Blue Fire Pointer
Senin, 04 Maret 2013

KANDANG KAMBING PART 4

KANDANG KAMBING PART 4
Oleh : Azzam Arifin

Aja seneng gawe ala ing liyan, Apa alane gawe seneng ing liyan (falsafah jawa)

Malam ini, hawa dingin tak begitu terasa. Awan hanya berpencar tipis, tak mampu menghalangi cahaya bintang nan gemerlapan. Hanya sayang, bintang-bintang itu berserakan. Coba seandainya mereka mau membentuk sesuatu, entah orion, scorpion, atau apalah, pasti lebih enak dilihat. Karena jika hanya mengandalkan sinar, jutaan bintang itu hanya akan diberi senyuman sinis oleh satu benda langit yang lebih dekat dengan mata, berbentuk bulat itu. Entah ini tanggal berapa, tapi benda itu sedang indah, berbentuk purnama. Meski hanya satu, ia tampak berkuasa, karena cahaya yang ia pantulkan dari matahari lebih mampu menerangi bumi ini. Jangankan berharap hawa dingin, justru yang hampir terasa tiap malamnya adalah hawa panas dan gerah. Saya tidak tahu kenapa hujan belum mau turun. Hujan terakhir kali turun adalah pas pertama kali datang, 10 malam yang lalu. Padahal sebelumnya, hujan terus mengguyur. Cuaca seperti mendadak berubah saat kami berada di sini. Beberapa penghuni posko sering mengeluhkan suasana ini. Diantaranya adalah Kang Huda. Kalau nggak percaya, cobalah sekali-kali kalian mengintip Kang Huda pas lagi tidur di kamar pribadinya. (Gak perlu ngintip sebenarnya, soalnya kamar tidurnya itu di ruang tamu, tepatnya di sofa sebelah barat. Jadi, kalau pingin keluar rumah lewat pintu depan, pasti bisa langsung lihat. Hanya perlu dicatat, istilahnya harus tetap ngintip!). Kalau kita lihat, piyama yang ia gunakan di setiap malam jelas mengisyaratkan bahwa ia merasa gerah pada hawa malam hari. Hanya berbalut sarung cap Gajah Duduk itu, sulit diterima akal seandainya tidak benar-benar merasa gerah. Sampai-sampai, pada momen tertentu (kalau kalian lagi beruntung) akan terpampang pemandangan dimana beliau telah melupakan fashal auratnya laki-laki pada kitab Fathul Qarib-nya Imam Ahmad bin Husain. Gak apa-apa, insya Allah di ma‟fu..kan lagi tidur, jadi ndak sadar.. Suasana malam di Tamban, saya duga, akan sulit terlupakan kalau saya sudah pulang nanti. Penyebabnya yaa anak-anak kecil itu. Tiap habis maghrib, ramai sekali oleh adik-adik yang menginginkan siraman rohani dari kakak-kakaknya. Tanpa perlu mengungkap, raut wajah mereka sudah cukup menunjukkan adanya rasa senang karena kedatangan kami. Agak miris memang, anak-anak itu lebih pilih diajar oleh kami ketimbang ibu atau bapaknya. Padahal setahu saya, pelayanan yang kami berikan itu ala kadarnya, cuma gitu-gitu saja, dan terkadang asal-asalan.



Jika ingin mencari siapa orang yang ngajarnya paling asal-asalan, mungkin tersangkanya adalah saya. Pernah satu malam saya kebagian ngajar anak TK yang belum bisa baca, sulitnya bukan main. Saking jengkelnya, saya sampai menerapkan strategi mengajar alternatif yang tidak pernah diajarkan di kampus manapun, “Ayo dik, ditirukan ya cara bacanya . . . s – a? SA… t - u? TU … dibaca …. SETUNGGAL…. ”. Saya memang agak jengkel melihat anak itu yang sulit sekali bacanya, sekalipun saya sadari mungkin juga saya yang kurang trampil ngajarnya. (Setelah ngajar anak ini, saya terheran kenapa gaji guru TK lebih rendah daripada dosen?). Sekarang, anak-anak itu masih ramai di depan mushola, habis jama’ah Isya’. Mereka masih polos, tak akan kemana-mana, pasti setelah ini mereka pulang. “Sido evaluasi po ra to iki?” suara cewek, mungkin Lala, terdengar dari ruang tengah. “Jadi, besok bu Nur rawuh.” Pak Khadiq menanggapi. Oh iya, saya ingat tadi sore si Awang bilang kalau bu Nur besok jadi datang. Ia dapat sms langsung dari beliau. Tak heran, sebab dialah pemangku amanat untuk menjemput beliau dari kampus. Ahh, jasa si Awang memang besar. Ia selalu siap meluangkan waktu untuk menjemput bu DPL itu. Jasa si Awang telah menenggelamkan saya yang sebenarnya juga berjasa karena ikhlas meminjamkan motor dalam setiap penjemputan (jangan salah menilai, bukan maksud saya nitip nama biar dapat nilai A di KHS nanti). Saya masih bersyukur karena saat si Awang pulang nanti, bensin pasti dalam keadaan full. Inilah yang membuat saya selalu mengajukan diri untuk meminjamkan motor saat penjemputan bu DPL. Meskipun, kalau ngomong kebutuhan mendesak, sebenarnya yang paling mendesak untuk motor matic itu bukanlah bensin. Tapi ganti oli sekalian service, dan kalau perlu cuci salju. Sayang sekali, rintihan Vario Merah kesayangan saya itu tidak terdengar juga oleh Bu Nur Fadhilah. (guyoooonn…) Rapat malam ini adalah untuk memastikan kesiapan teman-teman dalam menyambut kerawuhan bu Nur besok siang, terutama tugas individu. Sama seperti seminggu kemarin, hari Rabu malam Kamis merupakan saat dimana vonis dijatuhkan kepada anggota posko yang belum kelar tugas individunya. Kalau ditanya siapa orangnya, sekali lagi tersangkanya adalah saya. Saya memang belum mengerjakan apa-apa, baik laporan harian maupun field note. Untuk urusan field note, keluhan saya lebih kronis lagi, yakni bukannya tidak ingin mengerjakan, tapi tidak tahu apa yang harus saya kerjakan.

 “Karena besok Bu Nur mau dateng, diharapkan dari temen-temen bisa menyelesaikan tugas-tugas yang ada.” Pak Ketua memberi instruksi terakhir untuk malam ini. Di saat berlangsungnya diskusi yang digelar hampir tiap malam, saya menyimpan rasa kagum pada teman-teman. Mereka selalu aktif, dan antusias. Meskipun, aktif dan antusiasnya itu bermacam-macam. Ada yang antusias tidur, ada yang antusias sms-an, ada yang nyethe, ada yang teruus roko’an kayak knalpot, ada yang kipas-kipas pakai kopyah (itu saya). Kawan, ngomongin soal kopyah, kalian jangan salah. Mungkin yang kalian tahu kopyah saya ini letaknya sering asal-asalan. Karena saya naruhnya memang sembarangan (sampai pernah diinjak teman gara-gara saya taruh di bawah meja, pernah juga saya bingung mencari kemana-mana, bertanya ke sana-sini, padahal kopyah itu berada di kepala saya). Setahu kalian mungkin demikian. Tapi kopyah ini punya sejarah tersendiri bagi saya. Ia sudah akrab dengan kepala ini sejak saya hidup di Melathen dulu, sekitar 6 tahun yang lalu. Ya, Melathen adalah suatu tempat dimana saya pernah numpang tidur di sana selama 3,5 tahun, waktu SMP dulu. Walau hanya numpang tidur, saya sangat mencintai tempat ini. Saya sering merindukannya, karena begitu ikhlas menerima orang berotak bebal seperti saya yang tidak hafal-hafal nadham Imrithi, Maqshud, dan Alfiyah. Dan ihklas juga menampung orang berperilaku ngawur seperti saya, yang dalam berperilaku tidak pernah mendasarkan pada tuntunan fiqh-nya Fathul Qarib, Mu’in, dan Wahhab. Sejuta maaf saya sampaikan, kebaikan Melathen malah saya jawab dengan seringnya tidur, ngopi, PS-an, melompat pagar demi nonton bola, dan bolos ngaji. (Salam ta‟dhim saya pada pembimbing sejati yang tidak pernah mengenal saya: KH. Hadi Muhammad Mahfudz). “Coy, Bu Nur sesuk jam piro rawuhe?” Takim bertanya, menghadap ke arah si Awang. Ia agak mencemaskan tugasnya yang belum rampung. “Pokok sesuk aku jam 10 teko kampus. Palingo jam 11-an..” Mendengar percakapan barusan, saya berniat nunda mengerjakan laporan harian. Kan, esok pagi masih ada waktu. Kalau saya nongkrong di rumahnya Bos Tamri, tanya-tanya soal apalah, entah hasil panen tahun ini, kuburan yang dikeramatkan, atau tentang kelompok taninya, pasti akan tersaji secangkir kopi di depan saya. Daripada berspekulasi ngecamm kopi di dapur yang belum pasti di acc, ide ini bisa dibilang cemerlang. Namun saat kaki ini hendak melangkah, Mas Alam keburu menatap saya, “Opo mapping e ae coy sing didisekne. Mumpung gaene sik tas, ngko selak lali”

Ahh, ajakan Anda benar-benar tepat waktu, sobat! Rencana saya untuk minum kopi jadi berantakan. “Iyo, mapping e ae ndang digarap.. Kelompok liyo saloke wis dadi.” Suara cewek, lagi-lagi saya kurang tahu, mungkin Kak Lutfi. “Kertas manila?” Saya balik tanya. “Wis..enek!” “Yo wis lekno, digarap saiki e..” Tapi sebentar, cobalah lihat siapa yang tiba-tiba muncul dari ruang tengah. Menyibak tirai dengan langkah tegap, meski agak cepat. Ya, itu si Awang. Dan lihatlah pula apa yang ada di tangan kanannya. Satu buah cangkir yang saya yakini berisi kopi ijo siap minum. “Oke braaaaaayyy…” Tokichi tampak kegirangan. Respon Tokichi ini berbarengan dengan suara omelan dari beberapa teman cewek. Sekali lagi, mas Awang unjuk kebolehan soal teknik-teknik konsolidasi yang baik dan benar. Tentang bagaimana mengolah kata, menjaga performa, mencari momen yang tepat, hingga bisa melunakkan hati penjaga dapur agar berkenan menuangkan dua sendok gula dan sesendok kopi ke dalam gelas. Dia memang jago untuk urusan ini. Kalau saya yang minta, ceritanya akan lain, “Opo zam? Kopi? Balenono neh, Kopi?” Kopa kopi kopa kopi!” Tapi biasanya, saya tetap dibuatkan, meski harus diawali dengan mendengar kata-kata pedas kayak gitu.. Mapping kali ini dapat dikatakan mudah-mudah sulit. Mudah, karena saya tinggal memperbesar peta awal yang sudah lebih dulu dibikin malam minggu yang lalu. Sulit, karena pembuatan map ini tidak pakai skala. Jadi ya cuma mengarah-ngarah saja. (tolong di-sms-kan semisal ketemu bahasa Indonesia dari kata “mengarah-ngarah”). Setiap kali membuat peta, bawaannya selalu ingat pada guru geografi waktu SMA dulu. Namanya kalau gak salah Pak Mukosim (jujur saya agak lupa namanya, tapi ingat betul wajah beliau). Ingatan saya pada guru ini bukan hanya karena sering menugaskan untuk membuat peta, tapi juga sering munculnya kejadian-kejadian lucu yang berhubungan dengan beliau. Salah satunya saya bagikan kepada kalian, Ceritane ngene cahh… (semakin lama saya merasa semakin fasih dengan gaya khas si Alam).

Waktu itu, hari Sabtu, kami sekelas sedang diajar mata pelajaran BK. Gurunya perempuan, saya lupa namanya. Materinya adalah bahaya narkotika dan zat aditif lain, termasuk rokok, candu, dan sebagainya. Saya ingat waktu itu ada teman yang dulunya pernah kedapatan ngrokok, disuruh maju, dan di depan kelas dicuci habis oleh beliau, serta dijadikan percontohan siswa yang tidak layak diteladani. Kasihan sekali dia. Meski perempuan, guru saya ini ekspresinya melebihi pria waktu menjelaskan atau memarahi siswa-siswinya. Ia selalu menggebu-gebu setiap bicara. Di saat asyik menyampaikan materi, Pak Mukosim muncul di depan pintu. Beliau bermaksud menyampaikan sesuatu, “Maaf bu…mengganggu sebentar.” “Oh iya pak… silahkan.” Guru BK saya ini ternyata bisa lembut juga, padahal kedatangan Pak Mukosim ini telah memotong penyampaian beliau tentang bahaya merokok yang sedang memuncak. Ternyata Pak Mukosim menyampaikan perihal pengisian mading bulan depan yang jatahnya adalah kelas XII IPA 3, kelas saya. Informasi ini sudah saya ketahui beberapa hari yang lalu. Kawan, mungkin ceritanya akan selesai seandainya Pak Mukosim langsung meninggalkan kelas setelah menyampaikan pengumuman tadi. Tapi tidak. Beliau masih melihat-lihat keadaan kelas. Dan secara perlahan, kami melihat munculnya sebuah benda aneh berada di tangannya. Awalnya kami tidak menyadari adanya benda itu. Yaa, sebuah cerutu terapit manis di jari tangan beliau, mengundang gelak tawa dari seisi kelas. Cerutu itu menjadi wadah praktis untuk rokok mahal Dji Sam Soe-nya. Merasa tidak ada yang salah, beliau dekatkan cerutu itu ke mulut, dihisap dalam-dalam, daaan…. buuuuuullllllll. Kepulan asap rokok Pak Mukosim memenuhi sebagian ruang kelas. Kejadian itu tepat berada di depan kami, dan tentu saja di depan guru BK yang barusan menjelaskan tentang . . . . .(kalian pasti tahu). Akhirnya, cerita demi cerita membuat Pak Mukosim menjadi sosok yang berjasa pada kami, bahkan setelah kami lulus, karena selalu dapat kami jadikan bahan untuk mengenang masa-masa SMA dulu.

(Sampai disini sebenarnya saya malu kepada kalian yang mungkin paham dengan sastra, atau setidaknya yang pernah baca buku linguistik, karena alur dalam cerita ini ndak jelas. Disebut alur maju nggak, alur mundur nggak, maju-mundur juga nggak. Ini memang nulisnya seingat saya. Jadi kalau mau melanjutkan baca, silahkan ... kalau gak, ya ndak usah dipaksa. Atau mungkin kalian ingin menyebut alur cerita ini dengan sebutan alur sungai atau alur listrik, silahkan).

***
Semua masih sibuk dengan tugasnya. Ada yang menarikan jari di laptop, yang lain memindah tinta pulpen ke atas kertas folio. Sesekali tangan tak bergerak, masih memperkosa saraf otak untuk terus menampilkan memori kegiatan-kegiatan hari kemarin. Celoteh sesekali muncul, menghapus keheningan yang hanya sebentar. Dari dekat colokan, bunyi getar hape, yang dengan cepat disambut oleh si empunya. Suara tokek terdengar dari atas, memberi petunjuk kalau dia ada, walau entah dimana ia bersembunyi. Bila sedang tidak malu, tokek ini akan turun sampai bawah mencari makan. Dalam keadaan yang sama, saya terus memandangi tampilan microsoft word, bertuliskan nama-nama kepala keluarga RW 5. Saya ingin cek, biar lengkap. Saya baca satu persatu. Sebagian kecil diantaranya sudah saya kenal, meskipun hanya bertegur sapa. Kalau ada satu nama yang membuat saya berhenti sejenak saat membaca, itu adalah nama Nur. Saya hanya sedikit heran, untuk satu RW saja orang yang punya nama ini jumlahnya 8. Yang bapak ada 6, termasuk Pak Nur Kholis Kamituwo itu, sedangkan yang ibu ada 2. Saya pikir, hanya satu alasan yang membuat orang tua ramai-ramai memilih nama ini, yakni karena maknanya yang begitu dalam (cahaya). Dan jumlah yang 8 ini tentu menjadi bertambah, berkat kedatangan salah satu anggota kelompok yang kini tepat di samping saya. Noor Alam Syah. Dan semakin bertambah juga berkat kedatangan teman yang sekarang lagi ngerjakan tugas di ruang tengah, Nurmalasari. Belum habis. nama Nur akan semakin bertambah seandainya saya mau membuka sebuah file berjudul Sitti Nurbaya : Kasih Tak Sampai, novel fenomenal karya Marah Rusli itu. Disana ada nama Nur yang menjadi tokoh utama. (Tolong jangan paksa saya untuk menyebut nama ini pasaran. Kalau kalian ingin bilang demikian, bilang sendiri saja. Saya tidak ikut-ikut. Tapi kalian harus ingat, besok siang kita kedatangan tamu besar yang namanya juga …...). Biar selesainya ndak terlalu larut, saya harus mulai menggambar. Dan akhirnya, disaksikan sebatang rokok yang setia menemani saya, map dusun Tamban terselesaikan. Ndak terasa, hampir dua jam saya mengerjakan map ini.

Segera saya pungut selembar kertas. Sekali lagi ini harus cepat, biar cepat tidur. Soalnya dini hari nanti, ada Milan lawan Barcelona sudah menunggu. Di kertas itu sudah ada tabel kosong yang menunggui untuk diisi kegiatan apa saja yang saya lakukan 10 hari ini. Kawan, mungkin kalian belum tahu, pas malam minggu kemarin, sebenarnya saya melakukan satu aktifitas besar yang bisa dibilang murni demi kepentingan kelompok. (saya tahu kalian pasti ingin memuji saya sebagai orang yang selalu mementingkan kelompok daripada kepentingan pribadi. Iya kan? Ndak usah begitu, itu biasa bagi saya, saya orangnya memang begitu, santai saja..hahaha). Ini saya lakukan sekitar jam 9, sepulang dari keliling dusun untuk mapping. Saya melakukannya bersama Awang. Tapi entah kenapa, saya ragu menulisnya di laporan harian. Pertanyaan besar bagi saya, boleh apa tidak kegiatan semacam ini ditulis di laporan harian? Jadi, biar jelas, saya sharingkan dulu sama Awang. “Piye Wang, ditulis po ra?” “Ojo! Ra pantes dilaporrne!” dia jawab mantap. “Loh, awake dewe kan study banding?” saya membela. “Study banding gundulmu kui… Marakne rame engko.” “Tulis ae lho!” “Heh, sesuk ki aku sing nyusul beliaune. Lek eruh kegiatanku ngono, ndak lucu clok!” Saya heran, kok kegiatan yang punya manfaat buat kelompok kayak gini ndak boleh dilaporkan? Padahal, setelah melakukan aktifitas ini, saya jadi mengerti respon masyarakat Kediri Raya terhadap hiburan yang diselenggarakan secara live. Bukankah ini sebuah data penting? Respon mereka positif, antusiasme-nya juga besar. Selain itu, saya juga jadi tahu bahwa kecintaan masyarakat Kediri terhadap Monumen Simpang Lima Gumul begitu besar. Terbukti, pas ada hajatan disana, mereka berkumpul penuh sesak. (Kawan, silahkan percaya atau tidak, tapi inilah motif utama saya. Kalaupun ada Noah Band yang memang mampir di Simpang Lima Gumul, anggaplah itu kebetulan saja. Saya ndak berniat menontonnya, saya cuma ingin menggali data disana, hehehe…..) Keputusan akhirnya bulat. Aktifitas itu tidak saya tulis.

Malam semakin larut. Di hape butut kesayangan saya tertulis 23:13. Berarti hari memang sudah malam. Teman-teman sebagian sudah ada yang tidur. Yang bertahan tinggal beberapa. Masing-masing tentu punya alasan sendiri atas pilihannya. Seperti Takim, kayaknya dia memilih tidur sejak tadi biar esok pagi bisa fresh waktu jamaah Subuh. Demikian juga Kang Huda. Sementara Alam, pasti dia akan terus menjaga matanya terbuka sampai nanti pertandingan Liga Champions. Sehari-hari, anak ini memang lebih mempraktekkan jadwal tidurnya kelelawar, betah di waktu malam, tapi merem di waktu siang. Sedangkan Awang, kayaknya dia tidak bisa tidur karena kelaparan. Ini adalah penyakit alami bagi orang yang membiasakan diri tidur terlalu larut, bawaannya pasti muncul irama musik dari dalam perut. Tokichi kayaknya sama, kelaparan juga. Sebentar lagi pasti salah satu dari dua orang ini ngajak saya masak di dapur. Berharap ada belas kasihan dari teman cewek yang mau menyumbangkan satu dua bungkus mie instan. Dan akhirnya bisa menjalankan misi menjadi mafia pawon dini hari, kayak kemarin. Sedangkan Pak Khadiq, ndak jelas apa alasannya belum tidur sampai jam segini. Dia masih diam merenung. Oh ya, besok itu hari Kamis, mungkin dia lagi nunggu waktu sahur buat puasa besok. Tapi kalau pingin sahur, mau makan apa juga dia. Makanan kayaknya sudah habis. Ndak ada lagi persediaan yang bisa disantap. Saya menduga, mungkin dia tidak pernah sahur pas pingin puasa Senin Kamis. Kasihan sekali. Atau jangan-jangan (ini yang saya khawatirkan), dia sedang menunggu saya dan lainnya tidur, agar bisa leluasa melahap bayam mentah yang ada di dapur. Sekalian terong yang juga masih mentah itu dijadikan lauk. Kalau ini yang terjadi, berarti sebutan Kandang Kambing untuk tempat ini bukan lagi bermakna kias, tapi benar adanya. (santai cooy). Apapun itu, saya sangat berterima kasih kepada Pak Ketua yang sudah berpuasa demi keselamatan dan kesehatan saya (Loh, kok ngono, kleru nulis.. . sori!). Maksud saya, apapun itu, saya sangat salut kepada Pak Ketua yang sudah mampu mengaplikasikan pengetahuannya tentang puasa. Ilmu yang ia miliki tentang puasa, tidak hanya berhenti di otak, tapi juga diamalkan. Bahkan kalau dipikir-pikir, dengan sering berpuasa, maka pada saat menjalani puasa puncak di bulan Ramadhan nanti, kita akan semakin khusyuk menjalankannya.

Kalau puasa saya, jangan ditanya, yaa, cuma yang penting ndak makan dan ndak minum. Itu saja sudah bagus (mungkin ini yang disebut Imam Ghozali dalam Riyadhotul Mu’minin-nya sebagai tingkatan puasa paling rendah, yang ia sebut dengan puasa ‘aam/puasanya orang umum). Untuk sampai pada tingkatan puasa khusus, dimana seluruh anggota badan ikut berpuasa, saya rasakan masih terlampau berat. Apalagi untuk sampai pada tingakatan khususul khusus (seluruh jiwa raga hanya didekatkan kepada Tuhan), terlampau jauh untuk orang sekelas saya. Ahh, begitu dalamnya hakikat puasa, sehingga tak terjangkau pemahamannya oleh orang berotak dungu seperti saya. Saya terlambat menyadari, di buku-buku falsafah Jawa, tak pernah ada yang ketinggalan menyertakan sebuah falsafah yang cukup indah, bunyinya, “Mati raga anutupi babahan hawa sanga” (Membunuh hawa nafsu, menutup lubang sembilan). Betul. Puasa itu idealnya gak hanya lubang mulut saja yang diperhatikan, tapi juga lubang hidung, telinga, mata, dan 2 lubang lain yang saya lupa namanya. Inilah salah satu keistimewaan puasa, yang ketika diteliti secara ilmiah, ternyata menyimpan manfaat positif bagi jasad dan jiwa manusia. Laporan harian akhirnya kelar juga, meskipun hasilnya tak sepadan dengan milik teman-teman. Saya lihat, punya mereka itu minimal tiga lembar, tapi punya saya cukup satu lembar. Ah, ndak apa-apa, yang penting gugur kewajiban. Tapi kemudian, muncul bisikan, mungkin dari setan malam, “Tenang zam, pasti yang ditulis teman-temanmu itu kegiatan-kegiatan yang remeh-temeh, kayak cuci baju, pergi ke WC, atau tidur siang. Jadi kegiatannya keliatan banyak”. Bisa juga ya.. Tapi bagaimana saya mau menyetujui pendapat setan ini, lha wong kegiatan yang saya tulis saja gak kalah remeh, seperti nyapu, masak, dan ketiga kegiatan yang dituduhkan setan itu juga saya tulis. Ah, setan tolol! Tapi kenapa ya, kok hasilnya cuma satu lembar?

Deru mesin motor bersahutan, mengarahkan roda-roda menuju garasi yang dipaksakan. Sudah saatnya motor-motor itu masuk ke kandangnya. Kami berlima, mengalahkan rasa kantuk demi satu hal : menghapus kemungkinan terburuk yang menghampiri motor-motor ini. Kalaupun ada tetangga yang bilang kalau daerah ini aman-aman saja, bukan berarti kami harus menaruh barang mahal ini sembarangan. Sedikit kecerobohan bisa berakhir dengan penyesalan. Biarkan Vespa itu saja yang kita paksa duduk di luar, karena bodinya yang besar membuatnya tidak pernah kebagian tempat di dalam. Lampu ruang tamu padam. Semua mencoba mengakrabi keheningan. Merebahkan badan yang sudah lelah karena aktifitas hari ini. Dan menyimpan doa serta harapan, semoga saat membuka mata nanti, Tuhan masih memberi kekuatan semua penghuni posko ini untuk mengucap selamat pagi kepada dunia.


(Cerita di atas hanyalah fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama, tempat, atau kejadian, itu semua adalah suatu kesengajaan. Sekali lagi itu saya sengaja. Karena cerita akan mudah muncul jika terinspirasi dari kejadian-kejadian yang pernah kita lihat dan alami. Dan dengan menimbang banyak hal dan masukan-masukan, saya tegaskan bahwa tidak ada motivasi lain dalam cerita itu selain mek pingin ngejak guyon).

0 komentar:

 
;