Blue Fire Pointer
Jumat, 01 Maret 2013

KANDANG KAMBING PART 1

KANDANG KAMBING PART 1
Oleh : Azzam Arifin

Mata saya masih sulit terbuka saat tiba-tiba suara mirip petir terdengar di rumah ini. Setengah tak sadar, saya ingin melanjutkan tidur. Tapi selang beberapa detik kemudian, suara serupa muncul lagi. Yang ini lebih keras.
“Beeeh,,, cah ikiiii,,, koprooh…” suara anak cewek melengking
“Jan ngguilani!” celetuk yang lain.
Dengan menimbang banyak hal dan masukan-masukan, akhirnya saya putuskan suara asing itu adalah kentutnya si Awang dan Tokichi dari dalam kamar. Saya jadi teringat sebuah pantun yang pernah saya baca : Ikan cucut dalam cangkir, dimakan badut tidaklah mangkir. Jangan takut jangan kawatir, ini kentut bukanlah petir.
Agak kesal memang, karena pagi yang indah ini harus saya mulai dengan mendengarkan suara mercon itu. Tapi tak apa, mengingat dua orang ini adalah teman baik saya, termasuk juga Alam, Takim, Kang Huda, dan Pak Khadiq.
Hadirin yang berbahagia, perlu kalian tahu bahwa kami termasuk orang yang sangat mengerti bagaimana memaknai “teman baik”. Bagi kami, teman baik itu adalah roko’an bareng, guyon bareng, masak bareng (terutama waktu malem pas lagi keluwen), makan bareng,  truus…mandi bareng, dan kadang-kadang. . . kelon bareng (maksudnya kelon bareng gulingnya masing-masing). Rutinitas apapun sebisa mungkin kami jalankan bersama-sama untuk mempertahankan kekompokan yang makin mantap tiap harinya.
Dengan masih menahan kantuk yang sangat, saya berjalan agak sempoyongan menuju kamar mandi. Dan sudah saya duga sebelumnya, “budayakan antri” adalah slogan utama bagi semua penghuni posko yang menginginkan fasilitas kamar mandi.
“Sing neng jeding sopo yooo . . .” teriak seorang anak cewek mengkonfirmasi keberadaan orang yang ada dalam kamar mandi. Terlalu lama memang. Tanpa jawaban, ia mengulangi pertanyaan yang sama.
Tampak raut mukanya gelisah. Ia terus meneriaki. Maklum, hari sudah mulai terang. Jam subuh sudah mau habis. Maka dengan menimbang banyak hal dan masukan-masukan, dapat saya pastikan kegelisahannya adalah karena ia sudah tidak tahan lagi untuk segera menunaikan kewajibannya sebagai umat manusia, yaitu …. buang air besar. Ternyata tak perlu susah cari tempat untuk melatih kesabaran, karena di posko ini, terutama yang berkaitan dengan kamar mandi, kami sangat diuji kesabarannya.
Akhirnya Shalat Subuh selesai saya laksanakan, meskipun tidak berjamaah. Mungkin esok hari, saya akan berusaha bangun lebih awal agar bisa berjamaah. Unik memang, harapan inilah yang setiap pagi saya ucapkan. Tapi, setiap pagi pula saya masih bangun kesiangan. Tapi tak apa, yang penting masih ada niat.
Suara tertawa menggelegar di ruang tamu saat saya memanjatkan doa. Saya menduga sumbernya adalah kultum dari kang Huda yang dong-deng itu. Usut punya usut, ternyata sumbernya adalah Alam. Katanya, sarung yang dipakainya tidak rata pas tidur di sofa. Maksudnya apa, saya juga tidak tahu. Yang jelas fenomena itu disaksikan oleh berjuta pasang mata dan mengundang tawa yang saya dengar tidak ada habisnya. Seandainya Alam bangun dan melihat keadaan yang terjadi, saya menduga dia akan mengeluarkan fatwanya, “Hentikan leluconmu itu!”.
“Yoooo, koplone ndang disumeeet…!” Sebuah teriakan mengagetkan saya. Teriakan Tokichi semerdu suara Rena KDI, bisa membangunkan penghuni posko yang masih tertidur.
Nggak usah tanya siapa-siapa, pasti yang di klik adalah “Bukak Titik Joss” nya Monata. Lagu ini sekarang posisinya hampir menggeser lagu Indonesia Raya. Tak salah dugaan saya. Alunan suara Nia Vallen benar-benar membangun semangat, bukan karena liriknya, tapi lebih pada musiknya. Kawan, kalian pasti bisa menebak bahwa lagu ini akan menjadi awal dari serentetan lagu lain yang mau tidak mau harus kalian dengar seharian. Selama siang, jarang sekali speaker mini di rumah ini mati tanpa suara. Selalu saja ada lagu yang diputar silih berganti. Meski saya juga penikmat musik, saya pernah membayangkan seandainya speaker ini bisa bicara pasti dia akan memohon sambil meringkuk agar ia diperkenankan beristirahat barang satu hari saja.
Sambil menunggu sarapan istimewa dari chef handal Mbak Laili, saya memilih untuk duduk-duduk memangku gitar, bersama teman-teman yang kebetulan berkumpul di ruang tamu. Sambil memetik senar, sempat saya memikirkan hidangan apa yang tersaji pagi ini. Mungkin perut ini sudah tidak mau diajak kompromi.
Hasil dari perenungan saya, peluang terbesar menu sarapan pagi ini jatuh kepada sayur terong. Ini mengingat masih banyaknya terong di dapur yang belum dimasak. Kemungkinan yang kedua jatuh pada sayur bambu. What is sayur bambu? Sayur bambu (dalam bahasa Inggrisnya disebut Jangan Rebung) merupakan sejenis masakan berbahan dasar bambu muda, yang mana saking kreatifnya tidak hanya dimanfaatkan sebagai kerajinan tangan, tapi juga bisa menjadi masakan. Dua masakan ini adalah favorit saya. Dan dalam hati sebenarnya saya kagum kepada semua teman yang ada di posko ini, karena mampu memasak dengan kualitas rasa nomor satu (atau mungkin rasa enak itu hanya perasaan saya saja ya, soalnya apapun masakannya, kalau makannya bareng-bareng semua jadi terasa enak.)
“Kopi coooy….”,
Kang Awang datang membawa harapan baru, berupa secangkir kopi. Saya tidak tahu bagaimana cara dia melobi teman-teman di dapur, soalnya ngecam kopi untuk kebutuhan pribadi haram hukumnya. Kemarin saja, saya harus melalui prosedur yang berbelit-belit untuk sekedar bisa membuat kopi. Inilah kelebihan si Awang. Dia lebih banyak diam, tapi ya ituu, suka menghabiskan banyak persediaan. Kata-kata andalannya, “Prayo lemes” (diucapkan dengan nada khas yang saya saja tidak bisa menirukan). Apapun itu, karena jasa si Awang, lengkap sudah suguhan di meja ruang tamu ini. Ada rokok (meski lintingan), kopi ijo, biskuit Roma (saya hitung sudah 5 hari biskuit ini tidak termakan dan masih setia menunggui meja ini), dan yang terakhir pastinya adalah gitar.
“Gas brooow…”, kali ini suara Tokichi tidak lagi mirip Rena KDI, tapi kayak Bram Sakti yang menandakan lagu-lagu siap dimainkan.
Dengan menimbang banyak hal dan masukan-masukan, “Cinta Terbaik” milik Cassandra  menjadi hits pertama konser akbar pagi ini. Tidak semua ikut nyanyi, karena tidak semua hafal. Tapi saya salut, karena yang tidak hafal ikut menggerak-gerakkan mulutnya biar terlihat hafal. Suara keras dari teman-teman menjadi begitu ramai di tengah kondisi perut yang saya yakin masing-masing sedang menunggu hadirnya sarapan.
Dibalik keramaian ini, sebenarnya saya menyimpan perasaan tidak enak dan sungkan melihat kang Huda yang masih memegangi kitabnya. Apakah keramaian ini akan mengganggunya, saya tidak berani menanyakan. Saya sangat berharap kang Huda sendiri yang menunjukkan sikap. Karena seandainya mengganggu, kehebohan ini akan segera kami akhiri.
Selang beberapa detik, ketakutan saya akan mendapat kejelasan. Saya lihat kang Huda menutup kitab, lalu meletakkannya di jendela. Saya berharap muncul pernyataan darinya tentang sikap anak-anak yang baru saja membuat keributan. Tanpa sepatah katapun, ia langsung berdiri. Dan bagai petir di siang bolong, kang Huda berjoget ria mengiringi musik koplo yang berasal dari speaker mini. Ini sungguh di luar dugaan. Saya membayangkan, apa jadinya kalau Pak Katimin tahu penampilan kang Huda yang seperti ini. Joget ngebornya Inul berkolaborasi dengan goyang gergajinya Dewi Persik fasih ia tampilkan. Sefasih ia membaca dan memahami kitab kuning.
“Oalah kang. .kang. .. podo ae!” sebuah suara yang tak tahu dari mana asalnya spontan keluar.
Bagi seisi rumah yang menyaksikan aksi kang Huda ini, tidak ada satupun yang mampu menahan tawa. Kehebohan akibat aksinya ini melebihi kehebohan dari konser akbar barusan. Dan label ustadz yang tersemat pada sosok ini agaknya perlu dilengkapi dengan pegoyang dangdut kelas atas.



Tepat di depan saya, Pak Khadiq masih setia memegangi sendok dan gelas yang waktu konser tadi ia pukul-pukuli. Sekalipun memukulnya tidak beraturan, suara gelas yang dipukuli sendok itu ikut menyumbang suara musik yang merdu. Saya tidak habis pikir atas kreatifitasnya, memanfaatkan sendok dan gelas segala untuk melengkapi alat musik yang belum tersedia. Ada-ada saja ide Pak Ketua ini.
Dibanding teman-teman satu posko, dialah yang paling bijaksana. Kemampuan ini turut mensukseskannya sebagai pemimpin kelompok. Pandangannya selalu mengarah agar bagaimana tidak timbul konflik antar anggota kelompok. Hal ini berdampak pada terciptanya suasana kondusif yang mengisi hari-hari di posko ini. Dampak lainnya, teman-teman selalu menjaga kekompakan dalam melangsungkan agenda-agenda.
Ketua saya yang satu ini konon adalah sesepuh dalam bidang per-FB-an. 24 jam non stop ia terus online (apa terlalu melebih-lebihkan ya). Konsistensinya dalam ber-online membuatnya banyak dikenal. Mungkin ia tahu betul kalau Tukul Arwana pernah bilang bahwa kesuksesan itu datang karena 4 hal : keinginan, potensi, relasi, dan faktor X. Jalinan relasi di jaman teknologi informasi seperti sekarang ini memang banyak terbentuk dari media jejaring sosial seperti fesbuk. Atau mungkin juga Pak Khadiq memahami betul petuah Maudy Ayunda dalam film Malaikat Tanpa Sayap : “teman yang nyata itu kadang malah gak riil, justru yang maya kadang malah riil”. Betul. Banyak teman yang hadir nyata di depan kita, kadang sulit kita percayai. Justru teman kita yang berada di dunia maya selalu menghibur kita lewat candaan atau guyonan-guyonan.
Gubrakk . . .
Tanpa ada yang menduga, Takim menabrak pintu depan. Barusan ia berlari dari arah mushola depan, seperti habis diteror oleh seekor binatang buas. Gurat wajahnya menunjukkan keseriusan. Setelah saya dan beberapa teman menyelidiki secara detail dan seksama (dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya), betul memang bahwa Takim baru saja menghadapi binatang buas. Binatang itu bernama cicak. Selama di Tamban ini, kami terpaksa harus menyetujui argumen Takim bahwa cicak itu tergolong binatang buas yang harus dijauhi. Baginya, buku-buku yang menjelaskan bahwa cicak tergolong binatang jinak harus dilarang peredarannya. Cicak harus dimasukkan ke dalam binatang buas. Binatang yang tidak perlu dilestarikan, dan kalau perlu dimusnahkan dari muka bumi ini.
“Sarapan . . .sarapan..”
Suara yang sangat saya nantikan akhirnya muncul. Berduyun-duyun seisi posko menuju dapur, kecuali saya. Saya tetap memilih sarapan lebih akhir dibanding yang lain, meski sebenarnya mata ini sudah berkunang-kunang dan jantung berdetak cepat karena kelaparan. Apa alasannya? Bukan bermaksud sok kuat atau gimana, tapi kalau sarapannya paling akhir, saya tidak malu kalau ingin mengambil jatah yang lebih banyak.
Kawan, sebenarnya saya ingin melanjutkan cerita di atas. Tapi sehabis sarapan, bawaannya selalu ngantuk. Jadi, karena pagi ini tidak ada agenda yang penting, saya tak milih tidur ae ketimbang melanjutkan cerita yang tidak ada intinya sama sekali.

(Cerita di atas hanyalah fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama, tempat, atau kejadian, itu semua adalah suatu kesengajaan. Sekali lagi itu saya sengaja. Karena cerita akan mudah muncul jika terinspirasi dari kejadian-kejadian yang pernah kita lihat dan alami. Dan dengan menimbang banyak hal dan masukan-masukan, saya tegaskan bahwa tidak ada motivasi lain dalam cerita itu selain mek pingin ngejak guyon)

0 komentar:

 
;