takim baru saja menghadapi binatang buas. Binatang itu bernama cicak.
Selama di Tamban ini, kami terpaksa harus menyetujui argumen Takim bahwa cicak
itu tergolong binatang buas yang harus dijauhi. Baginya, buku-buku yang
menjelaskan bahwa cicak tergolong binatang jinak harus dilarang peredarannya.
Cicak harus dimasukkan ke dalam binatang buas. Binatang yang tidak perlu
dilestarikan, dan kalau perlu dimusnahkan dari muka bumi ini.
“Sarapan . .
.sarapan..”
Suara yang
sangat saya nantikan akhirnya muncul. Berduyun-duyun seisi posko menuju dapur,
kecuali saya. Saya tetap memilih sarapan lebih akhir dibanding yang lain, meski
sebenarnya mata ini sudah berkunang-kunang dan jantung berdetak cepat karena
kelaparan. Apa alasannya? Bukan bermaksud sok kuat atau gimana, tapi kalau
sarapannya paling akhir, saya tidak malu kalau ingin mengambil jatah yang lebih
banyak.
Kawan,
sebenarnya saya ingin melanjutkan cerita di atas. Tapi sehabis sarapan,
bawaannya selalu ngantuk. Jadi, karena pagi ini tidak ada agenda yang penting,
saya tak milih tidur ae ketimbang melanjutkan cerita yang tidak ada intinya
sama sekali.
(Cerita di
atas hanyalah fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama, tempat, atau kejadian,
itu semua adalah suatu kesengajaan. Sekali lagi itu saya sengaja. Karena cerita
akan mudah muncul jika terinspirasi dari kejadian-kejadian yang pernah kita
lihat dan alami. Dan dengan menimbang banyak hal dan masukan-masukan, saya
tegaskan bahwa tidak ada motivasi lain dalam cerita itu selain mek pingin
ngejak guyon)
0 komentar:
Posting Komentar