Blue Fire Pointer
Senin, 06 April 2015

KALI PERTAMA MEMIJAKKAN KAKI DI SANTA MARIA

KALI PERTAMA MEMIJAKKAN KAKI DI SANTA MARIA

Oleh : Mohammad Khadziqun Nuha




Pagi ini berjalan seperti biasa serta tak ada yang spesial kecuali sakit gigiku yang tak kunjung mereda. Gigi ini berasa terdapat ribuan kuman yang dengan riang gembira mengebornya. Cenut-cenut ditambah migran membuat kian lengkap sakit yang kurasa. Oh, Lord... Padahal kemarin aku sudah habis tiga biji cataflame kok masih menggila nih sakit gigi. Tapi yasudahlah, this day must still go on...

Setelah bermalas-malasan sehabis sholat subuh karena sakit yang kurasa, baru kuingat kalau baju keki yang harus kupakai hari ini belum kusetrika. Segera kuambil setrika dan alas lalu wes wes wes... Si setrika mondar mandir diatas bajuku. Disaat aku tengah menyetrika, tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Ternyata itu adalah suara pesan whatsapp dari pak Rudi, partnerku satu sekolah yang hari ini harus bertugas disekolah lain.
“Pak Nuha nanti berangkatnya pagi saja ya, jam 7 kurang pun nyampek SD Santamaria gimana?”
            Kurang lebih seperti itulah bunyi pesan itu dan segera kubalas dengan,
“Inggeh pak. Coba saya usahakan”

Setelah membalas pesan itu dan kuselesaikan menyetrikaku, kulanjutkan dengan mengambil handuk dan segera meluncur ke kamar mandi. Nah, disini tak usah lah aku ceritakan apa yang kulakukan didalam kamar mandi. Itu rahasia perusahaan. Masak iya pembaca kepo juga. Hehe. Singkat cerita, setelah selesai mandi aku langsung capcus berangkat. Eh, hampir lupa deng, sebelumnya sempat mencari STNK dan mengirim sms berisi tugas anak-anak kepada guru kelas 1 kalau-kalau aku belum hadir saat waktunya mengajar. Ah, tapi itu tidak begitu penting kuceritakan.

Dalam perjalananku pagi ini, kudapati lalu lalang masyarakat dengan sejuta kesibukannya. Bapak ibu guru serta siswa yang berangkat ke sekolah, orang-orang yang berangkat bekerja, penjual yang menjajakan dagangannya serta beberapa aktivitas lainnya. Ending­ perjalananku adalah pada sebuah sekolah yang pada name board-nya bertuliskan nama “SDK SANTA MARIA”.

Ya, benar saja. Hari ini aku dan sepuluh guru lainnya dari berbagai sekolah ditugaskan untuk menjadi pengawas tryout Ujian Sekolah tingkat Kabupaten Tulungagung di sekolah tersebut. Uniknya, dari sepuluh guru tersebut, tujuh orang mengenakan jilbab sedangkan yang tiga tidak. Tiga orang tersebut adalah seorang guru wanita, aku dan pak Rudi (helloooo... Yaiyalaaah...). Inilah poin pentingnya, meskipun berbeda keyakinan, toleransi antar umat beragama sangat dijunjung tinggi. Tidak ada deskriminasi satu sama lain. Salah satu dari guru tersebut tidak asing bagiku. Beliau adalah mbak Kholila, mahasiswa terbaik jurusan matematika ketika masih S1 dan baru saja lulus pascasarjana di kampusku tahun kemarin.
“Bu, jenengan nggih lulusan STAIN nggih? Wajahnya kok sampun mboten asing lagi”, kataku untuk membuka pembicaraan.
“Inggih. Jenengan nggih pascasarjana?” sahutnya.
(dalam hatiku, ternyata wajahku banyak yang tahu juga. haha). Inggih, mendet prodi Manajemen Pendidikan Islam. Jenengan dos pundi?”
”IPDI”
“Kok IPDI? Bukannya jenengan dahulu lulusan TMT?”
“Iya, saya lebih intens pada mata pelajaran matematika sekolah dasar”
“Lalu, jenengan sekarang mengajar di SD mana?” tambahku.
“Anu, di SD alam”

Sementara itu, setelah memberikan arahan anak-anak di lapangan sekolah, Ibu Vincentia Sunarlin selaku Kepala Sekolah langsung menghampiri kami untuk memberikan arahan kepada kami pada sebuah tempat mirip aula yang telah disulap menjadi tempat briefing. Beliau terlihat telah akrab dengan salah seorang dengan kami karena telah menjadi langganan menunggu di SD itu. Sedangkan aku, yang untuk kali kedua sebagai pengawas Ujian Sekolah, masih sekali ini menunggu di sekolah itu. Keakraban kian terjalin mana kala beliau menanyakan asal sekolah kami satu persatu seolah tak ada sekat diantara kami. Dalam akhir “sambutannya”, beliau mengucapkan:
“Niki menawi sampun jam 8 kurang 15 menit, saya bel nggih. Kersane anak-anak persiapan dan mengisi lembar LJK terlebih dahulu
Inggih”, jawab kami serempak bak diberi aba-aba.

Waktu yang ditentukan telah tiba, dan benar saja. Bel berbunyi dengan merdu (helooo.. gimana ceritanya bel berbunyi dengan merdu). Dan benar saja, anak-anak langsung berbaris didepan kelas. Setelah mendapat izin dari kami, dua pengawas yang bertugas menjaga diruang 04, mereka langsung masuk menuju kelas yang ditentukan.

Pada kelas mini yang berisi sekitar 25 bangku itu terlihat rapi dan bersih. Nampaknya tukang kebunnya menjalankan tugasnya dengan well done. Pada bagian belakang kelas, kudapati lukisan St. Vincent de Paul dan St. Louise de Marrilac yang mengapit salib Katolik yang terdapat Corpus-nya (patung tubuh Jesus). Dibawahnya terpampang dengan nyata hasil karya siswa berupa gantungan kunci. Pada sisi kiri dinding tersebut terdapat almari, jam dinding dan patung bunda maria yang berdampingan dengan masterpiece siswa berupa anyaman. Sedangkan pada sisi kanan, terdapat sebuah kalender dan alat peraga berupa penampang gigi (haduh, mengingatkanku akan sakit gigi yang tengah kualami). Didepan, kudapati patung Jesus dan papan tulis yang tertata dengan rapi.

Ketika semua siswa telah masuk semua, langsung kuminta mereka untuk berdoa sesuai keyakinan masing-masing. Ternyata “tradisi” mereka tidak langsung berdoa, namun dengan melantunkan lagu pujian terhadap Tuhan mereka atas nikmat yang diberikan pagi ini dan semalam. Setelah kidung pujian itu selesai, mereka melanjutkan dengan doa yang dilantunkan dengan bahasa Inggris. Doa tersebut diawali dengan gerakan tanda salib yang dilakukan dengan menyentuhkan jemari tangan pada dahi, dada atau perut, dan kedua bahu, diiringi pengucapan rumusan Trinitarian: di dahi: Dalam nama Bapa (Bahasa Latin: In nomine Patris); di dada atau perut: dan Putera (Bahasa Latin: et Filii); dari bahu kiri ke bahu kanan: dan Roh Kudus (Bahasa Latin: et Spiritus Sancti); dan diakhiri dengan pengucapan: Amin. Ada beberapa penafsiran, menurut para Bapa Gereja: dahi melambangkan Surga; perut melambangkan bumi; bahu merupakan tempat dan tanda kekuatan. Serta, tangan di dahi melambangkan doa kepada Allah Bapa memohon kebijaksanaan; tangan di perut melambangkan doa kepada Allah Putera yang berinkarnasi; dan tangan pada bahu melambangkan doa kepada Allah Roh Kudus. (hehe, sementara itu yang aku tahu.) Secara samar-samar kudengar doa mereka yang berbunyi:
“Dear God heavenly father, thank you for your blessing for everyday. Please bless our teacher, our friends, the principal and everyone who are about to begin our own businesses. Help us oh lord so that we will understand the lessons that we will take today. Thank you Lord for every blessing that you have given us. bless our mom, dad, brother, sister, friends who are doing their own things oh lord. Thank you for everything, in the name of Jesus we pray, Amen” (Tapi jangan dianggap penulis sedang berdoa mengikuti cara mereka yaa... Ini hanya mencoba memberikan gambaran kepada pembaca)

Satu hal yang kuacungi jempol adalah mereka berdoa dengan “khusyuk”, suatu hal yang masih perlu ditingkatkan pada instansi tempatku mengajar. Mereka berusaha menyatu dengan Tuhannya. Bahkan, bagi orang Katolik memiliki semboyan “ora et labora” yang artinya berdoa dan bekerja. Berdoa dan berkarya merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan.Tidak kujumpai siswa yang bermain sendiri atau berbicara sendiri kecuali mereka melantunkan bersama-sama doa pagi itu. Menurutku, pembiasaan pada sekolah tersebut telah berjalan dengan baik dalam beribadah kepada Tuhan.

Diakhir doa mereka, mereka mencoba menyapaku, eh lebih tepatnya kami, dua pengawas dikelas itu menggunakan bahasa Inggris. Aku yang sedikit-sedikit tahu tentang bahasa Inggris mencoba menjawab sapaan mereka. Disini, aku berusaha untuk tidak mengucapkan assalamu’alaikum, suatu salam yang selalu kugunakan dalam memulai pelajaran dikelasku guna menghormati azas toleransi, jadi disini aku hanya mengucapkan
Selamat pagi, anak-anak...”
“Selamat pagi pakkk”... Jawab mereka serempak bak telah ada dirigent yang telah memberikan aba-aba.
Sudah siap untuk menu kalian pagi ini? Apakah menu kalian pagi ini? Maksudnya mata pelajarannya...
Sudah siap pak. Bahasa Indonesia pakkk...
Baik, setelah ini kami akan membagikan lembar jawaban dan lembar soal. Silakan terlebih dahulu mengisi identitas pada kolom yang telah disediakan
Singkat cerita (nanti kelamaan cerita, pembaca mengantuk), mereka sudah memulai mengerjakan setelah bel satu kali berbunyi pertanda mereka telah diperkenankan memegang lembar soal dan mulai mengerjakannnya dengan dimuqodimahi dengan ungkapanku yang berbunyi:
Silakan mulai mengerjakan. Saya harap tetap menjaga ketenangan. Silakan menghormati teman kalian yang sedang mengerjakan.
Aku dan partnerku, seorang guru wanita berjilbab juga dari salah satu SD Negeri, mewarnai kesuntukan pagi itu dengan mengisi lembar berita acara dan absensi siswa. Pada saat tengah menulis lembar berita acara, kudapati bangku pojok belakang kosong, segera aku menghampiri bangku itu dan menanyakan kepada siswa didepan bangku itu.
Ini Michelle kemana? Kok hari ini tidak hadir
Tidak tahu pak. Sepertinya kemarin izin. Oh iya pak, apakah lembar soalnya nanti boleh dibawa pulang?”, ungkap salah seorang anak yang pada lembar identitas dibangkunya tertulis nama Laurencia.
“Sepertinya harus dikumpulkan kembali”
“Jadi tidak boleh dicoret-coret pak?”
“Iya.”

Selepas itu aku melihat daftar nama peserta ujian tryout pagi itu. Anehnya, ketika kucari-cari nama paijo, sutini, marpuah, waljinah, bejo atau bahkan slamet tidak ada. Nahlo, aneh ngga tuh? Yang kudapati nama-nama gaul ala barat seperti Maximiilliano, Michael, Jessica, Gabriele, Evans, Reynard, Johannes, Edbert, Stephen, Angeline, Luis, Felicia, Kevin, Theodore, Laurencia atau bahkan Michelle. Eh, tapi juga ngga aneh sih. Melihat dari dimana mereka sekolah. Hehe.

Rona serius terpancar pada wajah-wajah mereka. Satu hal yang aku salut lagi, suasana kelas tidak berubah gaduh akibat “ulah” siswa yang berburu jawaban. Suasana kondusif tetap terjaga hingga jam mengerjakan berakhir. Suatu hal yang kontradiktif dengan tempatku menunggu tahun lalu. Boro-boro bisa tenang hingga akhir, masih 15 menit saja mereka sudah pada “bergerilya” berburu jawaban dari temannya. Sekali lagi, menurutku pembiasaan bersikap pada sekolah ini telah berhasil.

Lima menit menjelang waktu berakhir, aku memberikan signal kepada mereka,
You have another five minutes to finish your work. If you have finished, please recheck your answer sheet and your identity! You may leave this class after the bell rings.

Hehe, radak belagu lhah memakai bahasa-nya Ratu Elizabeth, masak kalah dengan anak-anak yang berdoa menggunakan bahasa linggis, eh bahasa Inggris. Dan, setelah bel berbunyi, aku mempersilakan mereka untuk meninggalkan kelas dengan terlebih dahulu meminta mereka memisahkan lembar jawaban dan soal pada tepi bangku mereka masing-masing. Setelah mereka pergi, kami mengambil dua lembar itu dengan mengurutkan sesuai nomor ujian.

Diaula, Ibu Vincent telah menunggu kami beserta pengawas lain untuk menerima hasil ujian dari siswa-siswa. Dengan teliti beliau melihat lembar demi lembar LJK siswa. Ketika kutanya seputar salah seorang siswa yang tidak masuk dikelasku pagi ini, menurut beliau, dia tengah melakukan operasi di Hongkong dan jadwalnya tidak bisa diganggu gugat. Pihat sekolah telah memberikan izin namun memberikan keterangan kalau tidak ada tryout susulan.


Begitulah cerita yang luar biasa yang kualami hari ini. Sebuah pengalaman berharga yang kudapat dari sebuah sekolah yang bernama SDK SANTA MARIA. Aku jadi tahu banyak hal seputar dunia Katolik terlebih apa yang disebut dengan toleransi antar umat beragama. Semoga esok hari, aku juga mendapatkan extraordinary experience lain. Yap, we are gonna see tomorrow.

0 komentar:

 
;