SEBUAH PENGAKUAN,
SEBUAH HARAPAN.
Oleh : Mohammad
Khadziqun Nuha
Yah, dan pada akhirnya aku harus
melakukan pengakuan ini. Sebuah pengakuan atas sebuah ekspektasi yang mungkin
hanya angan belaka. Sebuah ekspektasi yang hanya akan merusak harapanku yang lain.
Dalam menulis ini, aku dalam kondisi sadar dan telah mempertimbangkan resiko
atau efek dari tulisanku ini dikemudian hari. Aku hanya ingin memperoleh
“katarsis” dalam membuat coretan ini.
Baik, langsung saja. Kalau kita
berbicara beberapa tahun yang lalu, penikmat status-statusku akan disuguhi
sebuah nama yang sangat kujaga kerahasiaannya. Mengapa? Kalau pertanyaannya
mengapa, pasti jawabannya sebab atau karena. Yah, karena aku hanya ingin
menjaga privasi-nya. Aku tak ingin orang yang usil mengganggunya.
Benar! Aku sedang membicarakan
Mbak R***. Dia adalah Mbak RINA. Seorang wanita yang memiliki nama lengkap
Arina Abida yang sekarang berdomisili di Bangil, Pasuruan. Seorang wanita yang
memiliki akun facebook, Rei Na. Seorang wanita yang memiliki nama dan tanggal
lahir sama dengan salah seorang dosenku ketika menempuh S1 dalam program studi
Tadris Bahasa Inggris di STAIN Tulungagung. Amit! Aku ngga menyebut nama Ma’am
Arina Shofiya, Kaprodi-ku yang dulu itu.
(#Ops #Keceplosan)
Lalu, ada hubungan apa antara aku
dan dia? Cerita bermula jauh saat aku menempuh pendidikan di salah satu SMK di
Kota Marmer, sebut saja namanya bunga,
18 tahun, nama samaran (eh bukan deng, namanya adalah SMKN 3 Boyolangu). Kala
itu, hasratku ingin menjadi seorang adik mulai memuncak karena secara ya, aku
adalah anak pertama, demikian pula dengan abahku, ibuku juga putri sulung
dikeluarga, hingga kakekku juga setali tiga uang. Jadi, tak ada selama itu
orang yang kupanggil kakak. Orang yang bisa menemaniku curhat dan memanjakanku
layaknya seorang adik kandung.
Dan bak gayung bersambut, Allah
mendengar ekspektasiku itu. Melalui sebuah telpon salah sambung, Dia
mempertemukanku dengan Mbak Rina. Kami semakin akrab hingga aku merasa nyaman
bersamanya. Tibalah suatu saat dimana dia sudi menganggapku sebagai adik
kandungnya sendiri setelah mengetahui kondisiku. Dalam hati, aku bersyukur
kepada Sang Pemberi Kehidupan karena Dia telah mengijabah doaku.
Perkenalanku dengan dunia
friendster yang merupakan situs jejaring sosial pertama yang kumiliki,
membuatku dapat mengetahui wajah dari “mbak ketemu gede”-ku itu. Terlebih, pada
akhirnya aku dapat berjumpa langsung dengannya di terminal Tulungagung pada
saat hari raya idul fitri dua tahun yang lalu. Betapa bahagianya hatiku kala
itu.
Masalah mulai muncul manakala ada
pihak yang kurang setuju dengan hubungan persaudaraan kami hingga akhirnya pada
sebuah titik dimana persaudaraan kami tidak dapat dipertahankan lagi sehingga
kami menjadi jarang atau bahkan bisa disebut tidak pernah sama sekali berkomunikasi
kecuali ada moment-moment tertentu, tapi itupun sangat kurang intensitasnya.
Sungguh aku dalam kondisi terjatuh dan terpuruk pada lembah hati terdalam kala
itu. Mengapa disaat aku telah menemukan figur
yang kuharapkan selama ini justru Tuhan tidak meridhoi hubungan kami?
Padahal hubungan kami hanya sebatas kakak dan adik, tidak lebih. Yang bahkan
dia kini telah memiliki suami.
Namun, Tuhan memang Maha Adil,
disaat hatiku digoncang kegalauan yang tiada tara, melalui friendster pula aku
dipertemukan dengan seorang wanita yang kala itu masih duduk dibangku SMA
ternama di Kota pemilik tari reog gendang ini. Semula, aku menganggapnya
sebagai teman saja. Namun chemistry ini kian intens terbangun. Beberapa kali
kami bertemu dan jangan tanyakan berapa kali kami saling telpon dan berapa
banyak sms yang saling kami kirimkan. Semua mengalir begitu saja hingga
hubungan kami naik satu level menjadi “kakak dan adik ketemu gede”, tentunya.
Gelora hati yang kian terbangun
kokoh, meski sempat mengalami beberapa penolakan darinya, akhirnya kami (lebih
tepatnya aku!) dapat menashihkan hubungan kami pada hari Senin, 15 April 2013
melalui proses yang cukup menarik. Selepas itu, banyak cerita yang kami ukir
bersama. Bahkan hingga menghadiri pesta pernikahan Mbak Rina di Pasuruan
beberapa bulan yang lalu. Aku melihat sinar kesetiaan dari matanya saat dia
sudi mengantarkanku hingga kerumah mbakku itu. Namun, ternyata itu merupakan
cikal bakal keretakan hubungan kami. Beberapa kali aku ketahuan masih mengingat
mbakku yang satu itu.
Siklus kegalauan itu kembali
berulang setiap menjelang kelulusan tiap
jenjang pendidikanku. Menjelang lulus SMK, hubunganku dengan mbak Rina mulai
kandas. Menjelang mengerjakan skripsi, penolakan dari pujaan hatiku itu
membuatku kian galau meski pada akhirnya kami dapat menyatu. Kini? Menjelang
mengerjakan thesis ini, fiuh... dengan berat hati aku harus mengatakan,
hubunganku dengan orang yang berhasil merebut hatiku untuk kali pertama dalam
hidupku itu tidak dapat dipertahankan lagi.
Sama seperti ungkapan Bang
Raditya Dika dalam film yang telah kami tonton berdua yang berjudul manusia
setengah salmon, perpindahan merupakan bagian kehidupan manusia dan kita akan
selalu terjebak diantara perpindahan-perpindahan. Seperti perpindahan dari satu
peran ke peran yang lain, pindah kebiasaan untuk menjadi lebih jujur kepada
orang lain dan belajar bersama-sama dari situ, pindah dari suatu yang kurang
baik bagi kita menjadi terbaik untuk semua, serta tentunya perpindahan hati. Karena
dalam hidup kita akan selalu berpindah, yang bisa kita lakukan kita harus
mencari kebahagian dari semua perpindahan.
Kalau dianalogikan pindah rumah,
hal yang paling ngeselin adalah apabila kita masih harus berurusan dengan
barang-barang lama. Biar bagaimanapun juga, hati seorang wanita tak akan rela
manakala dia diduakan dengan orang lain meski mbak Rina hanya sebatas kakak
bagiku. Aku sangat mengerti itu dan aku mengakui kalau aku salah dalam hal ini.
Untuk menebus kesalahanku itu, dengan kebulatan tekad, kuhapuslah semua foto
dan sms mbak Rina. Bahkan didepan matanya, ku-block akun facebook milik orang
Bangil itu. Kalau aku bilang, ini bukan merupakan emosi sesaat dan ungkapan
kemarahanku tapi lebih sebagai ungkapan keseriusanku ingin mempertahankan hubungan
yang telah kuat terjalin ini. Namun itu semua telah terlambat, dia memutuskan
untuk mengundurkan diri dari hubungan kami karena sudah tidak tahan lagi
menahan perasaannya. Bahkan, ungkapan JANJIKU ATASNAMA TUHAN untuk melupakan
semua ingatanku tentang mbak Rina untuk selamanya belum cukup untuk membuat
hubungan kami bersatu kembali.
Kuberdoa disetiap sembah sujudku.
Tuhan, jika dia memang jodohku, perkenankanlah kami menyatukan hubungan kami
kembali. Jika tidak? Apa boleh buat, hati itu bukan untuk dipaksa. Meski beribu
cara telah kutempuh agar hubungan ini tetap survive, namun bila memang sudah
tidak dapat rujuk kembali, izinkan kami menemukan pengganti yang lebih tepat
dan saling menerima kekurangan satu sama lain. Tetapi, jujur dari lubuk hati
paling dalam (kalau perlu aku ketik tebal, bergarisbawah, menggunakan huruf
kapital serta dikasih stabilo ungkapanku berikut ini), Yaa Allah... Yaa Muqallibal
Qulub... AKU SUNGGUH SANGAT INGIN MELANJUTKAN HUBUNGAN INI, BAHKAN HINGGA
KEJENJANG YANG LEBIH SERIUS SAMA SEPERTI HARAPAN KAMI BERDUA SAAT MASIH BERSATU
DAHULU. Mengapa? Karena aku telah menemukan kenyamanan dalam rumah
hatinya. Suatu rasa yang mahal dan susah kutemukan pada diri orang lain
(minimal hingga saat ini). Ya, karena dia adalah seseorang yang pantas dan
harus kuperjuangkan, setidaknya berkaca pada kegalauanku beberapa hari ini. Jujur,
semenjak keputusannya kemarin, aku menjadi alergi mendengar nama orang Bangil
itu. Kalau pada orang Bangil itu memiliki 100 alasan mengapa aku harus
mempertahankannya, dia memiliki triliyunan alasan mengapa aku harus bertahan
pada satu hati ini.
Terakhir, secara jujur aku
mengakui bahwa curahan hatiku ini aku ketik sambil memakai kopyah putih
pemberiannya setelah kubersimpuh ke hadirat Illahi Robbi memanjatkan doa dalam
tahajudku tentang hubungan kami. Tulang rusuk tak akan pernah tertukar. Diawali
dengan semoga dan diakhiri dengan amin. Semoga kami dapat bersatu kembali.
Aamiin.
0 komentar:
Posting Komentar