KANDANG KAMBING PART 2
Oleh : Azzam Arifin
Jika
Anda membuat seseorang bahagia hari ini, Anda juga membuat dia berbahagia dua
puluh tahun lagi, saat ia mengenang peristiwa itu (Sydney Smith)
Mata
saya masih sulit terbuka saat tiba-tiba suara mirip petir terdengar di rumah
ini. Setengah tak sadar, saya ingin melanjutkan tidur. Tapi selang beberapa
detik kemudian, suara serupa muncul lagi. Yang ini lebih keras.
“Beeeh,,,
cah ikiiii,,, koprooh…” suara anak cewek melengking
“Jan
ngguilani!” celetuk yang lain.
Dengan
menimbang banyak hal dan masukan-masukan, akhirnya saya putuskan suara asing
itu adalah kentutnya si Awang dan Tokichi dari dalam kamar. Saya jadi teringat
sebuah pantun yang pernah saya baca : Ikan cucut dalam cangkir, dimakan
badut tidaklah mangkir. Jangan takut jangan kawatir, ini kentut bukanlah petir.
Agak
kesal memang, karena pagi yang indah ini harus saya mulai dengan mendengarkan
suara mercon itu. Tapi tak apa, mengingat dua orang ini adalah teman baik saya,
termasuk juga Alam, Takim, Kang Huda, dan Pak Khadiq.
Hadirin
yang berbahagia, perlu kalian tahu bahwa kami termasuk orang yang sangat
mengerti bagaimana memaknai “teman baik”. Bagi kami, teman baik itu adalah
roko’an bareng, guyon bareng, masak bareng (terutama waktu malem pas lagi keluwen),
makan bareng, truus…mandi bareng, dan kadang-kadang. . . kelon bareng
(maksudnya kelon bareng gulingnya masing-masing). Rutinitas apapun sebisa
mungkin kami jalankan bersama-sama untuk mempertahankan kekompokan yang makin
mantap tiap harinya.
Dengan
masih menahan kantuk yang sangat, saya berjalan agak sempoyongan menuju kamar
mandi. Dan sudah saya duga sebelumnya, “budayakan antri” adalah slogan utama
bagi semua penghuni posko yang menginginkan fasilitas kamar mandi.
“Sing
neng jeding sopo yooo . . .” teriak seorang anak cewek mengkonfirmasi
keberadaan orang yang ada dalam kamar mandi. Terlalu lama memang. Tanpa
jawaban, ia mengulangi pertanyaan yang sama.
Tampak
raut mukanya gelisah. Ia terus meneriaki. Maklum, hari sudah mulai terang. Jam
subuh sudah mau habis. Maka dengan menimbang banyak hal dan masukan-masukan,
dapat saya pastikan kegelisahannya adalah karena ia sudah tidak tahan lagi
untuk segera menunaikan kewajibannya sebagai umat manusia, yaitu …. buang air
besar. Ternyata tak perlu susah cari tempat untuk melatih kesabaran, karena di
posko ini, terutama yang berkaitan dengan kamar mandi, kami sangat diuji
kesabarannya.
Akhirnya
Shalat Subuh selesai saya laksanakan, meskipun tidak berjamaah. Mungkin esok
hari, saya akan berusaha bangun lebih awal agar bisa berjamaah. Unik memang,
harapan inilah yang setiap pagi saya ucapkan. Tapi, setiap pagi pula saya masih
bangun kesiangan. Tapi tak apa, yang penting masih ada niat.
Suara
tertawa menggelegar di ruang tamu saat saya memanjatkan doa. Saya menduga
sumbernya adalah kultum dari kang Huda yang dong-deng itu. Usut punya usut,
ternyata sumbernya adalah Alam. Katanya, sarung yang dipakainya tidak rata pas
tidur di sofa. Maksudnya apa, saya juga tidak tahu. Yang jelas fenomena itu
disaksikan oleh berjuta pasang mata dan mengundang tawa yang saya dengar tidak
ada habisnya. Seandainya Alam bangun dan melihat keadaan yang terjadi, saya
menduga dia akan mengeluarkan fatwanya, “Hentikan leluconmu itu!”.
“Yoooo,
koplone ndang disumeeet…!” Sebuah teriakan mengagetkan saya. Teriakan Tokichi
semerdu suara Rena KDI, bisa membangunkan penghuni posko yang masih tertidur.
Nggak
usah tanya siapa-siapa, pasti yang di klik adalah “Bukak Titik Joss” nya
Monata. Lagu ini sekarang posisinya hampir menggeser lagu Indonesia Raya. Tak
salah dugaan saya. Alunan suara Nia Vallen benar-benar membangun semangat,
bukan karena liriknya, tapi lebih pada musiknya. Kawan, kalian pasti bisa
menebak bahwa lagu ini akan menjadi awal dari serentetan lagu lain yang mau
tidak mau harus kalian dengar seharian. Selama siang, jarang sekali speaker
mini di rumah ini mati tanpa suara. Selalu saja ada lagu yang diputar silih
berganti. Meski saya juga penikmat musik, saya pernah membayangkan seandainya
speaker ini bisa bicara pasti dia akan memohon sambil meringkuk agar ia
diperkenankan beristirahat barang satu hari saja.
Sambil
menunggu sarapan istimewa dari chef handal Mbak Laili, saya memilih untuk
duduk-duduk memangku gitar, bersama teman-teman yang kebetulan berkumpul di
ruang tamu. Sambil memetik senar, sempat saya memikirkan hidangan apa yang
tersaji pagi ini. Mungkin perut ini sudah tidak mau diajak kompromi.
Hasil
dari perenungan saya, peluang terbesar menu sarapan pagi ini jatuh kepada sayur
terong. Ini mengingat masih banyaknya terong di dapur yang belum dimasak.
Kemungkinan yang kedua jatuh pada sayur bambu. What is sayur bambu? Sayur bambu
(dalam bahasa Inggrisnya disebut Jangan Rebung) merupakan sejenis masakan
berbahan dasar bambu muda, yang mana saking kreatifnya tidak hanya dimanfaatkan
sebagai kerajinan tangan, tapi juga bisa menjadi masakan. Dua masakan ini
adalah favorit saya. Dan dalam hati sebenarnya saya
kagum
kepada semua teman yang ada di posko ini, karena mampu memasak dengan kualitas
rasa nomor satu (atau mungkin rasa enak itu hanya perasaan saya saja ya,
soalnya apapun masakannya, kalau makannya bareng-bareng semua jadi terasa
enak.)
“Kopi
coooy….”,
Kang
Awang datang membawa harapan baru, berupa secangkir kopi. Saya tidak tahu
bagaimana cara dia melobi teman-teman di dapur, soalnya ngecam kopi untuk
kebutuhan pribadi haram hukumnya. Kemarin saja, saya harus melalui prosedur
yang berbelit-belit untuk sekedar bisa membuat kopi. Inilah kelebihan si Awang.
Dia lebih banyak diam, tapi ya ituu, suka menghabiskan banyak persediaan.
Kata-kata andalannya, “Prayo lemes” (diucapkan dengan nada khas yang saya saja
tidak bisa menirukan). Apapun itu, karena jasa si Awang, lengkap sudah suguhan
di meja ruang tamu ini. Ada rokok (meski lintingan), kopi ijo, biskuit Roma
(saya hitung sudah 5 hari biskuit ini tidak termakan dan masih setia menunggui
meja ini), dan yang terakhir pastinya adalah gitar.
“Gas
brooow…”, kali ini suara Tokichi tidak lagi mirip Rena KDI, tapi kayak Bram
Sakti yang menandakan lagu-lagu siap dimainkan.
Dengan
menimbang banyak hal dan masukan-masukan, “Cinta Terbaik” milik Cassandra
menjadi hits pertama konser akbar pagi ini. Tidak semua ikut nyanyi, karena
tidak semua hafal. Tapi saya salut, karena yang tidak hafal ikut
menggerak-gerakkan mulutnya biar terlihat hafal. Suara keras dari teman-teman
menjadi begitu ramai di tengah kondisi perut yang saya yakin masing-masing
sedang menunggu hadirnya sarapan.
Dibalik
keramaian ini, sebenarnya saya menyimpan perasaan tidak enak dan sungkan
melihat kang Huda yang masih memegangi kitabnya. Apakah keramaian ini akan
mengganggunya, saya tidak berani menanyakan. Saya sangat berharap kang Huda
sendiri yang menunjukkan sikap. Karena seandainya mengganggu, kehebohan ini
akan segera kami akhiri.
Selang
beberapa detik, ketakutan saya akan mendapat kejelasan. Saya lihat kang Huda
menutup kitab, lalu meletakkannya di jendela. Saya berharap muncul pernyataan
darinya tentang sikap anak-anak yang baru saja membuat keributan. Tanpa sepatah
katapun, ia langsung berdiri. Dan bagai petir di siang bolong, kang Huda
berjoget ria mengiringi musik koplo yang berasal dari speaker mini. Ini sungguh
di luar dugaan. Saya membayangkan, apa jadinya kalau Pak Katimin tahu
penampilan kang Huda yang seperti ini. Joget ngebornya Inul berkolaborasi dengan
goyang gergajinya Dewi Persik fasih ia tampilkan. Sefasih ia membaca dan
memahami kitab kuning.
“Oalah
kang. .kang. .. podo ae!” sebuah suara yang tak tahu dari mana asalnya spontan
keluar.
Bagi
seisi rumah yang menyaksikan aksi kang Huda ini, tidak ada satupun yang mampu
menahan tawa. Kehebohan akibat aksinya ini melebihi kehebohan dari konser akbar
barusan. Dan label ustadz yang tersemat pada sosok ini agaknya perlu dilengkapi
dengan pegoyang dangdut kelas atas.
Tepat
di depan saya, Pak Khadiq masih setia memegangi sendok dan gelas yang waktu
konser tadi ia pukul-pukuli. Sekalipun memukulnya tidak beraturan, suara gelas
yang dipukuli sendok itu ikut menyumbang suara musik yang merdu. Saya tidak
habis pikir atas kreatifitasnya, memanfaatkan sendok dan gelas segala untuk
melengkapi alat musik yang belum tersedia. Ada-ada saja ide Pak Ketua ini.
Dibanding
teman-teman satu posko, dialah yang paling bijaksana. Kemampuan ini turut
mensukseskannya sebagai pemimpin kelompok. Pandangannya selalu mengarah agar
bagaimana tidak timbul konflik antar anggota kelompok. Hal ini berdampak pada
terciptanya suasana kondusif yang mengisi hari-hari di posko ini. Dampak
lainnya, teman-teman selalu menjaga kekompakan dalam melangsungkan
agenda-agenda.
Ketua
saya yang satu ini konon adalah sesepuh dalam bidang per-FB-an. 24 jam non stop
ia terus online (apa terlalu melebih-lebihkan ya). Konsistensinya dalam
ber-online membuatnya banyak dikenal. Mungkin ia tahu betul kalau Tukul Arwana
pernah bilang bahwa kesuksesan itu datang karena 4 hal : keinginan, potensi,
relasi, dan faktor X. Jalinan relasi di jaman teknologi informasi seperti
sekarang ini memang banyak terbentuk dari media jejaring sosial seperti fesbuk.
Atau mungkin juga Pak Khadiq memahami betul petuah Maudy Ayunda dalam film
Malaikat Tanpa Sayap : “teman yang nyata itu kadang malah gak riil, justru
yang maya kadang malah riil”. Betul. Banyak teman yang hadir nyata di depan
kita, kadang sulit kita percayai. Justru teman kita yang berada di dunia maya
selalu menghibur kita lewat candaan atau guyonan-guyonan.
Gubrakk
. . .
Tanpa
ada yang menduga, Takim menabrak pintu depan. Barusan ia berlari dari arah
mushola depan, seperti habis diteror oleh seekor binatang buas. Gurat wajahnya
menunjukkan keseriusan. Setelah saya dan beberapa teman menyelidiki secara
detail dan seksama (dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya), betul memang
bahwa Takim baru saja menghadapi binatang buas. Binatang itu bernama cicak.
Selama di Tamban ini, kami terpaksa harus
Menyetujui
argumen Takim bahwa cicak itu tergolong binatang buas yang harus dijauhi.
Baginya, buku-buku yang menjelaskan bahwa cicak tergolong binatang jinak harus
dilarang peredarannya. Cicak harus dimasukkan ke dalam binatang buas. Binatang
yang tidak perlu dilestarikan, dan kalau perlu dimusnahkan dari muka bumi ini.
“Sarapan
. . .sarapan..”
Suara
yang sangat saya nantikan akhirnya muncul. Berduyun-duyun seisi posko menuju
dapur, kecuali saya. Saya tetap memilih sarapan lebih akhir dibanding yang
lain, meski sebenarnya mata ini sudah berkunang-kunang dan jantung berdetak
cepat karena kelaparan. Apa alasannya? Bukan bermaksud sok kuat atau gimana,
tapi kalau sarapannya paling akhir, saya tidak malu kalau ingin mengambil jatah
yang lebih banyak.
Kawan,
sebenarnya saya ingin melanjutkan cerita di atas. Tapi sehabis sarapan,
bawaannya selalu ngantuk. Jadi, karena pagi ini tidak ada agenda yang penting,
saya tak milih tidur ae ketimbang melanjutkan cerita yang tidak ada intinya
sama sekali.
------
Berdasarkan
hasil dari sebuah penelitian (saya tidak tahu apakah ini pernah menjadi skripsi
atau tidak), salah satu hal yang sangat dibenci orang adalah dibangunkan orang
lain pas lagi tidur. Kalian setuju? Terserah. Tapi, saya pernah mengalami
kejadian menjengkelkan yang membuat saya menyetujui penelitian itu.
Ceritane
ngene cah. . . (meminjam gaya khas si Alam waktu mau bercerita).
Waktu
itu saya berada di kontrakan dekat kampus (rumah kedua saya selama kuliah, yang
oleh para pengunjung sering disebut kapal pecah). Kepala saya pusing bukan main.
Soal mikir apa kok bisa sepusing itu, gak usah saya sebutkan, saya lupa. Yang
pasti bukan mikir keuangan, soalnya terlalu biasa saya gak punya uang. Pasti
juga bukan mikir pacar, soalnya tidak punya pacar. Tidak pula mikir tugas
kuliah, karena saya punya prinsip istiqomah dalam setiap pengumpulan tugas
(istiqomah telat). Entahlah apa masalah saya waktu itu, sampai-sampai saya
dibuat sulit tidur. Akhirnya, saya paksa untuk memejamkan mata. Berharap habis
bangun nanti turun wahyu yang bisa menyelesaikan masalah ini.
“Cahh,
tak turu sik yoo . . .”
Keputusan
saya untuk memberitahu teman sebenarnya berniat baik, agar mereka tahu saya
sudah tidur meski malam itu masih menunjukkan jam 7. Tapi pengumuman inilah
yang menjadi bumerang bagi saya.
Hampir
setengah jam saya memejamkan mata, sebelum akhirnya benar-benar tidur. Berada
di alam tak sadar yang saya rasakan masih 4 atau 5 menit (orang tidur kok tau
waktu yaa), tiba-tiba ada suara gemuruh,
“Zam..zam…zam…
Tangi . .tangi..”
Badan
saya didorong-dorong tak karuan. Gaya membangunkannya seolah sedang ada
kebakaran atau gempa bumi. Secepat kilat saya berlari keluar kamar, secepat
pahlawan bertopeng yang berlari membantu Sinchan.
“heh
. .heh . . Enek opo?” tanyaku keheranan, karena tidak melihat hal janggal sedang
terjadi.
“
Jerekmu mau arep turu, sido po ra?”
Ooo,
sungguh jawaban yang sangat diplomatis. Saking diplomatisnya, sebuah helm
hampir mendarat di mukanya seandainya ia tak lari menjauh dari saya.
Kawan,
apakah ucapan teman saya tadi salah? Tidak juga. Mungkin inilah yang disebut
permainan logika. Saya tadi bilang ingin tidur. Itu saja. Saya tidak minta
tolong untuk dibangunkan jam sekian. Jadi, tidak ada yang salah kalau teman
saya ingin mengingatkan akan ucapan saya tadi, sekalipun dengan cara membangunkan.
Itu
hanya satu diantara ulah jahil teman-teman. Tapi, kejadian-kejadian itu tidak
akan pernah bisa mengalahkan rasa bangga saya bisa berada satu rumah dengan
anak-anak ajaib itu. Sama bangganya ketika saya menjadi salah satu orang yang
berada di posko ini. Meminjam istilah kang Huda, anak-anak di posko ini punya
maziyah masing-masing. Syukurku kepada Allah yang selalu menempatkanku bersama
orang-orang hebat.
Pagi
ini, di posko yang indah ini, tepatnya di kamar yang sangat bersih ini
(maksudnya bersih sebelum kedatangan anak-anak PKM), saya hampir mengalami lagi
kejadian menjengkelkan kayak di atas. Enak-enak tidur sehabis sarapan, Tokichi
membangunkan saya. Bedanya, kali ini saya tidak marah sampai melempar helm
segala, karena Tokichi membangunkan dengan sangat sabar, dan kebetulan juga
saya tidak pas mimpi yang aneh-aneh. Jadi ya ndak apa-apa kalau dibangunkan.
By
the way, according to you, what is the meaning of mimpi basah? Mimpi basah (versi saya waktu kelas 4 SD) adalah
mimpi yang terjadi waktu kita tidur, lalu turun hujan lebat sekali, lalu atap
rumah kita bocor, lalu ada air hujan yang menetesi tubuh kita. Intinya adalah
mimpi dimana tidur kita ketrocohan air hujan. Itulah mimpi basah.
Definisi ini saya ragukan kebenarannya kalau gak salah kelas 5 SD, sebelum
akhirnya benar-benar saya revisi pas kelas 2 SMP (kok jadi ngomongin ini ya).
“Clok
. . sido mae Pak Imam po ra?”
“Sik
Tok, ngantuk..”
“Oke
mas braaa…”
Untuk
urusan panggil-memanggil, kayaknya teman saya yang satu ini tidak bisa
dibiarkan. Saya masih ikhlas kalo cuma dipanggil clok (akronimnya koclok),
atau ndeng (gendeng), atau bahkan su. Tapi kalo dipanggil
mas braaa, kok kesannya gimana gitu. Plesetan dari mas bro (brother) ini
kan agak sensitif ya.. Mau bukti kalo ini sensitif? Lihatlah jemuran pakaian di
belakang! Jemuran itu tidak pernah mau menampilkan benda berharga yang satu
ini. Si Alam yang sering nanya, dimana ya teman-teman menyembunyikan, kok
sebegitu detailnya? (maaf mas Alam, saya mengorbankan Anda .. padahal saya
sendiri juga sering bertanya-tanya). Dan di tengah kekalutan untuk mencari
jawaban atas pertanyaan penting itu, ada yang berargumen kalo temen-temen
disini punya ilmu khusus untuk menghilangkan benda-benda berharga ini agar
tidak terlihat mata. Nah looo, enek-enek ae..
Salut
saya pada Tokichi karena menjadi salah satu yang berhasil memasarkan kata-kata
sehingga menjadi primadona di rumah ini. Selain mas braa, ada lagi prayo
lemes (karya mas Awang), bajigorr, hentikan leluconmu, upomoo (hak
cipta milik mas Alam), sepenuhnya saya respect sama Anda (atas nama Mbak
Ayu), temaaaan (cipt. Mbak Kuni), dan seabrek kata lainnya yang mungkin
saya tidak tahu. Tentang bajigur, si pemilik hak cipta sebenarnya pernah
menjelaskan kalau kata itu adalah umpatan paling kasar di daerah tertentu, saya
lupa. Tapi ya gimana lagi, terlanjur mendunia. Jadi ya, alhamdulillah, beralih
status menjadi kata candaan.
Badan
ini sebenarnya masih malas untuk keluar rumah. Tapi saya ingat tadi malam
sempat mengajak Tokichi untuk bertamu ke rumah Pak Imam pagi ini. Jadi demi
meneguhkan prinsip bahwa saya adalah orang yang selalu menepati janji (selain
prinsip baik hati, rajin menabung dan tidak sombong), saya harus bulatkan tekad
untuk segera melangkahkan kaki (kayak mau perang saja) agar data tentang usaha
penggilingan tebu milik Pak Imam bisa secepatnya saya kantongi.
“Ayo
Tok. . .siap budal..”
“Oke
bro…budal!”
“Eh
sik, neng jeding dilut e …”
“Hoalah
ndeng – ndeng..”
Mau
gimana lagi, perut ini sudah tidak mau kompromi lagi. Sejak Subuh saya tahan.
Setiap ke kamar mandi, ada saja orang. Kali inipun ada Mak Lala, eh kurang b,
Mbak Lala..sedang cuci baju. Haduh. Innallaha ma’as shaabirin.
Melalui
perundingan yang ketat disertai surat perjanjian bermaterai, saya dapat
meyakinkan Mbak Lala kalau saya cuma pingin di kamar mandi sebentar, paling
banter 5 menit. Kenapa kok perjanjiannya begitu rumit? Karena kemarin sore,
tepatnya pas antri mandi, saya mendahuluinya yang sudah antri berjam-jam.
Alasan saya cuma mau mengambil handuk, tapi malah mandi. Akibatnya, sekarang ia
pakai asas praduga bersalah kepada saya. Mungkin kata kunci yang ia ingat saat
berhadapan dengan saya hanyalah modusss. Saya menyesal dengan itu.
Di
depan rumah sudah menunggu sahabat-sahabat terbaik, tidak hanya Tokichi, tapi
juga mas Alam dan kang Awang.
“Mlaku
po montoran coy penake?” Alam memberi tawaran.
“Montoran
lah..” sahutku. Pilihanku mungkin masuk akal. Seandainya kami memilih jalan
ber-empat, kemudian si kecil Anwar itu membuntuti, takutnya masyarakat
menganggap kami ini Power Rangers. Power Rangers yang personilnya cowok semua.
Kawan,
cerita di rumah Pak Imam inilah yang sedari tadi saya tunggu untuk saya tulis
disini.
Di
saat memasuki halaman rumah pak Imam, tidak tampak tebu sama sekali. Biasanya
di tempat penggilingan, ada tumpukan tebu untuk stok esok hari. Yang ada hanya
sepah sisa penggilingan bertumpuk di samping rumah. Itupun tidak dalam jumlah
banyak. Mesin-mesin penggilingan gagah perkasa menunggu para pekerja
menjalankannya. Sepertinya hari ini sedang libur. Memang usaha seperti ini
sering libur pas musim penghujan kayak gini. Di depan rumah, gula siap jual
ditata rapi dalam plastik-plastik. Saya bisa menebak untuk setiap plastiknya
itu seberat 25 kg. Saya sedikit tahu karena Bapak saya pernah punya usaha
serupa, tapi sekarang berhenti.
Dari
pintu depan rumah, saya lihat jarum jam dinding menunjuk angka 10 dan 1.
“Assalamu’alaikuuuuum”.
Tak
ada jawaban, kami mengulang ucapan yang sama.
Pada
salam yang kedua, kami mendapat respon. Seorang laki-laki setengah baya keluar
dari ruang tengah,
“O..nggih
mas..monggo mlebet”
“Pak,
nyuwun jenengan kenalaken. Niki kulo lare-lare saking PKM STAIN Tulungagung”.
Kiranya
sampai ini saja percakapan kami yang bisa saya tulis di sini. Soalnya kalau di
tulis semua, khususnya menyangkut usaha penggilingan tebu, lebih baik kalian
mengcopy field note saya saja. Tapi tenang, disini saya akan menggambarkan
sepenggal obrolan yang menyentuh sesuatu hal. Sesuatu hal ini amat penting.
Sesuatu hal inilah yang akhirnya sempat mematahkan semangat hampir semua
penghuni posko untuk terus melanjutkan PKM (gak apa-apa yo, sedikit
membesar-besarkan).
“Jadi,
ada berapa mas temen-temennya?” tanyanya bergaya investigator.
“Sembilan
belas pak”
“Yang
putra?”
“Ada
tujuh pak.”
“Oo..
berarti yang putri ada dua belas ya?” beliau tampak memprediksi, sekalipun itu
adalah logika paling mudah sedunia. “Dan sampai sekarang masih tetap jadi satu
rumah ya mas?”
Sebenarnya
kami tinggal menjawab iya. Tapi tiba-tiba saya merasa ada yang janggal dari
pertanyaan ini. Mungkin karena melihat nada bicara pak Imam waktu menyampaikan
pertanyaan barusan.
Saya
melihat wajah teman-teman. Semua hampir sama. Dan saya sangat bisa memastikan
kalau perbincangan selanjutnya sudah mulai tidak sehat. Entah apa itu…
(Terkait
pernyataan Pak Imam yang kontroversial terkait anak-anak PKM ini, lebih baik
saya tulis besok saja. Soalnya ini Bayern Munchen vs Arsenal sudah mau mulai.
Lumayan juga, karena menulis cerita ini, mata saya jadi kuat untuk menunggu
pertandingan Liga Champions. Doakan semoga Arsenal menang besar!)
(Cerita
di atas hanyalah fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama, tempat, atau
kejadian, itu semua adalah suatu kesengajaan. Sekali lagi itu saya sengaja.
Karena cerita akan mudah muncul jika terinspirasi dari kejadian-kejadian yang
pernah kita lihat dan alami. Dan dengan menimbang banyak hal dan
masukan-masukan, saya tegaskan bahwa tidak ada motivasi lain dalam cerita itu
selain mek pingin ngejak guyon).
0 komentar:
Posting Komentar