Blue Fire Pointer
Kamis, 20 November 2014

Dear diary, 20 November 2014.

Dear diary, 20 November 2014.

Tiba-tiba aku terperanjat dari tidurku pagi ini. Dan betapa tersentaknya aku ketika mendapati jam dinding yang merupakan doorprize acara kampus dirumahku telah menunjukkan pukul 03.28 WIB. Ini berarti, aku hanya memiliki waktu lebih kurang enam puluh menit untuk mempersiapkan keberangkatanku ke Kota Pahlawan pagi ini. Yah,aku tahu. Ini pasti karena kemarin aku terlalu capek dengan rutinitas di sekolah dan kampus. Terlebih, sebelum mataku semalam dapat terpejam, dengan penuh kebulatan tekad kuucek pakaian-pakaian itu yang sudah laksana gunung yang akan meletus.
Capek, fisik, capek hati, dan capek pikiran menghiasi tidurku malam kemarin yang kurang nyenyak. Dan iya saja, ketika membuka mata, sudah laksana kakek-kakek kebakaran jenggot. Baju belum kering, baju belum disetrika, belum packing, belum nulis tugas untuk siswa disekolah, beluuum... Ah sudahlah persiapan pagi itu sungguh dadakan.

“Kuhantarkan bak di pelataran, hati yang temaram, matamu juga mata mataku, ada hasrat yang mungkin terlarang. Satu kata yang sulit terucap, hingga batinku tersiksa, Tuhan tolong aku jelaskanlah, perasaanku berubah jadi cinta”...
Sebuah ringtone lagunya Zigas tiba-tiba berbunyi. Ini pertanda handphone-ku baru saja mendapat pesan baru. Kudapati nomor ibuku mengirim pesan yang tak lama kemudian beliau yang tengah ziaroh walisongo itu menelpon untuk menanyakan keberangkatanku ke Ibukota Provinsi itu. Yah wajar, karena beberapa saat yang lalu dihubungi tidak aktif karena sedang ku-charge.

“Diq, jarene Bulik Mala, sampeyan arepe ning Suroboyo. Sido?”
“Inggih buk. Niki taksih siap-siap” jawabku sambil mencari celanaku yang ntah dimana.
“Yowes, ndang siap-siap. Sing ati-ati yo le”
“Inggih”. Tut... tut... tut... Dan telpon-nya pun terputus. Sontak aku langsung menaruh handphone dan bergegas packing dengan terburu-buru.

Krekkk... Suara pintu yang ternyata tidak kukunci semalam karena saking capeknya itu terbuka. Dia adalah bulikku yang bertanya,
“Diq, ibumu maeng telpon ra mbog angkat. Jarene arepe ning Suroboyo. Enek sing ngeterne pora? Pak Wid iso pomo renek”
“Yowes iyo”. Aku menjawab sekenanya saja karena masih ribet mencari benda-benda yang harus kubawa untuk kumasukkan ke tas merk “Tracker” yang sudah penuh dengan isi seperti almari jinjing itu.

“Budal jam piro?”
“Anu, jam papat.”
“Heh, iki lho uis jam papat.”, pungkasnya.
“Yowes bar shubuh”, Jawabku singkat.
“Yo”
Dan cling... setelah mengucapkan itu beliau menghilang bak Malaikat Jibril yang baru saja menyampaikan wahyu lalu kembali ke tempatnya. Suara kumandang azdan Shubuh untuk wilayah Mojosari dan sekitarnya membahana memecah kesunyian pagi itu dan aku semakin panik karena merasa masih ada yang belum kumasukkan. Betapa tidak? Kala itu jam handphone-ku telah menunjukkan pukul 03.58 Waktu Indonesia Bagian Mojosari, sedangkan perjanjian penjemputan dari travel adalah pukul 04.30. Ah sudahlah, sholat shubuh dulu.

Disini, tak usahlah aku ceritakan bagaimana aku sholat shubuh. Sholatku biasa saja kok seperti manusia bumi lainnya. Beneran, ngga ada yang “wah”. Hanya saja, saat itu kurang begitu khusyuk karena dikejar deadline (padahal juga ngga pernah khusyuk). Masjid disamping rumah menjadi tempat pelarianku dalam menjalankan kewajibanku kepada Sang Pemberi Kehidupan ini.

“mat pagi dari buana tevel mhon sudah siap sebentar lgi d jemput terimakasih”, kurang lebih seperti itulah bunyi sms yang kubuka pertama kali pada saat setelah mengerjakan sholat. Walhasil, ini membuatku semakin panik. Selang beberapa menit kemudian, pamanku datang. Setelah sedikit berbasa-basi, dengan tampang tidak bersalah, aku memohon izin untuk mandi.
“Tiiiiitttt...” Adegan mandinya kusensor. Nanti aku terkena banned ama KPI kalau kuceritakan semua secara vulgar. Singkat cerita, kami pun berangkat menyusuri jalanan ke terminal, tempat yang sudah ditentukan oleh pihak travel. Pada perjalanan itu pun tidak ada hal yang special. Beneran, hanya perjalanan seorang ponakan yang diantar pamannya. Tidak ada tuh siluman yang menyerang kayak difilmnya Kera Sakti saat mengambil kitab suci bersama Biksu Tong.

Sesampainya di Terminal yang terkenal dengan nama Gayatri itu, beliau langsung meninggalkanku. Sempat beberapa awak bus menanyakan destinasi-ku selanjutnya. Tapi langsung saja kujawab dengan nada yang halus, “maaf, sampun pesen travel”.

Selang beberapa menit kemudian, mini bus travel itu datang bersama Winda, salah satu partnerku yang akan ke Surabaya beserta dua penumpang lain yang ntah siapa namanya kau belum sempat berkenalan. Setelah sedikit berbasa basi dengan Winda, kuputuskan untuk duduk menepi dipojok.
Oh iya, aku baru ingat bahwa siswa di sekolah belum kuberikan tugas. Segera kubuka “almari jinjing”-ku yang penuh itu dan kuambil beberapa buku. Setelah selesai mengetik sms, kukirimkan sms itu ke beberapa guru. Beberapa mendapat balasan, beberapa mendapat PHP.

Dalam perjalanan itu tak ada yang hebat pula. Kecuali, perutku yang tiba-tiba seperti  ada yang bermain drum didalamnya. Lhoh, aku kan belum sarapan. Segera deh, kuambil wafer yang kubawa merk “tiiiitttt” sebagai pengganjal perut. Syukurlah, daripada harus mabuk darat.

Setelah menjemput beberapa orang, tiba-tiba saja sang sopir bertanya kepada kami.
“Mas mbak yang ada dibelakang, sampeyan kenal dengan bu Ratna tujuannya dihotel yang sama dengan sampeyan? Tolong dihubungi, kita sudah terlewat. Beritahu bahwa ditunggu dihalte Ngantru. Winda pun berinisiatif untuk menghubungi Ratna, calon teman kami yang lain yang merupakan guru disalah satu sekolah Kristen di Kota Marmer. Dan benar saja, ketika sampai dihalte Ngantru, si Ratna telah merasa sedikit kesal kepada sang sopir yang menyambutnya karena tadi terlewat.

Perjalanan berlanjut. Pada perbatasan Kediri Tulungagung, Elizabeth telah menunggu dengan tas besarnya. Guru salah satu sekolah Kristen lain di Tulungagung itu telah siap mengarungi jalanan menuju Kota yang terkenal dengan ikon Ikan Suro dan Buaya itu. Beberapa penumpang berguguran pertanda mereka telah mencapai tempat yang dituju. Sedang kami, pada saat menjelang TKP, setelah putar balik karena kebablasan, tiba-tiba “jendul”. Sebuah polisi tidur terlewati dengan sedikit kencang. Sontak kami yang berada didalam terpental keatas.



Pukul 10.00 WIB kami masuk keruang loby hotel yang terkesan asri itu. Disana sudah terdapat beberapa orang yang telah datang sedari tadi. Rona capek terpancar dari wajah mereka setelah melaksanakan perjalanan jauh. Setelah mengisi biodata pribadi, kami mendapatkan sebuah tas dimana didalamnya terdapat buku panduan, block note, CDR, bolpoint, kupon snack serta ID card. Segera kami menuju kamar hotel masing-masing.

Dikamar mungil yang disulap memiliki tiga tempat tidur itu akan kudiami selama tiga hari. Kumasukan card key yang bentuknya seperti kartu perdana handphone untuk membuka kunci pintu kamar. Pertama yang kulakukan adalah menjelajahi ruangan itu. Terdapat LCD TV, AC, shower, wastafel, dua buah almari dan beberapa fasilitas lain dimana peralatan itu semua dalam kondisi off. Kucari-cari cara untuk menyalakannya. Ternyata kita harus memasukkan card key tadi untuk menghidupkan semua fasilitas ditempat itu.

“Tok tok tok”
Suara orang tengah mengetuk pintu. Segera kubuka pintu kamar dan kudapati seorang mengenakan kacamata dan baju lengan pendek.
“Selamat siang, nama saya Richard. Saya dari Kota Madiun dan saya adalah seorang Katholik”
Itulah perkataan yang kuingat saat dia memperkenalkan diri untuk pertama kalinya. Ternyata Bapak Richard adalah guru di salah satu sekolah Katholik di Kota Madiun. Pria yang sopan dengan aksen jawa yang kental ini sangat akrab dengan siapapun yang baru saja dia kenal. Lebih dari itu, kami saling bertukar pengalaman pribadi diruangan yang mulai terasa dingin oleh AC itu.

“Tok tok tok”
Kukira ada tukang bakso yang naik ke atas lantai empat hotel tersebut. Ternyata itu adalah suara salah satu calon teman sekamar kami yang lain sedang mengetuk pintu. Namanya bapak Tamamun. Pria yang berdomisili di Kabupaten Malang ini terlihat capek setelah mengendarai motor seorang diri. Keakraban kian terasa kental pada tiga pasang teman sekamar baru saja jadian ini dengan penuh rasa toleransi. Selebihnya, kami gunakan untuk istirahat untuk menunggu upacara pembukaan.



Dalam draft jadwal acara yang kami terima, upacara pembukaan akan dimulai pada pukul 15.15 WIB. Namun setelah sekitar satu jam berselang atau sekitar 16.28 Waktu Indonesia Bagian Handphoneku, acara tersebut akhirnya dimulai. National Anthem of Indonesia, Indonesia Raya yang dinyanyikan oleh seluruh hadirin membuka acara tersebut. Setelah ketua panitia menyampaikan bahwa acara tersebut dihadiri oleh 152 orang dari 38 Kabupaten Kota se-Jawa Timur, perwakilan Kepala Bidang Pendidikan Jawa Timur memberikan sambutan pada acara tersebut. Beliau terlihat ramah dengan semua hadirin dengan sesekali memberikan joke lucu mengenai kondisi sosial budaya dan politik di Indonesia. Beliau menyampaikan mindset pendidikan yang seharusnya tercipta suasana belajar yang menyenangkan, mengasyikkan, menantang sera mencerdaskan anak bangsa. Posisi kepala sekolah itu selain school leader, juga sebagai school master serta planner. Selain itu, menurut beliau, K-13 tidak akan dihapus namun akan disempurnakan dalam segi konten yang secara tematik integratif dan administrasi sesuai ungkapan Menteri Pendidikan Dasar & Menengah dan Kebudayaan yang baru, Bapak Anies Baswedan. Permohonan maaf juga beliau sampaikan karena Bapak Kepala Bidang Pendidikan Jawa Timur tidak dapat hadir karena terjebak macet akibat terdapat demo kenaikan harga BBM sehingga kendaraan beliau tidak bisa melintas.

Selepas acara tersebut, kami bertiga makan bersama pada tempat yang telah disediakan. Bapak Richard ternyata adalah pemeluk Katholik yang taat. Sebelum makan, beliau tak lupa berdoa kepada Yang Maha Esa. Merasa telah kenyang, kamipun kembali ke kamar. Aku dan Bapak Tamamun menunaikan Sholat Maghrib berjamaah dengan aku bertindak sebagai imam sedangkan Bapak Richard dengan penuh rasa toleransi duduk ditempat tidurnya dengan tenang. Suasana kamar yang heterogen itu kian menimbulkan chemistry antar sesama penghuni kamar.



Sholat Maghrib telah selesai, untuk menunggu acara selanjutnya kami memutuskan berbincang ringan. Bapak Tamamun menceritakan bahwa dia dahulunya aktivis sebuah partai islam terkemuka di Kabupaten Malang. Namun pada pemilu kemarin beliau berpindah haluan menjadi panitia pemilu. Segala intrik dunia politik bangsa ini beliau ceritakan dengan segala problematikanya. Kepada Bapak Richard, aku tertarik untuk menanyakan konsep trinitas, keuskupan gereja, paus di Vatikan, perbedaan Kristen Katholik, Orthodox dan Protestan, perjanjian lama dan perjanjian baru serta masih banyak lagi. Sedangkan aku, hanya menjadi pendengar setia dari dua Bapak yang sudah senior ini dan telah makan banyak asam garam kehidupan.

Pukul 19.24 WIB, setelah aku dan Bapak Tamamun menjalankan ibadah sholat isya, kami turun ke lantai dua untuk mengikuti Konsep Dasar dan Problematika Pengajaran bahasa Indonesia. Pemateri menyampaikan tentang peranan pengembangan pendidikan, bulan bahasa Indonesia, pembuatan porto folio, kesalahan yang kaprah dalam penggunaan bahasa Indonesia, tataran bahasa, Ejaan Yang Disempurnakan serta beberapa cara penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tak lupa beliau menghadiahi kami seabreg tugas yang harus kami kerjakan malam itu. Dan benar saja, sesampainya dikamar kami langsung mengerjakan tugas hingga larut malam. Kedua teman baruku itu akhirnya mengangkat tangan tidak dapat menahan kantuk. Sedangkan aku, yang barusan mendapatkan password WIFI hotel asyik berselancar didunia maya untuk sekedar update status, membalas komentar, berbagi jempol kepada fakir like serta membuka fanpage-ku serta tentunya dilanjutkan dengan mengetik diary ini.

Pukul 02.00 WIB aku merasa sudah tidak tahan lagi menahan mata yang kian lengket ini, dan kuputuskan untuk mematikan laptop dan mencoba untuk merebahkan tubuh karena besok banyak yang harus kuikuti. Selamat tidur, semoga besok mendapatkan pengalaman yang lebih menyenangkan dan bermanfaat. Amin


0 komentar:

 
;