Blue Fire Pointer
Jumat, 16 Januari 2015

TAMBAN, DUSUN LOKASIKU KKN YANG MENYIMPAN SEJUTA KENANGAN.

TAMBAN, DUSUN LOKASIKU KKN YANG MENYIMPAN SEJUTA KENANGAN.

Oleh : Mohammad Khadziqun Nuha



Sore tadi, aku mendapat tugas mulia dari ibuku. Tenang, bukan tugas mencari kitab suci ke barat atau bahkan merenovasi ka’bah atau semacamnya. Beneran! Bukan semulia itu. Aku hanya diminta ibuku untuk mengantar adikku kembali ke Pondok Lirboyo. Dan bahkan tidak ada peristiwa yang “wah” dalam perjalananku kesana. Yah! Hanya perjalanan seorang kakak yang mengantar adiknya yang barusan kecelakaan kembali ke pondok, ngga lebih.

Nah, cerita ini dimulai disaat dalam perjalanan pulang tiba-tiba gerimis mengundang (hmm... mengundang untuk berhenti agar badanku tidak basah kuyub). Kupaculah kuda besiku dengan kecepatan hampir 100 km/jam dan destinasi utamaku adalah lokasi yang sekitar dua tahun yang lalu kujadikan lokasi untuk melaksanakan KKN saat menempuh S1. Yap! Tarrraaaa... Tidak lain dan tidak bukan adalah Dusun Tamban, Desa Kedawung, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur, Negara Indonesia, Benua Asia, Planet Bumi, Galaksi (bukan merk handphone) Bimasakti.

Rumah pertama yang aku singgahi adalah rumah bapak ketua RT yang pada saat itu aku langsung disambut oleh istri dan anaknya (Yah! Siapa lagi kalau bukan mas iyut. Hehe, ntahlah siapa nama aslinya) serta disambut beberapa (hmm.. lebih tepatnya “banyak”) lalat pada rumah itu. “Tak kiro sopo iki maeng, ternyata Mas Kadiq. Soale wong anyar sing omahe kono kae enek sing wajahe mirip sampeyan”, celetuk mas Iyut ketika aku mulai “menjagang” motorku. Dalam hati, waduh kayaknya wajahku ngga pernah aku fotocopy, tapi kok ada yang wajahnya mirip denganku. Langsung deh aku dijamu bak tamu kerajaan. Selain disuguhi teh anget, istri pak RT langsung mengeluarkan kue lapis dan beberapa ekor (eh amit, buah.) onde-onde.

“Monggo mas diunjuk, dianggep omahe dewe. Kok suwi ora rene?”
Ungkap mas iyut untuk memecah suasana ketika mulai masuk ke ruang tamu. Dengan malu-malu meong langsung kuteguk teh anget yang sedari tadi ingin segera kunikmati karena hawa dingin itu. Dan langsung deh, perbincangan semakin menghangat, sehangat teh itu laksana saudara lama yang lama tidak bertemu. Dia menanyakan kabar TEMAN-TEMAN YANG LAMA TIDAK MAMPIR KE TAMBAN setelah berakhirnya KKN. Yah! Meski ada beberapa teman yang sempat mampir di dusun itu, namun itu hanya beberapa. Sebut saja mas Huda (si ustadz yang ahli qiroat itu), mas Azam (orang yang jago genjreng-genjreng dan bermain sepak bola itu) dan mas Alam (si pria yang mempopulerkan kata “bajigur” dan “Jack Separo” itu), mereka lah yang sering disebut-sebut kerap datang ke dusun itu. Eh, hampir lupa satu lagi, mbak Kuni (tanpa gaga) yang juga disebut. Tahu kenapa? Asal tempe (eh, tahu) saja, kini ternyata Mas Iyut adalah saudaranya Mbak Kuni karena sekitar selapanan yang lalu dia baru saja menikah dengan saudara dari Mbak Kuni (Ecieee... yang kini sodaraan...)

Yah, namanya juga Mas Iyut, sekali kita memberikan kesempatan untuk berbicara, langsung deh bercerita ini itu. Tapi keren, aku jadi tahu banyak hal tentang perkembangan dusun yang menyimpan banyak kenangan itu. Dimulai dari markasku (dibaca : rumah singgah ketika KKN), ternyata pemiliknya yang kala itu tengah bekerja di Malaysia, kini telah menetap ditempat singgahku sejak setelah hari raya kemarin. Berlanjut mengenai kisah cintanya dengan istrinya kini serta usaha ternak ayam potongnya yang beberapa hari lalu baru saja dipanen namun belum membuahkan hasil yang maksimal. Oh iya, mengenai puluhan atau bahkan ratusan (ntah berapa tepatnya aku tidak tahu karena aku tidak sempat sensus saat itu) lalat yang menyambutku tadi, itu merupakan imbas yang muncul ketika ternaknya baru saja dipanen, pasti rumahnya di-”dayohi” lalat selama beberapa hari. Namun itu tidak akan lama, selang beberapa hari lalat-lalat yang datang tak dijemput dan pulang tidak diantar itu akan pergi dengan sendirinya.

Ntah kenapa perbincangan kami berlanjut pada peristiwa pesawat Airasia QZ 8501 yang jatuh beberapa hari yang lalu yang menewaskan banyak orang yang salah duanya adalah warga Tulungagung, yang  satu adalah paranormal yang pernah mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Tulungagung dan yang satu lagi adalah salah satu etnis tionghoa yang ditemukan beserta kekasihnya. Nah, dia langsung menceritakan pengalamannya naik pesawat ketika berkunjung ke pulau Sumatra. Meski dihinggapi rasa takut, harus diakui kalau model transportasi ini memang menawarkan efisiensi waktu tempuh.

Berbicara tentang rekan-rekanku ketika KKN dulu, Mas Iyut langsung mengeluarkan vandel yang kami berikan sebagai kenang-kenangan dulu. Ditunjuklah beberapa nama yang telah dan akan melepas masa lajang. Pertanyaan menusuk pun tak luput ditujukan padaku,
“Lhaa sampeyan kapan mas?”
Pertanyaan simple yang sulit untuk kujawab dan akhirnya kukeluarkan jurus senyum “meringis” untuk menjawabnya.
“Hehe, dereng mas. Duko kapannya”

Suara iqomat ashar terdengar dari kejauhan dari mushola yang dulu selalu kami gunakan untuk beribadah kepada Sang Kholiq dan itu kugunakan untuk meninggalkan rumah Bapak RT yang sesaat sebelum aku pergi masuk ke rumah yang ntah dari mana beliau. Setelah sedikit basa basi (biasa, sebagaimana adat orang jawa), kuputuskan untuk undur diri dari rumah itu (dan mungkin tidak kembali setelah pesan-pesan berikut ini #plakk)

Dimushola itu, jamaah telah dimulai. Sebagai makmum masbuk yang ketinggalan dua rokaat aku langsung bergabung dengan jamaah sholat yang lain. Disana, terlihat si Arjun yang memandangku dengan penuh tanya ketika aku masuk ke dalam Mushola. Yah! Mungkin anak yang dari dulu hingga kini tergolong anak yang “subur” itu antara ingat dan tidak ketika  memandang wajahku. Pada shof jamaah , ada juga kakaknya, si Fuadi dan dua orang makmum lain serta tentunya Kyai “Mas” Marjani yang bertindak sebagai imam.

Selepas jamaah, tak disangka-sangka ketika keluar mushola, beberapa jamaah putri dan putra langsung mengingat wajahku. Itu merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri ketika sudah hampir dua tahunan tidak mengunjungi tempat itu dan kita masih diingat oleh mereka.
“Iki prayo Mas Kadiq sing KKN neng kene kae?”
Pertanyaan itu kujawab dengan anggukan kepala dan simpul senyum seraya mengiyakan pertanyaan mereka. Pak Marjani yang keluar mushola langsung mempersilakanku untuk mampir kerumahnya yang tak jauh dari mushola yang dalam proses renovasi tersebut (sesuai foto itu). Sebelum masuk kerumah beliau, kujabat tangan beliau sambil mengucapkan,
“Ngaturaken sedoyo kalepatan pak (semoga tidak telat). Ngapunten riyadin mboten saget mriki”



Didalam rumah, setelah saling menanyakan kabar masing-masing, istri beliau (lupa aku siapa namanya) keluar sambil membawakan dua gelas kopi susu hangat diikuti Arjun dan Fuadi yang nimbrung dalam perbincangan kami. Pak Marjani menjelaskan, bahwa mushola itu dalam proses renovasi setelah beliau mendapat donatur yang tidak lain adalah rekannya yang bekerja di Malaysia serta sumbangan dari tetangga sekitar. Proses penggarapan dilakukan gotong royong tetangga sekitar sehingga terasa ringan.



Beliau juga menyakan kabar beberapa rekanku ketika KKN yang kujawab bahwa kami sudah berjalan sendiri-sendiri, ada yang telah menikah, ada yang berdomisili didaerah lain, ada yang... Pokoknya sudah susah kalau berkumpul kembali, hal ini terbukti ketika akan buka puasa bersama dan akan silaturahim bersama ketika hari raya tidak bisa terealisasi karena kesibukan masing-masing.

Lagi! Pertanyaan menusuk itu muncul,
“Itu temannya sudah pada nikah, mas Kadiq kapan?”
#Plakkkk, ketika pertanyaan itu muncul, serasa aku ingin memakai headset sambil membunyikan lagu rock dengan volume keras sambil teriak-teriak (tapi husssh... tak sopan dirumah sesepuh). Sekali lagi, kujawab dengan senyum tanpa dosa. Hehe.

Kucoba mengalihkan topik dengan menanyaka rutinan diba’ putra yang sempat kami hidupkan kembali ketika KKN dulu. Dan syukur Alhamdulillah hingga detik ini masih berjalan dengan baik dan tanpa halangan suatu apapun dengan peserta sekitar 50an orang setiap dua malam sabtu sekali. Bahkan, jika aku tidak keburu pulang, malam ini aku diajak untuk mengikuti rutinan yang sedianya akan dilaksanakan dimushola sebelah barat. Dengan bangga, beliau menceritakan bahwa anak-anak kian semangat setelah terdapat alat musik ala Habieb Syekh. Ketika kusinggung mengenai anak-anak yang mengaji selepas maghrib dimushola, yaa... masih ada, namun sebagaimana kasus didaerah lain, ketika telah memasuki usia SMP dan sederajat mereka akan mencari alasan untuk tidak hadir seperti les atau mengerjakan tugas.

Beberapa saat sebelum aku meninggalkan rumah beliau, tiba-tiba si Anwar (yaa... Si kecil yang menjadi teman setia kami ketika berada di posko dan selalu menjadi topik perbincangan kawan-kawan karena tingkah lucunya) melintas didepan rumah Pak Marjani bersama ibunya. Segera dia dipanggil untuk menemuiku. Ternyata dia akan kerumah neneknya untuk bersilaturohim. Ia jawab pertanyaanku dengan kromo inggil, satu hal yang membuatku salut padanya.

Selepas Anwar pergi, Pak Marjani menjelaskan bahwa telah terjadi banyak perubahan pada diri Anwar, suatu hal yang membuatku kaget bukan kepalang. Ternyata kini Anwar adalah anak yang kurang dalam hal motivasi belajar dan sering membolos. Hal ini karena dia sering secara sembunyi-sembunyi bermain playstation bahkan kini mendapat perhatian khusus dari guru-gurunya. Maksudnya, helo... Ada apa dengan anak ini? Apakah rekan-rekanku yang lain tak tergerak hatinya untuk mampir ke Tamban untuk sekedar menanyakan kabar si Anwar, anak yang dulu ketika kami KKN setiap Subuh sudah berada diposko kami?



Jam handphone-ku sudah menunjukkan pukul 17.04 WIB dan aku mohon izin untuk pulang kerumah. Sebelum pulang, kusempatkan untuk memfoto mushola yang sedang direnovasi itu serta kuminta si Fuadi untuk memfotoku bersama Pak Marjani. Nampak dari kejauhan, si A’yun yang langsung menghampiri dan mengingatku karena dulu sering kutemani ketika belajar bersama. A’yun yang dulu masih MI, kini telah duduk dibangku MTs disalah sekolah di kecamatan Mojo. Yah, aku memang terkenal dekat dengan anak kecil ketika KKN. Terbukti banyak kado yang kuterima ketika pulang KKN, yang paling kuingat adalah sebuah sarung Wadimor (ops.. Maaf sebut merk) yang diberikan anak TK yang hanya mau belajar ketika aku yang menemaninya saat di posko.


Yah, itulah Tamban, dusun dengan sejuta kenangannya. Terimakasih telah menerimaku sebagai salah satu bagian didalamnya. Aku bersyukur telah mengenal mereka semua. Alhamdulillah.

0 komentar:

 
;