Blue Fire Pointer
Jumat, 10 Juli 2015

MENEMUKAN POWER PADA BUKU YANG BERNAMA THE POWER OF WRITING

MENEMUKAN POWER PADA BUKU YANG BERNAMA THE POWER OF WRITING
Oleh : Mohammad Khadziqun Nuha



Judul Buku           :           The Power of Writing
Pengarang             :           Ngainun Naim
Penerbit                :           Lentera Kreasindo
Tahun Terbit         :           2015
Tempat Terbit       :           Yogyakarta
Tebal Buku           :           230 halaman

The Power of Writing, sebuah masterpiece dalam bentuk buku yang merupakan manifestasi nyata seorang pegiat literasi yang ingin menyebarkan virus positif  semangat untuk menulis bagi semua kalangan. Membaca judul dari buku ini, akan muncul hipotesa dalam benak kita bahwa ini merupakan sebuah buku yang menggunakan bahasa dari negara Queen Elizabeth dengan berjuta-juta vocabulary yang asing ditelinga orang yang mendiami tanah nusantara ini. Namun, asumsi kita akan langsung terbantahkan manakala kita membuka lembar tiap lembar awal dari buku ini. Bapak Ngainun Naim ingin menyibak betapa dahsyat-nya kekuatan yang akan muncul ketika menulis.

Menulis (dan juga membaca) merupakan ketrampilan mendasar yang wajib dimiliki setiap individu ketika mengenyam bangku pendidikan. Dengan dua ketrampilan tersebut, seseorang dapat mengembangkan pengetahuan, kemampuan, dan wawasan untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas diri. Namun menulis disini tidak hanya sekedar rewriting segala yang ada di buku maupun yang diungkapkan seseorang. Lebih dari itu, menulis dalam makna yang sama dengan mengarang atau memproduksi huruf, angka, nama dan suatu tanda kebahasaan apa pun dengan alat tulis pada suatu halaman tertentu. Menulis merupakan suatu cara untuk mengorganisasikan gagasan-gagasan dan menjernihkan konsep-konsep. Biar bagaimanapun juga, menulis itu berbeda dengan berbicara yang lepas dari unsur coherence dan cohesion serta bebas. Menulis itu tidak sebebas itu, menulis itu memerlukan kejelasan argumentasi, diksi yang tepat, keruntutan alur, serta persyaratan lainnnya.

Jika dihubungkan dengan teori komunikasi, menulis merupakan proses penyampaian message melalui bahasa tulis. Tulisan sendiri pada dasarnya juga merupakan salah satu wahana komunikasi massa. Oleh karena itu, agar komunikasi tersebut dapat berjalan dengan baik, seorang komunikator (dalam hal ini seorang penulis) harus melakukan perencanaan, perumusan dan penyusunan tulisan sedemikan rupa sehingga pesan yang ingin disampaikan dapat komunikatif.

Passion menulis ada kalanya fluktuatif tergantung mood seseorang. Penulis yang moodie seperti ini akan memiliki semangat yang menggebu-gebu ketika mengikuti seminar menulis maupun sedang membaca buku semacam ini. Namun, ketika mood sedang tidak baik maupun dalam kondisi sibuk, spirit menulis itu akan menurun atau bahkan hilang sama sekali. Menjalankan aplikasi google chrome, mozilla firefox, winamp, GOM  player, game dan sebagainya lebih menarik daripada membuka Microsoft Word dan menuliskan segala buah pikiran kita dalam bentuk bahasa tulis. Bapak Naim, menyebutkan bahwa tidak ada manusia yang memiliki spirit dan emosi yang stabil dalam menulis. Namun terdapat perbedaan yang fundamental untuk knock chalk from cheese antara dua klasifikasi penulis dalam menyikapi kondisi tersebut. Penulis pemula akan cenderung pasif, pasrah pada keadaan serta menanti datangnya momentum yang tepat untuk menulis. Sedangkan, penulis besar tidak akan larut dalam kondisi tersebut manakala ghirah menulis sedang menurun. Ia akan berusaha mencari jalan keluar untuk mengatasi hal tersebut.

Banyak manfaat yang akan diperoleh dari menulis. Pertama, menulis dapat meningkatkan ide-ide baru. Semakin banyak menulis, semakin mudah pula kita akan mendapatkan gagasan-gagasan baru. Kedua, menulis dapat membantu mengorganisasikan gagasan-gagasan dan mendeskripsikannya dengan baik karena menulis berbeda dengan berbicara. Ketiga, menulis dapat melatih kita untuk lebih teliti dalam menyampaikan gagasan. Dalam arti, setelah kita selesai menulis dapat mengevaluasi ulang tulisan kita yang “layak tayang”. Keempat, menulis dapat membantu kita menyerap dan mengolah informasi lebih mendalam. Kelima, menulis dapat membantu menyelesaikan masalah dengan menguraikan elemen-elemen masalah dalam bentuk tulisan. Keenam, menulis dapat dijadikan bahan refleksi yang aktif dibandingkan dengan penerima informasi yang pasif.

Banyak cara yang bisa digunakan untuk meningkatkan writing skill. Bapak Naim menyebutkan bahwa SMS, twitter, blog, kompasiana, status facebook serta situs jejaring sosial yang lain dapat berpengaruh apabila kita jeli dalam memanfaatkannya. Taruhlah status facebook, apabila kita membuat status layaknya sebuah artikel yang diberi judul dan tidak hanya membuat status pendek yang lebay, mengeluh atau laporan posisi, kita akan dapat memperoleh manfaat dari kegiatan sepele itu. Bapak Naim menyebutkan, manfaat yang dapat kita raih adalah pertama, mempererat tali silaturrahim. Kok bisa? Ya, karena dengan menulis status, kita akan bertemu banyak orang yang akan menanggapi status kita, secara tidak langsung hal itu akan memupuk tali persaudaraan. Bayangkan kalau sebulan kita tidak menulis status, akun facebook kita akan terasa dihinggapi sarang laba-laba karena tidak ada yang berkunjung dilapak kita. Kedua, merawat tradisi menulis. Dengan konsisten membuat status yang bermanfaat difacebook, berarti kita sedang menulis dengan seni yang berbeda. Karena menulis itu tidak melulu harus dengan suatu hal yang menjenuhkan, hal yang out of the box seperti ini dapat meningkatkan semangat menulis kita. Ketiga, membuat status juga bentuk ibadah. Apabila pembaca status kita dapat mengambil hikmah dari apa yang kita bagikan, itu juga termasuk sedekah implisit kita kepada pembaca. Sejauh ini, manfaat itu juga reviewer rasakan sebagai aktivis didunia maya.

Selain facebook, beliau juga menggunakan blog dalam menyebarkan semangat menulis. Bahkan, beliau termotivasi dari seorang buruh migrant yang bernama Sri Lestari. Sebagai orang yang merasakan manfaat menulis, beliau ingin “mempermalukan” teman-teman yang punya banyak potensi dan peluang menulis melebihi Sri Lestari tetapi belum menulis. Sri Lestari yang (maaf) babu saja bisa, mau dan mampu menulis masak kaum yang lebih terpelajar tidak bisa? Ini merupakan sentilan halus kepada kita para mahasiswa yang digadang-gadang sebagai calon penerus generasi bangsa namun miskin tulisan yang kita produksi. Kesulitan menulis biasanya dikarenakan “jam terbang” menulis yang belum tinggi. Membuat blog merupakan sarana untuk meningkatkan “jam terbang”. Semakin sering blog diisi, semakin terlatih menulis.

Dalam menulis juga diperlukan konsistensi serta tidak ada kata pensiun  untuk menulis. Menurut Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, kalau kita tidak menulis satu halaman pun selama bertahun-tahun, maka tidak perlu heran kalau kita tak pernah maju dalam ilmu. Beliau tidak hanya berteori, telah banyak karya yang telah beliau hasilkan yang dapat merawat tradisi menulis. Menulis yang baik membutuhkan proses yang panjang serta perlu ketekunan dan kesabaran sehingga menghasilkan tulisan yang berkualitas. Writing is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving.

Orisinalitas dalam menulis menjadi aspek penting yang harus diperhatikan agar tidak terjebak pada plagiasi. Banyak kasus di Indonesia yang mencoreng wajah dunia pendidikan. Jika kita berani untuk jujur, plagiat kian marak bahkan menjadi habitus. Kasus yang muncul dimedia massa hanya contoh kecil dari realitas yang ada. Untuk menjadi penulis yang berkualitas diperlukan proses dan waktu yang tidak sebentar serta komitmen untuk tidak melakukan plagiat.

Pada bab II dari buku ini disebutkan motivasi menulis. Write or die, sebuah ungkapan yang memberikan semangat kepada para writer agar terus berkarya. Saat menulis kita sedang berusaha mempertahankan eksistensi diri. Pada bab ini juga disebutkan keajaiban dari menulis menurut Omjay, diantaranya keuntungan financial, undangan sebagai pembicara, memiliki banyak teman, dapat membeli peralatan penunjang, rekam jejak yang ajaib, serta memberikan inspirasi orang lain untuk menulis.

Masih pada bab II, Bapak Naim menyebutkan bahwa penulis itu “makhluk langka”, dalam arti mereka yang mau menekuni dan mengembangkan ketrampilan menulis dalam bentuk apapun dan dilakukan secara terus menerus jumlahnya sangat sedikit. Bahkan dikalangan akademisi kian berkurang padahal sesungguhnya ketrampilan menulis sangat penting sehingga sebagai “makhluk langka”, penulis harus diawetkan dengan cara merawat ketrampilan menulis. Menulis harus ditradisikan secara masiv. Banyak yang ingin bisa menulis namun terhenti sebatas keinginan belaka sementara bukti tulisan sendiri tidak pernah terwujud. Perlu ditumbuhkan semangat pantang menyerah atas setiap hambatan dalam menulis. Hambatan tersebut diantaranya, pertama, ingin menulis tapi tidak tahu bagaimana memulainya. Kedua, sudah mulai menulis namun baru beberapa kata berhenti karena pikiran buntu. Ketiga, memiliki kemampuan menghasilkan karya namun tidak memiliki motivasi untuk menulis. Keempat, putus asa karena karya tidak dihargai. Menulis itu pada dasarnya tidak mudah, diperlukan mentalitas tahan banting agar dapat tetap bertahan. Menulis juga memerlukan komitmen untuk menjaga, mengelola dan mentransformasikan semangat dalam diri.

Selain itu, seharusnya kita juga harus menghindari untuk menutup diri, namun mulailah berjejaring. Dengan berjejaring akan meningkatkan mutu seorang penulis. Menurut Emcho, mengapa kita harus berjejaring karena pertama, penulis memerlukan pembaca, dan dari sekian banyak pembaca pastilah terdapat penulis lain. Dengan berkolaborasi jumlah pembaca seseorang dapat berlipat ganda. Kedua, dengan berjejaring penulis dapat berbagi pengetahuan, pengalaman, strategi penerbitan, strategi pemasaran serta feedback lainnya. Ketiga, penulis perlu jejaring yang saling mengangkat. Keempat, mengangkat posisi tawar penulis. Kelima, dengan jejaring yang kokoh sehingga dapat melakukan pembelaan secara bersama dan klasikal terhadap individu atau komunitas yang teraniaya dan terancam posisinya. Keenam, dapat menulis secara bersama-sama dengan jejaring.

Berbicara mengenai kelebihan dari buku ini, terdapat beberapa yang ingin reviewer sampaikan. Pertama, penulis selalu mengelaborasi gagasan dengan bahasa yang mudah dicerna bagi seluruh kalangan, baik kaum yang berpendidikan maupun yang tidak tuntas dalam menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu. Melalui bahasa yang easy listening, lugas dan tegas, penulis yang konsisten menulis di timeline situs jejaring sosial dengan Mark Zuckerberg sebagai founding father-nya dengan jargon “Ini catatanku, mana catatanmu?” ini ingin mengupas tuntas kekuatan pikiran, kekuatan perkataan, kekuatan perasaan serta kekuatan perbuatan ketika menulis. Paparan ide dengan gaya bahasa yang santai menjadi ciri khas beliau sehingga kita tak harus mengerutkan dahi dan memegang dagu untuk memahaminya.

Kedua, penulis berusaha menyajikan contoh konkret, orang yang berhasil melalui bahasa tulis. Tak lepas, nama seperti Hamka, Ali Audah, Imam Ghozali, Pramoedya Ananta Toer, Hernowo, M. Fauzil Adhim, Mulyadhi Kartanegara, Jalaludin Rakhmat, Andrias Harifa, Anwar Holid, Yudian Wahyudi, N. Mursidi, The Liang Gie, Wawan Susetya, Zara Zettira ZR, Krishna Mihardja bahkan seorang buruh migrant yang bernama Sri Lestari yang sukses dalam dunia blog juga tak luput menjadi bidikan tulisan beliau sebagai tokoh inspiratif  yang membuat beliau termotivasi mengembangkan writing skill. Hal ini penting, manakala kita ingin bergelut dengan dunia kata, menggerakkan jemari untuk menulis serta memperoleh seni menulis itu sendiri, kita dapat belajar dari kegigihan tokoh-tokoh tersebut dalam merangkai kata sehingga calon penulis dapat memupuk mindset bahwa menulis itu untuk keabadian. Terlebih, endorsement dari beberapa pihak mengenai buku ini yang dipaparkan diawal menambah prestige atau “nilai jual” dari buku ini.

Ketiga, Bapak Naim berusaha memaparkan tiap segmen pembahasan berdasarkan klasifikasi yang runtut. Dimulai dari pembahasan mengenai spirit menulis pada bab I, bab II membahas motivasi menulis, kita jumpai alasan menulis pada bab III, hambatan menulis tercantum dalam bab IV, di bab V dielaborasikan strategi menulis serta kita dapat belajar menulis dari para tokoh pada bab VI. Pengklasifikasian tersebut akan mempermudah pembaca dalam menangkap pesan yang ingin disampaikan. Lebih lanjut, setiap pembahasan merupakan kumpulan tulisan singkat sehingga pembaca tidak susah dalam menangkap isi tulisan setiap bidang kajian.

Keempat, pada akhir setiap pembahasan akan dicantumkan quote yang terdapat pada pembahasan tersebut sebagai mini konklusi dari apa yang tengah dikaji. Hal ini menarik, sehingga para pembaca dapat rethinking serta keeping in their mind apa yang baru saja mereka baca dan tidak menguap begitu saja point penting yang ingin Bapak Naim sampaikan. Konklusi semacam ini dapat membantu pembaca ketika ingin retelling kepada calon pembaca lain.

Kelima, ide yang ingin disampaikan Bapak Naim bersifat afterthought dan out of the common. Taruhlah strategi menulis seperti mencicil, membaca itu gizi menulis, 3M (Membaca, Mencatat, dan Menulis), meningkatkan jam terbang dengan status facebook, membuat blog, membuat diary yang menggetarkan, menulis dipagi hari, menulis itu tidak banyak tanya namun segera praktik, serta beberapa jargon yang dapat meningkatkan ghirah menulis kita seperti write or die!, penulis itu “makhluk langka”, energi kata, produktivitas menulis dan jebakan plagiasi serta banyak lain yang dapat menghipnotis pembaca agar kian intens menggeluti dunia literasi yang satu ini. Beliau juga menyebutkan alasan mengapa kita harus menulis serta apa saja hambatan yang perlu dihadapi para calon writer. Disini Bapak Naim ingin menyampaikan sisi lain dari seluk beluk menulis menurut kacamata beliau.


Terlepas dari kelebihan dari buku ini, menurut reviewer, diperlukan peningkatan dibeberapa titik guna kesempurnaan dari buku ini. Pertama, pengelompokan bab I dan bab II sedikit rancu manakala disebutkan spirit dan motivasi menulis disitu. Dua klasifikasi itu semacam tumpang tindih dan alangkah baiknya jika dijadikan satu. Sub bab pada kedua bab tersebut dapat saling melengkapi bila menjadi satu bab. Kedua, penyebutan nama penulis pada bab I yang menurut pengarang buku ini tips-tipsnya tidak mudah dipraktikkan terkesan kurang etis. Walau dengan penyebutan buku yang (maaf) berjudul Menulis Itu Gampang ini dapat memberikan informasi yang akurat mengenai contoh konkret sebuah tulisan, namun alangkah baiknya dihindari. Ketiga, walau ini bersifat teknis dan klise yang menjadi tanggungjawab editor, namun apabila dalam segi penulisan lebih cermat kembali akan membuat buku ini kian sempurna. Hal sepele seperti tanda baca, konsistensi penulisan, diksi, singkatan, dan berbagai kaidah penulisan yang akan lebih membuat nyaman pembaca dalam mendalami buku ini. Keempat, memang kurang etis jikalau terlalu menyombongkan diri, namun dalam beberapa kalimat reviewer menemui ungkapan yang terlalu merendah.  Meski demikian, buku ini tetap sangat reviewer rekomendasikan untuk dibaca bagi calon reader. Selamat membaca dan menemukan power pada buku yang bernama the power of writing ini.

#mkn
23 Ramadhan 2015

0 komentar:

 
;