Blue Fire Pointer
Minggu, 05 Juli 2015

SEBERSIT PETUAH DARI BAPAK RAHMAN

SEBERSIT PETUAH DARI BAPAK RAHMAN
Oleh : Mohammad Khadziqun Nuha



Sabtu pagi merupakan jadwal guru-guru di sekolahku untuk rapat membahas persiapan tahun ajaran baru. Sembari menunggu rapat dimulai, aku, Pak Rudi dan Pak Qofa, memasang lampu didepan sekolah. Pasalnya, Sang Pengasuh Yayasan telah berulang kali mengingatkan kami untuk melakukan hal tersebut tapi tak kunjung kami kerjakan, kalau tak kunjung kami kerjakan pastinya akan terjadi Perang Dunia Ketiga. Bincang hangat dan saling meledek mewarnai “pekerjaan dadakan” kami membuat suasana pagi itu kian cair. Aku yang paling sering dibully karena aku satu-satunya guru laki-laki yang belum berencana menikah. Mereka? Setelah hari raya akan melepas masa lajangnya.

Sedang asyik memasang dua lampu depan sekolah tersebut, tiba-tiba ada seorang bapak memakai baju olahraga masuk ke halaman sekolah. Segera kami menjabat tangan beliau sambil mengucapkan salam (hehe, biar terlihat sok akrab). Lalu beliau langsung masuk untuk menemui Ibu Kepala Sekolah yang berada didalam kelas tiga.
Siapa itu pak?”, Tanyaku kepada Pak Rudi yang sedang memasang kabel.
Pak Rahman”, Jawabnya singkat.
Posisinya disini sebagai apa pak?”, Tanyaku penasaran.
Beliau Ketua Yayasan sekolah ini Pak.”, Sahutnya.
Pak Nu, kawatnya tadi mana?”, Pak Qofa tiba-tiba memotong.
Biarin Pak Nu, biar dicari sendiri. Orang itu selalu gitu, ditaruh-taruh sendiri. Temannya yang harus ribet nyariin”, Ledek Pak Rudi.
Haha, kalau semisal anak-anak gitu, caper yaa pak?”, Sambarku.

Belum juga kami menyelesaikan tugas memasang lampu, tiba-tiba Ibu Kepala Sekolah meminta kami untuk masuk ke dalam kelas tiga.
Bapak-bapak silakan masuk sebentar, ini akan ada rapat bersama Pak Rahman”, Kata beliau.

Segera kami menyingkirkan piranti untuk memasang lampu tersebut dan menuju tempat yang telah ditentukan. Disana telah menunggu Bapak Rahman, Ibu Kepala Sekolah beserta Ibu-Ibu Guru yang lain. Setelah kedatangan kami, Bapak Rahman memulai rapat mini tersebut.
Bapak dan Ibu, sebenarnya saya tidak sengaja tadi datang kemari. Pertama ini tadi silaturahim kedua kalinya saya ingin memberitahukan kalau saya perlu ada rapat antara pihak yayasan dan Bapak Ibu Guru”, Ungkap beliau.

Kemudian beliau menjelaskan perihal rapat apa dan kapan akan dilaksanakan. Kami dengan seksama memperhatikan dengan sesekali beberapa Guru menanggapi. Setelah selesai menyampaikan maksud kedatangan beliau, Pak Rahman menceritakan pengalaman pribadinya dahulu.
Bapak Ibu, dijalani saja profesi ini. Dianggap saja sebagai ibadah. Saya tahu gaji sebagai guru sangatlah tidak cukup. Marilah kita ikhlas untuk berjuang dijalan Allah untuk mencerdaskan anak Bangsa
Saya dulu juga merasakan seperti jenengan semua. Saya juga anak orang tidak punya. Saya harus menghidupi adik-adik saya yang juga harus sekolah. Saya membiayai sendiri biaya pendidikan saya dengan berjualan koran. Sampai orang-orang mengenal Saya dengan sebutan Cak Man Tukang Jualan Koran
Tapi Saya tidak mau menyerah dengan keadaan. Saya melanjutkan kuliah di IKIP Malang, yang sekarang bernama UM Malang itu. Sembari kuliah saya juga berjualan gorengan. Jadi kalau disuruh jualan sambil teriak-teriak Pohung... Pohung... Jemblem... Menjes... Telo Goreng... Tape Goreng... Weciiii... Weciiii.... Weci itu kalau di Tulungagung ote-ote itu lho Bapak Ibu”, Ungkap Pak Rahman sambil mempraktekkan jualan gorengan.
Tetangga sekitar rumah tidak ada yang percaya kalau saya di Malang saya kuliah. Mereka tahunya saya ini Cak Man Tukang Jualan Koran. Pernah suatu ketika disaat kuliah ada seorang dosen yang kaget melihat saya sebagai mahasiswanya”
Hah... Ini... Ini...” Pak Rahman menirukan ucapan dosennya sambil menunjuj-nunjuk yang tidak dapat meneruskan ucapannya setelah melihat Pak Rahman sebagai mahasiswanya sehingga seisi kelas menatap kepada Pak Rahman.
Ini kan Si Pohung. Tukang jualan gorengan yang biasa datang ke tempat kost Saya, Saya tidak bisa makan kalau belum ada dia. Saya masak nasi sendiri, lalu lauknya yaa dari gorengan si Pohung ini ”, Pak Rahman menirukan ucapan dosennya.

Ternyata beliau adalah tukang gorengan yang ketika dosennya dahulu kuliah selalu menjadi langganannya untuk menemani makan ketika berada dikost. Pak Pohung, Eh Pak Rahman juga yang mengajak teman-teman jalanan beliau untuk meneruskan study. Semua berawal dari tidak mungkin, bahkan saat dia melamar mantan pacarnya yang kini tinggal satu rumah. Banyak tetangganya yang memandang sebelah mata.
Hah? Cak Man yang jualan koran mau menikah anak camat? Jadi mantan pacar saya dahulu itu anak seorang camat, Bapak Ibu”, Ungkap Pak Rahman.

Menurut beliau, kunci keberhasilannya selama ini adalah ketekunan dan satu hal, yakni jangan sampai meninggalkan sholat jamaah. Dalam hati, ini sama seperti petuah dari Mbah Kakungku sebelum meninggal. Sholat jamaah harus dijaga. Aku belajar dari sosok Pak Rahman, figur bersahaja yang tetap berjuang keras ditengah kerasnya hidup.


#mkn
18 Ramadhan 2015

0 komentar:

 
;