SEBERSIT
PETUAH DARI BAPAK RAHMAN
Oleh : Mohammad
Khadziqun Nuha
Sabtu pagi
merupakan jadwal guru-guru di sekolahku untuk rapat membahas persiapan tahun
ajaran baru. Sembari menunggu rapat dimulai, aku, Pak Rudi dan Pak Qofa,
memasang lampu didepan sekolah. Pasalnya, Sang Pengasuh Yayasan telah berulang
kali mengingatkan kami untuk melakukan hal tersebut tapi tak kunjung kami
kerjakan, kalau tak kunjung kami kerjakan pastinya akan terjadi Perang Dunia
Ketiga. Bincang hangat dan saling meledek mewarnai “pekerjaan dadakan” kami
membuat suasana pagi itu kian cair. Aku yang paling sering dibully karena
aku satu-satunya guru laki-laki yang belum berencana menikah. Mereka? Setelah
hari raya akan melepas masa lajangnya.
Sedang asyik
memasang dua lampu depan sekolah tersebut, tiba-tiba ada seorang bapak memakai
baju olahraga masuk ke halaman sekolah. Segera kami menjabat tangan beliau
sambil mengucapkan salam (hehe, biar terlihat sok akrab). Lalu beliau langsung
masuk untuk menemui Ibu Kepala Sekolah yang berada didalam kelas tiga.
“Siapa itu
pak?”, Tanyaku kepada Pak Rudi yang sedang memasang kabel.
“Pak Rahman”,
Jawabnya singkat.
“Posisinya
disini sebagai apa pak?”, Tanyaku penasaran.
“Beliau
Ketua Yayasan sekolah ini Pak.”, Sahutnya.
“Pak Nu,
kawatnya tadi mana?”, Pak Qofa tiba-tiba memotong.
“Biarin Pak
Nu, biar dicari sendiri. Orang itu selalu gitu, ditaruh-taruh sendiri. Temannya
yang harus ribet nyariin”, Ledek Pak Rudi.
“Haha, kalau
semisal anak-anak gitu, caper yaa pak?”, Sambarku.
Belum juga kami
menyelesaikan tugas memasang lampu, tiba-tiba Ibu Kepala Sekolah meminta kami
untuk masuk ke dalam kelas tiga.
“Bapak-bapak
silakan masuk sebentar, ini akan ada rapat bersama Pak Rahman”, Kata
beliau.
Segera kami
menyingkirkan piranti untuk memasang lampu tersebut dan menuju tempat yang
telah ditentukan. Disana telah menunggu Bapak Rahman, Ibu Kepala Sekolah
beserta Ibu-Ibu Guru yang lain. Setelah kedatangan kami, Bapak Rahman memulai
rapat mini tersebut.
“Bapak dan
Ibu, sebenarnya saya tidak sengaja tadi datang kemari. Pertama ini tadi
silaturahim kedua kalinya saya ingin memberitahukan kalau saya perlu ada rapat
antara pihak yayasan dan Bapak Ibu Guru”, Ungkap beliau.
Kemudian beliau
menjelaskan perihal rapat apa dan kapan akan dilaksanakan. Kami dengan seksama
memperhatikan dengan sesekali beberapa Guru menanggapi. Setelah selesai
menyampaikan maksud kedatangan beliau, Pak Rahman menceritakan pengalaman
pribadinya dahulu.
“Bapak Ibu,
dijalani saja profesi ini. Dianggap saja sebagai ibadah. Saya tahu gaji sebagai
guru sangatlah tidak cukup. Marilah kita ikhlas untuk berjuang dijalan Allah
untuk mencerdaskan anak Bangsa”
“Saya dulu
juga merasakan seperti jenengan semua. Saya juga anak orang tidak punya. Saya
harus menghidupi adik-adik saya yang juga harus sekolah. Saya membiayai sendiri
biaya pendidikan saya dengan berjualan koran. Sampai orang-orang mengenal Saya
dengan sebutan Cak Man Tukang Jualan Koran”
“Tapi Saya
tidak mau menyerah dengan keadaan. Saya melanjutkan kuliah di IKIP Malang, yang
sekarang bernama UM Malang itu. Sembari kuliah saya juga berjualan gorengan.
Jadi kalau disuruh jualan sambil teriak-teriak Pohung... Pohung... Jemblem...
Menjes... Telo Goreng... Tape Goreng... Weciiii... Weciiii.... Weci itu kalau
di Tulungagung ote-ote itu lho Bapak Ibu”, Ungkap Pak Rahman sambil
mempraktekkan jualan gorengan.
“Tetangga
sekitar rumah tidak ada yang percaya kalau saya di Malang saya kuliah. Mereka
tahunya saya ini Cak Man Tukang Jualan Koran. Pernah suatu ketika disaat kuliah
ada seorang dosen yang kaget melihat saya sebagai mahasiswanya”
“Hah... Ini... Ini...” Pak Rahman menirukan
ucapan dosennya sambil menunjuj-nunjuk yang tidak dapat meneruskan ucapannya
setelah melihat Pak Rahman sebagai mahasiswanya sehingga seisi kelas menatap
kepada Pak Rahman.
“Ini kan Si Pohung. Tukang jualan gorengan yang
biasa datang ke tempat kost Saya, Saya tidak bisa makan kalau belum ada dia.
Saya masak nasi sendiri, lalu lauknya yaa dari gorengan si Pohung ini ”,
Pak Rahman menirukan ucapan dosennya.
Ternyata beliau adalah tukang gorengan yang ketika
dosennya dahulu kuliah selalu menjadi langganannya untuk menemani makan ketika
berada dikost. Pak Pohung, Eh Pak Rahman juga yang mengajak teman-teman jalanan
beliau untuk meneruskan study. Semua berawal dari tidak mungkin, bahkan saat
dia melamar mantan pacarnya yang kini tinggal satu rumah. Banyak
tetangganya yang memandang sebelah mata.
“Hah? Cak Man yang jualan koran mau menikah anak
camat? Jadi mantan pacar saya dahulu itu anak seorang camat, Bapak Ibu”,
Ungkap Pak Rahman.
Menurut beliau, kunci keberhasilannya selama ini
adalah ketekunan dan satu hal, yakni jangan sampai meninggalkan sholat
jamaah. Dalam hati, ini sama seperti petuah dari Mbah Kakungku sebelum
meninggal. Sholat jamaah harus dijaga. Aku belajar dari sosok Pak Rahman, figur
bersahaja yang tetap berjuang keras ditengah kerasnya hidup.
#mkn
18 Ramadhan 2015
0 komentar:
Posting Komentar