KALI PERTAMA MEMIJAKKAN KAKI DI SANTA MARIA
Oleh : Mohammad Khadziqun Nuha
Pagi
ini berjalan seperti biasa serta tak ada yang spesial kecuali sakit gigiku yang
tak kunjung mereda. Gigi ini berasa terdapat ribuan kuman yang dengan riang
gembira mengebornya. Cenut-cenut ditambah migran membuat kian lengkap sakit
yang kurasa. Oh, Lord... Padahal kemarin aku sudah habis tiga biji cataflame
kok masih menggila nih sakit gigi. Tapi yasudahlah, this day must still
go on...
Setelah
bermalas-malasan sehabis sholat subuh karena sakit yang kurasa, baru kuingat
kalau baju keki yang harus kupakai hari ini belum kusetrika. Segera kuambil
setrika dan alas lalu wes wes wes... Si setrika mondar mandir diatas
bajuku. Disaat aku tengah menyetrika, tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Ternyata
itu adalah suara pesan whatsapp dari pak Rudi, partnerku satu sekolah
yang hari ini harus bertugas disekolah lain.
“Pak
Nuha nanti berangkatnya pagi saja ya, jam 7 kurang pun nyampek SD Santamaria
gimana?”
Kurang
lebih seperti itulah bunyi pesan itu dan segera kubalas dengan,
“Inggeh
pak. Coba saya usahakan”
Setelah
membalas pesan itu dan kuselesaikan menyetrikaku, kulanjutkan dengan mengambil
handuk dan segera meluncur ke kamar mandi. Nah, disini tak usah lah aku
ceritakan apa yang kulakukan didalam kamar mandi. Itu rahasia perusahaan. Masak
iya pembaca kepo juga. Hehe. Singkat cerita, setelah selesai mandi aku
langsung capcus berangkat. Eh, hampir lupa deng, sebelumnya sempat
mencari STNK dan mengirim sms berisi tugas anak-anak kepada guru kelas 1
kalau-kalau aku belum hadir saat waktunya mengajar. Ah, tapi itu tidak begitu
penting kuceritakan.
Dalam
perjalananku pagi ini, kudapati lalu lalang masyarakat dengan sejuta
kesibukannya. Bapak ibu guru serta siswa yang berangkat ke sekolah, orang-orang
yang berangkat bekerja, penjual yang menjajakan dagangannya serta beberapa
aktivitas lainnya. Ending perjalananku adalah pada sebuah sekolah yang
pada name board-nya bertuliskan nama “SDK SANTA MARIA”.
Ya,
benar saja. Hari ini aku dan sepuluh guru lainnya dari berbagai sekolah
ditugaskan untuk menjadi pengawas tryout Ujian Sekolah tingkat Kabupaten
Tulungagung di sekolah tersebut. Uniknya, dari sepuluh guru tersebut, tujuh
orang mengenakan jilbab sedangkan yang tiga tidak. Tiga orang tersebut adalah
seorang guru wanita, aku dan pak Rudi (helloooo... Yaiyalaaah...).
Inilah poin pentingnya, meskipun berbeda keyakinan, toleransi antar umat
beragama sangat dijunjung tinggi. Tidak ada deskriminasi satu sama lain. Salah
satu dari guru tersebut tidak asing bagiku. Beliau adalah mbak Kholila,
mahasiswa terbaik jurusan matematika ketika masih S1 dan baru saja lulus
pascasarjana di kampusku tahun kemarin.
“Bu,
jenengan nggih lulusan STAIN nggih? Wajahnya kok sampun mboten asing lagi”, kataku untuk membuka pembicaraan.
“Inggih.
Jenengan nggih pascasarjana?” sahutnya.
“(dalam hatiku, ternyata wajahku banyak yang tahu juga. haha).
Inggih, mendet prodi Manajemen Pendidikan Islam. Jenengan dos pundi?”
”IPDI”
“Kok
IPDI? Bukannya jenengan dahulu lulusan TMT?”
“Iya,
saya lebih intens pada mata pelajaran matematika sekolah dasar”
“Lalu,
jenengan sekarang mengajar di SD mana?” tambahku.
“Anu,
di SD alam”
Sementara
itu, setelah memberikan arahan anak-anak di lapangan sekolah, Ibu Vincentia
Sunarlin selaku Kepala Sekolah langsung menghampiri kami untuk memberikan
arahan kepada kami pada sebuah tempat mirip aula yang telah disulap menjadi
tempat briefing. Beliau terlihat telah akrab dengan salah seorang dengan
kami karena telah menjadi langganan menunggu di SD itu. Sedangkan aku, yang
untuk kali kedua sebagai pengawas Ujian Sekolah, masih sekali ini menunggu di
sekolah itu. Keakraban kian terjalin mana kala beliau menanyakan asal sekolah
kami satu persatu seolah tak ada sekat diantara kami. Dalam akhir
“sambutannya”, beliau mengucapkan:
“Niki
menawi sampun jam 8 kurang 15 menit, saya bel nggih. Kersane anak-anak
persiapan dan mengisi lembar LJK terlebih dahulu”
“Inggih”,
jawab kami serempak bak diberi aba-aba.
Waktu
yang ditentukan telah tiba, dan benar saja. Bel berbunyi dengan merdu (helooo..
gimana ceritanya bel berbunyi dengan merdu). Dan benar saja, anak-anak
langsung berbaris didepan kelas. Setelah mendapat izin dari kami, dua pengawas
yang bertugas menjaga diruang 04, mereka langsung masuk menuju kelas yang
ditentukan.
Pada
kelas mini yang berisi sekitar 25 bangku itu terlihat rapi dan bersih.
Nampaknya tukang kebunnya menjalankan tugasnya dengan well done. Pada
bagian belakang kelas, kudapati lukisan St. Vincent de Paul dan St.
Louise de Marrilac yang mengapit salib Katolik yang terdapat Corpus-nya
(patung tubuh Jesus). Dibawahnya terpampang dengan nyata hasil karya siswa
berupa gantungan kunci. Pada sisi kiri dinding tersebut terdapat almari, jam
dinding dan patung bunda maria yang berdampingan dengan masterpiece siswa
berupa anyaman. Sedangkan pada sisi kanan, terdapat sebuah kalender dan alat
peraga berupa penampang gigi (haduh, mengingatkanku akan sakit gigi yang
tengah kualami). Didepan, kudapati patung Jesus dan papan tulis yang
tertata dengan rapi.
Ketika
semua siswa telah masuk semua, langsung kuminta mereka untuk berdoa sesuai
keyakinan masing-masing. Ternyata “tradisi” mereka tidak langsung berdoa, namun
dengan melantunkan lagu pujian terhadap Tuhan mereka atas nikmat yang diberikan
pagi ini dan semalam. Setelah kidung pujian itu selesai, mereka melanjutkan
dengan doa yang dilantunkan dengan bahasa Inggris. Doa tersebut diawali dengan
gerakan tanda salib yang dilakukan dengan menyentuhkan jemari tangan pada dahi,
dada atau perut, dan kedua bahu, diiringi pengucapan rumusan Trinitarian: di
dahi: Dalam nama Bapa (Bahasa Latin: In nomine Patris); di dada
atau perut: dan Putera (Bahasa Latin: et Filii); dari bahu kiri
ke bahu kanan: dan Roh Kudus (Bahasa Latin: et Spiritus Sancti); dan
diakhiri dengan pengucapan: Amin. Ada beberapa penafsiran, menurut para
Bapa Gereja: dahi melambangkan Surga; perut melambangkan bumi; bahu merupakan
tempat dan tanda kekuatan. Serta, tangan di dahi melambangkan doa kepada Allah
Bapa memohon kebijaksanaan; tangan di perut melambangkan doa kepada Allah
Putera yang berinkarnasi; dan tangan pada bahu melambangkan doa kepada Allah
Roh Kudus. (hehe, sementara itu yang aku tahu.) Secara samar-samar
kudengar doa mereka yang berbunyi:
“Dear
God heavenly father, thank you for your blessing for everyday. Please bless our
teacher, our friends, the principal and everyone who are about to begin our own
businesses. Help us oh lord so that we will understand the lessons that we will
take today. Thank you Lord for every blessing that you have given us. bless our
mom, dad, brother, sister, friends who are doing their own things oh lord.
Thank you for everything, in the name of Jesus we pray, Amen” (Tapi jangan dianggap penulis sedang berdoa mengikuti cara mereka
yaa... Ini hanya mencoba memberikan gambaran kepada pembaca)
Satu
hal yang kuacungi jempol adalah mereka berdoa dengan “khusyuk”, suatu hal yang
masih perlu ditingkatkan pada instansi tempatku mengajar. Mereka berusaha
menyatu dengan Tuhannya. Bahkan, bagi orang Katolik memiliki semboyan “ora
et labora” yang artinya berdoa dan bekerja. Berdoa dan berkarya merupakan
satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan.Tidak kujumpai siswa yang bermain
sendiri atau berbicara sendiri kecuali mereka melantunkan bersama-sama doa pagi
itu. Menurutku, pembiasaan pada sekolah tersebut telah berjalan dengan baik
dalam beribadah kepada Tuhan.
Diakhir
doa mereka, mereka mencoba menyapaku, eh lebih tepatnya kami, dua pengawas
dikelas itu menggunakan bahasa Inggris. Aku yang sedikit-sedikit tahu tentang
bahasa Inggris mencoba menjawab sapaan mereka. Disini, aku berusaha untuk tidak
mengucapkan assalamu’alaikum, suatu salam yang selalu kugunakan dalam
memulai pelajaran dikelasku guna menghormati azas toleransi, jadi disini aku
hanya mengucapkan
“Selamat
pagi, anak-anak...”
“Selamat
pagi pakkk”... Jawab mereka
serempak bak telah ada dirigent yang telah memberikan aba-aba.
“Sudah
siap untuk menu kalian pagi ini? Apakah menu kalian pagi ini? Maksudnya
mata pelajarannya...”
“Sudah
siap pak. Bahasa Indonesia pakkk...”
“Baik,
setelah ini kami akan membagikan lembar jawaban dan lembar soal. Silakan
terlebih dahulu mengisi identitas pada kolom yang telah disediakan”
Singkat
cerita (nanti kelamaan cerita, pembaca mengantuk), mereka sudah memulai
mengerjakan setelah bel satu kali berbunyi pertanda mereka telah diperkenankan
memegang lembar soal dan mulai mengerjakannnya dengan dimuqodimahi dengan
ungkapanku yang berbunyi:
“Silakan
mulai mengerjakan. Saya harap tetap menjaga ketenangan. Silakan menghormati
teman kalian yang sedang mengerjakan.”
Aku
dan partnerku, seorang guru wanita berjilbab juga dari salah satu SD Negeri,
mewarnai kesuntukan pagi itu dengan mengisi lembar berita acara dan absensi
siswa. Pada saat tengah menulis lembar berita acara, kudapati bangku pojok
belakang kosong, segera aku menghampiri bangku itu dan menanyakan kepada siswa
didepan bangku itu.
“Ini
Michelle kemana? Kok hari ini tidak hadir”
“Tidak
tahu pak. Sepertinya kemarin izin. Oh iya pak, apakah lembar soalnya nanti
boleh dibawa pulang?”, ungkap salah seorang anak yang pada lembar identitas
dibangkunya tertulis nama Laurencia.
“Sepertinya
harus dikumpulkan kembali”
“Jadi
tidak boleh dicoret-coret pak?”
“Iya.”
Selepas
itu aku melihat daftar nama peserta ujian tryout pagi itu. Anehnya, ketika
kucari-cari nama paijo, sutini, marpuah, waljinah, bejo atau bahkan slamet tidak
ada. Nahlo, aneh ngga tuh? Yang kudapati nama-nama gaul ala barat
seperti Maximiilliano, Michael, Jessica, Gabriele, Evans, Reynard, Johannes,
Edbert, Stephen, Angeline, Luis, Felicia, Kevin, Theodore, Laurencia atau
bahkan Michelle. Eh, tapi juga ngga aneh sih. Melihat dari dimana mereka
sekolah. Hehe.
Rona
serius terpancar pada wajah-wajah mereka. Satu hal yang aku salut lagi, suasana
kelas tidak berubah gaduh akibat “ulah” siswa yang berburu jawaban. Suasana
kondusif tetap terjaga hingga jam mengerjakan berakhir. Suatu hal yang
kontradiktif dengan tempatku menunggu tahun lalu. Boro-boro bisa tenang
hingga akhir, masih 15 menit saja mereka sudah pada “bergerilya” berburu
jawaban dari temannya. Sekali lagi, menurutku pembiasaan bersikap pada sekolah
ini telah berhasil.
Lima
menit menjelang waktu berakhir, aku memberikan signal kepada mereka,
“You
have another five minutes to finish your work. If you have finished, please
recheck your answer sheet and your identity! You may leave this class after the
bell rings. ”
Hehe,
radak belagu lhah memakai bahasa-nya Ratu Elizabeth, masak kalah dengan
anak-anak yang berdoa menggunakan bahasa linggis, eh bahasa Inggris. Dan,
setelah bel berbunyi, aku mempersilakan mereka untuk meninggalkan kelas dengan
terlebih dahulu meminta mereka memisahkan lembar jawaban dan soal pada tepi
bangku mereka masing-masing. Setelah mereka pergi, kami mengambil dua lembar
itu dengan mengurutkan sesuai nomor ujian.
Diaula,
Ibu Vincent telah menunggu kami beserta pengawas lain untuk menerima hasil
ujian dari siswa-siswa. Dengan teliti beliau melihat lembar demi lembar LJK
siswa. Ketika kutanya seputar salah seorang siswa yang tidak masuk dikelasku
pagi ini, menurut beliau, dia tengah melakukan operasi di Hongkong dan
jadwalnya tidak bisa diganggu gugat. Pihat sekolah telah memberikan izin namun
memberikan keterangan kalau tidak ada tryout susulan.
Begitulah
cerita yang luar biasa yang kualami hari ini. Sebuah pengalaman berharga yang
kudapat dari sebuah sekolah yang bernama SDK SANTA MARIA. Aku jadi tahu banyak hal
seputar dunia Katolik terlebih apa yang disebut dengan toleransi antar umat
beragama. Semoga esok hari, aku juga mendapatkan extraordinary
experience lain. Yap, we are gonna see tomorrow.
0 komentar:
Posting Komentar