(MASIH!) DI SANTA MARIA.
Oleh : Mohammad Khadziqun Nuha
Pagi
ini begitu cerah, mentari bersinar dengan terang menyapa tiap anak adam dan
hawa yang sedang beraktivitas dikotaku tercinta, Tulungagung. Hal ini begitu contrast
dengan suasana dibeberapa wilayah dikotaku sore kemarin ketika kudapati
berdasarkan pantauan langsung disosial media (termasuk fanpage facebook
dimana aku bertindak sebagai Admin. Maaf, aku tidak menyebut Kacamata
Tulungagung) bahwa beberapa titik mengalami hujan yang sangat lebat bahkan
menyebabkan banjir hingga setinggi 1 meter. On the other hand, matahari
yang bersinar pagi ini sejalan dengan slogan kota marmer ketika aku masih
kecil yakni bersinar. (Hah? Bersinar? Slogan bersinar itu kan
artinya bersih, sehat, indah dan menarik kan? Lalu dimana letak
kemiripannya dengan suasana pagi ini? Anu, nah kan sama-sama memakai kata bersinar
jadi dalam konteks ini sama dong. Iya dong? Iya kan? Bener dong? Bener kan?
Hallaaah... iyain aja napa buat nyenengin satu penulis amatiran ini yaa para
pembaca. Toh, ini kenapa jadi ribet-ribet amat cuman masalah satu kata bersinar
saja, amat aja ngga ribet kok. Tapi bersinar bukannya itu yaa... Anak
itu pandai bersinar lidah. #Theeetttt... Bersilat!)
Back
to the topic, pagi ini merupakan hari terakhirku menjadi
pengawas tryout Ujian Sekolah tingkat Kabupaten di SDK Santa Maria. Bergegas
kukendarai kuda besiku karena jam handphoneku sudah menunjukkan pukul enam
lebih empat puluh tujuh menit. Dengan perjalanan sekitar dua belas menit
akhirnya aku tiba di Sekolah Katolik tersebut. Betapa tercengangnya aku ketika
memasuki gerbang sekolah ternyata para siswa sudah masuk kelas untuk beribadat
pagi. Pikirku, wah sudah terlambat ini sepertinya aku. Tapi apa yang kudapati?
Ternyata masih seorang guru wanita yang merupakan tetangga desaku yang telah
duduk manis di aula itu. Ah, sepertinya aku terlalu pagi lagi ini, besok
berangkat agak siang saja (Eh iya deng, besok kan sudah habis tryout-nya).
Selang beberapa menit kemudian, beliau-beliau tiba di aula itu.
Salah
seorang karyawan sekolah datang ke aula itu membawa lima set soal dan lembar
jawaban siswa beserta ID card dan absensi kami. Dalam hatiku, dimana Bu
Vincent, Sang Kepala Sekolah itu? Biasanya beliau sendiri yang mengantar
piranti-piranti tersebut. Ah yasudahlah, agar tidak boring kuabadikan
saja lah lukisan St. Louise de Marrilac, ID Card-ku dan beberapa tempat
permen itu sembari mencoba kamera handphone-ku apakah masih berfungsi untuk
narsis-narsis nantinya. Unik juga tempat permen ini, yang satu terbuat dari
tempat kue yang diberi hiasan dan diatasnya diberi patung santaclaus serta
satunya lagi terbuat dari botol bekas warna hijau salah satu softdrink berinisial
sprite (Ops... Keceplosan) yang diberi resleting.
Beberapa
saat setelah karyawan sekolah itu meninggalkan aula, akhirnya tarraaaa... Bu
Vincent datang dengan simpul senyum keramah tamahan sambil menjabat tangan kami
satu persatu seraya mengucapkan selamat pagi.
“Dos
pundi anak-anak disekolah kami bapak ibu, apakah nakal?”, tanya Bu Vincent
kepada kami untuk memecahkan keheningan.
“Mboteeen”,
Jawab kami serempak.
“Malah
cenderung bagus secara mayoritas meski terdapat satu dua yang memang...”,
ungkap salah satu guru yang diikuti tawa kecil semua orang yang berada di
tempat itu.
“Iya
wajar. Di semua sekolah juga ada yang seperti itu”, guru yang lain
menimpali.
“Kalau
saya justru tertarik dengan pembiasaan di sekolah ini bu. Ketika berdoa semua
anak dengan kusyuk melakukannya tidak ada yang gaduh, bermain atau berbicara
sendiri (eh, berbicara
dengan temannya maksudnya, nanti dikira radak miring berbicara sendiri).
Bagaimana caranya agar dapat seperti itu?”
tanyaku penasaran.
“Sebenarnya
sama saja dengan sekolah lain pak dalam hal pembiasaan. Pembiasaan dilaksanakan
setiap hari dengan bimbingan guru dengan waktu yang tidak sebentar. Biasanya
kami berdoa menggunakan bahasa Inggris dengan diiringi lagu terlebih dahulu.
Sebenarnya itu juga lagu rohani. Saya kira sama di sekolah lain juga seperti
itu, namun cara berdoanya yang berbeda. Semula, waktu mereka di kelas bawah,
ketika berdoa mereka diminta untuk memejamkan mata agar lebih kusyuk berdoa.
Sempat ada anak yang menyeletuk, lhoh anak-anak diminta memejamkan mata itu kok
ibu guru tidak? Ibu guru tidak berdoa? Lalu guru tersebut berkata bahwa
ibu guru ingin melihat siapa yang tidak
berdoa dengan sungguh-sungguh”, Bu Vincent menjelaskan sembil sesekali
menoleh kepadaku yang duduk disampingnya.
“Intinya,
kami berusaha membimbing mereka dengan baik dan tidak segan untuk menegur siswa
yang tidak serius dalam berdoa”, tambah beliau.
“Tapi
saya salut, di instansi saya belum bisa berdoa seperti itu”, kataku dan bu
Vincent hanya tersenyum.
“Lalu,
ketika saya menunggu di salah satu ruang kemarin ada yang kelahiran Amerika ya
bu?”, tanya salah seorang pengawas.
“Iya,
jadi ada dua anak yang lahir di Amerika serta satu keturunan Jerman. Anaknya
cantik namanya kalau tidak salah putri (dalam
hatiku, apakah anak yang duduk paling depan yang ruangannya kutunggu kemarin
ya?)”, jawab Bu Vincent.
“Bapak
ibu... (sambil melihat jam tangannya) sudah
pukul 07.45, saya akan akan membunyikan bel, silakan bapak ibu bersiap-siap...” Ungkap bu Vincent sembari mohon izin kepada kami untuk
meninggalkan tempat.
Setelah
bel berbunyi, kami semua segera menuju ruang yang telah ditentukan. Aku dan partner-ku
kebetulan hari ini menjaga ruang 01. Setelah para siswa berbaris dengan rapi
didepan kelas, kami persilakan untuk masuk. Kuminta salah seorang dari mereka
untuk memimpin berdoa. Benar saja, mereka mengawali dengan kidung suci ungkapan
terimakasih kepada Tuhan atas nikmat yang telah diberikan pagi ini dan malam
kemarin lalu mereka baru berdoa agar diberikan kelancaran dalam mengerjakan
tryout. Terakhir, sang komandan doa yang dengan menggunakan suara berat itu
memberi aba-aba...
“Stand
up please!”
“Greeting
please!”, sang komandan memberikan aba-aba.
“Good
morning Ma’am, Good Morning Sir”, ungkapan salam seluruh kelas dengan
serempak.
“Good
morning to you all. How are you today?” jawabku.
“I
am fine. Thank you. And you?”, respon mereka dengan serempak.
“I
am great. Sit down please!”, pintaku dan diikuti mereka duduk dengan
bersama-sama.
“Setelah
ini kami akan membagikan soal dan LJK, silakan diisi identitas masing-masing dengan
benar (semoga mereka
paham maksudku dan tidak mengisi kolom nama, tanggal lahir, nomor ujian,
tandatangan dan tanggal dengan kata benar, benar dan benar)”, imbuhku.
Bel
berbunyi satu kali pertanda mereka telah diperkenankan untuk memulai
mengerjakan. Dan kami para pengawas untuk mengusir rasa jenuh dengan mengisi
berita acara dan absensi siswa. Setelah itu, menjadi pengawas itu syaratnya
hanya butuh satu hal, BETAH DUDUK SELAMA DUA JAM. Tapi bagiku, cara yang
ampuh untuk mengusir rasa boring yang mulai menghinggapi adalah dengan
cara mengeluarkan selembar kertas ukuran A4. Bukan mau membuat origami berupa
pesawat terbang atau burung namun ingin membuat sketsa tulisan tangan coretan
yang kuposting ini, yang nantinya tinggal mengetik ulang dilaptop. Sekali
dayung, dua tiga pulau terlewati. Sekali waktu, sembari menunggu tryout juga
mendapat bahan untuk kuposting nantinya.
Hari
ini adalah mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, suatu mata pelajaran yang
menurut sebagaian siswa menjadi momok, selain matematika tentunya. Namun
pemandangan berbeda kudapati pada kelas itu. Jam dinding masih menunjukkan tiga
puluh menit setelah tryout dimulai, nampaknya hampir semua siswa telah selesai
mengerjakan. Dan tiga puluh menit kemudian, kutanya kepada mereka.
“Have
you all guys finished your work?”
“Yes,
Sir”, jawab mereka serempak (dalam hatiku, oh my Lord...).
“Please
recheck your identity and your answer sheet. Make sure that those are correct!”
Beberapa
dari mereka mengiyakan ungkapanku dengan segera mengambil lembar jawaban mereka
dan menelitinya kembali. Sedang aku, melihat identitas mereka yang ditempel
pada sebuah map, dan kudapati suatu hal yang menarik perhatianku. Dialah gadis
semi oriental yang duduk pada bangku kedua tepat didepanku (but please... Jangan
mengira aku ini pedofil sebelum membaca ini hingga akhir).
“Angelline
Wijaya?”, sapaku dengan menatap gadis itu.
“Hmm...”,
gadis yang terlihat seperti keturunan Tiongkok itu menunjukkan ekspresi
kebingungan.
“Are
you Angelline Wijaya?”, tanyaku memperjelas.
“Yes,
Sir.” jawabnya lirih.
“When
you were child, did you stay in United States?”, tanyaku penasaran setelah
melihat tempat tanggal lahirnya di identitasnya.
“Yes, Sir”, ia
mengiyakan pertanyaanku.
“Which
state was that?”, pertanyaan lanjutanku.
“Oklahoma”,
jawaban lanjutannya pula.
“So,
when did you move to Indonesia?”, tanyaku penasaran
“When
I was fifth years old”, katanya memperjelas.
Jadi,
dialah yang diceritakan bu Vincent tadi yang merupakan siswa yang dilahirkan di
Amerika. Ternyata sejak usia lima tahun dia telah tinggal di Indonesia dan
tentunya sekarang telah mahir menggunakan bahasa Indonesia. Baru kuingat, dia
pula lah yang kemarin yang memulai menyapa dan berjabat tangan denganku ketika
aku melintasi siswa-siswa yang bercengkrama di depan kelas sehingga diikuti
teman-temannya yang lain. Ya, Angelline Wijaya.
Lima
menit menjelang bel pertanda ujian berakhir berbunyi aku memberikan isyarat
bahwa jika mereka telah selesai meneliti ulang jawaban dan identitasnya,
silakan lembar soal dan LJK untuk ditaruh ditepi meja dengan dipisahkan.
Setelah bel berbunyi, kuminta “komandan doa” untuk memimpin berdoa kembali.
Sekali lagi kulihat rona kekusyukan pada wajah mereka. Ya, doa merupakan bahasa
komunikasi dengan Tuhan. Apabila kita serius memohon kepada-Nya niscaya Dia
akan mengabulkan apapun doa kita. Ntah itu segera maupun kelak, bahkan mungkin
kelak setelah kehidupan ini berakhir.
“Thankyou
sir, good bye sir, thankyou ma’am, good bye ma’am”, greeting dari
mereka secara serempak.
“Yes,
you’re welcome, good bye and you all guys may leave this room” jawabku
belagu ngga mau kalah dengan mereka menggunakan bahasa linggis, eh Inggris.
0 komentar:
Posting Komentar