Blue Fire Pointer
Minggu, 03 Maret 2013

KANDANG KAMBING PART 3

KANDANG KAMBING PART 3
Oleh : Azzam Arifin



Jika Anda membuat seseorang bahagia hari ini, Anda juga membuat dia berbahagia dua puluh tahun lagi, saat ia mengenang peristiwa itu (Sydney Smith)

“Jadi gini mas, saya mewakili masyarakat Tamban, khususnya yang ada di selatan, sebenarnya tidak setuju kalau kalian itu kumpul jadi satu. Dulu saja ada dua pasangan muda nginep jadi satu rumah, digrebek sama warga. Lha lek kelakuan sampeyan kayak gitu, apa bedanya sama mereka?” Saya menunduk. Dalam hati, saya tidak terima. Nanti saya sebutkan pasal-pasal yang menunjukkan bahwa omongan ini tak masuk akal. Tapi karena saya belum tahu standar marahnya orang pendatang itu gimana, saya pilih diam. “Memang orang-orang sekitar sampeyan pada setuju. Tapi saya sudah pingin ngomongin ini sejak sampeyan datang.” “Kalau anak-anak UNP dulu pripun pak?” mas Alam balik nanya, mengkonfirmasi penginapan mahasiswa-mahasiswi UNP yang dua tahun lalu KKN di dusun ini. “Yaa mereka terpisah,, laki-laki sendiri, perempuan sendiri”. Akhirnya dengan menimbang banyak hal dan masukan-masukan, di samping juga melihat wajah teman-teman yang kusut gitu, saya putuskan untuk merubah wajah saya dari yang semula biasa-biasa saja menjadi agak mamel (macak melas). Meskipun gak usah macak ae tampang saya sudah sangat melas, tapi kali ini harus lebih melas. Dan alhamdulillah, jurus mamel ini sedikit meredakan suasana. Meski sebentar, tapi cukup buat kami untuk menghela napas. Kawan, dari ketiga teman saya yang sedang duduk di kursi panas ini, mas Awang yang kelihatannya paling tidak betah sama suasana ini. Berkali-kali dia menyenggol kaki saya dengan jempol kakinya. Matanya juga sering berkedip ke arah saya. Mungkin itu simbol yang ia pakai agar saya segera berpamitan. Yaa, saya paham dengan maksud Anda mas Awang! Sekali lagi saya paham! Tapi tolong, tolong, hentikan ini semua! Saya takut kalo ternyata kedipan mata Anda dilihat sama Tokichi atau Alam. Lalu, keduanya memaknai lain. “Lho, kok mas Awang lirik-lirikan sama mas Azam. Senggol-senggolan lagi…” Wah, kalau itu yang terjadi, saya bisa menyusul teman-teman lain yang sudah lebih dulu jadi bahan ejekan dengan tema cinlok. Bukan cinta lokasi, tapi cinter (cinta terlarang) mungkin lebih tepat.

Hari-hari di posko memang semakin indah berkat bersemainya cinta lokasi. Tercatat, sudah ada beberapa yang tertangkap kamera. Dan yang lebih unik lagi, dalam konferensi pers yang mereka lakukan, tidak ada satupun yang menolaknya. Sebut saja, Rahayu Wulandari dan Eka Agustina, disusul oleh Fitri Laila dan Iva Datun Nikmah, kemudian Lutfi Laila dan Rif’atul Aini, setelah itu Diah Nurmalasari dan Diki Wulansari, dilanjutkan Laili Sakdiyah dan Agung Puspita Dewi, dan akhir-akhir ini Kunii Fitriya dan Afid Laila. Di sela-sela menjalankan aktifitas, juga nampak kemesraan dari Muhammad Arifuddin dan Alam Syah, kemudian Khusbanul Huda dan Wang Hadi “Awang” Safrana Ghozali, dan terakhir Pak Khadiqun Nuha dan Mustakim. Wah, kalau gitu namanya bukan beberapa, tapi semua terlibat cinta lokasi. Dan karena jumlahnya ada 19, maka kalian pasti bisa menebak siapa satu-satunya orang yang tidak terlibat cinta terlarang kayak gitu, hehehe ….(Ini saya ndak serius, ndak bermaksud ngejek, cuma ingin mengenalkan nama-nama kalian di cerita ini. Masak cerita udah mau habis, nama-nama penghuni posko belum tersebut).

* Jarum jam sudah menunjukkan pukul 11 lewat 15. Di dalam suasana yang masih cukup tegang, pandangan mata saya tertuju pada satu bungkus rokok di atas meja. Bungkus warna merah dan berlogo rel kereta api ini jelas bukan jenis rokok murahan. Mas Tokichi yang tadi bela-belain beli. Dalam hal ini, saya sering mendengar hipotesanya, “Kalo jagongan itu disuguhi rokok yang enak, maka informasi yang kita dapat akan semakin lengkap.” Saya sedikit setuju dengannya, meski kayaknya perlu diuji lagi dengan suatu jenis penelitian tertentu (entah apa nama penelitiannya, yang pasti bukan penelitian tindakan kelas). Saya jadi membayangkan, kalau bungkus rokok ini bisa bicara, pasti dia akan membela kami, dan bicara seperti ini, “Pak Imam, saya ini kan miliknya Mas Tokichi, tapi tadi Anda berani mengambil dan menikmati satu batang dari saya. Sebenarnya Mas Tokichi ini ikhlas. Tapi kenapa sekarang Anda memarahi dia dan teman-temannya?”. (waduh, ini yang lagi bingung yang nulis apa yang baca yaa. Mungkin cuma di cerita ini bungkus rokok bisa bicara). Pak Imam melanjutkan kuliahnya, “Kalau gitu begini saja mas, kalian rundingkan dulu sama temen-temen. Misalkan tetep gak terima, dosennya suruh nemui saya.” Saya hembuskan nafas panjang-panjang …

Kawan, dari seluruh kalimat yang dikeluarkan Pak Imam, ucapan inilah yang paling tidak bisa saya terima. Kok, bawa-bawa dosen segala. Saya tidak tahan lagi untuk membalas perkataannya. Bagi saya ini sudah kelewatan. Tapi saat mulut ini hendak mengeluarkan kata, saya sadari bahwa jenis kata yang keluar pasti akan melanggar kode etik bertamu. Ahh, sial! Lagi-lagi saya harus diam. Daripada mikir ke mana-mana, lebih baik saya fokus pada pasal-pasal penolakan yang sudah saya susun di otak ini. Saya janji nanti akan saya sebutkan satu per satu. “Nggih pak, setelah ini kami akan kumpul. Jadi kami pamit dulu. Maaf kalau dari teman-teman ada kesalahan.” Akhirnya keluar juga kalimat dari mulut saya, sekaligus menyudahi sidang gelar perkara hari ini.

Jabat tangan dengan beliau seperti tidak bermakna apa-apa. Saya keluar rumah dengan masih menyimpan perasaan yang campur aduk. Takut, cemas, marah, kecewa, semua berbaur jadi satu. Kalau ingin tahu prosentasenya (menggunakan alat super canggih yang bisa mengetahui prosentase perasaan manusia), maka hasilnya adalah takut (15%), cemas (40%), marah (25%), kecewa (30%), (gak apa-apa jumlahnya lebih dari 100%, kan ini cuma fiktif). Yang saya salutkan, tidak ada gurat penyesalan sama sekali di wajah teman-teman. Sebenarnya, boleh saja kami menyesal kenapa tadi memutuskan untuk mendatangi rumah Pak Imam. Datang dengan niat baik, tapi pulang seperti habis dicuci di laundry. Jajur, saya salut dengan kalian. Penyesalan itu sikap yang hina. Menyesal berarti menyalahkan diri sendiri. (lek uwis yo uwis, kan gitu coy, kita tatap ke depan untuk mencari langkah apa selanjutnya). Sebagai Power Rangers, kami harus buang jauh-jauh sikap hina itu. Kita pecahkan masalah ini bersama-sama, nanti. Kawan, sekedar info yang kurang begitu penting, jauh hari sebelum berangkat PKM, saya pernah mengakrabi sebuah buku yang sangat indah. Keindahan buku ini membuat saya (yang sebenarnya tidak suka membaca) menjadi betah untuk memangkunya sejak maghrib hingga subuh selama dua hari berturut-turut. Lembar demi lembar halamannya semakin membuat saya kagum pada si penulis, yang begitu lihai merubah bahasa pemikiran filsafat yang rumit dan ruwet itu ke dalam bahasa sehari-sehari yang mudah dipahami. Sebuah novel filsafat, berjudul Tapak Sabda. Di dalamnya tertulis, “….Hidup itu pilihan. Dalam hidup, tidak ada aktifitas yang bisa kita lakukan selain memilih. Meskipun akhirnya kita memutuskan untuk tidak memilih satu hal, itu tetap merupakan pilihan, yaitu pilihan untuk tidak memilih.”

Sejauh yang bisa saya pahami, ini adalah kalimat anti-penyesalan. Tapi, mungkin saja si penulis menginginkan interpretasi yang lebih dari itu. Tapi karena keterbatasan saya, ya cuma itu pemaknaan dari saya.

* Melamun ke mana-mana, saya takut lupa pada pasal-pasal penolakan yang telah tersusun tadi. Kebetulan, begitu menginjakkan kaki di posko, mas Awang langsung ngajak kumpul. Ia tampak tak sabar untuk menyusun strategi menghadapi problem ini. Demi menghindari kehebohan massal, akhirnya diputuskan untuk kumpul berempat lebih dulu (persis kayak pekerja NASA yang merahasiakan datangnya benda langit yang mau menabrak bumi, untuk menghindari kecemasan massal). Dan dengan menimbang banyak hal dan masukan-masukan, konferensi ini ditempatkan di sebuah tempat strategis yang tidak akan mungkin tercium oleh teman-lain lain, yakni di bawah jemuran. Di bawah sayup-sayup suara adzan dari si kecil Anwar, lengkap sudah pasal-pasal penolakan yang akan kami gunakan sebagai pembelaan kalau-kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Pasal 1
“Kedatangan sekaligus tempat penginapan (posko) anggota PKM Kelompok Dusun Tamban adalah berdasarkan persetujuan dari kepala desa, kepala dusun, dan tetangga sekitar”.
Pasal 2
“Atas pertimbangan efektifitas kerja selama PKM dan hal-hal lain, diputuskan bahwa semua anggota kelompok menginap dalam satu rumah (posko).”
Pasal 3
“Posisi posko berada di tempat yang tidak memungkinkan terjadi penyalahgunaan fungsi maupun kegiatan mahasiswa selama menjalani PKM”
Pasal 4
“Mahasiswa STAIN Tulungagung, khususnya kelompok Tamban ini, adalah mahasiswa yang baik hati, rajin beribadah, dan sopan pergaulannya. Jadi, mereka mengerti betul untuk selalu menjaga nama baik diri pribadi dan almamater.” (Semakin lama, pasal-pasalnya semakin ngawur. Tapi mau gimana lagi, kami harus punya banyak pembelaan).
Pasal 5
“Pak Imam itu tinggal di daerah selatan. Sementara respon masyarakat utara (wilayah posko PKM) amatlah positif selama 10 hari yang sudah berjalan”.
Pasal 6
“Cucu Pak Imam itu tiap habis maghrib les di posko bersama teman-temannya yang lain. Apakah ini imbalan beliau pada kami?”
Pasal 7
“Tetangga terdekat posko adalah rumahnya Pak Kyai dan Pak Ketua RT. Jadi kalau mahasiwa mau macam-macam, itu sama saja cari mati.”
Pasal 8
“Dari informasi yang berhasil dihimpun teman-teman sebelumnya, posko mahasiswa UNP 2 tahun lalu itu juga satu rumah. Ini jelas bertentangan dengan pendapat Pak Imam tadi. (Jangan kaget kawan, beberapa orang memang berani memutarbalikkan fakta demi menguatkan argumennya.)
Dan terakhir,
Pasal 9 (pasal ini penting, karena ada kemungkinan yang dipermasalahkan dari kumpulnya kami jadi satu rumah itu karena tidak ada tuan rumah yang menemani).
Bunyinya, “Adapun seisi rumah ini ditinggali mahasiwa semua (tidak ada tuan rumah yang menemani), ya itu disebabkan karena sebelum kami datang, rumah ini adalah rumah kosong. Kalau sebelum kami datang ada tuan rumahnya, ya kami akan tinggal bersama orang itu. Gitu aja kok repot… Ataupun misalkan sebelumnya ditinggali genderuwo, ya kami akan tinggal bersamanya.” (eh ojo deng, berat amor makhluk ngono’an). Akhirnya, setelah semua pasal berhasil disusun, langkah selanjutnya adalah menghimpun kekuatan dengan mencari dukungan dari masyarakat, khususnya tetangga sekitar. Ini harus kami lakukan untuk mengecek kebenaran respon masyarakat Tamban berdasarkan argumen Pak Imam tadi. Agenda ini akan kami jalankan nanti sore. Pujian sholawat dari si Anwar sudah terdengar cukup lama. Kasihan sekali dia menunggu kakak-kakanya di posko yang belum datang agar ia segera mengakhiri pujian itu. Dan biar Dhuhur saya nanti bisa khusyuk, lagi-lagi saya harus melupakan cerita ini sejenak. Sebenarnya saya masih bersemangat melanjutkan, tapi saya harus hentikan cerita ini untuk shalat! Titik.


(Cerita di atas hanyalah fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama, tempat, atau kejadian, itu semua adalah suatu kesengajaan. Sekali lagi itu saya sengaja. Karena cerita akan mudah muncul jika terinspirasi dari kejadian-kejadian yang pernah kita lihat dan alami. Dan dengan menimbang banyak hal dan masukan-masukan, saya tegaskan bahwa tidak ada motivasi lain dalam cerita itu selain mek pingin ngejak guyon).

0 komentar:

 
;