Blue Fire Pointer
Rabu, 06 Maret 2013

KANDANG KAMBING PART 6

KANDANG KAMBING PART 6
Oleh : Azzam Arifin



“Kebanggan kita yang terbesar bukan karena tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali setiap kita jatuh!” (Confusius)

Sore merambat petang. Langit Tamban dipenuhi awan hitam tebal yang merata sejauh mata melihat. Sore ini agak gelap. Sangat berbeda dengan kemarin. Dari arah barat, angin berhembus kencang, menghantam pohon-pohon yang dilewatinya. Pohon-pohon di samping posko ini juga tampak goyah. Daun-daunnya banyak berjatuhan. Dari pintu depan, saya pandangi pohon jati tua di belakang mushola. Pohon itu ikut goyah, tak mampu menahan kerasnya angin. Melihatnya, hati saya berdesir. Perasaan cemas muncul. Melihat pohon besar yang bergerak sedikit saja karena sapuan angin pasti lebih membuat ketar-ketir, ketimbang hanya melihat pohon kecil yang sampai tumbang sekalipun. Hampir pasti, hujan akan segera turun.

Tiba-tiba ingatan saya melayang pada kejadian yang menimpa tetangga di rumah, sekitar sebulan lalu. Seisi rumahnya morat-marit gara-gara angin yang menerobos masuk ke dalam. Gentengnya melayang kemana-mana. Perabot rumah hancur. Kejadian memilukan itu menjadi pertanda adanya sinyal bahaya seandainya ada pusaran angin masuk ke dalam posko. Saya tak ingin musibah itu terjadi di sini. Cepat-cepat saya tutup pintu. Hawa dingin terasa agak berkurang. Meski dari jendela tetap terlihat pohon yang doyong karena tiupan angin. Kilatan cahaya muncul, diikuti suara petir yang sangat keras (yang ini petir beneran, bukan kentutnya teman-teman!).

Dari jendela juga, mulai terlihat rintik-rintik air berjatuhan. Yah, ini akan mengawali pemandangan baru di depan mata penghuni posko. Ladies and gentleman, Tamban’s sky presents ….. the first rain in your eyes! Selama sepuluh hari disini, baru kali ini kami melihat air hujan. Angin mendadak berhenti, diikuti bertambahnya intensitas air. Semakin lama, intensitas air semakin meningkat.
Hujan turun begitu deras.

Di tengah suasana dingin kayak gini, berkumpul di ruang tamu adalah pilihan terbaik. Bukan pilihan sebenarnya, tapi ya cuma ini yang bisa dilakukan. Apalagi coba yang bisa kita lakukan selain hal ini? Ngerjakan tugas? Alah, masih beberapa jam lalu bu DPL pulang dari sini! Siswa serajin apapun dak akan belajar setelah selesai Ujian Nasional! Atau mau nonton tv? Nonton infotainment yang suka nyebarin aib orang itu? Ya ndak apa-apa, asalkan kalian siap menonton semut-semut berkeliaran sebagai artis utama infotainment itu. Untung seribu untung, tv-nya rusak, jadi kita dak bisa nonton acara yang suka merusak hubungan orang lain itu. Kalau kehabisan berita sensasional, ya bikin sensasi. Sebenarnya gak, diberitakan iya.

Akhirnya menjadi iya beneran. Tapi rugi seribu rugi, karena tv-nya rusak, saya ndak bisa nonton bola. (Subjektif sekali ya saya menilai dampak kerusakan tv ini?).
Dari ruang tengah, Mbak Laili berjalan mendekat,
“Jangan lupa yang cowok-cowok, nanti waktunya jam’iyah tahlil!” ucapnya menatap para perjaka kelompok ini, satu persatu.

Tak ada respon. Saya tahu, semua pasti merasakan hal yang sama seperti saya : malas keluar! Apalagi untuk tahlilan! Bukannya apa-apa, hujan di luar itu lo masih lebat. Masak suasana kayak gini harus tahlilan segala. Suasana kayak gini pasnya ya mandi yang bersih, lalu pakai baju terbaik, lalu berhias diri sebaik mungkin, lalu pakai jaket yang tebal, setelah itu gelar tikar, dan terakhir : males-malesan berteman secangkir kopi!
“Tahlilan libur!” Si Alam nyerocos begitu saja,
“Kok bisa?” Mbak Laili menanggapi serius,
“Ya…mungkin aja genteng dapur Pak Jadi bocor, trus kuah sotonya kejatuhan air hujan!”

Saya hanya terbengong mendengar pernyataan aneh bin ajaib ini. Memang kalau dengar anak ini bicara, lalu omongannya itu ditanggapi serius, bisa pusing sendiri kepala ini. Prediksi si Alam ini kurang saya setujui. Saya percaya kalau Pak Jadi tetap bersikukuh menggelar acara ini, sederas apapun hujan yang turun. Beliau pasti sadar betul arti nama yang disandangnya, dimana setiap acara itu ndak boleh batal, harus selalu JADI!

Mendengar serentetan omongan tak masuk akal itu, bukannya luluh, Mbak Laili semakin mengeluarkan suara lebih keras,
“Ayoooo, alasan semua! Ini agenda kelompok, pokoknya harus ada yang berangkat! Harus!”

Saya sebenarnya sadar, bolos tahlilan adalah kesalahan besar. Apa alasannya? Tadi siang, Pak Jadi rela mampir ke posko untuk berbagi rezeki : membagi 3 rantang soto ayam! Sewaktu menerima kehadiran Pak Jadi tadi, saya sempat dibuat heran sama ulah teman-teman. Di depan beliau, mereka tampak malu dan sungkan, dan terkesan ogah-ogahan.  Tercatat, ada beberapa kalimat yang mereka sampaikan, “Gak usah repot-repot segala lo, Pak?, ada lagi : “Loh, ada hajatan apa lo, Pak?” (Padahal semua tahu kalau di rumah Pak Jadi mau ada tahlilan).

Belum sampai 15 menit setelahnya, ketika saya coba ngecek apa isinya, ternyata rantang itu sudah kinclong. Isinya lenyap tanpa bekas! Awalnya saya berpikir positif, sotonya pasti dipindah tempat. Ternyata benar dugaan saya, sotonya itu telah berpindah …. ke perutnya teman-teman. Saking bersihnya, rantang itu bisa saya pakai untuk bercermin! Kalau perlu gak usah dicuci kalau pingin digunakan lagi. Kok tega bener temen-temen ini!! Tapi saya tetap maklum, setelah sekian hari menjadi vegetarian, kehadiran makanan jenis ini pasti cepat laku. (Saya mengelus dada sambil mengucap istighfar beberapa kali).
“Aku saja nanti yang berangkat!” Mas Takim angkat bicara. Ia coba meredakan suasana.

Betul. Perwakilan! Itulah opsi paling bisa diterima untuk kelangsungan agenda dengan kondisi cuaca seperti ini. Tapi, siapa yang harus dikorbankan? Sudah ada satu : Takim. Tinggal mencari siapa yang mau menemani.

Di tengah perdebatan siapa yang berangkat tahlilan, gema shalawat berkumandang dari arah mushola. Memanggil seisi posko dan tetangga sekitar untuk mau menerjang hujan demi memperjuangkan pahala berlipat ganda. Entah malaikat apa yang berbisik di telinga saya, tiba-tiba kaki ini tergerak untuk menerjang hujan, ikut jamaah. Saya hanya berpikir pas kondisi kayak gini, pasti jamaah maghrib mengalami kemajuan. Maksudnya bukan semakin banyak jamaahnya, tapi shaf-nya itu yang semakin maju. Jadi biar gak tambah sepi, saya harus memaksakan diri melewati derasnya air hujan.

Sampai saya hendak takbirotul ihrom, masih belum keliatan batang hidung teman-teman. Yang ada hanya Takim. Ia berada di shaf paling depan.

Sampai selesai jamaahpun, ternyata tidak ada pertambahan jumlah penghuni posko yang ikut jamaah. Saya mulai mencium tanda bahaya, karena jika saya terpantau Pak Marjani, pasti saya yang diajak tahlilan, bersama Takim tentunya. Untuk itu, saya harus cepat kembali ke posko.

Di luar, hujan masih turun begitu deras. Tampak jalan makadam yang dulunya adalah sungai itu tergenang air. Airnya mengalir ke arah timur dengan cepat. Saya pandangi posko tercinta. Saya raba jarak mushola ini dengan bangunan bersih itu. Berapa ya kira-kira kecepatan yang pas, biar gak terlalu basah, sekaligus gak terpeleset memalukan di jalan yang licin itu. Segera saya pakai mantel hujan, dan berjalan agak cepat meninggalkan mushola. Setiba di posko nanti, saya berencana mengajak teman-teman untuk hom pim paa dalam rangka menentukan siapa yang dikorbankan untuk ikut jamaah tahlil.
Belum jauh saya berjalan, terdengar suara Pak Marjani,
“Apa gak langsung berangkat aja, Mas?”
Saya diam agak lama.
“Saya mandi dulu, Pak. Sebentar.”
“Halaah gak usah mandi. Ini juga ada air hujan. Nanti juga basah-basah sendiri!”

Sial! Karena yang terpantau oleh Pak Marjani ini hanya saya dan Takim, akhirnya ya kami berdua yang berangkat. Lebih tepatnya, kami berdualah yang jadi korban. Enak bener temen-temen di posko. Mereka terbebas dari pantauan Pak Marjani ini, dan bisa leyeh-leyeh minum kopi menikmati dinginnya malam. Kalau sudah pulang, akan saya pamerkan bau harum mulut saya sehabis makan nasi rawon hasil jerih payah saya membaca tahlil, pasti kalian iri karena persediaan makanan di posko malam ini tinggal beras dan bayam mentah.
“Iya pak, langsung berangkat saja!”

Untuk sampai ke rumah Pak Jadi, kami bertiga tidak mungkin lewat jalan makadam depan itu. Arus airnya sangat deras. Maklum, jalanan itu dulunya adalah sungai. Masih sekitar 4 bulan lalu, tanah didatangkan untuk menimbun sungai itu. Alhasil ia berubah jadi jalanan umum. Hanya sayang, warga desa lupa memberi info kepada malaikat penyiram hujan kalau sungainya sudah disulap jadi jalan. Jadi pas turun hujan, airnya tetep ngeyel lewat situ. (alasan paling ilmiah bagi mahasiswa yang tidak memfokuskan diri pada bidang pertanahan dan perhujanan).
“Lewat situ saja, Mas. Belakang rumah.” Pak Marjani menunjuk sebuah jalan setapak.

Pak Marjani berjalan paling depan, karena beliau yang hafal sama rute menyeramkan ini. Saya masih sekali lewat sini, sore lusa. Saya tidak menyangka kalau pas malam, jalanan ini sangat gelap. Benar-benar gelap. Dan di saat suasana mengharuskan saya untuk konsen pada jalan di depan, saya masih harus repot sama sandal saya yang berkali-kali tersangkut lumpur. Halah! Kok begitu tepatnya saya pilih sandal yang ini. Tadi waktu di depan posko, saya comot begitu saja sandal yang menurut saya terbaik. Ndak tahu ini punya siapa. Ternyata pinjam gak bilang-bilang itu berakibat buruk. Sandal merk mahal itu tidak akrab dengan lumpur!
“Hoe Kim, pelan-pelan Kim!” tiba-tiba saya agak gugup.
“O iya, tak tunggu, agak cepat!”
Saya heran sama anak ini. Ngomongnya iya, tapi kakinya kok gak di rem sedikitpun!
Semakin lama, jarak saya dengan Takim dan Pak Marjani semakin jauh.

Puncaknya, sesaat setelah mereka melewati belokan, saya seperti berjuang sendirian melewati jalan ini. Sandal sesekali masih sering tersangkut, menghambat langkah kaki saya. Shit! Dalam kondisi gelap setengah seram kayak gini, satu-satunya benda yang bisa saya andalkan sekarang hanyalah mantel yang mengerubuti badan saya. Tahu kan alasannya? Bukan karena menghindarkan saya dari basah akibat hujan ini, tapi mantel ini bisa menipu hantu yang mungkin bersliweran di dekat saya. (Bisa saja kan mereka menganggap makhluk berkerubut mantel ini sebangsa dengan mereka, jadi mereka membatalkan niat untuk menakut-nakuti saya!)

Melalui perjuangan berat dan melelahkan selama perjalanan, sampai juga kami di depan rumah Pak Jadi. Rumahnya tidak terlalu besar, tapi bagus dalam penataan halamannya. Kursi ruang tamu ditata rapi di emperan, memberi tanda kalau rumah ini sedang ada hajatan. Tampak juga tikar yang digelar cukup rapi di ruang tamu, lebih dari cukup untuk menampung 80-an anggota jamaah tahlil.

Saya lantas membuntuti Pak Marjani, bersalaman dengan Pak Jadi yang sudah menunggui di beranda. Begitu saya masuk, masih ada tujuh orang yang sudah datang mendahului kami. Saya ambil tempat di pojokan. (Tempat yang saya perkirakan menjadi yang paling awal saat menerima jatah makanan, nanti)

Menanti acara dimulai, saya lebih banyak diam mendengar obrolan dari mereka yang sudah datang. Sesekali saya ikut ngobrol, secukupnya. Saya malah lebih banyak bertanya, dan tidak berani bicara terlalu banyak, karena obyek pembahasannya menyangkut persoalan kehidupan yang konkret. Jika berani angkat bicara, maka syarat wajibnya adalah punya pengalaman hidup yang matang, seperti bapak-bapak itu. Sementara saya, anak ingusan kemarin sore yang tak tahu menahu kalau diajak bicara soal ini.

Kawan, ini adalah untuk kesekian kali saya mengakui bahwa ada perbedaan mendasar antara bentuk perdiskusian di sini dengan di kampus. Kalau di kampus, saya suka tersenyum geli melihat ada teman yang suka pakai kata-kata super ilmiah saat ngobrol santai. Kata demi kata dibuat seilmiah mungkin, meski kadang-kadang agak dipaksa. Biar kelihatan mahasiswa gitu, katanya. Tapi saya sendiri ragu apakah dia mengerti betul arti dari istilah yang ia pakai itu. Jadi ya karena yang ngomong cuma asal comot istilah, sementara pendengar juga kurang tahu apa maksudnya, seolah tidak ada yang salah dalam forum itu.
Tiba-tiba saya teringat pada sepotong puisi, karya Gus Mus. Kalau gak salah, puisi ini dibuat untuk mengenang masa-masa nyantrinya di Pondok Lirboyo.
………
Lirboyo…
Masihkah perdebatan pendalaman dalam halqoh-halqoh musyawarah menghidupkan malam-malammu penuh semangat dan gairah,
Ataukah seperti dimana-mana, diskusi-diskusi sarat istilah tanpa kelanjutan, dinilai lebih bergengsi dan bergaya,
………
Kawan, sepatutnya kita malu karena mungkin terlalu sering beradu argumen yang tidak ada ujungnya, pakai istilah-istilah keren, sampai pikiran terbang melayang namun berhenti lagi di dunia idea. Perbincangan kita itu ternyata banyak yang hampa, bullshitt, dan tidak ada kelanjutan. Atau jangan-jangan, kita tidak perlu merasa malu ya, kawan! Soalnya memang masa-masa mahasiswa itu ya seperti itu, terus mencari dan mencari apa yang paling hakiki di dunia ini? Apapun itu, PKM ini sedikit menjadi rambu-rambu untuk segera mengakhiri saat-saat romantis ketika jadi mahasiswa, dengan gelimpangan buku-buku sebagai simbol keangkuhan dan kekuasaan pengetahuan. Agenda PKM mungkin juga menjadi gerbang untuk siap-siap beralih kepada kehidupan yang nyata, yang kata orang dipenuhi dengan ketidakpastian itu. Dalam kalimat lebih sederhana, PKM ini mungkin mencolek kita, terutama saya, untuk segera bersiap-siap berpindah haluan dari yang sebelumnya jadi pemegang buku, menjadi pemegang pacul!

Sudah setengah jam kami menunggu. Yang hadir jumlahnya masih sama, sepuluh. Tidak ada yang menyusul setelah kedatangan saya, Takim, dan Pak Marjani tadi. Pak Jadi, yang sedari tadi duduk di luar, mulai beranjak. Ia masuk ke dalam. Terlihat gurat wajah lesu dan langkah yang gontai. Tentu beliau berharap bisa menyalami paling tidak 70-an orang lagi. Tapi hujan deras mengubur harapannya itu. Beliau duduk, menundukkan wajah.

Sesaat kemudian, Pak Marjani membuka acara. Sekaligus beliau juga menyampaikan tausyiah kepada para jamaah. Saya bangga kepada bos saya yang satu ini. Meski jamaah hanya sedikit, tak menurunkan semangatnya untuk berderma ilmu. Sungguh ini sebuah pemandangan hebat. Pak Marjani yang ceramah, jamaahnya khusyuk mendengarkan. Ungkapan rasa khusyuk itu ditunjukkan beberapa jamaah dengan cara memejamkan mata. (Eits, tunggu dulu… saya agak sulit membedakan antara khusyux atau ngantux. Yang jelas, selain mata terpejam, maaf, mulut bapak-bapak itu juga terbuka! hehe)

Saya membayangkan, berapa banyak pahala untuk orang yang mau menggelar acara kayak gini. Pasti banyak. Ada pahala bershadaqah, ada pahala menyediakan tempat silaturrahim, ada pahala kirim doa untuk arwah leluhur.

Trus, yang sering buat saya bingung, kenapa ya masih banyak saudara-saudara kita di luar sana yang memperdebatkan boleh tidaknya tradisi ini. Apa kurang kerjaan ya orang-orang itu? Kalau gak pingin ngeluarin uang buat shadaqah, ya udah, diam saja! Kalau gak pingin kirim pahala buat keluargamu yang sudah meninggal, ya udah, la wong keluarga-keluargamu dewe! Ndak usah nyalah-nyalahin tradisi ini! Selamatan dikata bid’ah, manaqib dikata bid’ah, mauludan dikata bid’ah. La trus yang boleh itu yang gimana? Apa wajahmu itu ndak bid’ah, kan wajahmu ndak ada di jaman Nabi? Trus kalau pesawat terbang itu juga bid’ah dan ndak boleh, apa kamu bersedia pergi haji naik onta, persis dengan apa yang dilakukan Nabi?

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika harus kita jadikan pegangan ketika menyikapi perbedaan. Karena semakin kita menghargai perbedaan, akan semakin kita temukan letak persamaannya. Carut marut bangsa ini sudah saatnya disikapi dengan saling menghargai antara satu dengan lain. Konflik antar suku, ras, agama, hanya akan menghambat kemajuan bangsa. Para pemuda sudah saatnya berdiri paling depan untuk mengawal arah pergerakan bangsa. Demi Indonesia yang jaya. Merdekaaaa!!!! (kehabisan ide coy… dadine nglantur ko ngendi-ngendi).

Bacaan demi bacaan sudah terbaca. Doa demi doa selesai dipanjatkan. Sampai juga pada sesi yang paling saya tunggu tiap kali ikut tahlilan : skors! Atau dalam istilah kerennya : remeh-temeh! Atau dalam bahasa gaulnya : mbadhog! Hampir 90% dapat dipastikan kalau jatah makan akan bertambah, soalnya kan yang 70 orang gak hadir?

Didukung hawa dingin setelah turunnya hujan, seharusnya saya hanya berpikir untuk menikmati makanan lezat yang sekarang tersaji di depan saya. Tapi entah kenapa, ingatan saya melayang menuju saudara-saudara yang ada di posko.
Sudah makan apa belum orang-orang hebat itu?


(Cerita di atas hanyalah fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama, tempat, atau kejadian, itu semua adalah suatu kesengajaan. Sekali lagi itu saya sengaja. Karena cerita akan mudah muncul jika terinspirasi dari kejadian-kejadian yang pernah kita lihat dan alami. Dan dengan menimbang banyak hal dan masukan-masukan, saya tegaskan bahwa tidak ada motivasi lain dalam cerita itu selain mek pingin ngejak guyon).

0 komentar:

 
;