LIMA BELAS MENIT BERSAMA PAK YOHANNES
Oleh : Mohammad Khadziqun Nuha
Kusambut
pagi ini dengan pipi yang agak cuby, bukan karena aku berubah makin imut namun
lebih karena sakit gigi yang kemarin sehingga pipiku laksana sedang memakan
permen. Tidak besar memang namun apabila diperhatikan dengan seksama dan
dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, maka terpampang nyatalah benjolan
dipipiku. Tidak sesakit kemarin sih manakala klimaks sampai kemarin aku harus
digujer (ntah apa bahasa Indonesia yang baik dan benarnya) serta dipijat
disela-sela jari telunjuk dan jempol oleh temanku. Sontak aku berteriak
sekeras-kerasnya menahan sakit. Menurut penuturan mereka, manakala kita sakit
gigi sebelah kiri maka sela-sela jari telunjuk dan jempol kanan yang harus
dipijat dengan sekencang-kencangnya untuk mengalihkan rasa sakit dan begitu
sebaliknya.
“Piye,
uwis mari cenut-cenut untune?”,
tanya temanku.
“Dereng
pak.”, jawabku singkat.
“Woh,
berarti kurang nemen iki lekku mijet, gujeren sing nemen jul!”, ungkap pak
Ruli kepada Juli.
“Ampun
pak... Uwis mari pak... Uwis mari...”, sambarku.
“Hallah
ngapusi kuwi pak. Luwih nemen meneh pak”, kata Juli.
“Terus
aku kudu piye iki, kabeh kok salah. Patenono aku ae pisan”, rintihku.
Benar
sih, semula memang terasa nyeri di sela-sela jari telunjuk dan jempol namun amajing-nya
(dengan fashih memakai jim) dengan seketika sakit gigiku tak
terasa (Yah, meski hanya beberapa menit sih). Siapa pula ini yang begitu jenius
menemukan metode ampuh macam ini? Pasti dukun yang satu ini merupakan ahli
didunia perdukunpijatan di Indonesia dan sekitarnya.
Sudahlah,
lupakan soal sakit gigiku dan segala pernak-perniknya, sudah cukup hari ini aku
kena bully dengan benjolan di pipiku ini. Marilah kita mulai fokus
karena yang ingin kubahas dalam coretanku ini bukan masalah itu. Ya! Hari ini
aku masih mendapat amanah untuk menjadi pengawas ujian sekolah di SDK Santa
Maria. Sebelum pukul tujuh, aku sudah berada di sekolah itu dengan harapan
tidak terlambat. Tapi apa ternyata? Kukira aku sudah terlambat, namun nampaknya
hipotesaku salah. Ternyata aku termasuk assabiqunal awwalun, belum kujumpai
Bapak dan Ibu guru pengawas lain yang telah hadir ditempat itu. Bahkan
anak-anakpun belum baris dan beribadat pagi.
“Monggo
pak, parkirnya didalam saja disebelah timur”, ungkap salah seorang
bapak-bapak penjaga sekolah.
“Inggih.”,
jawabku dengan merdu (Heloooo... merdu dari mana, suara kayak radio
butut waktu diputer diatas jam 12 malam saja, dalam kurung kemresek, kok
dibilang merduuuu... Aku ngga bilang merusak dunia, karena kalau
menggunakan ungkapan itu pasti sudah ketebak oleh para pembaca. Aku kan bukan
penulis yang ordinary, namun extraordinary writer. Hehe)
Ditempat
parkir mungil itu ternyata sudah ada seorang bapak yang sudah cukup berumur
sedang memainkan handphone. Sepertinya sedang update status di facebook,
pikirku. Eh, tapi ngga mungkin deng, kan handphone-nya Nokia 3210 sepertinya (maaf,
menyebut merk). Segera aku menghampiri dan menyapa beliau,
“Selamat
pagi pak”, sapaku dengan berjabat tangan.
“Selamat
pagi”, jawabnya singkat.
“Ini
nanti masuk jam berapa pak?”, tanyaku.
“Setengah
delapan. Apa masih sekali menjaga?”, jawab beliau.
“Mboten.
Hari ini hari kedua, kemarin yang pertama (yaiyaalaaaah...). Kemarin
masuk jam setengah delapan, tapi sekitar jam tujuh ibu Kepala Sekolah
memberikan pengarahan terlebih dahulu kepada siswa” (Dalam hatiku, aku
bilang, hehe untuk abang-abang lambe bin pemanis bibir pak dengan
bertanya itu. Hehe).
Menurut
penuturan pria yang lahir pada tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia ini (Yap!
Seratus buat pembaca yang menjawab bapak ini lahir pada tahun 1945. Pasti
dahulu nilai pelajaran sejarahnya bagus), SDK Santa Maria ini satu yayasan
dengan TK dan SMP dengan nama serupa yang berada didekat Kantor Telkom. Bahkan
dahulunya satu atap. Namun karena siswanya kian banyak, akhirnya SDK Santa
Maria ini mendirikan bangunan sendiri di area baru yakni di Jl. Panglima
Jendral Sudirman No 30, Tulungagung. Untuk tahun ini saja ternyata kelas enam
berjumlah 95 siswa, itu sebanding dengan hampir semua siswa di instansiku
mengajar. Lebih lanjut, pria yang lebih suka menggunakan bahasa Indonesia ini
menuturkan bahwa beliau sudah mengabdi disekolah tersebut sejak tahun 1969 atau
sejak beliau lulus dari SPG Tulungagung. Meski sempat ditawari sebagai pegawai
negeri, beliau lebih memilih mengabdi di sekolah tersebut sebagai guru
bimbingan konseling. Ketika kutanya mengenai alasan beliau, dengan tegas beliau
menyebutkan karena alasan keluarga dan aku tidak berani bertanya lebih jauh
lagi tentang ini.
“Saya
dulu juga tahu agresi militer Belanda lho mas”, ungkap pria yang sudah
memasuki usia pensiun namun masih mendapat amanah untuk mengabdi disekolah
tersebut.
“Iya
kah pak? Jenengan juga ikut berperang?”, ungkapan penasaranku.
“Ah,
tidak, waktu itu saya masih kecil. Tapi saya ingat waktu itu Tulungagung juga
pernah digempur lewat udara dan darat disekitar daerah Boyolangu sana, dengan
daerah barat itu mana, iya Gondang. Saya ingat kala itu saya dan keluarga harus
sembunyi diparit dibawah tanah untuk menghindari bom Belanda”. Dalam
hatiku,wah kayaknya keren tuh kalau mengulang di masa lalu. Eh, tapi amit-amit
jabang baby deng, Jangan sampai negeri ini dijajah lagi, terlebih dijajah secara
ideologi, mindset, lifestyle dan moral value.
Dalam
sesi terakhir perbincanganku bersama bapak itu kutanyakan nama beliau.
“Ngapunten,
jenengan keparingan asma sinten?”
“Nama
saya Yohannes”
“Oh
pak Yohannes. Saya Nuha”
“Siapa?
Ruha”
“Nuha
pak (Hening. Krik krik krik. Nangis darah). eN – U – Ha - A”
“Oh
Nuha” (Dalam hatiku, Alhamdulillah akhirnya...)
Yah,
memang beginilah susahnya mempunyai nama yang kurang familiar ditelinga orang.
Apalagi jika aku menyebutkan nama tengahku, nama yang biasa sebagai nama
panggilan ketika dirumah, pasti malah lebih susah lagi para stranger untuk
melafalkannya.
“Mohon
maaf pak, saya mau kesana dahulu”
“Silakan
mas”
Segera
aku berjalan menuju ke aula, tempat dimana para pengawas menunggu sebelum ujian
berlangsung. Dalam perjalananku ke tempat itu, tiba-tiba beberapa anak yang
kulewati mendatangiku. Kukira mereka mau meminta uang saku, tandatangan atau
bahkan foto bareng bersamaku, eh ternyata mereka langsung meminta berjabat
tangan dengan mengucapkan selamat pagi kepadaku disertai simpul senyum
ramah dan kubalas dengan jabat tangan dan ucapan selamat pagi kepada
mereka. Dan ini, satu lagi nilai kesantunan lain yang kudapat disekolah
tersebut. Sungguh pendidikan karakter yang telah berjalan dengan baik yang
perlu dicontoh. Honestly, aku mengakui pada instansiku mengajar masih
perlu ditingkatkan dalam pendidikan karakter ini.
Sesampainya
di aula yang terdapat peta negara Italy dan Inggris, lukisan jamuan Jesus,
patung Jesus beserta domba-dombanya, beberapa poster dan lukisan St. Louise
de Marrilac dengan sepuluh kursi serta beberapa meja itu, aku langsung
disambut dengan beberapa guru yang ternyata sudah datang ketika aku
bercengkrama dengan pak Yohannes. Setelah itu, kami melaksanakan tugas kami
seperti hari kemarin.
Hari
ini aku belajar banyak dengan pak Yohannes dengan kebersahajaannya,
kesantunannya, keterbukaannya serta totalitasnya mengabdi, bahkan hingga usia
senjanya. Marilah kita renungkan kembali, bukanlah materi yang sepatutnya kita
cari dalam bekerja, namun barokah dari pekerjaan kita. Karena manakala kita
hanya berorientasi pada materi saja dalam bekerja, maka hanya sebatas itu yang akan
kita dapat, berbeda dengan mereka yang lebih mengedepankan prinsip usefullness
dan blessing dalam bekerja, mereka akan mendapat nilai lebih dari
pekerjaannya. Terlebih menjadi seorang pendidik, suatu amal jariyah yang
mana tidak akan putus pahalanya apabila ilmu yang kita sampaikan itu diamalkan
dan bermanfaat bagi orang lain. Subhanallah, Allah membukakan pintu
hikmahnya padaku dengan berbagai cara, termasuk dari orang yang berkeyakinan
lain.
0 komentar:
Posting Komentar