MENGENANG
MBAH ISMAIL MANSHUR
Oleh : Mohammad Khadziqun Nuha
Didunia ini pasti kita pernah memiliki orang yang
paling kita sayang. Bahkan apabila orang itu telah tiada, butuh waktu seumur
hidup untuk melupakannya. Selain kedua orangtua dan saudara kandungku, aku
memilih kakek dan nenek. Salah duanya adalah kedua kakekku yang telah kembali
ke Rahmatullah. Bapak dari abahku meninggal ketika aku masih kecil,
sehingga belum banyak story yang bisa kuceritakan tentang beliau.
Terlebih aku pergi kerumah beliau at least pada hari raya
saja. Sedangkan kakek dari Ibuku meninggal belum lama ini. Kemarin Ahad
merupakan haul beliau yang kedua.
Mbah Ismail Manshur, begitulah
nama lengkap beliau namun warga desaku lebih mengenal dengan nama Mbah
Mangil. Terlahir dari sembilan bersaudara dan Mbah
Mangil merupakan putra sulung. Tidak ada yang mengetahui pasti kapan
beliau dilahirkan karena kala itu tidak ada pembuatan akta kelahiran atau
bahkan KTP namun sepertinya sebelas duabelas dengan peristiwa
sumpah pemuda. Mbah Mangil menikah dengan mbah utiku yang asli
Bandung Tulungagung dan dikaruniai enam orang anak, namun putra yang pertama
telah meninggal ketika masih bayi sehingga ibuku lah yang menjadi anak tertua
kini.
Mbah Kung meninggal karena komplikasi diabetes dan
penyakit dalam lainnya. Namun peristiwa luar biasa terjadi manakala menjelang
kepergian beliau. Beberapa hari mbah dalam kondisi kritis, bahkan keluarga
telah berdatangan untuk membacakan Surat Yasin. Keluarga semacam
sudah ikhlas kalau saja kapan pun malaikat izrail menjemput
beliau. Namun takdir berkata lain, kondisi beliau kian membaik. Bahkan,
setelah hari itu Mbah masih bisa bangkit, berjalan dan mengerjakan pekerjaan di
kebun. Memang mbahku itu tergolong luar biasa, disaat lansia lain
menikmati usia lanjutnya dengan duduk-duduk dan bercengkrama dengan anak
cucunya, diusia senjanya mbah masih giat untuk melakukan kegiatan seperti
berkebun, ke sawah atau kegiatan orang desa lain.
Namun takdir tak bisa ditolak, beliau menutup usia
dengan tenang pada Bulan Suci. Aku ingat sekali, waktu itu malam 21 pada bulan
Ramadhan sekitar pukul 23.00 WIB beliau menghembuskan nafas terakhir. Meski
merasa kehilangan yang mendalam keluarga semacam telah ikhlas melepas kepergian
beliau. Begitu juga aku, aku sudah tegar mengantar kepergian beliau. Anehnya
tidak ada air mata yang menetes hingga aku berada dipemakaman beliau. Tapi biar
bagaimanapun juga, kehilangan orang yang paling disayang itu rasanya melebihi
apapun. Disaat jenazah beliau mulai dimasukkan ke liang kubur, air mata ini
keluar tanpa bisa dibendung. Tak ada rasa malu meski orang-orang melihat. Ya,
itu wajar sekali. Sudah sejak kecil aku bersama beliau.
Berbicara tentang Mbah Kakung, yang paling kuingat
dahulu adalah ketika hari raya. Sebelum sungkem kepada kedua
orangtuaku, ritual wajib yang harus dijalani adalah mendatangi ke rumah mbah
kung yang letaknya tepat dibelakang rumahku. Disana, kami langsung sungkem kepada
mbahkung dan mbah uti serta keluarga yang berada ditempat itu. Memohon maaf
satu sama lain. Serta yang paling seru dan dinanti adalah ketika mbah kung
membagikan salam tempel. Kini? Mbah Kung telah tiada.
Mbah Kung adalah figur yang luar biasa menurutku.
Beliau termasuk sesepuh di desaku, di desa Mojosari Kecamatan Kauman Kabupaten
Tulungagung. Semua orang segan kepada beliau. Petuah yang paling kuingat dari
beliau agar selalu sholat jamaah dan membaca Al Qur'an. Soal membaca Al Qur'an,
mbah Kung memang extraordinary. Setiap setelah sholat shubuh dan
ashar, beliau selalu menyempatkan diri untuk membaca lantunan ayat-ayat suci Al
Qur'an. Lebih luar biasa lagi, beliau justru membaca pedoman hidup umat Islam
itu tanpa menggunakan kacamata. Suatu hal yang jarang kutemui untuk lansia seperti
beliau. Hari-hari terakhir menjelang berpulang, beliau
juga masih sempat menjadi imam di Masjid atau bahkan mengumandangkan adzan manakala
tiada yang melakukannya. Mbahku sungguh luar biasa, aku masih harus berusaha
keras untuk menjadi seperti beliau.
Ketika kecil, aku juga ingat sekali beliau sangat
menyukai film laga atau kolosal. Setelah sholat isya', beliau datang kerumahku
untuk menonton televisi,
"Le, Mak Lampire uwis awit?", ungkap
beliau dengan khas dan langsung duduk disampingku.
Aku yang menghormati beliau harus merelakan acara
televisi kesukaanku untuk beliau. Acara seperti Angling Dharma, Dendam Nyi
Pelet, Misteri Gunung Merapi dan sebagainya merupakan menu wajib yang
harus ada ketika mbah kung berkunjung kerumahku. Akhirnya aku familiar juga
dengan film-film tersebut.
Ya! Kini, Mbah Kung telah tiada. Tidak akan ada lagi
yang mengajariku membaca Al Qur'an, mengimami di Majid, mengumandangkan adzan
dan pujian, serta tidak akan ada lagi yang membelikanku jajan seperti
aku kecil dulu. Sebagai cucumu, aku bangga terhadapmu Mbah. Hanya lantunan doa
kepada Illahi Robbi yang dapat kuhaturkan. Allahumaghfirlahu warhamhu wa'afihi
wafu'anhu, Allahumma laa tahrimna ajrahu wa laa taftinnaa ba'dahu
waghfirlana wa lahu. O! Lord... May Allah grant His countless
blessings on you. May God forgive us for our sins. Past,
present and future sins. The ones we commit intentionally and those we commit
unintentionally... Aamiin. Selamat Jalan Mbah Kung.
#mkn
19 Ramadhan
2015
0 komentar:
Posting Komentar