Blue Fire Pointer
Rabu, 08 April 2015

(MASIH!) DI SANTA MARIA.

(MASIH!) DI SANTA MARIA.

Oleh : Mohammad Khadziqun Nuha



Pagi ini begitu cerah, mentari bersinar dengan terang menyapa tiap anak adam dan hawa yang sedang beraktivitas dikotaku tercinta, Tulungagung. Hal ini begitu contrast dengan suasana dibeberapa wilayah dikotaku sore kemarin ketika kudapati berdasarkan pantauan langsung disosial media (termasuk fanpage facebook dimana aku bertindak sebagai Admin. Maaf, aku tidak menyebut Kacamata Tulungagung) bahwa beberapa titik mengalami hujan yang sangat lebat bahkan menyebabkan banjir hingga setinggi 1 meter. On the other hand, matahari yang bersinar pagi ini sejalan dengan slogan kota marmer ketika aku masih kecil yakni bersinar. (Hah? Bersinar? Slogan bersinar itu kan artinya bersih, sehat, indah dan menarik kan? Lalu dimana letak kemiripannya dengan suasana pagi ini? Anu, nah kan sama-sama memakai kata bersinar jadi dalam konteks ini sama dong. Iya dong? Iya kan? Bener dong? Bener kan? Hallaaah... iyain aja napa buat nyenengin satu penulis amatiran ini yaa para pembaca. Toh, ini kenapa jadi ribet-ribet amat cuman masalah satu kata bersinar saja, amat aja ngga ribet kok. Tapi bersinar bukannya itu yaa... Anak itu pandai bersinar lidah. #Theeetttt... Bersilat!)

Back to the topic,  pagi ini merupakan hari terakhirku menjadi pengawas tryout Ujian Sekolah tingkat Kabupaten di SDK Santa Maria. Bergegas kukendarai kuda besiku karena jam handphoneku sudah menunjukkan pukul enam lebih empat puluh tujuh menit. Dengan perjalanan sekitar dua belas menit akhirnya aku tiba di Sekolah Katolik tersebut. Betapa tercengangnya aku ketika memasuki gerbang sekolah ternyata para siswa sudah masuk kelas untuk beribadat pagi. Pikirku, wah sudah terlambat ini sepertinya aku. Tapi apa yang kudapati? Ternyata masih seorang guru wanita yang merupakan tetangga desaku yang telah duduk manis di aula itu. Ah, sepertinya aku terlalu pagi lagi ini, besok berangkat agak siang saja (Eh iya deng, besok kan sudah habis tryout-nya). Selang beberapa menit kemudian, beliau-beliau tiba di aula itu.

Salah seorang karyawan sekolah datang ke aula itu membawa lima set soal dan lembar jawaban siswa beserta ID card dan absensi kami. Dalam hatiku, dimana Bu Vincent, Sang Kepala Sekolah itu? Biasanya beliau sendiri yang mengantar piranti-piranti tersebut. Ah yasudahlah, agar tidak boring kuabadikan saja lah lukisan St. Louise de Marrilac, ID Card-ku dan beberapa tempat permen itu sembari mencoba kamera handphone-ku apakah masih berfungsi untuk narsis-narsis nantinya. Unik juga tempat permen ini, yang satu terbuat dari tempat kue yang diberi hiasan dan diatasnya diberi patung santaclaus serta satunya lagi terbuat dari botol bekas warna hijau salah satu softdrink berinisial sprite (Ops... Keceplosan) yang diberi resleting.

Beberapa saat setelah karyawan sekolah itu meninggalkan aula, akhirnya tarraaaa... Bu Vincent datang dengan simpul senyum keramah tamahan sambil menjabat tangan kami satu persatu seraya mengucapkan selamat pagi.
Dos pundi anak-anak disekolah kami bapak ibu, apakah nakal?”, tanya Bu Vincent kepada kami untuk memecahkan keheningan.
Mboteeen”, Jawab kami serempak.
Malah cenderung bagus secara mayoritas meski terdapat satu dua yang memang...”, ungkap salah satu guru yang diikuti tawa kecil semua orang yang berada di tempat itu.
Iya wajar. Di semua sekolah juga ada yang seperti itu”, guru yang lain menimpali.
Kalau saya justru tertarik dengan pembiasaan di sekolah ini bu. Ketika berdoa semua anak dengan kusyuk melakukannya tidak ada yang gaduh, bermain atau berbicara sendiri (eh, berbicara dengan temannya maksudnya, nanti dikira radak miring berbicara sendiri). Bagaimana caranya agar dapat seperti itu?” tanyaku penasaran.
Sebenarnya sama saja dengan sekolah lain pak dalam hal pembiasaan. Pembiasaan dilaksanakan setiap hari dengan bimbingan guru dengan waktu yang tidak sebentar. Biasanya kami berdoa menggunakan bahasa Inggris dengan diiringi lagu terlebih dahulu. Sebenarnya itu juga lagu rohani. Saya kira sama di sekolah lain juga seperti itu, namun cara berdoanya yang berbeda. Semula, waktu mereka di kelas bawah, ketika berdoa mereka diminta untuk memejamkan mata agar lebih kusyuk berdoa. Sempat ada anak yang menyeletuk, lhoh anak-anak diminta memejamkan mata itu kok ibu guru tidak? Ibu guru tidak berdoa? Lalu guru tersebut berkata bahwa ibu  guru ingin melihat siapa yang tidak berdoa dengan sungguh-sungguh”, Bu Vincent menjelaskan sembil sesekali menoleh kepadaku yang duduk disampingnya.
Intinya, kami berusaha membimbing mereka dengan baik dan tidak segan untuk menegur siswa yang tidak serius dalam berdoa”, tambah beliau.
Tapi saya salut, di instansi saya belum bisa berdoa seperti itu”, kataku dan bu Vincent hanya tersenyum.
Lalu, ketika saya menunggu di salah satu ruang kemarin ada yang kelahiran Amerika ya bu?”, tanya salah seorang pengawas.
Iya, jadi ada dua anak yang lahir di Amerika serta satu keturunan Jerman. Anaknya cantik namanya kalau tidak salah putri (dalam hatiku, apakah anak yang duduk paling depan yang ruangannya kutunggu kemarin ya?)”, jawab Bu Vincent.
Bapak ibu... (sambil melihat jam tangannya) sudah pukul 07.45, saya akan akan membunyikan bel, silakan bapak ibu bersiap-siap...” Ungkap bu Vincent sembari mohon izin kepada kami untuk meninggalkan tempat.


Setelah bel berbunyi, kami semua segera menuju ruang yang telah ditentukan. Aku dan partner-ku kebetulan hari ini menjaga ruang 01. Setelah para siswa berbaris dengan rapi didepan kelas, kami persilakan untuk masuk. Kuminta salah seorang dari mereka untuk memimpin berdoa. Benar saja, mereka mengawali dengan kidung suci ungkapan terimakasih kepada Tuhan atas nikmat yang telah diberikan pagi ini dan malam kemarin lalu mereka baru berdoa agar diberikan kelancaran dalam mengerjakan tryout. Terakhir, sang komandan doa yang dengan menggunakan suara berat itu memberi aba-aba...
“Stand up please!”
“Greeting please!”, sang komandan memberikan aba-aba.
Good morning Ma’am, Good Morning Sir”, ungkapan salam seluruh kelas dengan serempak.
Good morning to you all. How are you today?” jawabku.
I am fine. Thank you. And you?”, respon mereka dengan serempak.
I am great. Sit down please!”, pintaku dan diikuti mereka duduk dengan bersama-sama.
Setelah ini kami akan membagikan soal dan LJK, silakan diisi identitas masing-masing dengan benar (semoga mereka paham maksudku dan tidak mengisi kolom nama, tanggal lahir, nomor ujian, tandatangan dan tanggal dengan kata benar, benar dan benar)”, imbuhku.

Bel berbunyi satu kali pertanda mereka telah diperkenankan untuk memulai mengerjakan. Dan kami para pengawas untuk mengusir rasa jenuh dengan mengisi berita acara dan absensi siswa. Setelah itu, menjadi pengawas itu syaratnya hanya butuh satu hal, BETAH DUDUK SELAMA DUA JAM. Tapi bagiku, cara yang ampuh untuk mengusir rasa boring yang mulai menghinggapi adalah dengan cara mengeluarkan selembar kertas ukuran A4. Bukan mau membuat origami berupa pesawat terbang atau burung namun ingin membuat sketsa tulisan tangan coretan yang kuposting ini, yang nantinya tinggal mengetik ulang dilaptop. Sekali dayung, dua tiga pulau terlewati. Sekali waktu, sembari menunggu tryout juga mendapat bahan untuk kuposting nantinya.

Hari ini adalah mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, suatu mata pelajaran yang menurut sebagaian siswa menjadi momok, selain matematika tentunya. Namun pemandangan berbeda kudapati pada kelas itu. Jam dinding masih menunjukkan tiga puluh menit setelah tryout dimulai, nampaknya hampir semua siswa telah selesai mengerjakan. Dan tiga puluh menit kemudian, kutanya kepada mereka.
Have you all guys finished your work?
Yes, Sir”, jawab mereka serempak (dalam hatiku, oh my Lord...).
Please recheck your identity and your answer sheet. Make sure that those are correct!

Beberapa dari mereka mengiyakan ungkapanku dengan segera mengambil lembar jawaban mereka dan menelitinya kembali. Sedang aku, melihat identitas mereka yang ditempel pada sebuah map, dan kudapati suatu hal yang menarik perhatianku. Dialah gadis semi oriental yang duduk pada bangku kedua tepat didepanku (but please... Jangan mengira aku ini pedofil sebelum membaca ini hingga akhir).
“Angelline Wijaya?”, sapaku dengan menatap gadis itu.
“Hmm...”, gadis yang terlihat seperti keturunan Tiongkok itu menunjukkan ekspresi kebingungan.
Are you Angelline Wijaya?”, tanyaku memperjelas.
Yes, Sir.” jawabnya lirih.
When you were child, did you stay in United States?”, tanyaku penasaran setelah melihat tempat tanggal lahirnya di identitasnya.
 “Yes, Sir”, ia mengiyakan pertanyaanku.
Which state was that?”, pertanyaan lanjutanku.
Oklahoma”, jawaban lanjutannya pula.
So, when did you move to Indonesia?”, tanyaku penasaran
When I was fifth years old”, katanya memperjelas.

Jadi, dialah yang diceritakan bu Vincent tadi yang merupakan siswa yang dilahirkan di Amerika. Ternyata sejak usia lima tahun dia telah tinggal di Indonesia dan tentunya sekarang telah mahir menggunakan bahasa Indonesia. Baru kuingat, dia pula lah yang kemarin yang memulai menyapa dan berjabat tangan denganku ketika aku melintasi siswa-siswa yang bercengkrama di depan kelas sehingga diikuti teman-temannya yang lain. Ya, Angelline Wijaya.

Lima menit menjelang bel pertanda ujian berakhir berbunyi aku memberikan isyarat bahwa jika mereka telah selesai meneliti ulang jawaban dan identitasnya, silakan lembar soal dan LJK untuk ditaruh ditepi meja dengan dipisahkan. Setelah bel berbunyi, kuminta “komandan doa” untuk memimpin berdoa kembali. Sekali lagi kulihat rona kekusyukan pada wajah mereka. Ya, doa merupakan bahasa komunikasi dengan Tuhan. Apabila kita serius memohon kepada-Nya niscaya Dia akan mengabulkan apapun doa kita. Ntah itu segera maupun kelak, bahkan mungkin kelak setelah kehidupan ini  berakhir.
Thankyou sir, good bye sir, thankyou ma’am, good bye ma’am”, greeting dari mereka secara serempak.

Yes, you’re welcome, good bye and you all guys may leave this room” jawabku belagu ngga mau kalah dengan mereka menggunakan bahasa linggis, eh Inggris.

0 komentar:

 
;