Blue Fire Pointer
Selasa, 07 April 2015

LIMA BELAS MENIT BERSAMA PAK YOHANNES

LIMA BELAS MENIT BERSAMA PAK YOHANNES

Oleh : Mohammad Khadziqun Nuha



Kusambut pagi ini dengan pipi yang agak cuby, bukan karena aku berubah makin imut namun lebih karena sakit gigi yang kemarin sehingga pipiku laksana sedang memakan permen. Tidak besar memang namun apabila diperhatikan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, maka terpampang nyatalah benjolan dipipiku. Tidak sesakit kemarin sih manakala klimaks sampai kemarin aku harus digujer (ntah apa bahasa Indonesia yang baik dan benarnya) serta dipijat disela-sela jari telunjuk dan jempol oleh temanku. Sontak aku berteriak sekeras-kerasnya menahan sakit. Menurut penuturan mereka, manakala kita sakit gigi sebelah kiri maka sela-sela jari telunjuk dan jempol kanan yang harus dipijat dengan sekencang-kencangnya untuk mengalihkan rasa sakit dan begitu sebaliknya.
“Piye, uwis mari cenut-cenut untune?”, tanya temanku.
“Dereng pak.”, jawabku singkat.
Woh, berarti kurang nemen iki lekku mijet, gujeren sing nemen jul!”, ungkap pak Ruli kepada Juli.
Ampun pak... Uwis mari pak... Uwis mari...”, sambarku.
Hallah ngapusi kuwi pak. Luwih nemen meneh pak”, kata Juli.
Terus aku kudu piye iki, kabeh kok salah. Patenono aku ae pisan”, rintihku.

Benar sih, semula memang terasa nyeri di sela-sela jari telunjuk dan jempol namun amajing-nya (dengan fashih memakai jim) dengan seketika sakit gigiku tak terasa (Yah, meski hanya beberapa menit sih). Siapa pula ini yang begitu jenius menemukan metode ampuh macam ini? Pasti dukun yang satu ini merupakan ahli didunia perdukunpijatan di Indonesia dan sekitarnya.

Sudahlah, lupakan soal sakit gigiku dan segala pernak-perniknya, sudah cukup hari ini aku kena bully dengan benjolan di pipiku ini. Marilah kita mulai fokus karena yang ingin kubahas dalam coretanku ini bukan masalah itu. Ya! Hari ini aku masih mendapat amanah untuk menjadi pengawas ujian sekolah di SDK Santa Maria. Sebelum pukul tujuh, aku sudah berada di sekolah itu dengan harapan tidak terlambat. Tapi apa ternyata? Kukira aku sudah terlambat, namun nampaknya hipotesaku salah. Ternyata aku termasuk assabiqunal awwalun, belum kujumpai Bapak dan Ibu guru pengawas lain yang telah hadir ditempat itu. Bahkan anak-anakpun belum baris dan beribadat pagi.
Monggo pak, parkirnya didalam saja disebelah timur”, ungkap salah seorang bapak-bapak penjaga sekolah.
Inggih.”, jawabku dengan merdu (Heloooo... merdu dari mana, suara kayak radio butut waktu diputer diatas jam 12 malam saja, dalam kurung kemresek, kok dibilang merduuuu... Aku ngga bilang merusak dunia, karena kalau menggunakan ungkapan itu pasti sudah ketebak oleh para pembaca. Aku kan bukan penulis yang ordinary, namun extraordinary writer. Hehe)

Ditempat parkir mungil itu ternyata sudah ada seorang bapak yang sudah cukup berumur sedang memainkan handphone. Sepertinya sedang update status di facebook, pikirku. Eh, tapi ngga mungkin deng, kan handphone-nya Nokia 3210 sepertinya (maaf, menyebut merk). Segera aku menghampiri dan menyapa beliau,
Selamat pagi pak”, sapaku dengan berjabat tangan.
“Selamat pagi”, jawabnya singkat.
Ini nanti masuk jam berapa pak?”, tanyaku.
Setengah delapan. Apa masih sekali menjaga?”, jawab beliau.
Mboten. Hari ini hari kedua, kemarin yang pertama (yaiyaalaaaah...). Kemarin masuk jam setengah delapan, tapi sekitar jam tujuh ibu Kepala Sekolah memberikan pengarahan terlebih dahulu kepada siswa” (Dalam hatiku, aku bilang, hehe untuk abang-abang lambe bin pemanis bibir pak dengan bertanya itu. Hehe).

Menurut penuturan pria yang lahir pada tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia ini (Yap! Seratus buat pembaca yang menjawab bapak ini lahir pada tahun 1945. Pasti dahulu nilai pelajaran sejarahnya bagus), SDK Santa Maria ini satu yayasan dengan TK dan SMP dengan nama serupa yang berada didekat Kantor Telkom. Bahkan dahulunya satu atap. Namun karena siswanya kian banyak, akhirnya SDK Santa Maria ini mendirikan bangunan sendiri di area baru yakni di Jl. Panglima Jendral Sudirman No 30, Tulungagung. Untuk tahun ini saja ternyata kelas enam berjumlah 95 siswa, itu sebanding dengan hampir semua siswa di instansiku mengajar. Lebih lanjut, pria yang lebih suka menggunakan bahasa Indonesia ini menuturkan bahwa beliau sudah mengabdi disekolah tersebut sejak tahun 1969 atau sejak beliau lulus dari SPG Tulungagung. Meski sempat ditawari sebagai pegawai negeri, beliau lebih memilih mengabdi di sekolah tersebut sebagai guru bimbingan konseling. Ketika kutanya mengenai alasan beliau, dengan tegas beliau menyebutkan karena alasan keluarga dan aku tidak berani bertanya lebih jauh lagi tentang ini.
Saya dulu juga tahu agresi militer Belanda lho mas”, ungkap pria yang sudah memasuki usia pensiun namun masih mendapat amanah untuk mengabdi disekolah tersebut.
Iya kah pak? Jenengan juga ikut berperang?”, ungkapan penasaranku.
Ah, tidak, waktu itu saya masih kecil. Tapi saya ingat waktu itu Tulungagung juga pernah digempur lewat udara dan darat disekitar daerah Boyolangu sana, dengan daerah barat itu mana, iya Gondang. Saya ingat kala itu saya dan keluarga harus sembunyi diparit dibawah tanah untuk menghindari bom Belanda”. Dalam hatiku,wah kayaknya keren tuh kalau mengulang di masa lalu. Eh, tapi amit-amit jabang baby deng, Jangan sampai negeri ini dijajah lagi, terlebih dijajah secara ideologi, mindset, lifestyle dan moral value.

Dalam sesi terakhir perbincanganku bersama bapak itu kutanyakan nama beliau.
Ngapunten, jenengan keparingan asma sinten?”
“Nama saya Yohannes”
“Oh pak Yohannes. Saya Nuha”
“Siapa? Ruha”
“Nuha pak (Hening. Krik krik krik. Nangis darah). eN – U – Ha - A”
“Oh Nuha” (Dalam hatiku, Alhamdulillah akhirnya...)
Yah, memang beginilah susahnya mempunyai nama yang kurang familiar ditelinga orang. Apalagi jika aku menyebutkan nama tengahku, nama yang biasa sebagai nama panggilan ketika dirumah, pasti malah lebih susah lagi para stranger untuk melafalkannya.
Mohon maaf pak, saya mau kesana dahulu
Silakan mas

Segera aku berjalan menuju ke aula, tempat dimana para pengawas menunggu sebelum ujian berlangsung. Dalam perjalananku ke tempat itu, tiba-tiba beberapa anak yang kulewati mendatangiku. Kukira mereka mau meminta uang saku, tandatangan atau bahkan foto bareng bersamaku, eh ternyata mereka langsung meminta berjabat tangan dengan mengucapkan selamat pagi kepadaku disertai simpul senyum ramah dan kubalas dengan jabat tangan dan ucapan selamat pagi kepada mereka. Dan ini, satu lagi nilai kesantunan lain yang kudapat disekolah tersebut. Sungguh pendidikan karakter yang telah berjalan dengan baik yang perlu dicontoh. Honestly, aku mengakui pada instansiku mengajar masih perlu ditingkatkan dalam pendidikan karakter ini.

Sesampainya di aula yang terdapat peta negara Italy dan Inggris, lukisan jamuan Jesus, patung Jesus beserta domba-dombanya, beberapa poster dan lukisan St. Louise de Marrilac dengan sepuluh kursi serta beberapa meja itu, aku langsung disambut dengan beberapa guru yang ternyata sudah datang ketika aku bercengkrama dengan pak Yohannes. Setelah itu, kami melaksanakan tugas kami seperti hari kemarin.


Hari ini aku belajar banyak dengan pak Yohannes dengan kebersahajaannya, kesantunannya, keterbukaannya serta totalitasnya mengabdi, bahkan hingga usia senjanya. Marilah kita renungkan kembali, bukanlah materi yang sepatutnya kita cari dalam bekerja, namun barokah dari pekerjaan kita. Karena manakala kita hanya berorientasi pada materi saja dalam bekerja, maka hanya sebatas itu yang akan kita dapat, berbeda dengan mereka yang lebih mengedepankan prinsip usefullness dan blessing dalam bekerja, mereka akan mendapat nilai lebih dari pekerjaannya. Terlebih menjadi seorang pendidik, suatu amal jariyah yang mana tidak akan putus pahalanya apabila ilmu yang kita sampaikan itu diamalkan dan bermanfaat bagi orang lain. Subhanallah, Allah membukakan pintu hikmahnya padaku dengan berbagai cara, termasuk dari orang yang berkeyakinan lain.

0 komentar:

 
;