Blue Fire Pointer
Sabtu, 02 Maret 2013

KANDANG KAMBING PART 2

KANDANG KAMBING PART 2
Oleh : Azzam Arifin



Jika Anda membuat seseorang bahagia hari ini, Anda juga membuat dia berbahagia dua puluh tahun lagi, saat ia mengenang peristiwa itu (Sydney Smith)

Mata saya masih sulit terbuka saat tiba-tiba suara mirip petir terdengar di rumah ini. Setengah tak sadar, saya ingin melanjutkan tidur. Tapi selang beberapa detik kemudian, suara serupa muncul lagi. Yang ini lebih keras.
“Beeeh,,, cah ikiiii,,, koprooh…” suara anak cewek melengking
“Jan ngguilani!” celetuk yang lain.

Dengan menimbang banyak hal dan masukan-masukan, akhirnya saya putuskan suara asing itu adalah kentutnya si Awang dan Tokichi dari dalam kamar. Saya jadi teringat sebuah pantun yang pernah saya baca : Ikan cucut dalam cangkir, dimakan badut tidaklah mangkir. Jangan takut jangan kawatir, ini kentut bukanlah petir.

Agak kesal memang, karena pagi yang indah ini harus saya mulai dengan mendengarkan suara mercon itu. Tapi tak apa, mengingat dua orang ini adalah teman baik saya, termasuk juga Alam, Takim, Kang Huda, dan Pak Khadiq.

Hadirin yang berbahagia, perlu kalian tahu bahwa kami termasuk orang yang sangat mengerti bagaimana memaknai “teman baik”. Bagi kami, teman baik itu adalah roko’an bareng, guyon bareng, masak bareng (terutama waktu malem pas lagi keluwen), makan bareng, truus…mandi bareng, dan kadang-kadang. . . kelon bareng (maksudnya kelon bareng gulingnya masing-masing). Rutinitas apapun sebisa mungkin kami jalankan bersama-sama untuk mempertahankan kekompokan yang makin mantap tiap harinya.

Dengan masih menahan kantuk yang sangat, saya berjalan agak sempoyongan menuju kamar mandi. Dan sudah saya duga sebelumnya, “budayakan antri” adalah slogan utama bagi semua penghuni posko yang menginginkan fasilitas kamar mandi.
“Sing neng jeding sopo yooo . . .” teriak seorang anak cewek mengkonfirmasi keberadaan orang yang ada dalam kamar mandi. Terlalu lama memang. Tanpa jawaban, ia mengulangi pertanyaan yang sama.

Tampak raut mukanya gelisah. Ia terus meneriaki. Maklum, hari sudah mulai terang. Jam subuh sudah mau habis. Maka dengan menimbang banyak hal dan masukan-masukan, dapat saya pastikan kegelisahannya adalah karena ia sudah tidak tahan lagi untuk segera menunaikan kewajibannya sebagai umat manusia, yaitu …. buang air besar. Ternyata tak perlu susah cari tempat untuk melatih kesabaran, karena di posko ini, terutama yang berkaitan dengan kamar mandi, kami sangat diuji kesabarannya.

Akhirnya Shalat Subuh selesai saya laksanakan, meskipun tidak berjamaah. Mungkin esok hari, saya akan berusaha bangun lebih awal agar bisa berjamaah. Unik memang, harapan inilah yang setiap pagi saya ucapkan. Tapi, setiap pagi pula saya masih bangun kesiangan. Tapi tak apa, yang penting masih ada niat.

Suara tertawa menggelegar di ruang tamu saat saya memanjatkan doa. Saya menduga sumbernya adalah kultum dari kang Huda yang dong-deng itu. Usut punya usut, ternyata sumbernya adalah Alam. Katanya, sarung yang dipakainya tidak rata pas tidur di sofa. Maksudnya apa, saya juga tidak tahu. Yang jelas fenomena itu disaksikan oleh berjuta pasang mata dan mengundang tawa yang saya dengar tidak ada habisnya. Seandainya Alam bangun dan melihat keadaan yang terjadi, saya menduga dia akan mengeluarkan fatwanya, “Hentikan leluconmu itu!”.
“Yoooo, koplone ndang disumeeet…!” Sebuah teriakan mengagetkan saya. Teriakan Tokichi semerdu suara Rena KDI, bisa membangunkan penghuni posko yang masih tertidur.

Nggak usah tanya siapa-siapa, pasti yang di klik adalah “Bukak Titik Joss” nya Monata. Lagu ini sekarang posisinya hampir menggeser lagu Indonesia Raya. Tak salah dugaan saya. Alunan suara Nia Vallen benar-benar membangun semangat, bukan karena liriknya, tapi lebih pada musiknya. Kawan, kalian pasti bisa menebak bahwa lagu ini akan menjadi awal dari serentetan lagu lain yang mau tidak mau harus kalian dengar seharian. Selama siang, jarang sekali speaker mini di rumah ini mati tanpa suara. Selalu saja ada lagu yang diputar silih berganti. Meski saya juga penikmat musik, saya pernah membayangkan seandainya speaker ini bisa bicara pasti dia akan memohon sambil meringkuk agar ia diperkenankan beristirahat barang satu hari saja.

Sambil menunggu sarapan istimewa dari chef handal Mbak Laili, saya memilih untuk duduk-duduk memangku gitar, bersama teman-teman yang kebetulan berkumpul di ruang tamu. Sambil memetik senar, sempat saya memikirkan hidangan apa yang tersaji pagi ini. Mungkin perut ini sudah tidak mau diajak kompromi.

Hasil dari perenungan saya, peluang terbesar menu sarapan pagi ini jatuh kepada sayur terong. Ini mengingat masih banyaknya terong di dapur yang belum dimasak. Kemungkinan yang kedua jatuh pada sayur bambu. What is sayur bambu? Sayur bambu (dalam bahasa Inggrisnya disebut Jangan Rebung) merupakan sejenis masakan berbahan dasar bambu muda, yang mana saking kreatifnya tidak hanya dimanfaatkan sebagai kerajinan tangan, tapi juga bisa menjadi masakan. Dua masakan ini adalah favorit saya. Dan dalam hati sebenarnya saya

kagum kepada semua teman yang ada di posko ini, karena mampu memasak dengan kualitas rasa nomor satu (atau mungkin rasa enak itu hanya perasaan saya saja ya, soalnya apapun masakannya, kalau makannya bareng-bareng semua jadi terasa enak.)
“Kopi coooy….”,

Kang Awang datang membawa harapan baru, berupa secangkir kopi. Saya tidak tahu bagaimana cara dia melobi teman-teman di dapur, soalnya ngecam kopi untuk kebutuhan pribadi haram hukumnya. Kemarin saja, saya harus melalui prosedur yang berbelit-belit untuk sekedar bisa membuat kopi. Inilah kelebihan si Awang. Dia lebih banyak diam, tapi ya ituu, suka menghabiskan banyak persediaan. Kata-kata andalannya, “Prayo lemes” (diucapkan dengan nada khas yang saya saja tidak bisa menirukan). Apapun itu, karena jasa si Awang, lengkap sudah suguhan di meja ruang tamu ini. Ada rokok (meski lintingan), kopi ijo, biskuit Roma (saya hitung sudah 5 hari biskuit ini tidak termakan dan masih setia menunggui meja ini), dan yang terakhir pastinya adalah gitar.
“Gas brooow…”, kali ini suara Tokichi tidak lagi mirip Rena KDI, tapi kayak Bram Sakti yang menandakan lagu-lagu siap dimainkan.

Dengan menimbang banyak hal dan masukan-masukan, “Cinta Terbaik” milik Cassandra menjadi hits pertama konser akbar pagi ini. Tidak semua ikut nyanyi, karena tidak semua hafal. Tapi saya salut, karena yang tidak hafal ikut menggerak-gerakkan mulutnya biar terlihat hafal. Suara keras dari teman-teman menjadi begitu ramai di tengah kondisi perut yang saya yakin masing-masing sedang menunggu hadirnya sarapan.

Dibalik keramaian ini, sebenarnya saya menyimpan perasaan tidak enak dan sungkan melihat kang Huda yang masih memegangi kitabnya. Apakah keramaian ini akan mengganggunya, saya tidak berani menanyakan. Saya sangat berharap kang Huda sendiri yang menunjukkan sikap. Karena seandainya mengganggu, kehebohan ini akan segera kami akhiri.
Selang beberapa detik, ketakutan saya akan mendapat kejelasan. Saya lihat kang Huda menutup kitab, lalu meletakkannya di jendela. Saya berharap muncul pernyataan darinya tentang sikap anak-anak yang baru saja membuat keributan. Tanpa sepatah katapun, ia langsung berdiri. Dan bagai petir di siang bolong, kang Huda berjoget ria mengiringi musik koplo yang berasal dari speaker mini. Ini sungguh di luar dugaan. Saya membayangkan, apa jadinya kalau Pak Katimin tahu penampilan kang Huda yang seperti ini. Joget ngebornya Inul berkolaborasi dengan goyang gergajinya Dewi Persik fasih ia tampilkan. Sefasih ia membaca dan memahami kitab kuning.
“Oalah kang. .kang. .. podo ae!” sebuah suara yang tak tahu dari mana asalnya spontan keluar.

Bagi seisi rumah yang menyaksikan aksi kang Huda ini, tidak ada satupun yang mampu menahan tawa. Kehebohan akibat aksinya ini melebihi kehebohan dari konser akbar barusan. Dan label ustadz yang tersemat pada sosok ini agaknya perlu dilengkapi dengan pegoyang dangdut kelas atas.



Tepat di depan saya, Pak Khadiq masih setia memegangi sendok dan gelas yang waktu konser tadi ia pukul-pukuli. Sekalipun memukulnya tidak beraturan, suara gelas yang dipukuli sendok itu ikut menyumbang suara musik yang merdu. Saya tidak habis pikir atas kreatifitasnya, memanfaatkan sendok dan gelas segala untuk melengkapi alat musik yang belum tersedia. Ada-ada saja ide Pak Ketua ini.

Dibanding teman-teman satu posko, dialah yang paling bijaksana. Kemampuan ini turut mensukseskannya sebagai pemimpin kelompok. Pandangannya selalu mengarah agar bagaimana tidak timbul konflik antar anggota kelompok. Hal ini berdampak pada terciptanya suasana kondusif yang mengisi hari-hari di posko ini. Dampak lainnya, teman-teman selalu menjaga kekompakan dalam melangsungkan agenda-agenda.

Ketua saya yang satu ini konon adalah sesepuh dalam bidang per-FB-an. 24 jam non stop ia terus online (apa terlalu melebih-lebihkan ya). Konsistensinya dalam ber-online membuatnya banyak dikenal. Mungkin ia tahu betul kalau Tukul Arwana pernah bilang bahwa kesuksesan itu datang karena 4 hal : keinginan, potensi, relasi, dan faktor X. Jalinan relasi di jaman teknologi informasi seperti sekarang ini memang banyak terbentuk dari media jejaring sosial seperti fesbuk. Atau mungkin juga Pak Khadiq memahami betul petuah Maudy Ayunda dalam film Malaikat Tanpa Sayap : “teman yang nyata itu kadang malah gak riil, justru yang maya kadang malah riil”. Betul. Banyak teman yang hadir nyata di depan kita, kadang sulit kita percayai. Justru teman kita yang berada di dunia maya selalu menghibur kita lewat candaan atau guyonan-guyonan.
Gubrakk . . .

Tanpa ada yang menduga, Takim menabrak pintu depan. Barusan ia berlari dari arah mushola depan, seperti habis diteror oleh seekor binatang buas. Gurat wajahnya menunjukkan keseriusan. Setelah saya dan beberapa teman menyelidiki secara detail dan seksama (dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya), betul memang bahwa Takim baru saja menghadapi binatang buas. Binatang itu bernama cicak. Selama di Tamban ini, kami terpaksa harus

Menyetujui argumen Takim bahwa cicak itu tergolong binatang buas yang harus dijauhi. Baginya, buku-buku yang menjelaskan bahwa cicak tergolong binatang jinak harus dilarang peredarannya. Cicak harus dimasukkan ke dalam binatang buas. Binatang yang tidak perlu dilestarikan, dan kalau perlu dimusnahkan dari muka bumi ini.
“Sarapan . . .sarapan..”

Suara yang sangat saya nantikan akhirnya muncul. Berduyun-duyun seisi posko menuju dapur, kecuali saya. Saya tetap memilih sarapan lebih akhir dibanding yang lain, meski sebenarnya mata ini sudah berkunang-kunang dan jantung berdetak cepat karena kelaparan. Apa alasannya? Bukan bermaksud sok kuat atau gimana, tapi kalau sarapannya paling akhir, saya tidak malu kalau ingin mengambil jatah yang lebih banyak.

Kawan, sebenarnya saya ingin melanjutkan cerita di atas. Tapi sehabis sarapan, bawaannya selalu ngantuk. Jadi, karena pagi ini tidak ada agenda yang penting, saya tak milih tidur ae ketimbang melanjutkan cerita yang tidak ada intinya sama sekali.
------
Berdasarkan hasil dari sebuah penelitian (saya tidak tahu apakah ini pernah menjadi skripsi atau tidak), salah satu hal yang sangat dibenci orang adalah dibangunkan orang lain pas lagi tidur. Kalian setuju? Terserah. Tapi, saya pernah mengalami kejadian menjengkelkan yang membuat saya menyetujui penelitian itu.
Ceritane ngene cah. . . (meminjam gaya khas si Alam waktu mau bercerita).
Waktu itu saya berada di kontrakan dekat kampus (rumah kedua saya selama kuliah, yang oleh para pengunjung sering disebut kapal pecah). Kepala saya pusing bukan main. Soal mikir apa kok bisa sepusing itu, gak usah saya sebutkan, saya lupa. Yang pasti bukan mikir keuangan, soalnya terlalu biasa saya gak punya uang. Pasti juga bukan mikir pacar, soalnya tidak punya pacar. Tidak pula mikir tugas kuliah, karena saya punya prinsip istiqomah dalam setiap pengumpulan tugas (istiqomah telat). Entahlah apa masalah saya waktu itu, sampai-sampai saya dibuat sulit tidur. Akhirnya, saya paksa untuk memejamkan mata. Berharap habis bangun nanti turun wahyu yang bisa menyelesaikan masalah ini.
“Cahh, tak turu sik yoo . . .”

Keputusan saya untuk memberitahu teman sebenarnya berniat baik, agar mereka tahu saya sudah tidur meski malam itu masih menunjukkan jam 7. Tapi pengumuman inilah yang menjadi bumerang bagi saya.

Hampir setengah jam saya memejamkan mata, sebelum akhirnya benar-benar tidur. Berada di alam tak sadar yang saya rasakan masih 4 atau 5 menit (orang tidur kok tau waktu yaa), tiba-tiba ada suara gemuruh,
“Zam..zam…zam… Tangi . .tangi..”

Badan saya didorong-dorong tak karuan. Gaya membangunkannya seolah sedang ada kebakaran atau gempa bumi. Secepat kilat saya berlari keluar kamar, secepat pahlawan bertopeng yang berlari membantu Sinchan.
“heh . .heh . . Enek opo?” tanyaku keheranan, karena tidak melihat hal janggal sedang terjadi.
“ Jerekmu mau arep turu, sido po ra?”
Ooo, sungguh jawaban yang sangat diplomatis. Saking diplomatisnya, sebuah helm hampir mendarat di mukanya seandainya ia tak lari menjauh dari saya.

Kawan, apakah ucapan teman saya tadi salah? Tidak juga. Mungkin inilah yang disebut permainan logika. Saya tadi bilang ingin tidur. Itu saja. Saya tidak minta tolong untuk dibangunkan jam sekian. Jadi, tidak ada yang salah kalau teman saya ingin mengingatkan akan ucapan saya tadi, sekalipun dengan cara membangunkan.

Itu hanya satu diantara ulah jahil teman-teman. Tapi, kejadian-kejadian itu tidak akan pernah bisa mengalahkan rasa bangga saya bisa berada satu rumah dengan anak-anak ajaib itu. Sama bangganya ketika saya menjadi salah satu orang yang berada di posko ini. Meminjam istilah kang Huda, anak-anak di posko ini punya maziyah masing-masing. Syukurku kepada Allah yang selalu menempatkanku bersama orang-orang hebat.

Pagi ini, di posko yang indah ini, tepatnya di kamar yang sangat bersih ini (maksudnya bersih sebelum kedatangan anak-anak PKM), saya hampir mengalami lagi kejadian menjengkelkan kayak di atas. Enak-enak tidur sehabis sarapan, Tokichi membangunkan saya. Bedanya, kali ini saya tidak marah sampai melempar helm segala, karena Tokichi membangunkan dengan sangat sabar, dan kebetulan juga saya tidak pas mimpi yang aneh-aneh. Jadi ya ndak apa-apa kalau dibangunkan.

By the way, according to you, what is the meaning of mimpi basah? Mimpi basah (versi saya waktu kelas 4 SD) adalah mimpi yang terjadi waktu kita tidur, lalu turun hujan lebat sekali, lalu atap rumah kita bocor, lalu ada air hujan yang menetesi tubuh kita. Intinya adalah mimpi dimana tidur kita ketrocohan air hujan. Itulah mimpi basah. Definisi ini saya ragukan kebenarannya kalau gak salah kelas 5 SD, sebelum akhirnya benar-benar saya revisi pas kelas 2 SMP (kok jadi ngomongin ini ya).
Clok . . sido mae Pak Imam po ra?”
“Sik Tok, ngantuk..”
“Oke mas braaa…”

Untuk urusan panggil-memanggil, kayaknya teman saya yang satu ini tidak bisa dibiarkan. Saya masih ikhlas kalo cuma dipanggil clok (akronimnya koclok), atau ndeng (gendeng), atau bahkan su. Tapi kalo dipanggil mas braaa, kok kesannya gimana gitu. Plesetan dari mas bro (brother) ini kan agak sensitif ya.. Mau bukti kalo ini sensitif? Lihatlah jemuran pakaian di belakang! Jemuran itu tidak pernah mau menampilkan benda berharga yang satu ini. Si Alam yang sering nanya, dimana ya teman-teman menyembunyikan, kok sebegitu detailnya? (maaf mas Alam, saya mengorbankan Anda .. padahal saya sendiri juga sering bertanya-tanya). Dan di tengah kekalutan untuk mencari jawaban atas pertanyaan penting itu, ada yang berargumen kalo temen-temen disini punya ilmu khusus untuk menghilangkan benda-benda berharga ini agar tidak terlihat mata. Nah looo, enek-enek ae..

Salut saya pada Tokichi karena menjadi salah satu yang berhasil memasarkan kata-kata sehingga menjadi primadona di rumah ini. Selain mas braa, ada lagi prayo lemes (karya mas Awang), bajigorr, hentikan leluconmu, upomoo (hak cipta milik mas Alam), sepenuhnya saya respect sama Anda (atas nama Mbak Ayu), temaaaan (cipt. Mbak Kuni), dan seabrek kata lainnya yang mungkin saya tidak tahu. Tentang bajigur, si pemilik hak cipta sebenarnya pernah menjelaskan kalau kata itu adalah umpatan paling kasar di daerah tertentu, saya lupa. Tapi ya gimana lagi, terlanjur mendunia. Jadi ya, alhamdulillah, beralih status menjadi kata candaan.

Badan ini sebenarnya masih malas untuk keluar rumah. Tapi saya ingat tadi malam sempat mengajak Tokichi untuk bertamu ke rumah Pak Imam pagi ini. Jadi demi meneguhkan prinsip bahwa saya adalah orang yang selalu menepati janji (selain prinsip baik hati, rajin menabung dan tidak sombong), saya harus bulatkan tekad untuk segera melangkahkan kaki (kayak mau perang saja) agar data tentang usaha penggilingan tebu milik Pak Imam bisa secepatnya saya kantongi.
“Ayo Tok. . .siap budal..”
“Oke bro…budal!”
“Eh sik, neng jeding dilut e …”
“Hoalah ndeng – ndeng..”

Mau gimana lagi, perut ini sudah tidak mau kompromi lagi. Sejak Subuh saya tahan. Setiap ke kamar mandi, ada saja orang. Kali inipun ada Mak Lala, eh kurang b, Mbak Lala..sedang cuci baju. Haduh. Innallaha ma’as shaabirin.

Melalui perundingan yang ketat disertai surat perjanjian bermaterai, saya dapat meyakinkan Mbak Lala kalau saya cuma pingin di kamar mandi sebentar, paling banter 5 menit. Kenapa kok perjanjiannya begitu rumit? Karena kemarin sore, tepatnya pas antri mandi, saya mendahuluinya yang sudah antri berjam-jam. Alasan saya cuma mau mengambil handuk, tapi malah mandi. Akibatnya, sekarang ia pakai asas praduga bersalah kepada saya. Mungkin kata kunci yang ia ingat saat berhadapan dengan saya hanyalah modusss. Saya menyesal dengan itu.

Di depan rumah sudah menunggu sahabat-sahabat terbaik, tidak hanya Tokichi, tapi juga mas Alam dan kang Awang.
“Mlaku po montoran coy penake?” Alam memberi tawaran.
“Montoran lah..” sahutku. Pilihanku mungkin masuk akal. Seandainya kami memilih jalan ber-empat, kemudian si kecil Anwar itu membuntuti, takutnya masyarakat menganggap kami ini Power Rangers. Power Rangers yang personilnya cowok semua.
Kawan, cerita di rumah Pak Imam inilah yang sedari tadi saya tunggu untuk saya tulis disini.

Di saat memasuki halaman rumah pak Imam, tidak tampak tebu sama sekali. Biasanya di tempat penggilingan, ada tumpukan tebu untuk stok esok hari. Yang ada hanya sepah sisa penggilingan bertumpuk di samping rumah. Itupun tidak dalam jumlah banyak. Mesin-mesin penggilingan gagah perkasa menunggu para pekerja menjalankannya. Sepertinya hari ini sedang libur. Memang usaha seperti ini sering libur pas musim penghujan kayak gini. Di depan rumah, gula siap jual ditata rapi dalam plastik-plastik. Saya bisa menebak untuk setiap plastiknya itu seberat 25 kg. Saya sedikit tahu karena Bapak saya pernah punya usaha serupa, tapi sekarang berhenti.
Dari pintu depan rumah, saya lihat jarum jam dinding menunjuk angka 10 dan 1.
“Assalamu’alaikuuuuum”.
Tak ada jawaban, kami mengulang ucapan yang sama.
Pada salam yang kedua, kami mendapat respon. Seorang laki-laki setengah baya keluar dari ruang tengah,
“O..nggih mas..monggo mlebet”
“Pak, nyuwun jenengan kenalaken. Niki kulo lare-lare saking PKM STAIN Tulungagung”.

Kiranya sampai ini saja percakapan kami yang bisa saya tulis di sini. Soalnya kalau di tulis semua, khususnya menyangkut usaha penggilingan tebu, lebih baik kalian mengcopy field note saya saja. Tapi tenang, disini saya akan menggambarkan sepenggal obrolan yang menyentuh sesuatu hal. Sesuatu hal ini amat penting. Sesuatu hal inilah yang akhirnya sempat mematahkan semangat hampir semua penghuni posko untuk terus melanjutkan PKM (gak apa-apa yo, sedikit membesar-besarkan).
“Jadi, ada berapa mas temen-temennya?” tanyanya bergaya investigator.
“Sembilan belas pak”
“Yang putra?”
“Ada tujuh pak.”
“Oo.. berarti yang putri ada dua belas ya?” beliau tampak memprediksi, sekalipun itu adalah logika paling mudah sedunia. “Dan sampai sekarang masih tetap jadi satu rumah ya mas?”
Sebenarnya kami tinggal menjawab iya. Tapi tiba-tiba saya merasa ada yang janggal dari pertanyaan ini. Mungkin karena melihat nada bicara pak Imam waktu menyampaikan pertanyaan barusan.

Saya melihat wajah teman-teman. Semua hampir sama. Dan saya sangat bisa memastikan kalau perbincangan selanjutnya sudah mulai tidak sehat. Entah apa itu…
(Terkait pernyataan Pak Imam yang kontroversial terkait anak-anak PKM ini, lebih baik saya tulis besok saja. Soalnya ini Bayern Munchen vs Arsenal sudah mau mulai. Lumayan juga, karena menulis cerita ini, mata saya jadi kuat untuk menunggu pertandingan Liga Champions. Doakan semoga Arsenal menang besar!)


(Cerita di atas hanyalah fiktif belaka. Apabila ada kesamaan nama, tempat, atau kejadian, itu semua adalah suatu kesengajaan. Sekali lagi itu saya sengaja. Karena cerita akan mudah muncul jika terinspirasi dari kejadian-kejadian yang pernah kita lihat dan alami. Dan dengan menimbang banyak hal dan masukan-masukan, saya tegaskan bahwa tidak ada motivasi lain dalam cerita itu selain mek pingin ngejak guyon).

0 komentar:

 
;