KANDANG KAMBING PART 3
Oleh : Azzam Arifin
Jika
Anda membuat seseorang bahagia hari ini, Anda juga membuat dia berbahagia dua
puluh tahun lagi, saat ia mengenang peristiwa itu (Sydney Smith)
“Jadi
gini mas, saya mewakili masyarakat Tamban, khususnya yang ada di selatan,
sebenarnya tidak setuju kalau kalian itu kumpul jadi satu. Dulu saja ada dua
pasangan muda nginep jadi satu rumah, digrebek sama warga. Lha lek kelakuan
sampeyan kayak gitu, apa bedanya sama mereka?” Saya menunduk. Dalam hati, saya
tidak terima. Nanti saya sebutkan pasal-pasal yang menunjukkan bahwa omongan
ini tak masuk akal. Tapi karena saya belum tahu standar marahnya orang
pendatang itu gimana, saya pilih diam. “Memang orang-orang sekitar sampeyan
pada setuju. Tapi saya sudah pingin ngomongin ini sejak sampeyan datang.”
“Kalau anak-anak UNP dulu pripun pak?” mas Alam balik nanya, mengkonfirmasi
penginapan mahasiswa-mahasiswi UNP yang dua tahun lalu KKN di dusun ini. “Yaa
mereka terpisah,, laki-laki sendiri, perempuan sendiri”. Akhirnya dengan
menimbang banyak hal dan masukan-masukan, di samping juga melihat wajah
teman-teman yang kusut gitu, saya putuskan untuk merubah wajah saya dari yang
semula biasa-biasa saja menjadi agak mamel (macak melas). Meskipun gak usah
macak ae tampang saya sudah sangat melas, tapi kali ini harus lebih melas. Dan
alhamdulillah, jurus mamel ini sedikit meredakan suasana. Meski sebentar, tapi
cukup buat kami untuk menghela napas. Kawan, dari ketiga teman saya yang sedang
duduk di kursi panas ini, mas Awang yang kelihatannya paling tidak betah sama
suasana ini. Berkali-kali dia menyenggol kaki saya dengan jempol kakinya.
Matanya juga sering berkedip ke arah saya. Mungkin itu simbol yang ia pakai
agar saya segera berpamitan. Yaa, saya paham dengan maksud Anda mas Awang!
Sekali lagi saya paham! Tapi tolong, tolong, hentikan ini semua! Saya takut
kalo ternyata kedipan mata Anda dilihat sama Tokichi atau Alam. Lalu, keduanya
memaknai lain. “Lho, kok mas Awang lirik-lirikan sama mas Azam.
Senggol-senggolan lagi…” Wah, kalau itu yang terjadi, saya bisa menyusul
teman-teman lain yang sudah lebih dulu jadi bahan ejekan dengan tema cinlok.
Bukan cinta lokasi, tapi cinter (cinta terlarang) mungkin lebih tepat.
Hari-hari
di posko memang semakin indah berkat bersemainya cinta lokasi. Tercatat, sudah
ada beberapa yang tertangkap kamera. Dan yang lebih unik lagi, dalam konferensi
pers yang mereka lakukan, tidak ada satupun yang menolaknya. Sebut saja, Rahayu
Wulandari dan Eka Agustina, disusul oleh Fitri Laila dan Iva Datun Nikmah,
kemudian Lutfi Laila dan Rif’atul Aini, setelah itu Diah Nurmalasari dan Diki
Wulansari, dilanjutkan Laili Sakdiyah dan Agung Puspita Dewi, dan akhir-akhir
ini Kunii Fitriya dan Afid Laila. Di sela-sela menjalankan aktifitas, juga
nampak kemesraan dari Muhammad Arifuddin dan Alam Syah, kemudian Khusbanul Huda
dan Wang Hadi “Awang” Safrana Ghozali, dan terakhir Pak Khadiqun Nuha dan
Mustakim. Wah, kalau gitu namanya bukan beberapa, tapi semua terlibat cinta
lokasi. Dan karena jumlahnya ada 19, maka kalian pasti bisa menebak siapa
satu-satunya orang yang tidak terlibat cinta terlarang kayak gitu, hehehe ….(Ini
saya ndak serius, ndak bermaksud ngejek, cuma ingin mengenalkan nama-nama
kalian di cerita ini. Masak cerita udah mau habis, nama-nama penghuni posko
belum tersebut).
*
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 11 lewat 15. Di dalam suasana yang masih
cukup tegang, pandangan mata saya tertuju pada satu bungkus rokok di atas meja.
Bungkus warna merah dan berlogo rel kereta api ini jelas bukan jenis rokok murahan.
Mas Tokichi yang tadi bela-belain beli. Dalam hal ini, saya sering mendengar
hipotesanya, “Kalo jagongan itu disuguhi rokok yang enak, maka informasi yang
kita dapat akan semakin lengkap.” Saya sedikit setuju dengannya, meski kayaknya
perlu diuji lagi dengan suatu jenis penelitian tertentu (entah apa nama
penelitiannya, yang pasti bukan penelitian tindakan kelas). Saya jadi
membayangkan, kalau bungkus rokok ini bisa bicara, pasti dia akan membela kami,
dan bicara seperti ini, “Pak Imam, saya ini kan miliknya Mas Tokichi, tapi tadi
Anda berani mengambil dan menikmati satu batang dari saya. Sebenarnya Mas
Tokichi ini ikhlas. Tapi kenapa sekarang Anda memarahi dia dan
teman-temannya?”. (waduh, ini yang lagi bingung yang nulis apa yang baca yaa.
Mungkin cuma di cerita ini bungkus rokok bisa bicara). Pak Imam melanjutkan
kuliahnya, “Kalau gitu begini saja mas, kalian rundingkan dulu sama
temen-temen. Misalkan tetep gak terima, dosennya suruh nemui saya.” Saya
hembuskan nafas panjang-panjang …
Kawan,
dari seluruh kalimat yang dikeluarkan Pak Imam, ucapan inilah yang paling tidak
bisa saya terima. Kok, bawa-bawa dosen segala. Saya tidak tahan lagi untuk
membalas perkataannya. Bagi saya ini sudah kelewatan. Tapi saat mulut ini
hendak mengeluarkan kata, saya sadari bahwa jenis kata yang keluar pasti akan
melanggar kode etik bertamu. Ahh, sial! Lagi-lagi saya harus diam. Daripada
mikir ke mana-mana, lebih baik saya fokus pada pasal-pasal penolakan yang sudah
saya susun di otak ini. Saya janji nanti akan saya sebutkan satu per satu.
“Nggih pak, setelah ini kami akan kumpul. Jadi kami pamit dulu. Maaf kalau dari
teman-teman ada kesalahan.” Akhirnya keluar juga kalimat dari mulut saya,
sekaligus menyudahi sidang gelar perkara hari ini.
Jabat
tangan dengan beliau seperti tidak bermakna apa-apa. Saya keluar rumah dengan
masih menyimpan perasaan yang campur aduk. Takut, cemas, marah, kecewa, semua
berbaur jadi satu. Kalau ingin tahu prosentasenya (menggunakan alat super
canggih yang bisa mengetahui prosentase perasaan manusia), maka hasilnya adalah
takut (15%), cemas (40%), marah (25%), kecewa (30%), (gak apa-apa jumlahnya
lebih dari 100%, kan ini cuma fiktif). Yang saya salutkan, tidak ada gurat
penyesalan sama sekali di wajah teman-teman. Sebenarnya, boleh saja kami menyesal
kenapa tadi memutuskan untuk mendatangi rumah Pak Imam. Datang dengan niat
baik, tapi pulang seperti habis dicuci di laundry. Jajur, saya salut dengan
kalian. Penyesalan itu sikap yang hina. Menyesal berarti menyalahkan diri
sendiri. (lek uwis yo uwis, kan gitu coy, kita tatap ke depan untuk mencari
langkah apa selanjutnya). Sebagai Power Rangers, kami harus buang jauh-jauh
sikap hina itu. Kita pecahkan masalah ini bersama-sama, nanti. Kawan, sekedar
info yang kurang begitu penting, jauh hari sebelum berangkat PKM, saya pernah
mengakrabi sebuah buku yang sangat indah. Keindahan buku ini membuat saya (yang
sebenarnya tidak suka membaca) menjadi betah untuk memangkunya sejak maghrib
hingga subuh selama dua hari berturut-turut. Lembar demi lembar halamannya
semakin membuat saya kagum pada si penulis, yang begitu lihai merubah bahasa
pemikiran filsafat yang rumit dan ruwet itu ke dalam bahasa sehari-sehari yang
mudah dipahami. Sebuah novel filsafat, berjudul Tapak Sabda. Di dalamnya
tertulis, “….Hidup itu pilihan. Dalam hidup, tidak ada aktifitas yang bisa kita
lakukan selain memilih. Meskipun akhirnya kita memutuskan untuk tidak memilih
satu hal, itu tetap merupakan pilihan, yaitu pilihan untuk tidak memilih.”
Sejauh
yang bisa saya pahami, ini adalah kalimat anti-penyesalan. Tapi, mungkin saja
si penulis menginginkan interpretasi yang lebih dari itu. Tapi karena
keterbatasan saya, ya cuma itu pemaknaan dari saya.
*
Melamun ke mana-mana, saya takut lupa pada pasal-pasal penolakan yang telah
tersusun tadi. Kebetulan, begitu menginjakkan kaki di posko, mas Awang langsung
ngajak kumpul. Ia tampak tak sabar untuk menyusun strategi menghadapi problem
ini. Demi menghindari kehebohan massal, akhirnya diputuskan untuk kumpul
berempat lebih dulu (persis kayak pekerja NASA yang merahasiakan datangnya
benda langit yang mau menabrak bumi, untuk menghindari kecemasan massal). Dan
dengan menimbang banyak hal dan masukan-masukan, konferensi ini ditempatkan di
sebuah tempat strategis yang tidak akan mungkin tercium oleh teman-lain lain,
yakni di bawah jemuran. Di bawah sayup-sayup suara adzan dari si kecil Anwar,
lengkap sudah pasal-pasal penolakan yang akan kami gunakan sebagai pembelaan
kalau-kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Pasal
1
“Kedatangan
sekaligus tempat penginapan (posko) anggota PKM Kelompok Dusun Tamban adalah
berdasarkan persetujuan dari kepala desa, kepala dusun, dan tetangga sekitar”.
Pasal
2
“Atas
pertimbangan efektifitas kerja selama PKM dan hal-hal lain, diputuskan bahwa
semua anggota kelompok menginap dalam satu rumah (posko).”
Pasal
3
“Posisi
posko berada di tempat yang tidak memungkinkan terjadi penyalahgunaan fungsi
maupun kegiatan mahasiswa selama menjalani PKM”
Pasal
4
“Mahasiswa
STAIN Tulungagung, khususnya kelompok Tamban ini, adalah mahasiswa yang baik
hati, rajin beribadah, dan sopan pergaulannya. Jadi, mereka mengerti betul
untuk selalu menjaga nama baik diri pribadi dan almamater.” (Semakin lama,
pasal-pasalnya semakin ngawur. Tapi mau gimana lagi, kami harus punya banyak
pembelaan).
Pasal
5
“Pak
Imam itu tinggal di daerah selatan. Sementara respon masyarakat utara (wilayah
posko PKM) amatlah positif selama 10 hari yang sudah berjalan”.
Pasal
6
“Cucu
Pak Imam itu tiap habis maghrib les di posko bersama teman-temannya yang lain.
Apakah ini imbalan beliau pada kami?”
Pasal
7
“Tetangga
terdekat posko adalah rumahnya Pak Kyai dan Pak Ketua RT. Jadi kalau mahasiwa
mau macam-macam, itu sama saja cari mati.”
Pasal
8
“Dari
informasi yang berhasil dihimpun teman-teman sebelumnya, posko mahasiswa UNP 2
tahun lalu itu juga satu rumah. Ini jelas bertentangan dengan pendapat Pak Imam
tadi. (Jangan kaget kawan, beberapa orang memang berani memutarbalikkan fakta
demi menguatkan argumennya.)
Dan
terakhir,
Pasal
9 (pasal ini penting, karena ada kemungkinan yang dipermasalahkan
dari kumpulnya kami jadi satu rumah itu karena tidak ada tuan rumah yang
menemani).
Bunyinya,
“Adapun seisi rumah ini ditinggali mahasiwa semua (tidak ada tuan rumah yang
menemani), ya itu disebabkan karena sebelum kami datang, rumah ini adalah rumah
kosong. Kalau sebelum kami datang ada tuan rumahnya, ya kami akan tinggal
bersama orang itu. Gitu aja kok repot… Ataupun misalkan sebelumnya ditinggali
genderuwo, ya kami akan tinggal bersamanya.” (eh ojo deng, berat amor makhluk
ngono’an). Akhirnya, setelah semua pasal berhasil disusun, langkah selanjutnya
adalah menghimpun kekuatan dengan mencari dukungan dari masyarakat, khususnya
tetangga sekitar. Ini harus kami lakukan untuk mengecek kebenaran respon
masyarakat Tamban berdasarkan argumen Pak Imam tadi. Agenda ini akan kami
jalankan nanti sore. Pujian sholawat dari si Anwar sudah terdengar cukup lama.
Kasihan sekali dia menunggu kakak-kakanya di posko yang belum datang agar ia
segera mengakhiri pujian itu. Dan biar Dhuhur saya nanti bisa khusyuk,
lagi-lagi saya harus melupakan cerita ini sejenak. Sebenarnya saya masih
bersemangat melanjutkan, tapi saya harus hentikan cerita ini untuk shalat!
Titik.
(Cerita
di atas hanyalah fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama, tempat, atau
kejadian, itu semua adalah suatu kesengajaan. Sekali lagi itu saya sengaja.
Karena cerita akan mudah muncul jika terinspirasi dari kejadian-kejadian yang
pernah kita lihat dan alami. Dan dengan menimbang banyak hal dan
masukan-masukan, saya tegaskan bahwa tidak ada motivasi lain dalam cerita itu
selain mek pingin ngejak guyon).
0 komentar:
Posting Komentar