Blue Fire Pointer
Senin, 06 Juli 2015

MENGENANG MBAH ISMAIL MANSHUR

MENGENANG MBAH ISMAIL MANSHUR
Oleh : Mohammad Khadziqun Nuha



Didunia ini pasti kita pernah memiliki orang yang paling kita sayang. Bahkan apabila orang itu telah tiada, butuh waktu seumur hidup untuk melupakannya. Selain kedua orangtua dan saudara kandungku, aku memilih kakek dan nenek. Salah duanya adalah kedua kakekku yang telah kembali ke Rahmatullah. Bapak dari abahku meninggal ketika aku masih kecil, sehingga belum banyak story yang bisa kuceritakan tentang beliau. Terlebih aku pergi kerumah beliau at least pada hari raya saja. Sedangkan kakek dari Ibuku meninggal belum lama ini. Kemarin Ahad merupakan haul beliau yang kedua.

Mbah Ismail Manshur, begitulah nama lengkap beliau namun warga desaku lebih mengenal dengan nama Mbah Mangil. Terlahir dari sembilan bersaudara dan Mbah Mangil merupakan putra sulung. Tidak ada yang mengetahui pasti kapan beliau dilahirkan karena kala itu tidak ada pembuatan akta kelahiran atau bahkan KTP namun sepertinya sebelas duabelas dengan peristiwa sumpah pemuda. Mbah Mangil menikah dengan mbah utiku yang asli Bandung Tulungagung dan dikaruniai enam orang anak, namun putra yang pertama telah meninggal ketika masih bayi sehingga ibuku lah yang menjadi anak tertua kini.

Mbah Kung meninggal karena komplikasi diabetes dan penyakit dalam lainnya. Namun peristiwa luar biasa terjadi manakala menjelang kepergian beliau. Beberapa hari mbah dalam kondisi kritis, bahkan keluarga telah berdatangan untuk membacakan Surat Yasin. Keluarga semacam sudah ikhlas kalau saja kapan pun malaikat izrail menjemput beliau. Namun takdir berkata lain, kondisi beliau kian membaik. Bahkan, setelah hari itu Mbah masih bisa bangkit, berjalan dan mengerjakan pekerjaan di kebun. Memang mbahku itu tergolong luar biasa, disaat lansia lain menikmati usia lanjutnya dengan duduk-duduk dan bercengkrama dengan anak cucunya, diusia senjanya mbah masih giat untuk melakukan kegiatan seperti berkebun, ke sawah atau kegiatan orang desa lain. 

Namun takdir tak bisa ditolak, beliau menutup usia dengan tenang pada Bulan Suci. Aku ingat sekali, waktu itu malam 21 pada bulan Ramadhan sekitar pukul 23.00 WIB beliau menghembuskan nafas terakhir. Meski merasa kehilangan yang mendalam keluarga semacam telah ikhlas melepas kepergian beliau. Begitu juga aku, aku sudah tegar mengantar kepergian beliau. Anehnya tidak ada air mata yang menetes hingga aku berada dipemakaman beliau. Tapi biar bagaimanapun juga, kehilangan orang yang paling disayang itu rasanya melebihi apapun. Disaat jenazah beliau mulai dimasukkan ke liang kubur, air mata ini keluar tanpa bisa dibendung. Tak ada rasa malu meski orang-orang melihat. Ya, itu wajar sekali. Sudah sejak kecil aku bersama beliau.

Berbicara tentang Mbah Kakung, yang paling kuingat dahulu adalah ketika hari raya. Sebelum sungkem kepada kedua orangtuaku, ritual wajib yang harus dijalani adalah mendatangi ke rumah mbah kung yang letaknya tepat dibelakang rumahku. Disana, kami langsung sungkem kepada mbahkung dan mbah uti serta keluarga yang berada ditempat itu. Memohon maaf satu sama lain. Serta yang paling seru dan dinanti adalah ketika mbah kung membagikan salam tempel. Kini? Mbah Kung telah tiada.

Mbah Kung adalah figur yang luar biasa menurutku. Beliau termasuk sesepuh di desaku, di desa Mojosari Kecamatan Kauman Kabupaten Tulungagung. Semua orang segan kepada beliau. Petuah yang paling kuingat dari beliau agar selalu sholat jamaah dan membaca Al Qur'an. Soal membaca Al Qur'an, mbah Kung memang extraordinary. Setiap setelah sholat shubuh dan ashar, beliau selalu menyempatkan diri untuk membaca lantunan ayat-ayat suci Al Qur'an. Lebih luar biasa lagi, beliau justru membaca pedoman hidup umat Islam itu tanpa menggunakan kacamata. Suatu hal yang jarang kutemui untuk lansia seperti beliau. Hari-hari terakhir menjelang berpulang, beliau juga masih sempat menjadi imam di Masjid atau bahkan mengumandangkan adzan manakala tiada yang melakukannya. Mbahku sungguh luar biasa, aku masih harus berusaha keras untuk menjadi seperti beliau.

Ketika kecil, aku juga ingat sekali beliau sangat menyukai film laga atau kolosal. Setelah sholat isya', beliau datang kerumahku untuk menonton televisi,
"Le, Mak Lampire uwis awit?", ungkap beliau dengan khas dan langsung duduk disampingku.
Aku yang menghormati beliau harus merelakan acara televisi kesukaanku untuk beliau. Acara seperti Angling Dharma, Dendam Nyi Pelet, Misteri Gunung Merapi dan sebagainya merupakan menu wajib yang harus ada ketika mbah kung berkunjung kerumahku. Akhirnya aku familiar juga dengan film-film tersebut.



Ya! Kini, Mbah Kung telah tiada. Tidak akan ada lagi yang mengajariku membaca Al Qur'an, mengimami di Majid, mengumandangkan adzan dan pujian, serta tidak akan ada lagi yang membelikanku jajan seperti aku kecil dulu. Sebagai cucumu, aku bangga terhadapmu Mbah. Hanya lantunan doa kepada Illahi Robbi yang dapat kuhaturkan. Allahumaghfirlahu warhamhu wa'afihi wafu'anhu,  Allahumma laa tahrimna ajrahu wa laa taftinnaa ba'dahu waghfirlana wa lahu. O! Lord...  May Allah grant His countless blessings on you.  May God forgive us for our sins. Past, present and future sins. The ones we commit intentionally and those we commit unintentionally... Aamiin. Selamat Jalan Mbah Kung.

#mkn

19 Ramadhan 2015

0 komentar:

 
;