Blue Fire Pointer
Jumat, 21 November 2014 0 komentar

Dear diary, 21 November 2014.

Dear diary, 21 November 2014.
Hoaaam... Rasa kantuk masih menghiasiku pagi ini saat kulihat jam handphone-ku telah menunjukkan pukul 04.28 WIB. Wah, ternyata sudah pagi, sepertinya masih sekitar sejaman yang lalu kedua mata ini mencoba untuk terpejam. Tapi tak apalah, masak aku kalah sama sang fajar dan Bapak Tamamun yang sudah bersiap untuk menjalankan ibadah Sholat Subuh di kamar hotel yang mungil ini.

Dengan langkah gontai bin malas-malasan karena masih nguantuk pol dug ngga sampek kedaduk akhirnya kuputuskan untuk melangkah menuju kamar mandi dengan tak lupa membawa peralatan tempur untuk membersihkan badan yang sudah lengket ini. Langsung sebuah shower kuraih dan kuputer tombol pada posisi air hangat. Aku mau jujur yaa, tapi janji yaa, jangan bilang ke siapa-siapa. Rahasia ini cuman aku beritahukan kepada pembaca setia diary-ku ini. Jujur yaa... Seumur-umur aku masih sekali ini mandi pagi dengan air hangat memakai shower. Pagi yang brrrr itu kini menjadi hangat. Badan ini telah merasa segar ketika kulanjutkan dengan ritual seperti biasa kepada Tuhan pagi ini. 



Sementara itu, Bapak Richard setelah dari kamar mandi juga melanjutkan beribadah pagi dengan Al Kitab-nya.  



Sedangkan Aku dan Bapak Tamamun mengerjakan soal mengenai memilih dan memilah kosakata baku dan tidak baku, membuat surat dan paragraf. Haduh, tugas ini membuatku pusing delapan keliling. Tapi beruntung, tugas itu merupakan tugas kelompok yang harus dikerjakan oleh empat orang yang berasal dari Kota yang sama. Jadi aku hanya harus mengerjakan yang memilah kosakata baku sedangkan tugas yang lain dikerjakan Bu Winda, Bu Ratna dan Bu Elizabeth. Tapi meskipun demikian, memilah kata sekian banyak itu sangat menguras pikiran meski dibantu pakde google.


Merasa perut kami telah keroncongan disco, kami memutuskan turun ke lantai dua mengendarai buroq. Eh ngga deng, dengan mengendarai lift. Nah, jujur lagi yaa. Selama 23 tahun 11 bulan 21 hari aku menghirup nafas dibumi ini, masih sekali-kali ini aku makai lift. Semula, ada perasaan takut. Bayangin, siapa tahu kan saat pintu lift terbuka lalu kita masuk. Nah, saat keluar tiba-tiba kita berada dijaman dinosaurus kan tidak ada yang tahu. Tapi makin kesini, aku jadi makin terbiasa mencetin tombol lift itu dan sedikit demi sedikit hilanglah perasaan kagok itu.

Pagi ini, menunya adalah soto  ayam. Yah sudahlah, dimakan saja. Tidak ada yang lain. Meski sebenarnya dalam hati ini juga terdapat perasaan takut kalau-kalau sakit kulit yang belum sembuh benar ini kian menjadi. Satu hal yang aku salut dari Bapak Richard yang duduk didepanku, dia selalu membiasakan diri membaca doa sebelum menyantap makanan dan sesudahnya. Bahkan aku sendiri sering lupa untuk melakukannya. Tuhan mengingatkan umat-Nya dalam berbagai hal.



Workshop pagi itu diisi oleh Ibu Ikmah Muawib, S.Pd., M.M. yang memulai dengan meminta kami bertepuk tangan selama beberapa kali. Nah ketika berhenti, kita lihat posisi ibu jari kita. Ibu jari kananku berada didepan. Menurut penjelasan beliau dari artikel yang beliau baca, bagi orang yang ibu jari kiri berada didepan, itu berarti dia bagus dalam segi kognitif. Sedangkan jika ibu jari kanan berada didepan ini artinya feeling orang tersebut sangat kuat karena sering menggunakan perasaan dalam segala hal. Lalu bagaimana kalau setelah tepuk tangan tapi ternyata posisi ibu jari malah menyatu lurus. Ini berarti orang tersebut seimbang. Benarkah ini? Wallahu a’lam. Beliau menerangkan bahwa paradigma yang harus dimiliki guru adalah growth mindset, action mindset dan objective mindset. Selain itu, beliau menambahkan kalau Bahasa Daerah baik Bahasa Jawa, Bahasa Madura dan Bahasa Osing sesuai dengan Peraturan Gubernur nomor 19 tahun 2014.

Tidak sengaja aku mendapati teman dari salah satu kota tetanggaku, Trenggalek. Namanya adalah Bapak Fuad Hasan, yang ternyata adalah seorang guru disalah satu sekolah di Kabupaten Trenggalek dimana temanku sekelas saat kuliah kini mengajar. Kami semakin akrab hingga kami berdua berangkat bersama menuju Masjid disekitar hotel untuk melaksanakan Sholat Jumat. Masjid terlihat tengah dipugar dengan kondisi seperti baru saja terkena dampak bencana gelombang tsunami. Betapa tidak? Sajadahnya pas-pasan, kondisi masjidnya terbuka, terdapat material bangunan dan sound system seadanya. Namun, pelaksanaan Sholat Jumat itu terlaksana dengan khusuk. Setelah sholat Jumat, makan siang telah tersedia dengan lauk ikan laut. Haduh, membuatku kian paranoid dengan sakit kulit yang akan kian menjadi. Tapi ya sudahlah, daripada perut ini tidak ada isinya, hajar aja terus.



Pukul 13.00 WIB, Ibu Kurnia Tjandrawati, M.Pd sudah siap berada diaula untuk memberikan materi tentang Pemetaan SK dan KD Kurikulum 2006 dan Pemetaan KI dan KD Kurikulum 2013, bimbingan mengarang, pemahaman menulis sastra dalam pembelajaran bahasa Indonesia, membuat puisi dan pantun serta lain sebagainya. Para peserta sangat antusias mengikuti workshop karena beliau menyampaikan dengan sangat energik dengan kontrak forum terlebih dahulu, beberapa game, lagu dan beberapa metode untuk menarik perhatian semua peserta.

Setelah seharian mengikuti workshop, seperti biasa kami bercengkrama didalam kamar. Bapak Tamamun menceritakan kisahnya berdua dengan istrinya yang paling ia cintai. Mereka telah saling berkenalan selama enam tahun hingga akhirnya menikah pada tahun 1996 dan kini telah memiliki seorang anak yang sekolah di salah satu SMK di Malang. Beliau berbagi tips untuk memilih calon istri itu jangan dilihat dari kecantikan, kekayaan, kebaikan, atau bahkan agamanya. Namun, lihatlah wanita yang tulus ikhlas mencintaimu dan sudi menerima akan segala kekuranganmu. Widih, bisa keren juga orang yang kadang suka ngebanyol ala aksen Ngalam ini.

“Ciyeeeh... Kayaknya uis ngebet iki njaluk-njaluk tips barang”, celetuk Bapak Richard.
Dan aku hanya membuat simpul senyum malu menutupi perasaan ini. Yah, dari Bapak Richard, aku mengetahui bahwa di agama Khatolik itu tidak diperkenankan untuk mengucapkan kata “cerai”. Apabila seseorang telah melakukan janji suci pernikahan untuk sehidup semati didepan altar gereja, mereka harus bisa menjaganya hingga maut memisahkan mereka. So sweet. Pada dasarnya semua agama itu sama. Aku banyak belajar dari kedua Bapak yang sudah banyak makan asam garam kehidupan ini terlebih masalah percintaan.
“Eits... Ini kenapa jadi ngomongin percintaan sih?? Ngga tauh apah aku lagi nyesek??,” ungkapku dalam hati karena mau curcol kedua orang itu masih ada rasa sungkan.
Haha, yasudahlah. Cukup sekian untuk diary hari ini. Besok dilanjutkan kembali pemirsa. Nantikan terus diary-diaryku yang lain. Besok adalah hari terakhirku di Kota Pahlawan semoga besok kian berkesan. Bye, nguantuk. Hoam...



Kamis, 20 November 2014 0 komentar

Dear diary, 20 November 2014.

Dear diary, 20 November 2014.

Tiba-tiba aku terperanjat dari tidurku pagi ini. Dan betapa tersentaknya aku ketika mendapati jam dinding yang merupakan doorprize acara kampus dirumahku telah menunjukkan pukul 03.28 WIB. Ini berarti, aku hanya memiliki waktu lebih kurang enam puluh menit untuk mempersiapkan keberangkatanku ke Kota Pahlawan pagi ini. Yah,aku tahu. Ini pasti karena kemarin aku terlalu capek dengan rutinitas di sekolah dan kampus. Terlebih, sebelum mataku semalam dapat terpejam, dengan penuh kebulatan tekad kuucek pakaian-pakaian itu yang sudah laksana gunung yang akan meletus.
Capek, fisik, capek hati, dan capek pikiran menghiasi tidurku malam kemarin yang kurang nyenyak. Dan iya saja, ketika membuka mata, sudah laksana kakek-kakek kebakaran jenggot. Baju belum kering, baju belum disetrika, belum packing, belum nulis tugas untuk siswa disekolah, beluuum... Ah sudahlah persiapan pagi itu sungguh dadakan.

“Kuhantarkan bak di pelataran, hati yang temaram, matamu juga mata mataku, ada hasrat yang mungkin terlarang. Satu kata yang sulit terucap, hingga batinku tersiksa, Tuhan tolong aku jelaskanlah, perasaanku berubah jadi cinta”...
Sebuah ringtone lagunya Zigas tiba-tiba berbunyi. Ini pertanda handphone-ku baru saja mendapat pesan baru. Kudapati nomor ibuku mengirim pesan yang tak lama kemudian beliau yang tengah ziaroh walisongo itu menelpon untuk menanyakan keberangkatanku ke Ibukota Provinsi itu. Yah wajar, karena beberapa saat yang lalu dihubungi tidak aktif karena sedang ku-charge.

“Diq, jarene Bulik Mala, sampeyan arepe ning Suroboyo. Sido?”
“Inggih buk. Niki taksih siap-siap” jawabku sambil mencari celanaku yang ntah dimana.
“Yowes, ndang siap-siap. Sing ati-ati yo le”
“Inggih”. Tut... tut... tut... Dan telpon-nya pun terputus. Sontak aku langsung menaruh handphone dan bergegas packing dengan terburu-buru.

Krekkk... Suara pintu yang ternyata tidak kukunci semalam karena saking capeknya itu terbuka. Dia adalah bulikku yang bertanya,
“Diq, ibumu maeng telpon ra mbog angkat. Jarene arepe ning Suroboyo. Enek sing ngeterne pora? Pak Wid iso pomo renek”
“Yowes iyo”. Aku menjawab sekenanya saja karena masih ribet mencari benda-benda yang harus kubawa untuk kumasukkan ke tas merk “Tracker” yang sudah penuh dengan isi seperti almari jinjing itu.

“Budal jam piro?”
“Anu, jam papat.”
“Heh, iki lho uis jam papat.”, pungkasnya.
“Yowes bar shubuh”, Jawabku singkat.
“Yo”
Dan cling... setelah mengucapkan itu beliau menghilang bak Malaikat Jibril yang baru saja menyampaikan wahyu lalu kembali ke tempatnya. Suara kumandang azdan Shubuh untuk wilayah Mojosari dan sekitarnya membahana memecah kesunyian pagi itu dan aku semakin panik karena merasa masih ada yang belum kumasukkan. Betapa tidak? Kala itu jam handphone-ku telah menunjukkan pukul 03.58 Waktu Indonesia Bagian Mojosari, sedangkan perjanjian penjemputan dari travel adalah pukul 04.30. Ah sudahlah, sholat shubuh dulu.

Disini, tak usahlah aku ceritakan bagaimana aku sholat shubuh. Sholatku biasa saja kok seperti manusia bumi lainnya. Beneran, ngga ada yang “wah”. Hanya saja, saat itu kurang begitu khusyuk karena dikejar deadline (padahal juga ngga pernah khusyuk). Masjid disamping rumah menjadi tempat pelarianku dalam menjalankan kewajibanku kepada Sang Pemberi Kehidupan ini.

“mat pagi dari buana tevel mhon sudah siap sebentar lgi d jemput terimakasih”, kurang lebih seperti itulah bunyi sms yang kubuka pertama kali pada saat setelah mengerjakan sholat. Walhasil, ini membuatku semakin panik. Selang beberapa menit kemudian, pamanku datang. Setelah sedikit berbasa-basi, dengan tampang tidak bersalah, aku memohon izin untuk mandi.
“Tiiiiitttt...” Adegan mandinya kusensor. Nanti aku terkena banned ama KPI kalau kuceritakan semua secara vulgar. Singkat cerita, kami pun berangkat menyusuri jalanan ke terminal, tempat yang sudah ditentukan oleh pihak travel. Pada perjalanan itu pun tidak ada hal yang special. Beneran, hanya perjalanan seorang ponakan yang diantar pamannya. Tidak ada tuh siluman yang menyerang kayak difilmnya Kera Sakti saat mengambil kitab suci bersama Biksu Tong.

Sesampainya di Terminal yang terkenal dengan nama Gayatri itu, beliau langsung meninggalkanku. Sempat beberapa awak bus menanyakan destinasi-ku selanjutnya. Tapi langsung saja kujawab dengan nada yang halus, “maaf, sampun pesen travel”.

Selang beberapa menit kemudian, mini bus travel itu datang bersama Winda, salah satu partnerku yang akan ke Surabaya beserta dua penumpang lain yang ntah siapa namanya kau belum sempat berkenalan. Setelah sedikit berbasa basi dengan Winda, kuputuskan untuk duduk menepi dipojok.
Oh iya, aku baru ingat bahwa siswa di sekolah belum kuberikan tugas. Segera kubuka “almari jinjing”-ku yang penuh itu dan kuambil beberapa buku. Setelah selesai mengetik sms, kukirimkan sms itu ke beberapa guru. Beberapa mendapat balasan, beberapa mendapat PHP.

Dalam perjalanan itu tak ada yang hebat pula. Kecuali, perutku yang tiba-tiba seperti  ada yang bermain drum didalamnya. Lhoh, aku kan belum sarapan. Segera deh, kuambil wafer yang kubawa merk “tiiiitttt” sebagai pengganjal perut. Syukurlah, daripada harus mabuk darat.

Setelah menjemput beberapa orang, tiba-tiba saja sang sopir bertanya kepada kami.
“Mas mbak yang ada dibelakang, sampeyan kenal dengan bu Ratna tujuannya dihotel yang sama dengan sampeyan? Tolong dihubungi, kita sudah terlewat. Beritahu bahwa ditunggu dihalte Ngantru. Winda pun berinisiatif untuk menghubungi Ratna, calon teman kami yang lain yang merupakan guru disalah satu sekolah Kristen di Kota Marmer. Dan benar saja, ketika sampai dihalte Ngantru, si Ratna telah merasa sedikit kesal kepada sang sopir yang menyambutnya karena tadi terlewat.

Perjalanan berlanjut. Pada perbatasan Kediri Tulungagung, Elizabeth telah menunggu dengan tas besarnya. Guru salah satu sekolah Kristen lain di Tulungagung itu telah siap mengarungi jalanan menuju Kota yang terkenal dengan ikon Ikan Suro dan Buaya itu. Beberapa penumpang berguguran pertanda mereka telah mencapai tempat yang dituju. Sedang kami, pada saat menjelang TKP, setelah putar balik karena kebablasan, tiba-tiba “jendul”. Sebuah polisi tidur terlewati dengan sedikit kencang. Sontak kami yang berada didalam terpental keatas.



Pukul 10.00 WIB kami masuk keruang loby hotel yang terkesan asri itu. Disana sudah terdapat beberapa orang yang telah datang sedari tadi. Rona capek terpancar dari wajah mereka setelah melaksanakan perjalanan jauh. Setelah mengisi biodata pribadi, kami mendapatkan sebuah tas dimana didalamnya terdapat buku panduan, block note, CDR, bolpoint, kupon snack serta ID card. Segera kami menuju kamar hotel masing-masing.

Dikamar mungil yang disulap memiliki tiga tempat tidur itu akan kudiami selama tiga hari. Kumasukan card key yang bentuknya seperti kartu perdana handphone untuk membuka kunci pintu kamar. Pertama yang kulakukan adalah menjelajahi ruangan itu. Terdapat LCD TV, AC, shower, wastafel, dua buah almari dan beberapa fasilitas lain dimana peralatan itu semua dalam kondisi off. Kucari-cari cara untuk menyalakannya. Ternyata kita harus memasukkan card key tadi untuk menghidupkan semua fasilitas ditempat itu.

“Tok tok tok”
Suara orang tengah mengetuk pintu. Segera kubuka pintu kamar dan kudapati seorang mengenakan kacamata dan baju lengan pendek.
“Selamat siang, nama saya Richard. Saya dari Kota Madiun dan saya adalah seorang Katholik”
Itulah perkataan yang kuingat saat dia memperkenalkan diri untuk pertama kalinya. Ternyata Bapak Richard adalah guru di salah satu sekolah Katholik di Kota Madiun. Pria yang sopan dengan aksen jawa yang kental ini sangat akrab dengan siapapun yang baru saja dia kenal. Lebih dari itu, kami saling bertukar pengalaman pribadi diruangan yang mulai terasa dingin oleh AC itu.

“Tok tok tok”
Kukira ada tukang bakso yang naik ke atas lantai empat hotel tersebut. Ternyata itu adalah suara salah satu calon teman sekamar kami yang lain sedang mengetuk pintu. Namanya bapak Tamamun. Pria yang berdomisili di Kabupaten Malang ini terlihat capek setelah mengendarai motor seorang diri. Keakraban kian terasa kental pada tiga pasang teman sekamar baru saja jadian ini dengan penuh rasa toleransi. Selebihnya, kami gunakan untuk istirahat untuk menunggu upacara pembukaan.



Dalam draft jadwal acara yang kami terima, upacara pembukaan akan dimulai pada pukul 15.15 WIB. Namun setelah sekitar satu jam berselang atau sekitar 16.28 Waktu Indonesia Bagian Handphoneku, acara tersebut akhirnya dimulai. National Anthem of Indonesia, Indonesia Raya yang dinyanyikan oleh seluruh hadirin membuka acara tersebut. Setelah ketua panitia menyampaikan bahwa acara tersebut dihadiri oleh 152 orang dari 38 Kabupaten Kota se-Jawa Timur, perwakilan Kepala Bidang Pendidikan Jawa Timur memberikan sambutan pada acara tersebut. Beliau terlihat ramah dengan semua hadirin dengan sesekali memberikan joke lucu mengenai kondisi sosial budaya dan politik di Indonesia. Beliau menyampaikan mindset pendidikan yang seharusnya tercipta suasana belajar yang menyenangkan, mengasyikkan, menantang sera mencerdaskan anak bangsa. Posisi kepala sekolah itu selain school leader, juga sebagai school master serta planner. Selain itu, menurut beliau, K-13 tidak akan dihapus namun akan disempurnakan dalam segi konten yang secara tematik integratif dan administrasi sesuai ungkapan Menteri Pendidikan Dasar & Menengah dan Kebudayaan yang baru, Bapak Anies Baswedan. Permohonan maaf juga beliau sampaikan karena Bapak Kepala Bidang Pendidikan Jawa Timur tidak dapat hadir karena terjebak macet akibat terdapat demo kenaikan harga BBM sehingga kendaraan beliau tidak bisa melintas.

Selepas acara tersebut, kami bertiga makan bersama pada tempat yang telah disediakan. Bapak Richard ternyata adalah pemeluk Katholik yang taat. Sebelum makan, beliau tak lupa berdoa kepada Yang Maha Esa. Merasa telah kenyang, kamipun kembali ke kamar. Aku dan Bapak Tamamun menunaikan Sholat Maghrib berjamaah dengan aku bertindak sebagai imam sedangkan Bapak Richard dengan penuh rasa toleransi duduk ditempat tidurnya dengan tenang. Suasana kamar yang heterogen itu kian menimbulkan chemistry antar sesama penghuni kamar.



Sholat Maghrib telah selesai, untuk menunggu acara selanjutnya kami memutuskan berbincang ringan. Bapak Tamamun menceritakan bahwa dia dahulunya aktivis sebuah partai islam terkemuka di Kabupaten Malang. Namun pada pemilu kemarin beliau berpindah haluan menjadi panitia pemilu. Segala intrik dunia politik bangsa ini beliau ceritakan dengan segala problematikanya. Kepada Bapak Richard, aku tertarik untuk menanyakan konsep trinitas, keuskupan gereja, paus di Vatikan, perbedaan Kristen Katholik, Orthodox dan Protestan, perjanjian lama dan perjanjian baru serta masih banyak lagi. Sedangkan aku, hanya menjadi pendengar setia dari dua Bapak yang sudah senior ini dan telah makan banyak asam garam kehidupan.

Pukul 19.24 WIB, setelah aku dan Bapak Tamamun menjalankan ibadah sholat isya, kami turun ke lantai dua untuk mengikuti Konsep Dasar dan Problematika Pengajaran bahasa Indonesia. Pemateri menyampaikan tentang peranan pengembangan pendidikan, bulan bahasa Indonesia, pembuatan porto folio, kesalahan yang kaprah dalam penggunaan bahasa Indonesia, tataran bahasa, Ejaan Yang Disempurnakan serta beberapa cara penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tak lupa beliau menghadiahi kami seabreg tugas yang harus kami kerjakan malam itu. Dan benar saja, sesampainya dikamar kami langsung mengerjakan tugas hingga larut malam. Kedua teman baruku itu akhirnya mengangkat tangan tidak dapat menahan kantuk. Sedangkan aku, yang barusan mendapatkan password WIFI hotel asyik berselancar didunia maya untuk sekedar update status, membalas komentar, berbagi jempol kepada fakir like serta membuka fanpage-ku serta tentunya dilanjutkan dengan mengetik diary ini.

Pukul 02.00 WIB aku merasa sudah tidak tahan lagi menahan mata yang kian lengket ini, dan kuputuskan untuk mematikan laptop dan mencoba untuk merebahkan tubuh karena besok banyak yang harus kuikuti. Selamat tidur, semoga besok mendapatkan pengalaman yang lebih menyenangkan dan bermanfaat. Amin


Minggu, 09 November 2014 0 komentar

SEBUAH PENGAKUAN, SEBUAH HARAPAN.

SEBUAH PENGAKUAN, SEBUAH HARAPAN.

Oleh : Mohammad Khadziqun Nuha



Yah, dan pada akhirnya aku harus melakukan pengakuan ini. Sebuah pengakuan atas sebuah ekspektasi yang mungkin hanya angan belaka. Sebuah ekspektasi yang hanya akan merusak harapanku yang lain. Dalam menulis ini, aku dalam kondisi sadar dan telah mempertimbangkan resiko atau efek dari tulisanku ini dikemudian hari. Aku hanya ingin memperoleh “katarsis” dalam membuat coretan ini.

Baik, langsung saja. Kalau kita berbicara beberapa tahun yang lalu, penikmat status-statusku akan disuguhi sebuah nama yang sangat kujaga kerahasiaannya. Mengapa? Kalau pertanyaannya mengapa, pasti jawabannya sebab atau karena. Yah, karena aku hanya ingin menjaga privasi-nya. Aku tak ingin orang yang usil mengganggunya.

Benar! Aku sedang membicarakan Mbak R***. Dia adalah Mbak RINA. Seorang wanita yang memiliki nama lengkap Arina Abida yang sekarang berdomisili di Bangil, Pasuruan. Seorang wanita yang memiliki akun facebook, Rei Na. Seorang wanita yang memiliki nama dan tanggal lahir sama dengan salah seorang dosenku ketika menempuh S1 dalam program studi Tadris Bahasa Inggris di STAIN Tulungagung. Amit! Aku ngga menyebut nama Ma’am Arina Shofiya, Kaprodi-ku yang dulu itu.
(#Ops #Keceplosan)

Lalu, ada hubungan apa antara aku dan dia? Cerita bermula jauh saat aku menempuh pendidikan di salah satu SMK di Kota Marmer, sebut saja namanya  bunga, 18 tahun, nama samaran (eh bukan deng, namanya adalah SMKN 3 Boyolangu). Kala itu, hasratku ingin menjadi seorang adik mulai memuncak karena secara ya, aku adalah anak pertama, demikian pula dengan abahku, ibuku juga putri sulung dikeluarga, hingga kakekku juga setali tiga uang. Jadi, tak ada selama itu orang yang kupanggil kakak. Orang yang bisa menemaniku curhat dan memanjakanku layaknya seorang adik kandung.

Dan bak gayung bersambut, Allah mendengar ekspektasiku itu. Melalui sebuah telpon salah sambung, Dia mempertemukanku dengan Mbak Rina. Kami semakin akrab hingga aku merasa nyaman bersamanya. Tibalah suatu saat dimana dia sudi menganggapku sebagai adik kandungnya sendiri setelah mengetahui kondisiku. Dalam hati, aku bersyukur kepada Sang Pemberi Kehidupan karena Dia telah mengijabah doaku.

Perkenalanku dengan dunia friendster yang merupakan situs jejaring sosial pertama yang kumiliki, membuatku dapat mengetahui wajah dari “mbak ketemu gede”-ku itu. Terlebih, pada akhirnya aku dapat berjumpa langsung dengannya di terminal Tulungagung pada saat hari raya idul fitri dua tahun yang lalu. Betapa bahagianya hatiku kala itu.

Masalah mulai muncul manakala ada pihak yang kurang setuju dengan hubungan persaudaraan kami hingga akhirnya pada sebuah titik dimana persaudaraan kami tidak dapat dipertahankan lagi sehingga kami menjadi jarang atau bahkan bisa disebut tidak pernah sama sekali berkomunikasi kecuali ada moment-moment tertentu, tapi itupun sangat kurang intensitasnya. Sungguh aku dalam kondisi terjatuh dan terpuruk pada lembah hati terdalam kala itu. Mengapa disaat aku telah menemukan figur  yang kuharapkan selama ini justru Tuhan tidak meridhoi hubungan kami? Padahal hubungan kami hanya sebatas kakak dan adik, tidak lebih. Yang bahkan dia kini telah memiliki suami.

Namun, Tuhan memang Maha Adil, disaat hatiku digoncang kegalauan yang tiada tara, melalui friendster pula aku dipertemukan dengan seorang wanita yang kala itu masih duduk dibangku SMA ternama di Kota pemilik tari reog gendang ini. Semula, aku menganggapnya sebagai teman saja. Namun chemistry ini kian intens terbangun. Beberapa kali kami bertemu dan jangan tanyakan berapa kali kami saling telpon dan berapa banyak sms yang saling kami kirimkan. Semua mengalir begitu saja hingga hubungan kami naik satu level menjadi “kakak dan adik ketemu gede”, tentunya.

Gelora hati yang kian terbangun kokoh, meski sempat mengalami beberapa penolakan darinya, akhirnya kami (lebih tepatnya aku!) dapat menashihkan hubungan kami pada hari Senin, 15 April 2013 melalui proses yang cukup menarik. Selepas itu, banyak cerita yang kami ukir bersama. Bahkan hingga menghadiri pesta pernikahan Mbak Rina di Pasuruan beberapa bulan yang lalu. Aku melihat sinar kesetiaan dari matanya saat dia sudi mengantarkanku hingga kerumah mbakku itu. Namun, ternyata itu merupakan cikal bakal keretakan hubungan kami. Beberapa kali aku ketahuan masih mengingat mbakku yang satu itu.

Siklus kegalauan itu kembali berulang  setiap menjelang kelulusan tiap jenjang pendidikanku. Menjelang lulus SMK, hubunganku dengan mbak Rina mulai kandas. Menjelang mengerjakan skripsi, penolakan dari pujaan hatiku itu membuatku kian galau meski pada akhirnya kami dapat menyatu. Kini? Menjelang mengerjakan thesis ini, fiuh... dengan berat hati aku harus mengatakan, hubunganku dengan orang yang berhasil merebut hatiku untuk kali pertama dalam hidupku itu tidak dapat dipertahankan lagi.

Sama seperti ungkapan Bang Raditya Dika dalam film yang telah kami tonton berdua yang berjudul manusia setengah salmon, perpindahan merupakan bagian kehidupan manusia dan kita akan selalu terjebak diantara perpindahan-perpindahan. Seperti perpindahan dari satu peran ke peran yang lain, pindah kebiasaan untuk menjadi lebih jujur kepada orang lain dan belajar bersama-sama dari situ, pindah dari suatu yang kurang baik bagi kita menjadi terbaik untuk semua, serta tentunya perpindahan hati. Karena dalam hidup kita akan selalu berpindah, yang bisa kita lakukan kita harus mencari kebahagian dari semua perpindahan.

Kalau dianalogikan pindah rumah, hal yang paling ngeselin adalah apabila kita masih harus berurusan dengan barang-barang lama. Biar bagaimanapun juga, hati seorang wanita tak akan rela manakala dia diduakan dengan orang lain meski mbak Rina hanya sebatas kakak bagiku. Aku sangat mengerti itu dan aku mengakui kalau aku salah dalam hal ini. Untuk menebus kesalahanku itu, dengan kebulatan tekad, kuhapuslah semua foto dan sms mbak Rina. Bahkan didepan matanya, ku-block akun facebook milik orang Bangil itu. Kalau aku bilang, ini bukan merupakan emosi sesaat dan ungkapan kemarahanku tapi lebih sebagai ungkapan keseriusanku ingin mempertahankan hubungan yang telah kuat terjalin ini. Namun itu semua telah terlambat, dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari hubungan kami karena sudah tidak tahan lagi menahan perasaannya. Bahkan, ungkapan JANJIKU ATASNAMA TUHAN untuk melupakan semua ingatanku tentang mbak Rina untuk selamanya belum cukup untuk membuat hubungan kami bersatu kembali.

Kuberdoa disetiap sembah sujudku. Tuhan, jika dia memang jodohku, perkenankanlah kami menyatukan hubungan kami kembali. Jika tidak? Apa boleh buat, hati itu bukan untuk dipaksa. Meski beribu cara telah kutempuh agar hubungan ini tetap survive, namun bila memang sudah tidak dapat rujuk kembali, izinkan kami menemukan pengganti yang lebih tepat dan saling menerima kekurangan satu sama lain. Tetapi, jujur dari lubuk hati paling dalam (kalau perlu aku ketik tebal, bergarisbawah, menggunakan huruf kapital serta dikasih stabilo ungkapanku berikut ini), Yaa Allah... Yaa Muqallibal Qulub... AKU SUNGGUH SANGAT INGIN MELANJUTKAN HUBUNGAN INI, BAHKAN HINGGA KEJENJANG YANG LEBIH SERIUS SAMA SEPERTI HARAPAN KAMI BERDUA SAAT MASIH BERSATU DAHULU. Mengapa? Karena aku telah menemukan kenyamanan dalam rumah hatinya. Suatu rasa yang mahal dan susah kutemukan pada diri orang lain (minimal hingga saat ini). Ya, karena dia adalah seseorang yang pantas dan harus kuperjuangkan, setidaknya berkaca pada kegalauanku beberapa hari ini. Jujur, semenjak keputusannya kemarin, aku menjadi alergi mendengar nama orang Bangil itu. Kalau pada orang Bangil itu memiliki 100 alasan mengapa aku harus mempertahankannya, dia memiliki triliyunan alasan mengapa aku harus bertahan pada satu hati ini.

Terakhir, secara jujur aku mengakui bahwa curahan hatiku ini aku ketik sambil memakai kopyah putih pemberiannya setelah kubersimpuh ke hadirat Illahi Robbi memanjatkan doa dalam tahajudku tentang hubungan kami. Tulang rusuk tak akan pernah tertukar. Diawali dengan semoga dan diakhiri dengan amin. Semoga kami dapat bersatu kembali. Aamiin.
 
;