K.
U. S. A.
Oleh : Mohammad
Khadziqun Nuha
Sebelum novel
dan film laskar pelangi menjadi buah bibir di penjuru negeri, jauh di
sebuah desa yang bernama desa Mojosari Kecamatan Kauman Kabupaten Tulungagung
Jawa Timur hiduplah empat anak manusia yang ketika masih bocah memiliki cerita
yang sangat membekas dihati para pelakunya. Mereka adalah K.U.S.A. yang
merupakan singkatan dari nama panggilan mereka yakni Kadiq, Ufi, Syamsu dan
Adib. Baik, disini akan aku jabarkan keempat karakter tersebut.
Pertama, Kadiq.
Ya! Benar. Itu adalah aku sendiri dengan nama lengkap Mohammad Khadziqun
Nuha. Karena background keluargaku, teman-temanku yang lain
memanggilku dengan imbuhan kata mas didepan nama panggilanku. Seorang
bocah yang ketika mendengar suara adzan, akan berlari pulang gedebuk-gedebuk
bersama adik perempuannya yang hanya berjarak satu tahun. Haha, itu sudah
menjadi rahasia publik bagi tetangga disekitar rumahku. Hingga detik ini,
mahasiswa IAIN Tulungagung ini tetap setia tinggal di desa yang penuh kenangan
itu. Apa yang berbeda? Aku adalah satu-satunya anak yang bersekolah di SD yang
berbeda dibanding teman-temanku yang lain meski sekolah kami satu lokasi. Ya!
Ketiga temanku itu bersekolah di SDN Mojosari 3, sedangkan aku di SDN Mojosari
2 sendiri.
Kedua, Ufi yang memiliki nama lengkap Ufi Bahrul Hikam. Dia biasa
dipanggil Pak Ufi atau Pak Upil. Ntah dari mana sebutan “bapak” itu muncul
meski usianya masih dibawahku, bisa jadi karena perawakannya yang sedikit
gempal dan kebapakan. Pak Ufi merupakan kompetitorku dalam pelajaran agama, yaa
paling tidak berdasarkan penuturan guru agama kami, Bapak Asmu’an. Alumni SMAN
1 Kedungwaru ini, kini menempuh pendidikan di UIN Sunan Ampel Surabaya, paling
tidak seperti itu berdasarkan informasi terakhir yang kuperoleh. Kalau dia, apa
yang berbeda? Dia adalah yang paling jago dalam seni tilawah Al Qur’an. Tak
heran beberapa perlombaan tingkat kecamatan atau kabupaten berhasil dia
taklukkan.
Ketiga, Syamsu.
Dalam segi usia, meski hanya berbeda beberapa hari denganku, dia
adalah yang paling tua diantara kami. Anak yang dianugerahi nama Muhammad
Syamsu Duri oleh orangtuanya ini memiliki perawakan yang tinggi dengan
kulit yang putih dengan sedikit simpul senyum yang biasa terkembang. Ntah
dimulai sejak kapan, aku terbiasa memanggilnya dek syamsu. Yang berbeda
darinya adalah dia satu-satunya dari kami yang melanjutkan pendidikan di
Pondok. Pilihannya adalah di Pondok Pesantren Wonokromo Gondang Tulungagung.
Tempat dimana aku dan Pak Ufi juga pernah menimba ilmu agama dahulu.
Keempat, Adib. Dia biasa disebut “Senbei” karena dirasa mirip berdasarkan
ciri fisik dengan karakter Dr. Senbei Norimaki yang memiliki robot arale dalam
serial Dr. Slump itu. Muhammad Adib Mustofa ini sering dibercandain
menambahkan sendiri nama “Muhammad” didepan namanya. Dia adalah sainganku dalam
mendukung tim sepakbola, khususnya liga italy yang lagi happening pada
jaman kami dahulu. Kalau aku menjagokan AS Roma dengan Francesco Totti-nya itu,
Adib mengidolakan Alesandro Del Piero yang bermain di club Juventus. Saat tim lawan
kalah, kami saling ejek. Haha, aku ingat sekali saat-saat itu. Setelah
menyelesaikan pendidikannya di salah satu sekolah di Nganjuk, Adib mendapat
beasiswa untuk melanjutkan study di Institut Pertanian Bogor, Fakultas
Kedokteran Hewan. Tak heran, karena orangtuanya memiliki sapi dirumah. Lalu apa
yang berbeda dengan anak ini? Dia adalah yang terkecil dari kami semua dalam
segi usia. Sebagai satu-satunya yang kelahiran tahun 1992, (maaf) dia dahulu
sempat menangis dan merengek-rengek meminta ke orangtuanya untuk naik SD
padahal usianya belum cukup karena teman-temannya semua sudah naik ke jenjang
sekolah dasar. Haha, maaf bro. Kubuka aibmu.
Terakhir,
sebenarnya kami mengenal seorang nama yang bernama JUJUK. Seorang
yang periang, suka memberi jajan dan suka membantu temannya. Namun naas, dia
meninggal akibat tertabrak truk didesaku sendiri. Nyawanya tidak tertolong
sehingga harus menghembuskan nafas terakhir diusia bocahnya. Betapa terpukulnya
aku kala itu karena kehilangan sahabat karib bahkan air mata ini tak kuasa
untuk dibendung selama seharian. Selamat jalan jujuk, selamat jalan sahabatku.
Semoga engkau kini tenang dialammu.
Masa
kecil kami selalu kami isi bersama. Ketika masuk ke TK, kami saling menghampiri
saat berangkat dan ketika pulang terkadang kami naik becak milik Pak Roju,
Bapak dari Jujuk atau terkadang pula kami harus berjalan bersama-sama dengan
teman-teman lain sembari membawa tas dipunggung maupun botol air minum yang
melingkar ditubuh. Sambil bernyanyi dipinggir jalan serasa kami adalah penguasa
jalanan kala itu. Sepertinya jarang saat itu yang diantar orangtuanya, kami
semua berani walau masih kecil-kecil menuju ke sekolah yang berdekatan dengan
balai desa itu.
SDN
Mojosari 2 dan 3 merupakan tempat kami menggali ilmu. Kedua SD yang berada
disatu lokasi ini hingga detik ini tidak dimerger meski memiliki murid
yang sedikit. Aku tidak tahu apa alasannya, mungkin karena alasan historis atau
jumlah gurunya aku juga tidak tahu. Ketika beberapa hari yang lalu aku meninjau
lokasi tempatku mencari ilmu selama enam tahun itu, tidak banyak yang berubah.
Semua masih sama seperti aku dan ketiga temanku masuki dahulu sekitar dua belas
tahun yang lalu. Yang berbeda mungkin hanya penambahan perpustakaan disamping
kelas 6 SDN Mojosari 2.
Permainan
seperti gedrik, entik, boy, kasti, horog-horog asem, kelereng, patil lele,
petak umpet, dampar, sompil, dan permainan anak desa lain sering kami
mainkan. Pernah suatu ketika saat kami bermain petak umpet, Adib sedang jaga.
Kami memutuskan untuk pulang kerumah sedangkan Adib masih mencari kami. Haha.
Ketika bermain kasti, Pak Ufi yang bertubuh gempal selalu menjadi target
bidikan bola kasti karena dia susah untuk berlari, namun kalau soal ini, dek
Syamsu paling kesit untuk menghindari bola. Tapi yang paling menyakitkan
adalah ketika aku bermain entik. Kepalaku pernah benjol karena terkena
potongan batang kayu. Ah, itu resiko yang harus diterima untuk sebuah kesenangan
menjadi anak kecil dalam bermain.
Terlepas
dari permainan-permainan itu, keempat sahabat tersebut memiliki hobi yang sama
yakni bermain sepakbola. Sepulang sekolah, kami biasa bermain sepakbola
ditempat yang tak lazim. Hal ini karena desaku tidak memiliki lapangan
sepakbola khusus sehingga tempat seperti lapangan sekolah, jalan menuju makam,
bekas kebun tetangga bahkan dibelakang rumah dek syamsu yang dekat kandang sapi,
kami gunakan untuk stadion. Namun bagi kami, pengalaman yang sangat luar biasa
bisa bermain bola bersama meski beberapa anak mengalami cedera karena menendang
akar yang muncul keatas tanah. Bahkan, kakiku juga pernah menginjak paku. Haha,
namanya juga anak-anak, tidak ada kata kapok untuk anak-anak itu.
Selepas
lelah bermain sepakbola, kami biasa mandi atau hanya mencuci kaki di sungai
dekat makam. Kali Sundan nama sungai itu. Nama yang muncul karena sering
digunakan untuk mandi para santri Pondok Pesantren samping rumahku yang berasal
dari Jawa Barat yang berbahasa Sunda. Dengan hanya mengenakan celana, kami
biasa meloncat ke sungai yang tidak terlalu dalam itu. Sebuah kebahagiaan
tersendiri manakala bisa ciblon, balapan perahu dari gedebong pisang
atau naik ban menyusuri sungai. Apalagi saat bulan puasa, berendam di sungai
saat udara panas menjadi pilihan kami.
Ketika
Ramadhan, kami biasanya tidur dipondok samping rumahku bersama santri-santri
lainnya. Saat malam tiba, kami segera tidur. Karena sekitar pukul 02.00 WIB
kami harus bertugas. Yaaa... Tidak lain dan tidak bukan untuk melaksanakan
ronda. Berbagai alat sederhana digunakan seperti bambu yang dipukul yang
membentuk irama merdu atau menggunakan galon. Berputar-putar mengitari kampung
adalah hal yang menyenangkan berburu pahala serta berburu buah mangga yang
matang.
Namanya
juga anak-anak, saat sholat tarawih capek yaa istirahat atau sholat sambil
duduk. Setelah sholat tarawih selesai, pasti pada berebut untuk memukul bedug
mengiringi bapak-bapak yang membaca syair. Sebelum dan sesudah tarawih biasanya
juga diisi dengan bermain mercon dipinggir jalan. Dengan senjata berupa mercon
yang terbuat dari busi, tali rafia, dan pentol korek kami biasa lemparkan ke
atas kemudian berbunyi ketika menyentuh aspal. Terkadang kami juga melempar
petasan ke jalan ketika ada orang yang lewat. Haha, kadang lucu sekali
mengingat masa-masa itu.
Setelah
sholat tarawih biasanya di Masjid juga diisi dengan mengaji kitab kuning yang
pesertanya adalah santri pondok dan masyarakat desa. Yang seru adalah mengaji Al
Qur’an setelah sholat shubuh bersama Mbak Yusuf. Agar bisa mendapat giliran
mengaji dahulu, kami rela mengantrikan Al Qur’an waktu malam hari di meja yang
terbuat dari potongan pohon jati besar yang ada di Masjid yang digunakan untuk
mengaji. Kadang aku titip kepada teman untuk diantrikan kalau tidak bisa bangun
malam.
Saat
hari raya tiba, aku, pak Ufi, dek Syamsu dan Adib biasanya berkunjung kerumah
guru-guru SD kami yang rumahnya tidak jauh. Ketika Sang Tuan Rumah berada
diruang tamu, kami malu-malu meong untuk mengambil jajan, saat beliau
masuk untuk mengambil air minum, segera kami santap jajan yang ada disitu.
Terkadang kami juga harus kecewa ketika membuka kaleng biskuit Khong Guan
yang isinya ternyata cuman harapan palsu. Saat dibuka, ternyata isinya rengginang
atau kerupuk bukannya biskuit yang diharapkan. Biasanya kami membagi giliran
untuk pamitan meninggalkan rumah guru tapi pada akhirnya Pak Ufi lah yang
paling sering mendapat tugas untuk pamitan karena terlihat wibawanya sebagai
bapak-bapak.
Yang
paling menyenangkan adalah ketika mendapat salam tempel dari beberapa guru.
Terakhir, kami biasanya saling menanyakan berapa jumlah salam tempel
masing-masing yang diperoleh. Yang paling aku ingat, hasil salam tempel kami
dibelikan peralatan sekolah dan beberapa mainan. Kala itu yang paling ngetrend
adalah permainan tamiya dan beyblade.
Hai
sahabat-sahabatku... Dimanakah kalian kini? Tidak kah kalian ingat kenangan
masa kecil kita? Tidak kah kalian ingin mengulang masa lalu kita? Kapan kita
berkumpul lagi? Kapan kita bernostalgia? Sudah membeli baju lebaran apa belum?
#mkn
16
Ramadhan 2015
0 komentar:
Posting Komentar