Blue Fire Pointer
Jumat, 03 Juli 2015

K. U. S. A.

K. U. S. A.
Oleh : Mohammad Khadziqun Nuha




Sebelum novel dan film laskar pelangi menjadi buah bibir di penjuru negeri, jauh di sebuah desa yang bernama desa Mojosari Kecamatan Kauman Kabupaten Tulungagung Jawa Timur hiduplah empat anak manusia yang ketika masih bocah memiliki cerita yang sangat membekas dihati para pelakunya. Mereka adalah K.U.S.A. yang merupakan singkatan dari nama panggilan mereka yakni Kadiq, Ufi, Syamsu dan Adib. Baik, disini akan aku jabarkan keempat karakter tersebut.

Pertama, Kadiq. Ya! Benar. Itu adalah aku sendiri dengan nama lengkap Mohammad Khadziqun Nuha. Karena background keluargaku, teman-temanku yang lain memanggilku dengan imbuhan kata mas didepan nama panggilanku. Seorang bocah yang ketika mendengar suara adzan, akan berlari pulang gedebuk-gedebuk bersama adik perempuannya yang hanya berjarak satu tahun. Haha, itu sudah menjadi rahasia publik bagi tetangga disekitar rumahku. Hingga detik ini, mahasiswa IAIN Tulungagung ini tetap setia tinggal di desa yang penuh kenangan itu. Apa yang berbeda? Aku adalah satu-satunya anak yang bersekolah di SD yang berbeda dibanding teman-temanku yang lain meski sekolah kami satu lokasi. Ya! Ketiga temanku itu bersekolah di SDN Mojosari 3, sedangkan aku di SDN Mojosari 2 sendiri.

Kedua, Ufi yang memiliki nama lengkap Ufi Bahrul Hikam. Dia biasa dipanggil Pak Ufi atau Pak Upil. Ntah dari mana sebutan “bapak” itu muncul meski usianya masih dibawahku, bisa jadi karena perawakannya yang sedikit gempal dan kebapakan. Pak Ufi merupakan kompetitorku dalam pelajaran agama, yaa paling tidak berdasarkan penuturan guru agama kami, Bapak Asmu’an. Alumni SMAN 1 Kedungwaru ini, kini menempuh pendidikan di UIN Sunan Ampel Surabaya, paling tidak seperti itu berdasarkan informasi terakhir yang kuperoleh. Kalau dia, apa yang berbeda? Dia adalah yang paling jago dalam seni tilawah Al Qur’an. Tak heran beberapa perlombaan tingkat kecamatan atau kabupaten berhasil dia taklukkan.

Ketiga, Syamsu. Dalam segi usia, meski hanya berbeda beberapa hari denganku, dia adalah yang paling tua diantara kami. Anak yang dianugerahi nama Muhammad Syamsu Duri oleh orangtuanya ini memiliki perawakan yang tinggi dengan kulit yang putih dengan sedikit simpul senyum yang biasa terkembang. Ntah dimulai sejak kapan, aku terbiasa memanggilnya dek syamsu. Yang berbeda darinya adalah dia satu-satunya dari kami yang melanjutkan pendidikan di Pondok. Pilihannya adalah di Pondok Pesantren Wonokromo Gondang Tulungagung. Tempat dimana aku dan Pak Ufi juga pernah menimba ilmu agama dahulu.

Keempat, Adib. Dia biasa disebut “Senbei” karena dirasa mirip berdasarkan ciri fisik dengan karakter Dr. Senbei Norimaki yang memiliki robot arale dalam serial Dr. Slump itu. Muhammad Adib Mustofa ini sering dibercandain menambahkan sendiri nama “Muhammad” didepan namanya. Dia adalah sainganku dalam mendukung tim sepakbola, khususnya liga italy yang lagi happening pada jaman kami dahulu. Kalau aku menjagokan AS Roma dengan Francesco Totti-nya itu, Adib mengidolakan Alesandro Del Piero yang bermain di club Juventus. Saat tim lawan kalah, kami saling ejek. Haha, aku ingat sekali saat-saat itu. Setelah menyelesaikan pendidikannya di salah satu sekolah di Nganjuk, Adib mendapat beasiswa untuk melanjutkan study di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan. Tak heran, karena orangtuanya memiliki sapi dirumah. Lalu apa yang berbeda dengan anak ini? Dia adalah yang terkecil dari kami semua dalam segi usia. Sebagai satu-satunya yang kelahiran tahun 1992, (maaf) dia dahulu sempat menangis dan merengek-rengek meminta ke orangtuanya untuk naik SD padahal usianya belum cukup karena teman-temannya semua sudah naik ke jenjang sekolah dasar. Haha, maaf bro. Kubuka aibmu.

Terakhir, sebenarnya kami mengenal seorang nama yang bernama JUJUK. Seorang yang periang, suka memberi jajan dan suka membantu temannya. Namun naas, dia meninggal akibat tertabrak truk didesaku sendiri. Nyawanya tidak tertolong sehingga harus menghembuskan nafas terakhir diusia bocahnya. Betapa terpukulnya aku kala itu karena kehilangan sahabat karib bahkan air mata ini tak kuasa untuk dibendung selama seharian. Selamat jalan jujuk, selamat jalan sahabatku. Semoga engkau kini tenang dialammu.

Masa kecil kami selalu kami isi bersama. Ketika masuk ke TK, kami saling menghampiri saat berangkat dan ketika pulang terkadang kami naik becak milik Pak Roju, Bapak dari Jujuk atau terkadang pula kami harus berjalan bersama-sama dengan teman-teman lain sembari membawa tas dipunggung maupun botol air minum yang melingkar ditubuh. Sambil bernyanyi dipinggir jalan serasa kami adalah penguasa jalanan kala itu. Sepertinya jarang saat itu yang diantar orangtuanya, kami semua berani walau masih kecil-kecil menuju ke sekolah yang berdekatan dengan balai desa itu.

SDN Mojosari 2 dan 3 merupakan tempat kami menggali ilmu. Kedua SD yang berada disatu lokasi ini hingga detik ini tidak dimerger meski memiliki murid yang sedikit. Aku tidak tahu apa alasannya, mungkin karena alasan historis atau jumlah gurunya aku juga tidak tahu. Ketika beberapa hari yang lalu aku meninjau lokasi tempatku mencari ilmu selama enam tahun itu, tidak banyak yang berubah. Semua masih sama seperti aku dan ketiga temanku masuki dahulu sekitar dua belas tahun yang lalu. Yang berbeda mungkin hanya penambahan perpustakaan disamping kelas 6 SDN Mojosari 2.

Permainan seperti gedrik, entik, boy, kasti, horog-horog asem, kelereng, patil lele, petak umpet, dampar, sompil, dan permainan anak desa lain sering kami mainkan. Pernah suatu ketika saat kami bermain petak umpet, Adib sedang jaga. Kami memutuskan untuk pulang kerumah sedangkan Adib masih mencari kami. Haha. Ketika bermain kasti, Pak Ufi yang bertubuh gempal selalu menjadi target bidikan bola kasti karena dia susah untuk berlari, namun kalau soal ini, dek Syamsu paling kesit untuk menghindari bola. Tapi yang paling menyakitkan adalah ketika aku bermain entik. Kepalaku pernah benjol karena terkena potongan batang kayu. Ah, itu resiko yang harus diterima untuk sebuah kesenangan menjadi anak kecil dalam bermain.

Terlepas dari permainan-permainan itu, keempat sahabat tersebut memiliki hobi yang sama yakni bermain sepakbola. Sepulang sekolah, kami biasa bermain sepakbola ditempat yang tak lazim. Hal ini karena desaku tidak memiliki lapangan sepakbola khusus sehingga tempat seperti lapangan sekolah, jalan menuju makam, bekas kebun tetangga bahkan dibelakang rumah dek syamsu yang dekat kandang sapi, kami gunakan untuk stadion. Namun bagi kami, pengalaman yang sangat luar biasa bisa bermain bola bersama meski beberapa anak mengalami cedera karena menendang akar yang muncul keatas tanah. Bahkan, kakiku juga pernah menginjak paku. Haha, namanya juga anak-anak, tidak ada kata kapok untuk anak-anak itu.

Selepas lelah bermain sepakbola, kami biasa mandi atau hanya mencuci kaki di sungai dekat makam. Kali Sundan nama sungai itu. Nama yang muncul karena sering digunakan untuk mandi para santri Pondok Pesantren samping rumahku yang berasal dari Jawa Barat yang berbahasa Sunda. Dengan hanya mengenakan celana, kami biasa meloncat ke sungai yang tidak terlalu dalam itu. Sebuah kebahagiaan tersendiri manakala bisa ciblon, balapan perahu dari gedebong pisang atau naik ban menyusuri sungai. Apalagi saat bulan puasa, berendam di sungai saat udara panas menjadi pilihan kami.

Ketika Ramadhan, kami biasanya tidur dipondok samping rumahku bersama santri-santri lainnya. Saat malam tiba, kami segera tidur. Karena sekitar pukul 02.00 WIB kami harus bertugas. Yaaa... Tidak lain dan tidak bukan untuk melaksanakan ronda. Berbagai alat sederhana digunakan seperti bambu yang dipukul yang membentuk irama merdu atau menggunakan galon. Berputar-putar mengitari kampung adalah hal yang menyenangkan berburu pahala serta berburu buah mangga yang matang.

Namanya juga anak-anak, saat sholat tarawih capek yaa istirahat atau sholat sambil duduk. Setelah sholat tarawih selesai, pasti pada berebut untuk memukul bedug mengiringi bapak-bapak yang membaca syair. Sebelum dan sesudah tarawih biasanya juga diisi dengan bermain mercon dipinggir jalan. Dengan senjata berupa mercon yang terbuat dari busi, tali rafia, dan pentol korek kami biasa lemparkan ke atas kemudian berbunyi ketika menyentuh aspal. Terkadang kami juga melempar petasan ke jalan ketika ada orang yang lewat. Haha, kadang lucu sekali mengingat masa-masa itu.

Setelah sholat tarawih biasanya di Masjid juga diisi dengan mengaji kitab kuning yang pesertanya adalah santri pondok dan masyarakat desa. Yang seru adalah mengaji Al Qur’an setelah sholat shubuh bersama Mbak Yusuf. Agar bisa mendapat giliran mengaji dahulu, kami rela mengantrikan Al Qur’an waktu malam hari di meja yang terbuat dari potongan pohon jati besar yang ada di Masjid yang digunakan untuk mengaji. Kadang aku titip kepada teman untuk diantrikan kalau tidak bisa bangun malam.

Saat hari raya tiba, aku, pak Ufi, dek Syamsu dan Adib biasanya berkunjung kerumah guru-guru SD kami yang rumahnya tidak jauh. Ketika Sang Tuan Rumah berada diruang tamu, kami malu-malu meong untuk mengambil jajan, saat beliau masuk untuk mengambil air minum, segera kami santap jajan yang ada disitu. Terkadang kami juga harus kecewa ketika membuka kaleng biskuit Khong Guan yang isinya ternyata cuman harapan palsu. Saat dibuka, ternyata isinya rengginang atau kerupuk bukannya biskuit yang diharapkan. Biasanya kami membagi giliran untuk pamitan meninggalkan rumah guru tapi pada akhirnya Pak Ufi lah yang paling sering mendapat tugas untuk pamitan karena terlihat wibawanya sebagai bapak-bapak.

Yang paling menyenangkan adalah ketika mendapat salam tempel dari beberapa guru. Terakhir, kami biasanya saling menanyakan berapa jumlah salam tempel masing-masing yang diperoleh. Yang paling aku ingat, hasil salam tempel kami dibelikan peralatan sekolah dan beberapa mainan. Kala itu yang paling ngetrend adalah permainan tamiya dan beyblade.

Hai sahabat-sahabatku... Dimanakah kalian kini? Tidak kah kalian ingat kenangan masa kecil kita? Tidak kah kalian ingin mengulang masa lalu kita? Kapan kita berkumpul lagi? Kapan kita bernostalgia? Sudah membeli baju lebaran apa belum?

#mkn

16 Ramadhan 2015

0 komentar:

 
;