TAMBAN, DUSUN LOKASIKU KKN YANG MENYIMPAN SEJUTA KENANGAN.
Oleh : Mohammad Khadziqun Nuha
Sore tadi, aku mendapat tugas mulia dari ibuku. Tenang,
bukan tugas mencari kitab suci ke barat atau bahkan merenovasi ka’bah atau
semacamnya. Beneran! Bukan semulia itu. Aku hanya diminta ibuku untuk mengantar
adikku kembali ke Pondok Lirboyo. Dan bahkan tidak ada peristiwa yang “wah”
dalam perjalananku kesana. Yah! Hanya perjalanan seorang kakak yang mengantar
adiknya yang barusan kecelakaan kembali ke pondok, ngga lebih.
Nah, cerita ini dimulai disaat dalam perjalanan pulang
tiba-tiba gerimis mengundang (hmm... mengundang untuk berhenti agar badanku
tidak basah kuyub). Kupaculah kuda besiku dengan kecepatan hampir 100 km/jam dan
destinasi utamaku adalah lokasi yang sekitar dua tahun yang lalu kujadikan
lokasi untuk melaksanakan KKN saat menempuh S1. Yap! Tarrraaaa... Tidak lain
dan tidak bukan adalah Dusun Tamban, Desa Kedawung, Kecamatan Mojo, Kabupaten
Kediri, Provinsi Jawa Timur, Negara Indonesia, Benua Asia, Planet Bumi, Galaksi
(bukan merk handphone) Bimasakti.
Rumah pertama yang aku singgahi adalah rumah bapak ketua RT
yang pada saat itu aku langsung disambut oleh istri dan anaknya (Yah! Siapa
lagi kalau bukan mas iyut. Hehe, ntahlah siapa nama aslinya) serta disambut
beberapa (hmm.. lebih tepatnya “banyak”) lalat pada rumah itu. “Tak kiro sopo
iki maeng, ternyata Mas Kadiq. Soale wong anyar sing omahe kono kae enek sing
wajahe mirip sampeyan”, celetuk mas Iyut ketika aku mulai “menjagang” motorku.
Dalam hati, waduh kayaknya wajahku ngga pernah aku fotocopy, tapi kok ada yang
wajahnya mirip denganku. Langsung deh aku dijamu bak tamu kerajaan. Selain
disuguhi teh anget, istri pak RT langsung mengeluarkan kue lapis dan beberapa
ekor (eh amit, buah.) onde-onde.
“Monggo mas diunjuk, dianggep omahe dewe. Kok suwi ora
rene?”
Ungkap mas iyut untuk memecah suasana ketika mulai masuk ke
ruang tamu. Dengan malu-malu meong langsung kuteguk teh anget yang sedari tadi
ingin segera kunikmati karena hawa dingin itu. Dan langsung deh, perbincangan
semakin menghangat, sehangat teh itu laksana saudara lama yang lama tidak
bertemu. Dia menanyakan kabar TEMAN-TEMAN YANG LAMA TIDAK MAMPIR KE TAMBAN
setelah berakhirnya KKN. Yah! Meski ada beberapa teman yang sempat mampir di dusun
itu, namun itu hanya beberapa. Sebut saja mas Huda (si ustadz yang ahli qiroat
itu), mas Azam (orang yang jago genjreng-genjreng dan bermain sepak bola itu)
dan mas Alam (si pria yang mempopulerkan kata “bajigur” dan “Jack Separo” itu),
mereka lah yang sering disebut-sebut kerap datang ke dusun itu. Eh, hampir lupa
satu lagi, mbak Kuni (tanpa gaga) yang juga disebut. Tahu kenapa? Asal tempe
(eh, tahu) saja, kini ternyata Mas Iyut adalah saudaranya Mbak Kuni karena
sekitar selapanan yang lalu dia baru saja menikah dengan saudara dari Mbak Kuni
(Ecieee... yang kini sodaraan...)
Yah, namanya juga Mas Iyut, sekali kita memberikan
kesempatan untuk berbicara, langsung deh bercerita ini itu. Tapi keren, aku
jadi tahu banyak hal tentang perkembangan dusun yang menyimpan banyak kenangan
itu. Dimulai dari markasku (dibaca : rumah singgah ketika KKN), ternyata
pemiliknya yang kala itu tengah bekerja di Malaysia, kini telah menetap
ditempat singgahku sejak setelah hari raya kemarin. Berlanjut mengenai kisah
cintanya dengan istrinya kini serta usaha ternak ayam potongnya yang beberapa
hari lalu baru saja dipanen namun belum membuahkan hasil yang maksimal. Oh iya,
mengenai puluhan atau bahkan ratusan (ntah berapa tepatnya aku tidak tahu
karena aku tidak sempat sensus saat itu) lalat yang menyambutku tadi, itu
merupakan imbas yang muncul ketika ternaknya baru saja dipanen, pasti rumahnya
di-”dayohi” lalat selama beberapa hari. Namun itu tidak akan lama, selang
beberapa hari lalat-lalat yang datang tak dijemput dan pulang tidak diantar itu
akan pergi dengan sendirinya.
Ntah kenapa perbincangan kami berlanjut pada peristiwa
pesawat Airasia QZ 8501 yang jatuh beberapa hari yang lalu yang menewaskan
banyak orang yang salah duanya adalah warga Tulungagung, yang satu adalah paranormal yang pernah
mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Tulungagung dan yang satu lagi adalah
salah satu etnis tionghoa yang ditemukan beserta kekasihnya. Nah, dia langsung
menceritakan pengalamannya naik pesawat ketika berkunjung ke pulau Sumatra. Meski
dihinggapi rasa takut, harus diakui kalau model transportasi ini memang
menawarkan efisiensi waktu tempuh.
Berbicara tentang rekan-rekanku ketika KKN dulu, Mas Iyut
langsung mengeluarkan vandel yang kami berikan sebagai kenang-kenangan dulu.
Ditunjuklah beberapa nama yang telah dan akan melepas masa lajang. Pertanyaan
menusuk pun tak luput ditujukan padaku,
“Lhaa sampeyan kapan mas?”
Pertanyaan simple yang sulit untuk kujawab dan akhirnya
kukeluarkan jurus senyum “meringis” untuk menjawabnya.
“Hehe, dereng mas. Duko kapannya”
Suara iqomat ashar terdengar dari kejauhan dari mushola yang
dulu selalu kami gunakan untuk beribadah kepada Sang Kholiq dan itu kugunakan
untuk meninggalkan rumah Bapak RT yang sesaat sebelum aku pergi masuk ke rumah
yang ntah dari mana beliau. Setelah sedikit basa basi (biasa, sebagaimana adat
orang jawa), kuputuskan untuk undur diri dari rumah itu (dan mungkin tidak
kembali setelah pesan-pesan berikut ini #plakk)
Dimushola itu, jamaah telah dimulai. Sebagai makmum masbuk
yang ketinggalan dua rokaat aku langsung bergabung dengan jamaah sholat yang
lain. Disana, terlihat si Arjun yang memandangku dengan penuh tanya ketika aku
masuk ke dalam Mushola. Yah! Mungkin anak yang dari dulu hingga kini tergolong
anak yang “subur” itu antara ingat dan tidak ketika memandang wajahku. Pada shof jamaah , ada
juga kakaknya, si Fuadi dan dua orang makmum lain serta tentunya Kyai “Mas”
Marjani yang bertindak sebagai imam.
Selepas jamaah, tak disangka-sangka ketika keluar mushola,
beberapa jamaah putri dan putra langsung mengingat wajahku. Itu merupakan
sebuah kebahagiaan tersendiri ketika sudah hampir dua tahunan tidak mengunjungi
tempat itu dan kita masih diingat oleh mereka.
“Iki prayo Mas Kadiq sing KKN neng kene kae?”
Pertanyaan itu kujawab dengan anggukan kepala dan simpul
senyum seraya mengiyakan pertanyaan mereka. Pak Marjani yang keluar mushola
langsung mempersilakanku untuk mampir kerumahnya yang tak jauh dari mushola
yang dalam proses renovasi tersebut (sesuai foto itu). Sebelum masuk kerumah
beliau, kujabat tangan beliau sambil mengucapkan,
“Ngaturaken sedoyo kalepatan pak (semoga tidak telat).
Ngapunten riyadin mboten saget mriki”
Didalam rumah, setelah saling menanyakan kabar
masing-masing, istri beliau (lupa aku siapa namanya) keluar sambil membawakan
dua gelas kopi susu hangat diikuti Arjun dan Fuadi yang nimbrung dalam
perbincangan kami. Pak Marjani menjelaskan, bahwa mushola itu dalam proses
renovasi setelah beliau mendapat donatur yang tidak lain adalah rekannya yang
bekerja di Malaysia serta sumbangan dari tetangga sekitar. Proses penggarapan
dilakukan gotong royong tetangga sekitar sehingga terasa ringan.
Beliau juga menyakan kabar beberapa rekanku ketika KKN yang
kujawab bahwa kami sudah berjalan sendiri-sendiri, ada yang telah menikah, ada
yang berdomisili didaerah lain, ada yang... Pokoknya sudah susah kalau
berkumpul kembali, hal ini terbukti ketika akan buka puasa bersama dan akan
silaturahim bersama ketika hari raya tidak bisa terealisasi karena kesibukan
masing-masing.
Lagi! Pertanyaan menusuk itu muncul,
“Itu temannya sudah pada nikah, mas Kadiq kapan?”
#Plakkkk, ketika pertanyaan itu muncul, serasa aku ingin
memakai headset sambil membunyikan lagu rock dengan volume keras sambil
teriak-teriak (tapi husssh... tak sopan dirumah sesepuh). Sekali lagi, kujawab
dengan senyum tanpa dosa. Hehe.
Kucoba mengalihkan topik dengan menanyaka rutinan diba’
putra yang sempat kami hidupkan kembali ketika KKN dulu. Dan syukur
Alhamdulillah hingga detik ini masih berjalan dengan baik dan tanpa halangan
suatu apapun dengan peserta sekitar 50an orang setiap dua malam sabtu sekali.
Bahkan, jika aku tidak keburu pulang, malam ini aku diajak untuk mengikuti
rutinan yang sedianya akan dilaksanakan dimushola sebelah barat. Dengan bangga,
beliau menceritakan bahwa anak-anak kian semangat setelah terdapat alat musik
ala Habieb Syekh. Ketika kusinggung mengenai anak-anak yang mengaji selepas
maghrib dimushola, yaa... masih ada, namun sebagaimana kasus didaerah lain,
ketika telah memasuki usia SMP dan sederajat mereka akan mencari alasan untuk
tidak hadir seperti les atau mengerjakan tugas.
Beberapa saat sebelum aku meninggalkan rumah beliau,
tiba-tiba si Anwar (yaa... Si kecil yang menjadi teman setia kami ketika berada
di posko dan selalu menjadi topik perbincangan kawan-kawan karena tingkah
lucunya) melintas didepan rumah Pak Marjani bersama ibunya. Segera dia
dipanggil untuk menemuiku. Ternyata dia akan kerumah neneknya untuk
bersilaturohim. Ia jawab pertanyaanku dengan kromo inggil, satu hal yang membuatku
salut padanya.
Selepas Anwar pergi, Pak Marjani menjelaskan bahwa telah
terjadi banyak perubahan pada diri Anwar, suatu hal yang membuatku kaget bukan
kepalang. Ternyata kini Anwar adalah anak yang kurang dalam hal motivasi
belajar dan sering membolos. Hal ini karena dia sering secara sembunyi-sembunyi
bermain playstation bahkan kini mendapat perhatian khusus dari guru-gurunya.
Maksudnya, helo... Ada apa dengan anak ini? Apakah rekan-rekanku yang lain tak
tergerak hatinya untuk mampir ke Tamban untuk sekedar menanyakan kabar si
Anwar, anak yang dulu ketika kami KKN setiap Subuh sudah berada diposko kami?
Jam handphone-ku sudah menunjukkan pukul 17.04 WIB dan aku
mohon izin untuk pulang kerumah. Sebelum pulang, kusempatkan untuk memfoto
mushola yang sedang direnovasi itu serta kuminta si Fuadi untuk memfotoku
bersama Pak Marjani. Nampak dari kejauhan, si A’yun yang langsung menghampiri
dan mengingatku karena dulu sering kutemani ketika belajar bersama. A’yun yang
dulu masih MI, kini telah duduk dibangku MTs disalah sekolah di kecamatan Mojo.
Yah, aku memang terkenal dekat dengan anak kecil ketika KKN. Terbukti banyak
kado yang kuterima ketika pulang KKN, yang paling kuingat adalah sebuah sarung
Wadimor (ops.. Maaf sebut merk) yang diberikan anak TK yang hanya mau belajar
ketika aku yang menemaninya saat di posko.
Yah, itulah Tamban, dusun dengan sejuta kenangannya.
Terimakasih telah menerimaku sebagai salah satu bagian didalamnya. Aku
bersyukur telah mengenal mereka semua. Alhamdulillah.
0 komentar:
Posting Komentar