Blue Fire Pointer
Minggu, 09 November 2014

SEBUAH PENGAKUAN, SEBUAH HARAPAN.

SEBUAH PENGAKUAN, SEBUAH HARAPAN.

Oleh : Mohammad Khadziqun Nuha



Yah, dan pada akhirnya aku harus melakukan pengakuan ini. Sebuah pengakuan atas sebuah ekspektasi yang mungkin hanya angan belaka. Sebuah ekspektasi yang hanya akan merusak harapanku yang lain. Dalam menulis ini, aku dalam kondisi sadar dan telah mempertimbangkan resiko atau efek dari tulisanku ini dikemudian hari. Aku hanya ingin memperoleh “katarsis” dalam membuat coretan ini.

Baik, langsung saja. Kalau kita berbicara beberapa tahun yang lalu, penikmat status-statusku akan disuguhi sebuah nama yang sangat kujaga kerahasiaannya. Mengapa? Kalau pertanyaannya mengapa, pasti jawabannya sebab atau karena. Yah, karena aku hanya ingin menjaga privasi-nya. Aku tak ingin orang yang usil mengganggunya.

Benar! Aku sedang membicarakan Mbak R***. Dia adalah Mbak RINA. Seorang wanita yang memiliki nama lengkap Arina Abida yang sekarang berdomisili di Bangil, Pasuruan. Seorang wanita yang memiliki akun facebook, Rei Na. Seorang wanita yang memiliki nama dan tanggal lahir sama dengan salah seorang dosenku ketika menempuh S1 dalam program studi Tadris Bahasa Inggris di STAIN Tulungagung. Amit! Aku ngga menyebut nama Ma’am Arina Shofiya, Kaprodi-ku yang dulu itu.
(#Ops #Keceplosan)

Lalu, ada hubungan apa antara aku dan dia? Cerita bermula jauh saat aku menempuh pendidikan di salah satu SMK di Kota Marmer, sebut saja namanya  bunga, 18 tahun, nama samaran (eh bukan deng, namanya adalah SMKN 3 Boyolangu). Kala itu, hasratku ingin menjadi seorang adik mulai memuncak karena secara ya, aku adalah anak pertama, demikian pula dengan abahku, ibuku juga putri sulung dikeluarga, hingga kakekku juga setali tiga uang. Jadi, tak ada selama itu orang yang kupanggil kakak. Orang yang bisa menemaniku curhat dan memanjakanku layaknya seorang adik kandung.

Dan bak gayung bersambut, Allah mendengar ekspektasiku itu. Melalui sebuah telpon salah sambung, Dia mempertemukanku dengan Mbak Rina. Kami semakin akrab hingga aku merasa nyaman bersamanya. Tibalah suatu saat dimana dia sudi menganggapku sebagai adik kandungnya sendiri setelah mengetahui kondisiku. Dalam hati, aku bersyukur kepada Sang Pemberi Kehidupan karena Dia telah mengijabah doaku.

Perkenalanku dengan dunia friendster yang merupakan situs jejaring sosial pertama yang kumiliki, membuatku dapat mengetahui wajah dari “mbak ketemu gede”-ku itu. Terlebih, pada akhirnya aku dapat berjumpa langsung dengannya di terminal Tulungagung pada saat hari raya idul fitri dua tahun yang lalu. Betapa bahagianya hatiku kala itu.

Masalah mulai muncul manakala ada pihak yang kurang setuju dengan hubungan persaudaraan kami hingga akhirnya pada sebuah titik dimana persaudaraan kami tidak dapat dipertahankan lagi sehingga kami menjadi jarang atau bahkan bisa disebut tidak pernah sama sekali berkomunikasi kecuali ada moment-moment tertentu, tapi itupun sangat kurang intensitasnya. Sungguh aku dalam kondisi terjatuh dan terpuruk pada lembah hati terdalam kala itu. Mengapa disaat aku telah menemukan figur  yang kuharapkan selama ini justru Tuhan tidak meridhoi hubungan kami? Padahal hubungan kami hanya sebatas kakak dan adik, tidak lebih. Yang bahkan dia kini telah memiliki suami.

Namun, Tuhan memang Maha Adil, disaat hatiku digoncang kegalauan yang tiada tara, melalui friendster pula aku dipertemukan dengan seorang wanita yang kala itu masih duduk dibangku SMA ternama di Kota pemilik tari reog gendang ini. Semula, aku menganggapnya sebagai teman saja. Namun chemistry ini kian intens terbangun. Beberapa kali kami bertemu dan jangan tanyakan berapa kali kami saling telpon dan berapa banyak sms yang saling kami kirimkan. Semua mengalir begitu saja hingga hubungan kami naik satu level menjadi “kakak dan adik ketemu gede”, tentunya.

Gelora hati yang kian terbangun kokoh, meski sempat mengalami beberapa penolakan darinya, akhirnya kami (lebih tepatnya aku!) dapat menashihkan hubungan kami pada hari Senin, 15 April 2013 melalui proses yang cukup menarik. Selepas itu, banyak cerita yang kami ukir bersama. Bahkan hingga menghadiri pesta pernikahan Mbak Rina di Pasuruan beberapa bulan yang lalu. Aku melihat sinar kesetiaan dari matanya saat dia sudi mengantarkanku hingga kerumah mbakku itu. Namun, ternyata itu merupakan cikal bakal keretakan hubungan kami. Beberapa kali aku ketahuan masih mengingat mbakku yang satu itu.

Siklus kegalauan itu kembali berulang  setiap menjelang kelulusan tiap jenjang pendidikanku. Menjelang lulus SMK, hubunganku dengan mbak Rina mulai kandas. Menjelang mengerjakan skripsi, penolakan dari pujaan hatiku itu membuatku kian galau meski pada akhirnya kami dapat menyatu. Kini? Menjelang mengerjakan thesis ini, fiuh... dengan berat hati aku harus mengatakan, hubunganku dengan orang yang berhasil merebut hatiku untuk kali pertama dalam hidupku itu tidak dapat dipertahankan lagi.

Sama seperti ungkapan Bang Raditya Dika dalam film yang telah kami tonton berdua yang berjudul manusia setengah salmon, perpindahan merupakan bagian kehidupan manusia dan kita akan selalu terjebak diantara perpindahan-perpindahan. Seperti perpindahan dari satu peran ke peran yang lain, pindah kebiasaan untuk menjadi lebih jujur kepada orang lain dan belajar bersama-sama dari situ, pindah dari suatu yang kurang baik bagi kita menjadi terbaik untuk semua, serta tentunya perpindahan hati. Karena dalam hidup kita akan selalu berpindah, yang bisa kita lakukan kita harus mencari kebahagian dari semua perpindahan.

Kalau dianalogikan pindah rumah, hal yang paling ngeselin adalah apabila kita masih harus berurusan dengan barang-barang lama. Biar bagaimanapun juga, hati seorang wanita tak akan rela manakala dia diduakan dengan orang lain meski mbak Rina hanya sebatas kakak bagiku. Aku sangat mengerti itu dan aku mengakui kalau aku salah dalam hal ini. Untuk menebus kesalahanku itu, dengan kebulatan tekad, kuhapuslah semua foto dan sms mbak Rina. Bahkan didepan matanya, ku-block akun facebook milik orang Bangil itu. Kalau aku bilang, ini bukan merupakan emosi sesaat dan ungkapan kemarahanku tapi lebih sebagai ungkapan keseriusanku ingin mempertahankan hubungan yang telah kuat terjalin ini. Namun itu semua telah terlambat, dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari hubungan kami karena sudah tidak tahan lagi menahan perasaannya. Bahkan, ungkapan JANJIKU ATASNAMA TUHAN untuk melupakan semua ingatanku tentang mbak Rina untuk selamanya belum cukup untuk membuat hubungan kami bersatu kembali.

Kuberdoa disetiap sembah sujudku. Tuhan, jika dia memang jodohku, perkenankanlah kami menyatukan hubungan kami kembali. Jika tidak? Apa boleh buat, hati itu bukan untuk dipaksa. Meski beribu cara telah kutempuh agar hubungan ini tetap survive, namun bila memang sudah tidak dapat rujuk kembali, izinkan kami menemukan pengganti yang lebih tepat dan saling menerima kekurangan satu sama lain. Tetapi, jujur dari lubuk hati paling dalam (kalau perlu aku ketik tebal, bergarisbawah, menggunakan huruf kapital serta dikasih stabilo ungkapanku berikut ini), Yaa Allah... Yaa Muqallibal Qulub... AKU SUNGGUH SANGAT INGIN MELANJUTKAN HUBUNGAN INI, BAHKAN HINGGA KEJENJANG YANG LEBIH SERIUS SAMA SEPERTI HARAPAN KAMI BERDUA SAAT MASIH BERSATU DAHULU. Mengapa? Karena aku telah menemukan kenyamanan dalam rumah hatinya. Suatu rasa yang mahal dan susah kutemukan pada diri orang lain (minimal hingga saat ini). Ya, karena dia adalah seseorang yang pantas dan harus kuperjuangkan, setidaknya berkaca pada kegalauanku beberapa hari ini. Jujur, semenjak keputusannya kemarin, aku menjadi alergi mendengar nama orang Bangil itu. Kalau pada orang Bangil itu memiliki 100 alasan mengapa aku harus mempertahankannya, dia memiliki triliyunan alasan mengapa aku harus bertahan pada satu hati ini.

Terakhir, secara jujur aku mengakui bahwa curahan hatiku ini aku ketik sambil memakai kopyah putih pemberiannya setelah kubersimpuh ke hadirat Illahi Robbi memanjatkan doa dalam tahajudku tentang hubungan kami. Tulang rusuk tak akan pernah tertukar. Diawali dengan semoga dan diakhiri dengan amin. Semoga kami dapat bersatu kembali. Aamiin.

0 komentar:

 
;