Blue Fire Pointer
Sabtu, 31 Januari 2015 0 komentar

SEBUAH NAMA, SEBUAH CERITA.

SEBUAH NAMA, SEBUAH CERITA.

Oleh : Mohammad Khadziqun Nuha



Mohammad Khadziqun Nuha, mungkin nama itu merupakan nama yang asing ditelinga sebagian besar penghuni planet bumi ini, bahkan bagi penghuni planet lain juga. Sebuah nama yang mungkin hanya segelintir orang saja yang mengetahui apa artinya. Sebuah nama yang susah untuk dilafalkan dan jua untuk dituliskan (Untungnya belum ada berita orang yang meloncat dari gedung lantai tiga karena sukar melafalkannya). Mungkin banyak yang bertanya-tanya, apa sih makna yang terkandung dalam nama tersebut sehingga kedua abah dan ibuku menganugerahkan nama tersebut pada saat menyembelih kambing dan memotong rambutku dahulu? Marilah kita kupas bersama, setajaaaaaaaaaaaam…. Samurai Jepang.

Pertama-tama, marilah kita (panjatkan puja dan puji syukur... #plakk) bahas terlebih dahulu bagaimana orang awam memanggilku. Apabila mereka telah mengenalku, mereka akan dengan lantang memanggilku dengan sebutan Kadiq atau lebih tepatnya adalah hadziq. Namun apabila mereka masih baru saja  menjumpai sesosok makhluk yang berupa seorang aku dan susah untuk melafalkan bahasa arab, mereka akan menyebutku dengan Khadziq, Khodziq, Kadek, Khadziqun, Khadiziqun, Qun, Un, Nuha, Konoha, Kodok, Kadir, Godir, Khadziqunnuha (kalau yang ini kakak kelasku yang selalu memanggil lengkap), dan banyak  lagi lainnya, tapi aku lebih sering dipanggil, “heh”. Namun anehnya, dari sekian banyak panggilan itu, belum kujumpai yang menggunakan panggilan Mohammad atau bahkan (maaf!), Kanjeng Pangeran. Sebagai pemilik nama yang cukup “freak” ini, aku merasa fine-fine saja ketika mereka menyebutku dengan berbagai panggilan tersebut walau kadang juga illfeel ketika ada yang memanggilku dengan konotasi yang negatif (sakitnya tuh disini!)

Sempat aku berfikir bahwa nama yang tergolong langka (mungkin malah layak masuk museum orangnya) ini hanya aku sendiri yang memilikinya. Namun asumsi itu akhirnya pupus ketika aku masuk di madrasah di salah desa di Kecamatan Gondang, Tulungagung (#Tiiiittt... Aku ngga bilang di Madrasah Salafiyyah Syafi’iyah, Wonokromo) karena ada dua kakak tingkatku yang memiliki nama yang sama dan malah mereka satu kelas. Dalam hati aku tersenyum, terimakasih Tuhan, ternyata Engkau tidak menganugerahkan nama yang “freak” ini padaku sendiri. Senyumku semakin lebar ketika aku mendapati nama Mohammad Khadziqun Nuha juga dimiliki oleh salah seorang teman facebookku. Haha, ternyata mereka juga merasakan apa yang aku rasakan.

Baik, mengenai ejaan, mungkin banyak yang mengira kalau ejaan itu merupakan ejaan yang benar versi bahasa arab. Berdasarkan ejaan tulisan arab yang benar adalah محمد حاذق النهى  , yang tentunya ejaan itu sedikit  menyeleweng dari tata ejaan baku bahasa arab. Mengapa bisa seperti itu? Ceritanya seperti ini, pada jaman dahulu kala, saat itu aku telah masuk pada jenjang sekolah dasar namun belum memiliki akta kelahiran sehingga guru kelas satu-ku kala itu, ibu Almh. Titiek Rubiah (keren ngga tuh masih ingat dengan guru kelas satu SD-nya?? Allahumaghfirlaha warhamha wa’afihi wa’fu ‘anha) menggunakan ejaan tersebut untuk menulis pada buku induk sekolah serta raport. Sebenarnya beliau telah mengkonsultasikan tentang ejaan tersebut kepada orangtuaku, namun orangtuaku mengiyakan saja ejaan yang diusulkan oleh guruku tersebut. Aku ingat sekali, kala itu beliau menulis pada secarik kertas yang mana aku harus menunjukkan pada kedua orangtua. Berawal dari itu, dimulai dari akta, ijazah, nama pada absensi, nama facebook (seperti yang sekarang, dan situs jejaring sosial lainnya) hingga nama yang tercantum pada surat nikah (insya allah) nantinya menggunakan ejaan tersebut.

Apabila aku mencoba googling di yahoo (Nahlo, aneh ngga tuh?? Googling di yahoo?? Jadi begini, pertama aku buka Mozilla Firefox, lalu aku ketik deh yahoo.com. Nah, pada kolom pencarian, aku ketik google kemudian klik enter dan baru deh mengetik kata yang aku cari setelah muncul halaman google), saat aku mencari apa sih sebenarnya makna yang terkandung dari nama “Mohammad Khadziqun Nuha” itu? Namun hal tersebut tidak membuahkan hasil karena yang muncul hanyalah situs jejaring sosial didunia maya atas namaku sendiri dimulai dari Facebook (tentunya!), Friendster (walau sudah dihapus!), Twitter, Blogger, Academia Edu, Youtube, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin aku sebutkan satu persatu. Nahlo, bahkan “Mbah Google” sekalipun bingung untuk mengartikan namaku. Sebegitu dahsyat kah makna yang terkandung sehingga dunia maya tak mampu menjangkaunya?

Kalau kita berbicara soal nama Mohammad atau lebih tepatnya adalah Muhammad atau bahkan Mohammed dalam versi bahasa inggris, tentunya semua orang mukallaf mengetahui kalau itu adalah nama Nabi akhir zaman yang berarti “terpuji”. Lalu bagaimana dengan dua kata yang lain? Usut punya usut (seperti baju yang tidak pernah disetrika. #Theeet. Kusut!), setelah kutanyakan kepada abahku (ntah kapan waktunya aku lupa), ternyata kata Hadziq itu berarti Open Minded (dalam bahasa inggris), limpat (dalam bahasa jawa), atau cerdas (dalam bahasa Indonesia, ntah bahasa hewannya aku ngga tahu). Dalam hati, we o we sekali ternyata artinya. Sebuah ekspektasi yang luar biasa dari kedua orangtua terhadap putranya ini. Lalu bagaimana dengan Nuha? Apakah makna yang terkandung didalamnya? Kucoba untuk membuka Kamus Besar Bahasa Arab – Bahasa Indonesia, meski radak bingung bagaimana cara mencari kata-katanya karena bisa dibilang jarang atau bahkan tidak pernah menggunakannya, namun akhirnya ketemu juga, dan tahu apa artinya? Hayo, siapa yang tahu? Hayo coba tebak! Penasaran ya?  (ngga banged)

Nah, tepat sekali dan seratus untuk yang menebak “akal”. Sehingga kurang lebih nama “Mohammad Khadziqun Nuha” itu berarti “orang yang terpuji yang memiliki akal yang cerdas”. Subhanallah, sungguh mulia doa yang disematkan kedua orangtuaku untuk anak sulungnya ini. Semoga harapan beliau berdua dapat menjadi kenyataan dan terpancar pada putranya ini. Terimakasih abah, terimakasih ibu, atas titipan semangat yang semula kuanggap sebagai suatu keanehan karena namaku tergolong lain daripada yang lain (Waduh, punya kelainan dong aku?). Semoga aku dapat mengemban amanah ini. Aamiin...

-Sekian dan Terimagaji-
0 komentar

HARI INI, DUA PULUH EMPAT TAHUN LALU

HARI INI, DUA PULUH EMPAT TAHUN LALU

Oleh : Mohammad Khadziqun Nuha




31 Januari, mungkin bagi sebagian besar orang di planet bumi ini bahkan di planet-planet lain merupakan tanggal yang biasa. Nothing special. Namun, bagi salah seorang anak adam, itu merupakan hari yang ruarrr biasaaa yang hanya akan terbit setahun sekali. Ya! SETAHUN SEKALI. Silakan dicetak tebal, italic, bergarisbawah dengan menggunakan HURUF KAPITAL. Kalau perlu distabilo dan diberi sinar laser agar lebih jelas!

Ada apakah gerangan?
Tepat dua puluh empat tahun yang lalu lahirlah seorang pria Aquarius dari rahim seorang bidadari tak bersayap (nahlo, bidadari kok seorang??) yang bernama Ibu Siti Khufadiyah yaitu pada hari Kamis Wage tanggal 31 Januari 1991 atau 15 Rojab 1411 H pukul 08.45 WIB di Tulungagung, Jawa Timur, Indonesia, Asia Tenggara, Asia, Bumi, Tata Surya, Galaksi Bima Sakti. Bayi laki-laki yang imut, mungil, ngegemesin, cubby, luthu (hmm... paling tidak menurut ibu itu. Yang mau muntah tolong ditahan) merupakan buah cinta yang Allah anugerahkan kepada  pasutri yang telah menikah sekitar tiga tahun namun tak kunjung diberikan momongan. Sehingga kehadirannya bak oase ditengah gurun sahara yang sangat diidam-idamkan. Seorang putra yang nantinya diharapkan meneruskan tongkat estafet monarki keluarga tersebut.

Dan, tidak lain tidak bukan, bayi sulung dari tiga bersaudara itu adalaaaah...
(Jrennnggg... Jrenggg...)
AKU !!! (Esumpah, ngga puenting buanget. Nah, yang tadi sudah menahan rasa mual, sekarang silakan dimuntahkan. Pasti semacam antiklimaks pada suatu film laga dimana saat jagoannya datang ternyata monster yang sudah mengobrak-abrik isi kota lebih memilih bunuh diri daripada harus bertarung dengan Sang Jagoan setelah mengetahui siapa jagoan-nya. Jadi ngganggur dah Sang Jagoan. Eh amit, ini kenapa jadi membicarakan film laga, padahal ini kan reality show)

Baik, pimpinan kuambil alih, bagi yang merasa illfeel setelah mengetahui siapa “jagoan”-nya dan ngga berkenan melanjutkan membaca tulisanku ini, secara besar hati, aku perkenankan untuk meninggalkan tulisan ini (pintu keluar sebelah sana!) dari pada nanti kian illfeel dan membentur-benturkan kepala ke tembok atau ngemil paku payung kan berabe. Beneran! Saya persilakan! (Hashtag Aku Rapopo).

Sebaliknya, bagi yang masih penasaran dengan alur cerita tulisan ini (kuharap ngga ada), silakan melanjutkan membaca hingga titik kalimat penghabisan karena akan kusingkap tabir hidupku yang tidak pernah diungkap di stasiun TV lain. Tapi ingat! Ini tidak ada unsur paksaan, jika Anda sudah menyerah untuk membacanya silakan melambaikan tangan, kamera ada disebelah sana, sebelah atas sana, dan samping kanan sana (#Hallah...). Yap. Bagi yang berkenan, jangan kemana-mana, aku akan kembali setelah pesan-pesan berikut ini (#Auuuuuuu...)

-Kembali pada topik pembicaraan-
 Berbicara mengenai tanggal 31 Januari, terdapat makna implisit yang ingin Allah sampaikan dengan tanggal tersebut. Pertama, 31 Januari merupakan tanggal berdirinya organisasi islam terbesar di Indonesia bahkan di dunia, yang memiliki banyak umat. Organisasi yang memiliki simbol bola dunia, sembilan bintang, dan tali sebagai pemersatu ukhuwah islamiyah. Ya! Merupakan sebuah kebanggaan tersendiri ternyata manakala tanggal lahir kita juga dirayakan saudara-saudaraku pengikut organisasi masyarakat islam yang bernafaskan ahlushunnah waljama’ah yang juga diikuti oleh keluarga besarku itu.

Kedua, kombinasi angka ganjil tanggal 31 bulan 1 tahun 1991 merupakan roh tersendiri yang tertanam dijiwaku. Seperti yang kita ketahui, Tuhan agama yang kuanut menyukai angka ganjil. Tidak perlu lah aku sebutkan keunggulan dari angka ganjil hingga terdapat sholat sunat khusus yang bernama sholat witir yang berarti sholat dengan rokaat ganjil karena tentunya pembaca memiliki ilmu agama yang lebih daripada penulis.

Ketiga, kolaborasi angka cantik 31-1-1991 itu didominasi oleh angka satu. Hal ini terbukti dengan terdapatnya angka satu pada tanggal, bulan dan tahun. Hal ini menunjukkan cita-cita luhurku untuk menjadi nomor satu bin wahid dalam setiap sendi kehidupan yang kulalui. Kalau kita mempunyai ekspektasi yang tinggi, tentunya berkat pertolongan Allah akan dikabulkan.

Keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Hallaaah... Ini acara apa sih? Bukan deng, cukup tiga saja, nanti kebanyakan malah pembacanya yang malas meneruskan membaca.

Berbicara mengenai nama, mungkin banyak yang mengira kalau profile name pada facebook-ku itu merupakan nama samaran. Namun itu tidak benar, dimulai dari Akte, KK, KTP, SIM bahkan dalam administrasi apapun itu aku selalu menggunakan nama itu. Sebuah nama yang memiliki cerita tersendiri karena tidak banyak orang yang menggunakan nama ini.

Apabila mereka telah mengenalku, mereka akan dengan lantang memanggilku dengan sebutan Kadiq atau lebih tepatnya adalah hadziq. Namun apabila mereka masih baru saja  menjumpai sesosok makhluk yang berupa seorang aku dan susah untuk melafalkan bahasa arab, mereka akan menyebutku dengan Khadziq, Khodziq, Kadek, Khadziqun, Khadiziqun, Qun, Un, Nuha, Konoha, Kodok, Kadir, Godir, Khadziqunnuha (kalau yang ini kakak kelasku yang selalu memanggil lengkap), dan banyak  lagi lainnya, tapi aku lebih sering dipanggil, “heh”. Namun anehnya, dari sekian banyak panggilan itu, belum kujumpai yang menggunakan panggilan Mohammad atau bahkan (maaf!), Kanjeng Pangeran. Sebagai pemilik nama yang cukup “freak” ini, aku merasa fine-fine saja ketika mereka menyebutku dengan berbagai panggilan tersebut walau kadang juga illfeel ketika ada yang memanggilku dengan konotasi yang negatif (sakitnya tuh disini!)

Baik, mengenai ejaan, mungkin banyak yang mengira kalau ejaan itu merupakan ejaan yang benar versi bahasa arab. Berdasarkan ejaan tulisan arab yang benar adalah محمد حاذق النهى  . Nama Mohammad atau lebih tepatnya adalah Muhammad atau bahkan Mohammed dalam versi bahasa inggris, tentunya semua orang mukallaf mengetahui kalau itu adalah nama Nabi akhir zaman yang berarti “terpuji”. Lalu bagaimana dengan dua kata yang lain? Usut punya usut (seperti baju yang tidak pernah disetrika. #Theeet. Kusut!), setelah kutanyakan kepada abahku (ntah kapan waktunya aku lupa), ternyata kata Hadziq itu berarti Open Minded (dalam bahasa inggris), limpat (dalam bahasa jawa), atau cerdas (dalam bahasa Indonesia, ntah bahasa hewannya aku ngga tahu). Dalam hati, we o we sekali ternyata artinya. Sebuah ekspektasi yang luar biasa dari kedua orangtua terhadap putranya ini. Lalu bagaimana dengan Nuha? Apakah makna yang terkandung didalamnya? Kucoba untuk membuka Kamus Besar Bahasa Arab – Bahasa Indonesia, meski radak bingung bagaimana cara mencari kata-katanya karena bisa dibilang jarang atau bahkan tidak pernah menggunakannya, namun akhirnya ketemu juga, dan tahu apa artinya? Hayo, siapa yang tahu? Hayo coba tebak! Penasaran ya?  (ngga banged)

Nah, tepat sekali dan seratus untuk yang menebak “akal”. Sehingga kurang lebih nama “Mohammad Khadziqun Nuha” itu berarti “orang yang terpuji yang memiliki akal yang cerdas”. Subhanallah, sungguh mulia doa yang disematkan kedua orangtuaku untuk anak sulungnya ini. Semoga harapan beliau berdua dapat menjadi kenyataan dan terpancar pada putranya ini. Terimakasih abah, terimakasih ibu, atas titipan semangat yang semula kuanggap sebagai suatu keanehan karena namaku tergolong lain daripada yang lain (Waduh, punya kelainan dong aku?). Semoga aku dapat mengemban amanah ini. Amin.

Sejak kecil, pria yang alergi dengan udang ini (Ya! Itu aku..) dididik keluarganya dengan penuh cinta kasih dalam lingkungan keluarga yang konservatif, religius, humanis, sosialis, sopan santun, serta menjunjung tinggi adat istiadat dan budi pekerti yang luhur. Terlebih pada ilmu agama, sungguh sangat kentara pada atmosfir keluarga. Bagaimana tidak? Pendidikan Al Qur’an sangat ditekankan sejak kecil, dimulai dari cara membaca, mendalami maknanya serta mengimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi terhadap sholat fardhu, sangat mendapat perhatian tersendiri pada keluarga tersebut. Sampai kuingat ketika terdengar “dug... dug... dug...” suara bedug ditabuh, pastilah tetangga sekitar rumah akan sangat hafal akan diikuti “gedebug... gedebug... gedebug...” suara anak laki-laki yang bergolongan darah A dan adik perempuannya ini lari pulang sehabis bermain karena telah mendengar pertanda sholat akan dilaksanakan. Yah, meski sekarang masih susah dibilang istiqomah untuk sholat berjamaah, namun aku akan merasa bersalah dan tidak tenang apabila belum melaksanakn sholat, semua itu juga berkat didikan abah dan ibuku. Satu lagi, suatu tradisi yang hingga detik ini masih kulakukan, yakni aku akan mencium tangan ibuku ketika akan berangkat sekolah hingga kuliah kini. Yah, semacam sudah menjadi lagu wajib yang tak bisa ditinggalkan. Terimakasih Tuhan, Engkau telah menempatkanku pada keluarga yang bersahaja. Hamba bersyukur untuk itu.

Namun meski dibesarkan dikeluarga yang menjunjung tinggi religiusitas, keluargaku sangat menghargai azas demokrasi. Abah ibuku tidak pernah memaksaku untuk bersekolah di lembaga pendidikan agama. Setelah lulus TK Dharma Wanita Mojosari, aku melanjutkan study di SDN Mojosari 2. Selanjutnya SMPN 2 Kauman lah lokasiku menggali ilmu. Setelah puas menimba ilmu di SMP mewah (ya! Tepat sekali, muepeeet sawah), aku meneruskan di sebuah Sekolah Kejuruan ternama di kotaku  (meski sebelumnya telah mengambil formulir dan memungkinkan untuk masuk di SMAN 1 Kauman dalam segi nilai, namun karena tawaduk terhadap keputusan ibu jadi aku harus mengurungkan niatku itu). Ternyata petualanganku didunia umum tak berhenti setelah dari SMKN 3 Boyolangu, walaupun destinasi study-ku selanjutnya adalah dikampus yang notabene ber-genre agama, namun jurusan yang kupilih adalah Tadris Bahasa Inggris, salah dua jurusan di rumpun Tarbiyah di kampus  STAIN Tulungagung yang merupakan ilmu umum. Bahkan hingga kini, program pascasarjana yang kutempuh di kampus serupa (meski telah beralih status menjadi IAIN Tulungagung), juga “sedikit” melenceng dari ilmu agama yang ditekuni keluargaku. Aku ini memang berbeda dengan kedua adikku yang lebih memilih jalur pondok dalam pendidikannya. Bagiku, tak selamanya buah tepat jatuh dibawah pohonnya. Taruhlah buah yang dipinggir sungai, yang ketika jatuh terbawa arus sungai dan terbawa entah kemana. Yang terpenting bukanlah jalur mana yang kita tempuh untuk meraih kesuksesan, namun bagaimana kita meraih kesuksesan itu dengan cara kita sendiri serta bagaimana kita mampu bermanfaat bagi orang lain. Aku bukanlah orang yang ingin mengekor dari kesuksesan abah ibuku, idealis memang, namun aku adalah aku (boso inggrise, I am me). Aku tak ingin menjadi follower namun ingin menjadi trend setter.

Sebagai anak pertama dikeluargaku (selain abah ibuku bahkan hingga kakekku merupakan anak tertua dikeluarganya), tidak dapat dinafikan lagi hasratku ingin menjadi adik sangatlah besar (meski dengan label adik jadi-jadian). Memang harapanku itu terlaksana beberapa tahun yang lalu, namun semenjak beberapa bulan yang lalu, AKU BERSUMPAH ATAS NAMA ALLAH, AKU AKAN MENGUBUR DALAM-DALAM KEINGINAN YANG TELAH MEMBUAT HUBUNGAN LAIN-KU YANG LEBIH SERIUS KANDAS. Sungguh peristiwa kemarin merupakan tamparan yang paling menyakitkan dari apapun didunia ini.

It is the worst birthday ever. Tanda-tanda itu sudah muncul sekitar tiga bulan lalu dimana konflik batin ini telah mencapai klimaks, belum lagi ditambah komplikasi beberapa penyakit yang tak kunjung sembuh, tugas kerja yang seabreg serta tugas kuliah yang menggunung dan tak ada motivasi mengerjakan. Yah! Lengkap sudah semua itu menyambut milad-ku hari ini. Semacam kolaborasi yang harmonis membuat simpul kegalauan dihatiku. Tapi ah sudahlah, disini aku ngga mau terlalu banyak curhat masalah itu. Mungkin ini  memang cara Tuhan untuk mendewasakanku. Orang bilang, Tuhan tidak akan memberikan cobaan diatas batas kemampuan umatnya. Dia memberikan  cobaan karena Dia Maha Mengetahui bahwa kita mampu untuk mengatasinya (Heloooo... Kenapa aku jadi tiba-tiba sok bijak begini yaa...)

Disinggung masalah make a wish untuk tahun ini, tidak banyak proposal yang kuajukan kepada Allah. Cukup satu, Tuhan... Tolong segera Engkau berikan secercah cahaya kasih-Mu untuk menyudahi segala kegalauanku ini yang telah akut.

*******************************************


(Cerita ini bukan merupakan fiksi belaka jadi mohon maaf apabila terdapat kemiripan nama, karakter tokoh, tempat atau lokasi kejadian karena itu merupakan suatu kesengajaan yang semata-mata murni untuk menghibur dan pemberian informasi. Sekali lagi, emang disengaja, bro! Dan semoga pembaca tidak mengharapkan cerita ini bersambung, halloooooo… ini bukan sinetron Indonesia yang kejar tayang episode-episodenya, bro! Terimasumbangan, eh terimakasih.)


Jumat, 16 Januari 2015 0 komentar

TAMBAN, DUSUN LOKASIKU KKN YANG MENYIMPAN SEJUTA KENANGAN.

TAMBAN, DUSUN LOKASIKU KKN YANG MENYIMPAN SEJUTA KENANGAN.

Oleh : Mohammad Khadziqun Nuha



Sore tadi, aku mendapat tugas mulia dari ibuku. Tenang, bukan tugas mencari kitab suci ke barat atau bahkan merenovasi ka’bah atau semacamnya. Beneran! Bukan semulia itu. Aku hanya diminta ibuku untuk mengantar adikku kembali ke Pondok Lirboyo. Dan bahkan tidak ada peristiwa yang “wah” dalam perjalananku kesana. Yah! Hanya perjalanan seorang kakak yang mengantar adiknya yang barusan kecelakaan kembali ke pondok, ngga lebih.

Nah, cerita ini dimulai disaat dalam perjalanan pulang tiba-tiba gerimis mengundang (hmm... mengundang untuk berhenti agar badanku tidak basah kuyub). Kupaculah kuda besiku dengan kecepatan hampir 100 km/jam dan destinasi utamaku adalah lokasi yang sekitar dua tahun yang lalu kujadikan lokasi untuk melaksanakan KKN saat menempuh S1. Yap! Tarrraaaa... Tidak lain dan tidak bukan adalah Dusun Tamban, Desa Kedawung, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur, Negara Indonesia, Benua Asia, Planet Bumi, Galaksi (bukan merk handphone) Bimasakti.

Rumah pertama yang aku singgahi adalah rumah bapak ketua RT yang pada saat itu aku langsung disambut oleh istri dan anaknya (Yah! Siapa lagi kalau bukan mas iyut. Hehe, ntahlah siapa nama aslinya) serta disambut beberapa (hmm.. lebih tepatnya “banyak”) lalat pada rumah itu. “Tak kiro sopo iki maeng, ternyata Mas Kadiq. Soale wong anyar sing omahe kono kae enek sing wajahe mirip sampeyan”, celetuk mas Iyut ketika aku mulai “menjagang” motorku. Dalam hati, waduh kayaknya wajahku ngga pernah aku fotocopy, tapi kok ada yang wajahnya mirip denganku. Langsung deh aku dijamu bak tamu kerajaan. Selain disuguhi teh anget, istri pak RT langsung mengeluarkan kue lapis dan beberapa ekor (eh amit, buah.) onde-onde.

“Monggo mas diunjuk, dianggep omahe dewe. Kok suwi ora rene?”
Ungkap mas iyut untuk memecah suasana ketika mulai masuk ke ruang tamu. Dengan malu-malu meong langsung kuteguk teh anget yang sedari tadi ingin segera kunikmati karena hawa dingin itu. Dan langsung deh, perbincangan semakin menghangat, sehangat teh itu laksana saudara lama yang lama tidak bertemu. Dia menanyakan kabar TEMAN-TEMAN YANG LAMA TIDAK MAMPIR KE TAMBAN setelah berakhirnya KKN. Yah! Meski ada beberapa teman yang sempat mampir di dusun itu, namun itu hanya beberapa. Sebut saja mas Huda (si ustadz yang ahli qiroat itu), mas Azam (orang yang jago genjreng-genjreng dan bermain sepak bola itu) dan mas Alam (si pria yang mempopulerkan kata “bajigur” dan “Jack Separo” itu), mereka lah yang sering disebut-sebut kerap datang ke dusun itu. Eh, hampir lupa satu lagi, mbak Kuni (tanpa gaga) yang juga disebut. Tahu kenapa? Asal tempe (eh, tahu) saja, kini ternyata Mas Iyut adalah saudaranya Mbak Kuni karena sekitar selapanan yang lalu dia baru saja menikah dengan saudara dari Mbak Kuni (Ecieee... yang kini sodaraan...)

Yah, namanya juga Mas Iyut, sekali kita memberikan kesempatan untuk berbicara, langsung deh bercerita ini itu. Tapi keren, aku jadi tahu banyak hal tentang perkembangan dusun yang menyimpan banyak kenangan itu. Dimulai dari markasku (dibaca : rumah singgah ketika KKN), ternyata pemiliknya yang kala itu tengah bekerja di Malaysia, kini telah menetap ditempat singgahku sejak setelah hari raya kemarin. Berlanjut mengenai kisah cintanya dengan istrinya kini serta usaha ternak ayam potongnya yang beberapa hari lalu baru saja dipanen namun belum membuahkan hasil yang maksimal. Oh iya, mengenai puluhan atau bahkan ratusan (ntah berapa tepatnya aku tidak tahu karena aku tidak sempat sensus saat itu) lalat yang menyambutku tadi, itu merupakan imbas yang muncul ketika ternaknya baru saja dipanen, pasti rumahnya di-”dayohi” lalat selama beberapa hari. Namun itu tidak akan lama, selang beberapa hari lalat-lalat yang datang tak dijemput dan pulang tidak diantar itu akan pergi dengan sendirinya.

Ntah kenapa perbincangan kami berlanjut pada peristiwa pesawat Airasia QZ 8501 yang jatuh beberapa hari yang lalu yang menewaskan banyak orang yang salah duanya adalah warga Tulungagung, yang  satu adalah paranormal yang pernah mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Tulungagung dan yang satu lagi adalah salah satu etnis tionghoa yang ditemukan beserta kekasihnya. Nah, dia langsung menceritakan pengalamannya naik pesawat ketika berkunjung ke pulau Sumatra. Meski dihinggapi rasa takut, harus diakui kalau model transportasi ini memang menawarkan efisiensi waktu tempuh.

Berbicara tentang rekan-rekanku ketika KKN dulu, Mas Iyut langsung mengeluarkan vandel yang kami berikan sebagai kenang-kenangan dulu. Ditunjuklah beberapa nama yang telah dan akan melepas masa lajang. Pertanyaan menusuk pun tak luput ditujukan padaku,
“Lhaa sampeyan kapan mas?”
Pertanyaan simple yang sulit untuk kujawab dan akhirnya kukeluarkan jurus senyum “meringis” untuk menjawabnya.
“Hehe, dereng mas. Duko kapannya”

Suara iqomat ashar terdengar dari kejauhan dari mushola yang dulu selalu kami gunakan untuk beribadah kepada Sang Kholiq dan itu kugunakan untuk meninggalkan rumah Bapak RT yang sesaat sebelum aku pergi masuk ke rumah yang ntah dari mana beliau. Setelah sedikit basa basi (biasa, sebagaimana adat orang jawa), kuputuskan untuk undur diri dari rumah itu (dan mungkin tidak kembali setelah pesan-pesan berikut ini #plakk)

Dimushola itu, jamaah telah dimulai. Sebagai makmum masbuk yang ketinggalan dua rokaat aku langsung bergabung dengan jamaah sholat yang lain. Disana, terlihat si Arjun yang memandangku dengan penuh tanya ketika aku masuk ke dalam Mushola. Yah! Mungkin anak yang dari dulu hingga kini tergolong anak yang “subur” itu antara ingat dan tidak ketika  memandang wajahku. Pada shof jamaah , ada juga kakaknya, si Fuadi dan dua orang makmum lain serta tentunya Kyai “Mas” Marjani yang bertindak sebagai imam.

Selepas jamaah, tak disangka-sangka ketika keluar mushola, beberapa jamaah putri dan putra langsung mengingat wajahku. Itu merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri ketika sudah hampir dua tahunan tidak mengunjungi tempat itu dan kita masih diingat oleh mereka.
“Iki prayo Mas Kadiq sing KKN neng kene kae?”
Pertanyaan itu kujawab dengan anggukan kepala dan simpul senyum seraya mengiyakan pertanyaan mereka. Pak Marjani yang keluar mushola langsung mempersilakanku untuk mampir kerumahnya yang tak jauh dari mushola yang dalam proses renovasi tersebut (sesuai foto itu). Sebelum masuk kerumah beliau, kujabat tangan beliau sambil mengucapkan,
“Ngaturaken sedoyo kalepatan pak (semoga tidak telat). Ngapunten riyadin mboten saget mriki”



Didalam rumah, setelah saling menanyakan kabar masing-masing, istri beliau (lupa aku siapa namanya) keluar sambil membawakan dua gelas kopi susu hangat diikuti Arjun dan Fuadi yang nimbrung dalam perbincangan kami. Pak Marjani menjelaskan, bahwa mushola itu dalam proses renovasi setelah beliau mendapat donatur yang tidak lain adalah rekannya yang bekerja di Malaysia serta sumbangan dari tetangga sekitar. Proses penggarapan dilakukan gotong royong tetangga sekitar sehingga terasa ringan.



Beliau juga menyakan kabar beberapa rekanku ketika KKN yang kujawab bahwa kami sudah berjalan sendiri-sendiri, ada yang telah menikah, ada yang berdomisili didaerah lain, ada yang... Pokoknya sudah susah kalau berkumpul kembali, hal ini terbukti ketika akan buka puasa bersama dan akan silaturahim bersama ketika hari raya tidak bisa terealisasi karena kesibukan masing-masing.

Lagi! Pertanyaan menusuk itu muncul,
“Itu temannya sudah pada nikah, mas Kadiq kapan?”
#Plakkkk, ketika pertanyaan itu muncul, serasa aku ingin memakai headset sambil membunyikan lagu rock dengan volume keras sambil teriak-teriak (tapi husssh... tak sopan dirumah sesepuh). Sekali lagi, kujawab dengan senyum tanpa dosa. Hehe.

Kucoba mengalihkan topik dengan menanyaka rutinan diba’ putra yang sempat kami hidupkan kembali ketika KKN dulu. Dan syukur Alhamdulillah hingga detik ini masih berjalan dengan baik dan tanpa halangan suatu apapun dengan peserta sekitar 50an orang setiap dua malam sabtu sekali. Bahkan, jika aku tidak keburu pulang, malam ini aku diajak untuk mengikuti rutinan yang sedianya akan dilaksanakan dimushola sebelah barat. Dengan bangga, beliau menceritakan bahwa anak-anak kian semangat setelah terdapat alat musik ala Habieb Syekh. Ketika kusinggung mengenai anak-anak yang mengaji selepas maghrib dimushola, yaa... masih ada, namun sebagaimana kasus didaerah lain, ketika telah memasuki usia SMP dan sederajat mereka akan mencari alasan untuk tidak hadir seperti les atau mengerjakan tugas.

Beberapa saat sebelum aku meninggalkan rumah beliau, tiba-tiba si Anwar (yaa... Si kecil yang menjadi teman setia kami ketika berada di posko dan selalu menjadi topik perbincangan kawan-kawan karena tingkah lucunya) melintas didepan rumah Pak Marjani bersama ibunya. Segera dia dipanggil untuk menemuiku. Ternyata dia akan kerumah neneknya untuk bersilaturohim. Ia jawab pertanyaanku dengan kromo inggil, satu hal yang membuatku salut padanya.

Selepas Anwar pergi, Pak Marjani menjelaskan bahwa telah terjadi banyak perubahan pada diri Anwar, suatu hal yang membuatku kaget bukan kepalang. Ternyata kini Anwar adalah anak yang kurang dalam hal motivasi belajar dan sering membolos. Hal ini karena dia sering secara sembunyi-sembunyi bermain playstation bahkan kini mendapat perhatian khusus dari guru-gurunya. Maksudnya, helo... Ada apa dengan anak ini? Apakah rekan-rekanku yang lain tak tergerak hatinya untuk mampir ke Tamban untuk sekedar menanyakan kabar si Anwar, anak yang dulu ketika kami KKN setiap Subuh sudah berada diposko kami?



Jam handphone-ku sudah menunjukkan pukul 17.04 WIB dan aku mohon izin untuk pulang kerumah. Sebelum pulang, kusempatkan untuk memfoto mushola yang sedang direnovasi itu serta kuminta si Fuadi untuk memfotoku bersama Pak Marjani. Nampak dari kejauhan, si A’yun yang langsung menghampiri dan mengingatku karena dulu sering kutemani ketika belajar bersama. A’yun yang dulu masih MI, kini telah duduk dibangku MTs disalah sekolah di kecamatan Mojo. Yah, aku memang terkenal dekat dengan anak kecil ketika KKN. Terbukti banyak kado yang kuterima ketika pulang KKN, yang paling kuingat adalah sebuah sarung Wadimor (ops.. Maaf sebut merk) yang diberikan anak TK yang hanya mau belajar ketika aku yang menemaninya saat di posko.


Yah, itulah Tamban, dusun dengan sejuta kenangannya. Terimakasih telah menerimaku sebagai salah satu bagian didalamnya. Aku bersyukur telah mengenal mereka semua. Alhamdulillah.
 
;